YAZID
BUSTHOMI
1414231124/ PS 2/ Smt 4
Tafsir Ayat Ekonomi
AYAT
EKONOMI TENTANG RIBA
(Qur’an
Surat Al-Baqarah ayat 275)
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
orang-orang yang Makan (mengambil)
riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang
kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.
Asbabun
Nuzul Al-Baqarah 275
Setelah
menceritakan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, mengeluarkan infaq,
membayar zakat, serta mengutamakan kebaikan serta sedekah kepada kaum kerabat,
yang dilakukan setiap keadaan dan waktu, kemudian setelah itu Allah swt memulai
ayat ini dengan menceritakan orang-orang yang memakan riba dari harta kekayaan
orang lain dengan mengibaratkan keadaan mereka pada saat bangkit da keluar dari
kubur pada saat hari kebangkitan.
Tafsir
1.
Tafsir
Az-zikra
Menurut Bachtiar surin
dalam tulisannya Tafsir Az-Zikra, apabila ayat tentang
larangan memungut atau memakan riba
telah sampai pada seseorang, kemudian ia hentikan tanpa mengulanginya kembali
karena mematuhi larangan Allah, maka ia tidak dibebani untuk mengembalikan
kepada seseorang yang pernah ia punguti riba. Jika telah terlanjur memunguti
riba pada masa jahiliyah, maka tidak ada persoalan kembali, semua itu
diserahkan kembali kepada Allah SWT.
2. Tafsir Fi-zhilalil Qur’an
“orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila” (275)
Ancaman ini sungguh jelas dan menakutkan sekali. Gambaran
seseorang yang kemasukan setan dapat dipahami oleh semua orang. Agar perasaan
periba tersentuh dan tergoncang sehingga mereka berusaha keluar dari kebiasaan
mereka memakan riba.
Gambaran itu merupakan saran pendidikan yang ampun dan pada
waktu yang sama mengungkapkan tentang fakta nyata. Sebelumnya berbagai tafsir
telah menjelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “berdiri seperti orang kesurupan.” Adalah berdiri ketika hari
berbangkit nanti di akhirat. Sebenarnya, bentuk riba yang dulu di hadapi
Al-Quran di Jazirah Arab, serta berbagai pandangan orang jahiliyah yang
karenannya diturunkan bebrapa ayat Al-Quran untuk menghapusnya mempunyai dua
bentuk dasar riba dan riba fadhl.
Mereka yang memakan riba bukan hanya orang yang memungut bunga
riba saja walaupun pada dasarnya mereka orang pertama yang diancam dalam ayat
ini. Tapi yang dimaksudkan adalah masyarakat ribawi seluruhnya.
“keadaan
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.”(275)
Mereka beralasan bahwa jual beli mendatangkan laba,
sebagaimana riba juga beli bisa mendapatkan laba dan bisa pula, rugi. Sedangkan
transaksi ribawi, merupakan laba yang sudah pasti dalam segala kondisi. Inilah
perbedaan mendasar antara jual beli dengan riba. Dan ini pulalah yang menjadi
faktor utama dibalik pengharaman riba dan penghalalan jual beli.
“orang-orang yang sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dan
urusannya (terserah) kepada Allah.” (275)
Ancaman dengan siksaan di akhirat mengaskan buruknya sistem
riba seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tapi, kemungkinan sebagian orang
lalai karena panjangnya waktu, dan kurang mengerti ancaman yang menunggu,
sehingga mereka mengakibatkan perhitungan akhirat.
Riba mengambil piutang yang diambilkan dari usahanya kalaun
dia memutarkan uang yang dipinjamnya lalu memperoleh laba atau rugi, atau dia
menggunakan sebagian dari hutang untuk biaya diri dan keluarganya, maka
kelebihan itu diambilkan dari dagingnya. Karena itulah konteks langsung menampilkan
pembahasan riba ditampilkan dengan penampilan yang mengerikan, disingkapkan
segala keburukan dan kejelekannya tidak ada ancaman yang paling keras
terkandung dalam berbagai ayat Al-Quran, baik dari segi lafadz atau makna, yang
tersurat maupun yang tersirat, melainkan ancaman terhadap praktek riba.
Ancaman mengerikan yang dilancarkan ayat terhadap sistem riba
yang keji itu telah terbukti sekarang dalam kehidupan nyata, lebih dahsyat dari
apa yang terungkap di zaman jahiliyah dulu.
Masyarakat yang memakan riba adalah masyarakat yang sesaat.
Masyarakat ini akan ditimpa berbagai cobaan yang mematikan, akibat menerapkan
sistem ria tersebut. Disamping itu, kehidupannya disegala segi akan rusak, baik
dari segi moral, agama, kesehatan maupun ekonomi. Dan akhirnya masyarakat
tersebut benar-benar mendapat serangan dari Allah berupa kenistaan dan azab,
baik secara individu maupun kelompok baik secara suku maupun bangsa. Sementara mereka
tidak menyadari dan mengerti.
Dalam tafsir ini Al-Quran ini tidak akan mungki membahas semua
kelemaha sistem rabawi. Namu, dalam kitab yang ditulis oleh Sayyid Quthb,
menginginkan bahwa muslim untuk mengingat hakikat yang menyebabkan membenci
sistem ria. Yaitu diantaranya:
v
Hakikat pertama, seorang muslim harus
meyakini bahwa islam tidak akan mungkin tegak disuatu tempat bila di sana
ditetapkan sistem riba.
v
Hakikat kedua, sistem riba adalah
sebagai bencana terhadap manusia, bukan hanya terhadap kiemanan, akhlak dan
pandangan mereka tentang kehidupan, tapi juga terhadap subtansi kehidupan
ekonomi dan kehidupan praktis mereka.
v
Hakikat ketiga, dalam islam sistem moral
dan sistem kerja lainnya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
v
Hakikat keempat, transaksi tidak mungkin
bisa berjalan kecuali bila nurani dan moral individu sudah rusak.
v
Hakikat kelima, sistem adalah suatu
sitem integral. Ketika kita melarang sistem riba, dalam agama Islam menegakan
semua sitemnya atas dasr adanya kebutuhan terhadap riba , dan mengatur semua
aspek sosial sehingga tidak lagi membutuhkan sistem riba, tanpa mengganggu
pertumbuhan sosiologi ekonomi masyarakat.
v
Hakikat keenam ketika mendapat
kesempatan untuk menata kehidupan sesuai dengan visi dan misinya.
v
Hakikat ketujuh hal yang paling penting
yaitu keharusan meyakini bagi orang yang ingin menjadi muslim sejati bahwa
Allah tidak akan melarang suatu hal yang menjadi tiang utama kehidupan manusia
v
Hakikat kedelapan, upaya untuk mengubah
tegaknya ekonomi global yang ada di jaman sekarang dan di masa yang akan datang
berdasarkan selain sisttem riba bukanlah suatu mits, atau hanya kebohongan
besar yang sedang berlangsung, karena berbagai institusi yang dimanfaatkan oleh
para periba untuk mempertahankan sistem ini terlalu besar.
3. Tafsir Ibnu Katsir
Dengan kata lain, tidak sekali-kali mereka bangkit dari
kuburnya pada hari kiamat nanti, melainkan seperti orang gila yang terbangun
pada saat mendapat tekanan penyakit dan setan merasukinya. Hal ini menunjukan
bahwa orang yang memakan riba (melakukan riba) dibangkitkan pada hari kiamat
nanti dalam keadaan gila dan tercekik.
“keadaan mereka yang
demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba.” (al-Baqarah 275)
Seseungguhnya mereka
menghalalkan hal tersebut tiada lain karena mereka menentang hukum-hukum Allah
dalam syariat-Nya, dan hal ini bukanlah analogi mereka yang menyamakan riba
dengan jual beli, karena orang-orang musyrik tidak mengakui kaidah jual beli
yang disyariatkan oleh Allah di dalam Al-Quran. Sekiranya hal ini termasuk
kedalam pengertian kias (analogi), nisacaya mereka mengatakan, “seseungguhnya
riba itu seperti jual beli,” tetapi tetapi ternyata mereka mengatakan, “sesungguhnya jual beli sama dengan riba.”(Al-Baqarah
275). Dengan kata lain, jual beli itu sama dengan riba; mengapa yang ini
diharamkan, sedangkan yang itu tidak? Hal ini jelas merupakan pembangkangan
dari mereka terhadap hukum syara, yakni sama dengan disini itu, tetapi yang ini
dihalalkan sedangkan yang itu (riba) diharamkan.
“padahal Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(Al-baqarah 275). makna ayat
ini dapat ditaafsirkan sebagai kelanjutan dari kalam sebelumnya untuk
menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah
membedakan antara jual beli dari riba secara hukum. Dia maha mengetahui lagi
maha bijaksana yang tiada akibat bagi keputusan hukum-Nya, tidak dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang diperbuatnya, sedangkan mereka pasti dimintai
pertanggungjawabannya. Dia maha mengetahui semua hakikat segala perkara dan
kemaslahatannya; mana yang bermanfaat bagi hamba-hambanya hal itu
dihalalkan-Nya bagi mereka; dan mana yang membahayakan mereka, maka Dia
melarang darinya. Dia lebih belas kasihan kepada mereka daripada belas kasih
seorang ibu kepada bayinya. Karena itulah Allah berfirman dalam ayat
selanjutnya Allah berfirman:
“orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan),
dan urusannya terserah kepada Allah.” (Al-Baqarah 275)
Barangsiapa
yang telah sampai kepadanya larangan Allah terhadap riba, lalu ia berhenti dari
melakukan riba, lalu ia berhenti dari melakukan riba setelah sampai berita iru
kepadanya, maka masih diperbolehkan mengambil apa yang dahulu ia lakukan
sebelum ada larangan. Seperti apa yang dikatakan oleh rasulullah saw pada hari
kemenangan atas kota Mekah yaitu;
Semua
riba telah diletakan di bawah telapak kakiku ini (dihapuskan), mula-mula riba
yang kuhapuskan adalah riba Al-Abbas.
Nabi
Muhammad saw tidak memerintahkan kepada mereka untuk mengembalikan bunga yang
diambil mereka dimasa jahiliah, melainkan memanfaatkan apa yang telah lalu.
Seperti juga apa yang disebutkan firmannya: “maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah (Al-baqarah 275).
Baginya apa yang telah
lalu dari perbuatan ribanya dan memakannya sebelum datang dari Allah awt.
“orang
yang kembali."(Al-Baqarah 275).
Yakni kembali melakukan
riba sesudah sampai kepadanya larangan Allah, berati ia pasti terkena humkuman
dan hujah mengenainya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan;
“maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka akan kekal di
dalamnya.” (Al-Baqrah 275)
Allah
menegaskan bahwa telah dihalalkan jual-beli dan diharamkan riba. Orang-orang
yang membolehkan riba dapat ditafsirkan sebagai pembantahan hukum-hukum yang
telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Riba yang
dahulu telah dimakan sebelum turunya firman Allah ini, apabila pelakunya
bertobat, tidak ada kewajiban untuk mengembalikannya dan dimaafkan oleh Allah.
Sedangkan bagi siapa saja yang kembali lagi kepada riba setelah menerima
larangan dari Allah, maka mereka adalah penghuni neraka dan mereka kekal di
dalamnya.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa
yang tidak meninggalkan mukhabarah, maka maklumkanlah perang kepadanya dengan
Allah dan Rasul-Nya”. Hadist ini diriwayatkan oleh Hakim dalam Mustadrak-nya.
Hadist ini dinyatakan sahih apabila menggunakan krteria Imam Muslim, meskipun
Muslim sendiri tidak meriwayatkannya. Lalu, apa itu mukhabarah? Mukhabarah
ialah menyewakan tanah dengan imbalan sebagian hasil buminya. Ada juga istilah muzabanah
yang artinya adalah menjual kurma basah yang masih ada di pohonnya dengan kurma
kering yang sudah ada di atas tanah. Lalu, ada juga istilah muhaqalah
yang artinya adalah membeli biji yang masih melekat pada bulirnya di ladang
dengan biji yang sudah ada di atas tanah. Semua itu merupakan praktek riba yang
diharamkan.
Masalah riba merupakan masalah yang pelik bagi mayoritas ulama. Berhubung
penerapannya dalam jaman modern ini akan bervariasi, maka perlu diperhatikan
untuk selalu menjaga dari praktek riba, termasuk dalam perbankan, agar
terhindar dari hal-hal yang diharamkan maupun yang syubhat (perkara yang
hukumnya berada di antara halal dan haram).
4.
Tafsir Depag
RI
Ada dua macam riba yang terkenal,
yaitu:
- Riba
Nasiah
- Riba Fadal.
Riba Nasiah ialah tambahan pembayaran hutang yang diberikan oleh pihak yang
berutang karena adanya permintaan penangguhan pembayaran pihak yang berutang.
Tambahan pembayaran itu diminta oleh pihak yang berpiutang setiap kali yang
berutang meminta penangguhan pembayaran utangnya.
Si A berutang kepada si B sebanyak Rp. 1000 dan akan dikembalikan setelah
habis masa sebulan. Setelah habis masa sebulan A belum sanggup membayar
utangnya karena itu ia minta kepada si B agar bersedia menerima penangguhan
pembayaran. B bersedia memberi tangguh asal A menambah pembayaran sehingga
menjadi Rp. 1300. Tambahan pembayaran dengan penangguhan waktu serupa ini
disebut riba nasiah.
Tambahan pembayaran ini mungkin berkali-kali dilakukan karena pihak yang
berutang selalu meminta penangguhan pembayaran sehingga akhirnya A tidak
sanggup lagi membayarnya bahkan kadang-kadang dirinya sendiri terpaksa dijual
untuk membayar utangnya itu.
Riba nasiah sebagai yang disebutkan di atas terkenal dan banyak berlaku di
kalangan orang Arab jahiliah. Inilah riba yang dimaksud Alquran. Bila
dipelajari dan diikuti sistem riba dalam ayat ini dan yang berlaku di kalangan
orang jahiliah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
- Bunga itu merupakan keuntungan yang besar bagi
yang meminjamkan dan sangat merugikan si peminjam. Bahkan ada kalanya si
peminjam terpaksa menjual dirinya untuk dijadikan budak agar ia dapat
melunasi pinjamannya.
- Perbuatan itu pada zaman jahiliah termasuk usaha
untuk mencari kekayaan dan untuk menumpuk harta bagi yang
meminjamkan.
Menurut Umar Ibnu Khattab : Ayat Alquran tentang riba, termasuk ayat-ayat
yang terakhir diturunkan. Sampai Rasulullah wafat tanpa menerangkan apa yang
dimaksud dengan riba. Maka tetaplah riba dalam pengertian yang umum, seperti
bunga yang dikerjakan orang Arab di zaman jahiliah itu.
Keterangan Umar ini berarti bahwa Rasulullah sengaja tidak menerangkan apa
yang dimaksud dengan riba karena orang-orang Arab telah mengetahui benar apa
yang dimaksud dengan riba itu. Bila disebut riba kepada mereka, maka di dalam
pikiran mereka telah ada pengertian yang jelas dan pengertian itu telah mereka
sepakati maksudnya. Pengertian mereka tentang riba ialah riba Nasiah. Dengan
perkataan lain bahwa sebenarnya Alquran telah menjelaskan dan menerangkan apa
yang dimaksud dengan riba.
Riba Fadal, yaitu menjual sejenis barang dengan jenis barang yang sama
dengan ketentuan memberi tambahan sebagai imbalan bagi yang baik mutunya.
Seperti menjual emas 20 karat dengan emas 24 karat dengan tambahan 1 gram lagi
sebagai imbalan bagi emas 24 karat.
Riba Fadal ini diharamkan juga tetapi dosanya tidak sama dengan riba
nasiah. Dasar hukum haramnya riba fadal ialah sabda Rasulullah saw.:
Janganlah kamu jual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, syair (padi belanda) dengan syair, tamar dengan tamar, garam dengan
garam, kecuali sama jenis dan kadarnya dan sama-sama tunai. Barang siapa yang
menambah atau meminta tambah, maka sesungguhnya ia telah melakukan
riba. (HR Bukhari dan Ahmad)
Sama-sama jenis dan kadarnya dan sama-sama tunai maksudnya ialah jangan
merugikan salah satu pihak dari orang-orang itu. Ayat di atas menerangkan
akibat yang akan dialami oleh orang-orang yang memakan riba, yaitu jiwa dan
hati mereka tidak tenteram, pikiran mereka tidak menentu. Keadaan mereka seperti
orang yang kemasukan setan atau seperti orang gila.
Orang Arab jahiliah mempercayai bahwa setan dapat masuk atau mempengaruhi
jiwa manusia, demikian pula jin. Bila setan atau jin telah masuk atau
mempengaruhi jiwa seseorang, maka rusaklah akalnya, seperti orang
kesurupan.
Alquran menyerupakan pengaruh riba pada seseorang yang melakukannya dengan
pengaruh setan yang telah masuk ke dalam jiwa seseorang menurut kepercayaan
orang Arab jahiliah, agar maksud ayat yang disampaikan mudah dipahami, bukanlah
maksud untuk menerangkan bahwa Alquran menganut kepercayaan seperti
kepercayaannya orang Arab jahiliah itu.
Menurut jumhur mufassirin, ayat ini menerangkan keadaan pemakan riba pada
hari kiamat, yaitu seperti orang yang kemasukan setan. Pendapat ini mengikuti pendapat
Ibnu Abbas dan Ibnu Masud.
Tetapi kenyataan yang terdapat di dalam kehidupan manusia di dunia ini,
orang pemakan riba itu kehidupannya benar-benar tidak tenang, selalu gelisah
tak ubahnya sebagai orang yang kemasukan setan. Sebab itu ada para mufassir
yang berpendapat, bahwa ayat ini menggambarkan pemakan riba di dunia. Pendapat
ini dapat dikompromikan dengan pendapat pertama, yaitu keadaan mereka nanti di
akhirat sama dengan keadaan mereka di dunia, dalam hal tidak adanya
ketenteraman bagi mereka.
Dari kelanjutan ayat dapat dipahami, bahwa keadaan pemakan riba itu
sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat lagi membedakan antara yang halal
dan yang haram, antara yang bermanfaat dengan mudarat, antara yang dibolehkan
Allah dan yang dilarang-Nya, sehingga mereka mengatakan jual beli itu sama
dengan riba.
Selanjutnya Allah menegaskan bahwa Dia menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba. Allah tidak menerangkan sebabnya. Allah tidak menerangkan
hal itu agar mudah dipahami oleh pemakan riba, sebab mereka sendiri telah
mengetahui, mengalami dan merasakan akibat riba itu.
Dari penegasan itu dipahami pula bahwa seakan-akan Allah swt. memberikan
suatu perbandingan antara jual-beli dengan riba. Hendaklah manusia mengetahui
dan memikirkan dan memahami perbandingan itu.
Pada jual-beli ada pertukaran dan penggantian yang seimbang yang dilakukan
oleh pihak penjual dengan pihak pembeli, serta ada manfaat dan keuntungan yang
diperoleh dari kedua belah pihak dan ada pula kemungkinan mendapat keuntungan
yang wajar sesuai dengan usaha yang telah dilakukan oleh mereka. Pada riba
tidak ada pertukaran dan penggantian yang seimbang itu. Hanya ada semacam
pemerasan yang tidak langsung yang dilakukan oleh pihak yang empunya terhadap
pihak yang sedang memerlukan yang waktu meminjam itu dalam keadaan terpaksa.
Setelah Allah swt. menerangkan akibat yang dialami oleh pemakan riba,
perkataan yang diucapkan oleh pemakan riba yang pikirannya sedang dipengaruhi
keenakan memakan riba dan penegasan Allah tentang hukum jual-beli dan riba,
maka Allah mengajak para pemakan riba dengan ajakan yang lemah-lembut, yang
langsung menuju ke hati nurani mereka, sebagaimana lanjutan ayat di atas.
Allah swt. menyebut larangan-Nya tentang riba itu "Mau`izah"
(arti asal dari pengajaran"), maksudnya ialah larangan memakan riba itu
adalah larangan yang bertujuan untuk kebaikan manusia sendiri, agar berbahagia
hidup di dunia dan akhirat, hidup dalam keadaan rasa cinta dan kasih sesama
manusia dan hidup penuh ketenteraman dan kedamaian.
Barang siapa memahami larangan Allah swt. dan melaksanakannya hendaklah ia
menghentikan perbuatan riba itu dengan segera. Mereka tidak dihukum Allah swt.
terhadap perbuatan yang mereka lakukan sebelum ayat ini diturunkan.
Mereka tidak diwajibkan mengembalikan riba pada waktu ayat ini diturunkan,
hendaklah segera berhenti, mereka boleh mengambil pokok pinjaman mereka saja,
tanpa bunga yang mereka setujui sebelumnya.
Dalam ayat ini terkandung suatu asas pokok yang dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan undang-undang, peraturan atau hukum, yaitu suatu undang-undang,
peraturan atau hukum yang akan ditetapkan tidak boleh berlaku surut jika
berakibat merugikan pihak-pihak yang dikenai atau yang dibebani undang-undang,
peraturan atau hukum itu. Sebaliknya boleh berlaku surut bila menguntungkan
pihak-pihak yang dikenai atau dibebani olehnya.
Akhir ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang telah melakukan riba, dan
orang-orang yang telah berhenti melakukan riba kemudian mengerjakannya kembali
setelah larangan ini, mereka termasuk penghuni neraka, mereka akan kekal di
dalamnya.
"Kekal di dalam neraka", maksudnya ialah lama tinggal di dalam
neraka. Dari perkataan "kekal" ini dimaksudkan bahwa perbuatan riba
ini termasuk dosa besar. Karena pelakunya diazab dalam waktu yang lama.
Menurut sebagian ahli tafsir, dosa besar yang ditimpakan kepada pemakan
riba ini disebabkan karena di dalam hati pemakannya itu telah tertanam rasa
cinta harta, lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri, mengerjakan sesuatu
karena kepentingan diri sendiri bukan karena Allah. Orang yang demikian adalah
orang yang tak mungkin tumbuh dalam jiwanya iman yang sebenarnya. Yaitu iman
yang didasarkan kepada perasaan, pengakuan dan ketundukan kepada Allah swt.
Seandainya pemakan riba yang demikian masih mengakui beriman kepada Allah swt.,
maka imannya itu adalah iman di bibir saja, iman yang sangat tipis dan yang
tidak sampai ke dalam lubuk hati sanubarinya.
DAFTAR PUSTAKA
Sayyid
Qutbh, Fi-Zhilalil Qur’an jilid 2. Penerjemah:
Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc. (Darus Syuruq, Kairo Mesir. 1402/1982M
Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan Dari Allah – Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Gema Insani, 1999
Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan Dari Allah – Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Gema Insani, 1999
No comments:
Post a Comment