Thursday, March 17, 2016

YAZID BUSTHOMI
 1414231124/ PS 2/ Smt 4
Tafsir Ayat Ekonomi
AYAT EKONOMI TENTANG RIBA
(Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 275)
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ  
orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Asbabun Nuzul Al-Baqarah 275
Setelah menceritakan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, mengeluarkan infaq, membayar zakat, serta mengutamakan kebaikan serta sedekah kepada kaum kerabat, yang dilakukan setiap keadaan dan waktu, kemudian setelah itu Allah swt memulai ayat ini dengan menceritakan orang-orang yang memakan riba dari harta kekayaan orang lain dengan mengibaratkan keadaan mereka pada saat bangkit da keluar dari kubur pada saat hari kebangkitan.
Tafsir
1.    Tafsir Az-zikra
Menurut Bachtiar surin dalam tulisannya  Tafsir Az-Zikra, apabila ayat tentang
larangan memungut atau memakan riba telah sampai pada seseorang, kemudian ia hentikan tanpa mengulanginya kembali karena mematuhi larangan Allah, maka ia tidak dibebani untuk mengembalikan kepada seseorang yang pernah ia punguti riba. Jika telah terlanjur memunguti riba pada masa jahiliyah, maka tidak ada persoalan kembali, semua itu diserahkan kembali kepada Allah SWT.

2.    Tafsir Fi-zhilalil Qur’an
“orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila” (275)
       Ancaman ini sungguh jelas dan menakutkan sekali. Gambaran seseorang yang kemasukan setan dapat dipahami oleh semua orang. Agar perasaan periba tersentuh dan tergoncang sehingga mereka berusaha keluar dari kebiasaan mereka memakan riba.
       Gambaran itu merupakan saran pendidikan yang ampun dan pada waktu yang sama mengungkapkan tentang fakta nyata. Sebelumnya berbagai tafsir telah menjelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “berdiri seperti orang kesurupan.” Adalah berdiri ketika hari berbangkit nanti di akhirat. Sebenarnya, bentuk riba yang dulu di hadapi Al-Quran di Jazirah Arab, serta berbagai pandangan orang jahiliyah yang karenannya diturunkan bebrapa ayat Al-Quran untuk menghapusnya mempunyai dua bentuk dasar riba dan riba fadhl.
       Mereka yang memakan riba bukan hanya orang yang memungut bunga riba saja walaupun pada dasarnya mereka orang pertama yang diancam dalam ayat ini. Tapi yang dimaksudkan adalah masyarakat ribawi seluruhnya.
“keadaan yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(275)
       Mereka beralasan bahwa jual beli mendatangkan laba, sebagaimana riba juga beli bisa mendapatkan laba dan bisa pula, rugi. Sedangkan transaksi ribawi, merupakan laba yang sudah pasti dalam segala kondisi. Inilah perbedaan mendasar antara jual beli dengan riba. Dan ini pulalah yang menjadi faktor utama dibalik pengharaman riba dan penghalalan jual beli.
orang-orang yang sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dan urusannya (terserah) kepada Allah.” (275)
       Ancaman dengan siksaan di akhirat mengaskan buruknya sistem riba seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tapi, kemungkinan sebagian orang lalai karena panjangnya waktu, dan kurang mengerti ancaman yang menunggu, sehingga mereka mengakibatkan perhitungan akhirat.
       Riba mengambil piutang yang diambilkan dari usahanya kalaun dia memutarkan uang yang dipinjamnya lalu memperoleh laba atau rugi, atau dia menggunakan sebagian dari hutang untuk biaya diri dan keluarganya, maka kelebihan itu diambilkan dari dagingnya. Karena itulah konteks langsung menampilkan pembahasan riba ditampilkan dengan penampilan yang mengerikan, disingkapkan segala keburukan dan kejelekannya tidak ada ancaman yang paling keras terkandung dalam berbagai ayat Al-Quran, baik dari segi lafadz atau makna, yang tersurat maupun yang tersirat, melainkan ancaman terhadap praktek riba.
       Ancaman mengerikan yang dilancarkan ayat terhadap sistem riba yang keji itu telah terbukti sekarang dalam kehidupan nyata, lebih dahsyat dari apa yang terungkap di zaman jahiliyah dulu.
       Masyarakat yang memakan riba adalah masyarakat yang sesaat. Masyarakat ini akan ditimpa berbagai cobaan yang mematikan, akibat menerapkan sistem ria tersebut. Disamping itu, kehidupannya disegala segi akan rusak, baik dari segi moral, agama, kesehatan maupun ekonomi. Dan akhirnya masyarakat tersebut benar-benar mendapat serangan dari Allah berupa kenistaan dan azab, baik secara individu maupun kelompok baik secara suku maupun bangsa. Sementara mereka tidak menyadari dan mengerti.
       Dalam tafsir ini Al-Quran ini tidak akan mungki membahas semua kelemaha sistem rabawi. Namu, dalam kitab yang ditulis oleh Sayyid Quthb, menginginkan bahwa muslim untuk mengingat hakikat yang menyebabkan membenci sistem ria. Yaitu diantaranya:
v  Hakikat pertama, seorang muslim harus meyakini bahwa islam tidak akan mungkin tegak disuatu tempat bila di sana ditetapkan sistem riba.
v  Hakikat kedua, sistem riba adalah sebagai bencana terhadap manusia, bukan hanya terhadap kiemanan, akhlak dan pandangan mereka tentang kehidupan, tapi juga terhadap subtansi kehidupan ekonomi dan kehidupan praktis mereka.
v  Hakikat ketiga, dalam islam sistem moral dan sistem kerja lainnya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
v  Hakikat keempat, transaksi tidak mungkin bisa berjalan kecuali bila nurani dan moral individu sudah rusak.
v  Hakikat kelima, sistem adalah suatu sitem integral. Ketika kita melarang sistem riba, dalam agama Islam menegakan semua sitemnya atas dasr adanya kebutuhan terhadap riba , dan mengatur semua aspek sosial sehingga tidak lagi membutuhkan sistem riba, tanpa mengganggu pertumbuhan sosiologi ekonomi masyarakat.
v  Hakikat keenam ketika mendapat kesempatan untuk menata kehidupan sesuai dengan visi dan misinya.
v  Hakikat ketujuh hal yang paling penting yaitu keharusan meyakini bagi orang yang ingin menjadi muslim sejati bahwa Allah tidak akan melarang suatu hal yang menjadi tiang utama kehidupan manusia
v  Hakikat kedelapan, upaya untuk mengubah tegaknya ekonomi global yang ada di jaman sekarang dan di masa yang akan datang berdasarkan selain sisttem riba bukanlah suatu mits, atau hanya kebohongan besar yang sedang berlangsung, karena berbagai institusi yang dimanfaatkan oleh para periba untuk mempertahankan sistem ini terlalu besar.

3.    Tafsir Ibnu Katsir
       Dengan kata lain, tidak sekali-kali mereka bangkit dari kuburnya pada hari kiamat nanti, melainkan seperti orang gila yang terbangun pada saat mendapat tekanan penyakit dan setan merasukinya. Hal ini menunjukan bahwa orang yang memakan riba (melakukan riba) dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan tercekik.
       “keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah 275)
Seseungguhnya mereka menghalalkan hal tersebut tiada lain karena mereka menentang hukum-hukum Allah dalam syariat-Nya, dan hal ini bukanlah analogi mereka yang menyamakan riba dengan jual beli, karena orang-orang musyrik tidak mengakui kaidah jual beli yang disyariatkan oleh Allah di dalam Al-Quran. Sekiranya hal ini termasuk kedalam pengertian kias (analogi), nisacaya mereka mengatakan, “seseungguhnya riba itu seperti jual beli,” tetapi tetapi ternyata mereka mengatakan, “sesungguhnya jual beli sama dengan riba.”(Al-Baqarah 275). Dengan kata lain, jual beli itu sama dengan riba; mengapa yang ini diharamkan, sedangkan yang itu tidak? Hal ini jelas merupakan pembangkangan dari mereka terhadap hukum syara, yakni sama dengan disini itu, tetapi yang ini dihalalkan sedangkan yang itu (riba) diharamkan.
       “padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(Al-baqarah 275). makna ayat ini dapat ditaafsirkan sebagai kelanjutan dari kalam sebelumnya untuk menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli dari riba secara hukum. Dia maha mengetahui lagi maha bijaksana yang tiada akibat bagi keputusan hukum-Nya, tidak dimintai pertanggungjawaban atas apa yang diperbuatnya, sedangkan mereka pasti dimintai pertanggungjawabannya. Dia maha mengetahui semua hakikat segala perkara dan kemaslahatannya; mana yang bermanfaat bagi hamba-hambanya hal itu dihalalkan-Nya bagi mereka; dan mana yang membahayakan mereka, maka Dia melarang darinya. Dia lebih belas kasihan kepada mereka daripada belas kasih seorang ibu kepada bayinya. Karena itulah Allah berfirman dalam ayat selanjutnya Allah berfirman:
       “orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya terserah kepada Allah.” (Al-Baqarah 275)
       Barangsiapa yang telah sampai kepadanya larangan Allah terhadap riba, lalu ia berhenti dari melakukan riba, lalu ia berhenti dari melakukan riba setelah sampai berita iru kepadanya, maka masih diperbolehkan mengambil apa yang dahulu ia lakukan sebelum ada larangan. Seperti apa yang dikatakan oleh rasulullah saw pada hari kemenangan atas kota Mekah yaitu;
Semua riba telah diletakan di bawah telapak kakiku ini (dihapuskan), mula-mula riba yang kuhapuskan adalah riba Al-Abbas.
       Nabi Muhammad saw tidak memerintahkan kepada mereka untuk mengembalikan bunga yang diambil mereka dimasa jahiliah, melainkan memanfaatkan apa yang telah lalu. Seperti juga apa yang disebutkan firmannya: “maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah (Al-baqarah 275).
Baginya apa yang telah lalu dari perbuatan ribanya dan memakannya sebelum datang dari Allah awt.
“orang yang kembali."(Al-Baqarah 275).
Yakni kembali melakukan riba sesudah sampai kepadanya larangan Allah, berati ia pasti terkena humkuman dan hujah mengenainya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan;
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka akan kekal di dalamnya.” (Al-Baqrah 275)
Allah menegaskan bahwa telah dihalalkan jual-beli dan diharamkan riba. Orang-orang yang membolehkan riba dapat ditafsirkan sebagai pembantahan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Riba yang dahulu telah dimakan sebelum turunya firman Allah ini, apabila pelakunya bertobat, tidak ada kewajiban untuk mengembalikannya dan dimaafkan oleh Allah. Sedangkan bagi siapa saja yang kembali lagi kepada riba setelah menerima larangan dari Allah, maka mereka adalah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan mukhabarah, maka maklumkanlah perang kepadanya dengan Allah dan Rasul-Nya”. Hadist ini diriwayatkan oleh Hakim dalam Mustadrak-nya. Hadist ini dinyatakan sahih apabila menggunakan krteria Imam Muslim, meskipun Muslim sendiri tidak meriwayatkannya. Lalu, apa itu mukhabarah? Mukhabarah ialah menyewakan tanah dengan imbalan sebagian hasil buminya. Ada juga istilah muzabanah yang artinya adalah menjual kurma basah yang masih ada di pohonnya dengan kurma kering yang sudah ada di atas tanah. Lalu, ada juga istilah muhaqalah yang artinya adalah membeli biji yang masih melekat pada bulirnya di ladang dengan biji yang sudah ada di atas tanah. Semua itu merupakan praktek riba yang diharamkan.
Masalah riba merupakan masalah yang pelik bagi mayoritas ulama. Berhubung penerapannya dalam jaman modern ini akan bervariasi, maka perlu diperhatikan untuk selalu menjaga dari praktek riba, termasuk dalam perbankan, agar terhindar dari hal-hal yang diharamkan maupun yang syubhat (perkara yang hukumnya berada di antara halal dan haram).
4.    Tafsir Depag RI
Ada dua macam riba yang terkenal, yaitu: 
  1. Riba Nasiah 
  2. Riba Fadal. 
Riba Nasiah ialah tambahan pembayaran hutang yang diberikan oleh pihak yang berutang karena adanya permintaan penangguhan pembayaran pihak yang berutang. Tambahan pembayaran itu diminta oleh pihak yang berpiutang setiap kali yang berutang meminta penangguhan pembayaran utangnya. 
Contoh: 
Si A berutang kepada si B sebanyak Rp. 1000 dan akan dikembalikan setelah habis masa sebulan. Setelah habis masa sebulan A belum sanggup membayar utangnya karena itu ia minta kepada si B agar bersedia menerima penangguhan pembayaran. B bersedia memberi tangguh asal A menambah pembayaran sehingga menjadi Rp. 1300. Tambahan pembayaran dengan penangguhan waktu serupa ini disebut riba nasiah. 
Tambahan pembayaran ini mungkin berkali-kali dilakukan karena pihak yang berutang selalu meminta penangguhan pembayaran sehingga akhirnya A tidak sanggup lagi membayarnya bahkan kadang-kadang dirinya sendiri terpaksa dijual untuk membayar utangnya itu.
Riba nasiah sebagai yang disebutkan di atas terkenal dan banyak berlaku di kalangan orang Arab jahiliah. Inilah riba yang dimaksud Alquran. Bila dipelajari dan diikuti sistem riba dalam ayat ini dan yang berlaku di kalangan orang jahiliah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: 
  1. Bunga itu merupakan keuntungan yang besar bagi yang meminjamkan dan sangat merugikan si peminjam. Bahkan ada kalanya si peminjam terpaksa menjual dirinya untuk dijadikan budak agar ia dapat melunasi pinjamannya. 
  2. Perbuatan itu pada zaman jahiliah termasuk usaha untuk mencari kekayaan dan untuk menumpuk harta bagi yang meminjamkan. 
Menurut Umar Ibnu Khattab : Ayat Alquran tentang riba, termasuk ayat-ayat yang terakhir diturunkan. Sampai Rasulullah wafat tanpa menerangkan apa yang dimaksud dengan riba. Maka tetaplah riba dalam pengertian yang umum, seperti bunga yang dikerjakan orang Arab di zaman jahiliah itu. 
Keterangan Umar ini berarti bahwa Rasulullah sengaja tidak menerangkan apa yang dimaksud dengan riba karena orang-orang Arab telah mengetahui benar apa yang dimaksud dengan riba itu. Bila disebut riba kepada mereka, maka di dalam pikiran mereka telah ada pengertian yang jelas dan pengertian itu telah mereka sepakati maksudnya. Pengertian mereka tentang riba ialah riba Nasiah. Dengan perkataan lain bahwa sebenarnya Alquran telah menjelaskan dan menerangkan apa yang dimaksud dengan riba.
Riba Fadal, yaitu menjual sejenis barang dengan jenis barang yang sama dengan ketentuan memberi tambahan sebagai imbalan bagi yang baik mutunya. Seperti menjual emas 20 karat dengan emas 24 karat dengan tambahan 1 gram lagi sebagai imbalan bagi emas 24 karat. 
Riba Fadal ini diharamkan juga tetapi dosanya tidak sama dengan riba nasiah. Dasar hukum haramnya riba fadal ialah sabda Rasulullah saw.:
Janganlah kamu jual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair (padi belanda) dengan syair, tamar dengan tamar, garam dengan garam, kecuali sama jenis dan kadarnya dan sama-sama tunai. Barang siapa yang menambah atau meminta tambah, maka sesungguhnya ia telah melakukan riba. (HR Bukhari dan Ahmad) 
Sama-sama jenis dan kadarnya dan sama-sama tunai maksudnya ialah jangan merugikan salah satu pihak dari orang-orang itu. Ayat di atas menerangkan akibat yang akan dialami oleh orang-orang yang memakan riba, yaitu jiwa dan hati mereka tidak tenteram, pikiran mereka tidak menentu. Keadaan mereka seperti orang yang kemasukan setan atau seperti orang gila. 
Orang Arab jahiliah mempercayai bahwa setan dapat masuk atau mempengaruhi jiwa manusia, demikian pula jin. Bila setan atau jin telah masuk atau mempengaruhi jiwa seseorang, maka rusaklah akalnya, seperti orang kesurupan. 
Alquran menyerupakan pengaruh riba pada seseorang yang melakukannya dengan pengaruh setan yang telah masuk ke dalam jiwa seseorang menurut kepercayaan orang Arab jahiliah, agar maksud ayat yang disampaikan mudah dipahami, bukanlah maksud untuk menerangkan bahwa Alquran menganut kepercayaan seperti kepercayaannya orang Arab jahiliah itu. 
Menurut jumhur mufassirin, ayat ini menerangkan keadaan pemakan riba pada hari kiamat, yaitu seperti orang yang kemasukan setan. Pendapat ini mengikuti pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Masud. 
Tetapi kenyataan yang terdapat di dalam kehidupan manusia di dunia ini, orang pemakan riba itu kehidupannya benar-benar tidak tenang, selalu gelisah tak ubahnya sebagai orang yang kemasukan setan. Sebab itu ada para mufassir yang berpendapat, bahwa ayat ini menggambarkan pemakan riba di dunia. Pendapat ini dapat dikompromikan dengan pendapat pertama, yaitu keadaan mereka nanti di akhirat sama dengan keadaan mereka di dunia, dalam hal tidak adanya ketenteraman bagi mereka. 
Dari kelanjutan ayat dapat dipahami, bahwa keadaan pemakan riba itu sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat lagi membedakan antara yang halal dan yang haram, antara yang bermanfaat dengan mudarat, antara yang dibolehkan Allah dan yang dilarang-Nya, sehingga mereka mengatakan jual beli itu sama dengan riba. 
Selanjutnya Allah menegaskan bahwa Dia menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Allah tidak menerangkan sebabnya. Allah tidak menerangkan hal itu agar mudah dipahami oleh pemakan riba, sebab mereka sendiri telah mengetahui, mengalami dan merasakan akibat riba itu. 
Dari penegasan itu dipahami pula bahwa seakan-akan Allah swt. memberikan suatu perbandingan antara jual-beli dengan riba. Hendaklah manusia mengetahui dan memikirkan dan memahami perbandingan itu. 
Pada jual-beli ada pertukaran dan penggantian yang seimbang yang dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli, serta ada manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari kedua belah pihak dan ada pula kemungkinan mendapat keuntungan yang wajar sesuai dengan usaha yang telah dilakukan oleh mereka. Pada riba tidak ada pertukaran dan penggantian yang seimbang itu. Hanya ada semacam pemerasan yang tidak langsung yang dilakukan oleh pihak yang empunya terhadap pihak yang sedang memerlukan yang waktu meminjam itu dalam keadaan terpaksa. 
Setelah Allah swt. menerangkan akibat yang dialami oleh pemakan riba, perkataan yang diucapkan oleh pemakan riba yang pikirannya sedang dipengaruhi keenakan memakan riba dan penegasan Allah tentang hukum jual-beli dan riba, maka Allah mengajak para pemakan riba dengan ajakan yang lemah-lembut, yang langsung menuju ke hati nurani mereka, sebagaimana lanjutan ayat di atas. 
Allah swt. menyebut larangan-Nya tentang riba itu "Mau`izah" (arti asal dari pengajaran"), maksudnya ialah larangan memakan riba itu adalah larangan yang bertujuan untuk kebaikan manusia sendiri, agar berbahagia hidup di dunia dan akhirat, hidup dalam keadaan rasa cinta dan kasih sesama manusia dan hidup penuh ketenteraman dan kedamaian. 
Barang siapa memahami larangan Allah swt. dan melaksanakannya hendaklah ia menghentikan perbuatan riba itu dengan segera. Mereka tidak dihukum Allah swt. terhadap perbuatan yang mereka lakukan sebelum ayat ini diturunkan. 
Mereka tidak diwajibkan mengembalikan riba pada waktu ayat ini diturunkan, hendaklah segera berhenti, mereka boleh mengambil pokok pinjaman mereka saja, tanpa bunga yang mereka setujui sebelumnya. 
Dalam ayat ini terkandung suatu asas pokok yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan undang-undang, peraturan atau hukum, yaitu suatu undang-undang, peraturan atau hukum yang akan ditetapkan tidak boleh berlaku surut jika berakibat merugikan pihak-pihak yang dikenai atau yang dibebani undang-undang, peraturan atau hukum itu. Sebaliknya boleh berlaku surut bila menguntungkan pihak-pihak yang dikenai atau dibebani olehnya. 
Akhir ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang telah melakukan riba, dan orang-orang yang telah berhenti melakukan riba kemudian mengerjakannya kembali setelah larangan ini, mereka termasuk penghuni neraka, mereka akan kekal di dalamnya. 
"Kekal di dalam neraka", maksudnya ialah lama tinggal di dalam neraka. Dari perkataan "kekal" ini dimaksudkan bahwa perbuatan riba ini termasuk dosa besar. Karena pelakunya diazab dalam waktu yang lama. 
Menurut sebagian ahli tafsir, dosa besar yang ditimpakan kepada pemakan riba ini disebabkan karena di dalam hati pemakannya itu telah tertanam rasa cinta harta, lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri, mengerjakan sesuatu karena kepentingan diri sendiri bukan karena Allah. Orang yang demikian adalah orang yang tak mungkin tumbuh dalam jiwanya iman yang sebenarnya. Yaitu iman yang didasarkan kepada perasaan, pengakuan dan ketundukan kepada Allah swt. Seandainya pemakan riba yang demikian masih mengakui beriman kepada Allah swt., maka imannya itu adalah iman di bibir saja, iman yang sangat tipis dan yang tidak sampai ke dalam lubuk hati sanubarinya. 
DAFTAR PUSTAKA

Sayyid Qutbh,  Fi-Zhilalil Qur’an jilid 2. Penerjemah: Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc. (Darus Syuruq, Kairo Mesir. 1402/1982M
Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan Dari Allah – Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Gema Insani, 1999




No comments:

Post a Comment