Faisal Rizki Fadillah
Q.S Al-Anfaal ayat 28
واعلمواأنّماأموالكم أجرعضىم عنده اللهوأنّ فتنهو وأولأدكم
Terjemahan
“Dan ketahuilah,
bahwa hartamu dan anak anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di
sisi Allah pahala yang besar.
Asbabun nuzul
Kisah Abu
Lubabah ibn Abd Al Mundzir RA, karena berbuat salah, menghukum dirinya sendiri
sehingga Allah menerima taubatnya.
Abu
Lubabah adalah seorang pahlawan suku Aus di Yastrib yang banyak memenangi
peperangan. Ketika suatu hari ia sedang berjalan menyusuri kota, ia melihat
banyak orang berkumpul di rumah As’ad sedang mendengarkan ceramah dari seorang
utusan Muhammad, yaitu Mus’ad ibn Umar yang mengajak manusia menyembah Allah,
Tuhan yang maha Esa dengan membacakan ayat ayat Al Quran. Allah berkehendak
membuka hatinya dan seketika itu juga, ia menyatakan keislamannya.
Ketika akan
terjadi perang Badar, ia tidak ikut berperang karena Rasulullah member tugas
yang sama beratnya, yaitu meminta dia melindungi dan menjaga penduduk Madinah
selama perang berlangsung.
Setelah terjadi
perang Uhud, ia menikah kembali dengan Khansa ibn Khadzam, janda seorang
sahabat yang sahid bernama Anis ibn Qotadah. Sebetulnya Al Khadzam, ayah Khansa
berniat menikahkannya dengan laki-laki pilihannya, namun Khansa menolak karna
tidak kenal dengannya dan dia mengadu kepada Rasulullah.
Rasulullah ingin
menegakan ketentuan syariat bahwa seorang janda dapat menikah dengan laki laki
pilihannya tanpa harus bermusyawarah dulu dengan ayahnya. Akhirnya Khanza
memilih Abu Lubabah menjadi suaminya.
Suatu hari
Rasulullah berniat membersihkan dan mensucikan Madinah dari para penghianat
Yahudi, terutama Bani Quraizhah yang telah menghianati perjanjian dengan kaum
muslim.
Kaum muslim
mengurung kampong Bani Quraizhah dan melarang penghuninya keluar selama 25
hari. Bani Quraizhah adalah sekutu suku Aus dan tahu bahwa Abu Lubabah adalah
suku Aus. Mereka meminta Rasulullah untuk mengutus Abu Lubabah untuk memutuskan
perkara mereka dan member nasihat mereka.
Dalam posisi
yang terjepit Abu Lubabah bukannya memberi nasihat malah ikut larut dalam
kesedihan para wanita Bani Quraizhah dan tidak menasehatinya.
Allah mengetahui apa yang di hadapi dan dikatakan Abu Lubabah kepada Bani Quraizhah, sehingga menurunkan ayat :
“Yaa ayyuhalladzina aamaanu laa takhuunullaaha
warrasuula wa takhunuu amaanaatikum wa antum ta’lamun, wa’lamu annama
amwaalukum wa auladukum fitnah. Wa annalaha indahu ajrun adhim”.
“Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu
menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat amanat yang di percayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketauilah
bahwa hartamu dan anak anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di
sisi Allah-lah pahala yang besar (Q.S Al-Anfaal :
ayat 27-28)
Abu Lubabah
sadar bahwa ia telah terpeleset dan ia tahu bahwa ayat itu di tujukan
kepadanya. Untuk menebus dosanya ia bertobat kepada Allah dan mengikat dirinya
pada salah satu isterinya pada saat sholat saja. Hal ini di lakukan selama 6
hari, sehingga Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah :
“wa akhruna’tarafu bidzunubihim khalathu amalan
shalihawa akhara sayi’a. asallahu ayyutubu’alaihim. Inallaha ghafururahim”.
“dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui
dosa-dosa mereka, mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan
lain yang buruk. Mudah mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang”. (Q.S
At-Taubah ayat 9)
Rasulullah
mengabarkan ayat itu kepada Abu Lubabah seraya membuka ikatannya. Alagkah
bahagianya Abu Lubabah karena Allah subhanahu wa ta’ala menerima taubatnya.
Sepanjang
hidupnya ia selalu mendampingi Rasulullah kemanapun beliau pergi dengan tekad
berjuang mempertahankan agama Islam dan meraih ridho Allah. Abu Lubabah wafat
pada saat kekhalifahan ustman bin Affan, semoga Allah meridhoinya.
Tafsir Al-Azhar
Ayat ini
menerangkan bahwa anak dan harta benda adalah fitnah, yang berarti percobaan.
Sebagai orang tua yang bertanggung jawab, kita merasa berbahagia sekali dengan
adanya anak keturunan. Siang malam kita berusaha mencari nafkah untuk anak,
termasuk istri. Artinya rumah tangga tanggungan kita. Untuk itu pun kita perlu
mempunyai kekayaan.
Kasih sayang
kepada anak adalah termasuk naluri asli manusia, bahkan dari naluri semua
mahkluk yang bernyawa. Sebab anak adalah pelanjut hidup dan penyambung turunan
. rasa bahagia di hari tua, kerelaan menghadapi maut, kalau anak sudah besar
dan memenuhi harapan, sebab itu tidaklah heran jika kita melihat setengah
manusia apabila telah beranak , tidak mengiri dan menganan lagi, terus
tertumpah segala kegiatan hidupnya untuk memikirkan anak. Mencari kekayaan
untuk memebela dan membelanjai anak. Orang memikirkan hari di depan anak. Siang
malam memikirkan anak. Dan anak.
Di dalam ayat
ini di sebutkan demikian juga di ayat ayat lain, anak terlebih dahulu dari pada
harta. Karena betapapun kaya melimpah limpah harta benda, kalau anak tidak ada,
hidup masih terasa kosong. Tetapi kalau anak telah ada, kitapun giat mencari
harta. Dan kalau anak dan harta telah ada, timbullah kebanggaan hidup dan
kebahagiaan. Di sinilah mulai datang fitnah, artinya cobaan. Orang bisa lupa
kepada yang member nikmat karena dipukau oleh nikmat itu sendiri. Ada sebuah
hadist yang di rawikan oleh Abu Ya’la dari Abu Said Al-Khudri :
Artinya : “anak adalah buah hati, dan
sesungguhnya dia adalah menimbulkan pengecut, menimbulkan bakhil dan
menimbulkan suka cita”.
“Buah hati
pengarang jantung”. Demikian ungkapan pepatah bangsa kita tentang anak.
Lantaran anak orang bisa jadi pengecut, takut berjuang, takut mati, takut
tampil untuk mengerjaan pekerjaan yang besar besar. Sebab anak mengikat kaki.
Anak menimbulkan bakhil, tidak mau berkorban, tidak mau berderma, tidak mau
membantu orang lain. Tetapi anakpun kerap membawa duka cita, setelah anak anak itu
jadi besar, akan ada saja ayah yang membuat hati ayah bundanya menjadi duka,
makan hati berulam jantung. Dan beranak berdua bertiga. Berlain-lain saja
perangai dan nasibnya. Gembiralah melihat yang jaya, pedih melihat yang gagal.
Oleh sebab anak dan harta itu, orang bisa mendapatkan fitnah dan cobaan besar.
Orang hanya bisa
menjerumuskan segenap hidupnya untuk anak dan harta. Ini adalah bahaya, karena
di samping kewajiban kepada anak dan mengumpulkan harta, kita tidak sekali-kali
tidak boleh lupa kewajiban kita kepada Allah. Tiap orang tua mengorbankan hidup
untuk anak, padahal anak anak itu akan besar, dewasa dan berumah tangga pula.
Mereka juga akan mempunyai anak, sebagaimana kita beranak mereka. Satu waktu
anak laki laki akan keluar dan perempuan akan mengikuti suaminya. Kalau umur
panjang, kita tinggal dalam kesepian, dan setelah itu mati. Apa bekal yang kita
bawa untuk menghadap Allah ? oleh sebab itu di dalam memelihara anak dan
mengumpulkan harta, ingatlah bahwa yang membalas budi kepada kita hanyalah
Allah saja. Anak dan harta kita tidak akan membantu kita. Pahala yang besar
hanyalah tersedia pada Allah.
Maka uruslah
harta dan anak itu baik baik dalam lingkaran mencari pahala yang tersedia pada
sisi Allah. Berikan kepada anak pendidikan yang baik, sehingga mereka menjadi
syafaat di akhirat. Belanjakanlah harta benda untuk amal yang baik, sehingga
menjadi bekal yang di dapati di akhirat. Kalau tidak demikian, maka anak dan
harta itu akan membawa celaka sendiri, sebab terpisah dari Allah. Anak dan harta
akan kita tinggalkan, atau akan meninggalkan kita, tetapi kita terang akan
kembali kepada Allah.
Bagaimanapun jua
tiap orang tua akan banga jika banyak hartanya, bagaimanapun jua tiap orang
bangga jika anak-anaknya “jadi orang” memenuhi apa yang dia harapkan. Tetapi
oleh karena keduanya pun dapat menjadi fitnah, artinya menjadi cobaan bagi
keteguhan Iman. Karena harta orang dapat berperangai mementingkan diri sendiri
dan jadi bakhil, tidak mau mengeluarkan mana yang telah masuk dan berat member
kepada orang lain. Dan karena anak orangpun bisa hanya terikat dengan anak
istri saja, tidak peduli kepada yang lain, hingga putus hubungan dengan
masyarakat.
Tafsir Al-Maraghi
Dan ketahuilah,
bahwa cobaan berupa harta dan anak anak, adalah cobaan besar yang tidak
diragukan bagi siapapun yang mau berpikir. Karena, harta itulah yang merupakan
poros penghidupan seseorang, dan sarana untuk mencapai segala keinginan dan
hasratnya, di samping menolak dari dirinya banyak hal yang tidak di inginkan.
Dan oleh karenanya, untuk memperolehnya orang siap menanggung kesusahan dan
menghadapi segala kesulitan, sementara itu syara mengharuskan manusia agar
senantiasa mencari yang halal dan menghindari yang haram, dan mendorongya agar
menyukai kehematan dan keseimbangan. Begitu pula untuk memelihara harta orang,
bersedia bersusah payah, sementara bahwa nafsunya saling bertempur dengan
nuraninya sendiri untuk menafkahkannya. Kemudian, syariatlah yang mewajibkan
adanya hak-hak tertentu dan tidak tertentu dalam harta yang harus dikeluarkan,
seperti zakat dan nafkah-nafkah lainnya, baik untuk anak-anak, istri dan
lain-lain.
Akan halnya anak
anak, emang cinta kita terhadap mereka adalah termasuk hal yang telah Allah
titipkan dalam fitrah kita. Anak-anak adalah buah hati dan belahan jiwa bagi
bapak ibu mereka. Oleh karena itu, cinta mereka terhadap anak sanggup membawa
mereka bersedia mengeluarkan segala yang ada demi anak, baik harta, atau bahkan
kesehatan dan kesenangan.
Menurut suatu riwayat dari Abu Sa’id
Al-Khudri yang diriwayatkan secara marfu dari Nabi SAW :
Artinya : “anak itu buah hati, dan
sesungguhnya dia adalah penyebab kekacauan hati, kekikiran dan kesedihan.”
Memang, cinta
kepada anak seringkali menyebabkan orang tua sanggup melakukan dosa dan
perbuatan jahat demi kebaikan mereka, membiayai hidup mereka dan mempersiapkan
kekayaan untuk mereka. Semua itu, kadang kadang menyebabkan seseorang menjadi
penakut ketika ia perlu membela kebenaran, umat atau agama. Dan menyebabkan dia
menjadi kikir untuk berzakat dan mengeluarkan nafkah nafkah wajib lainnya di
samping hak hak yang telah di tetapkan. Demikian pula menyebabkan dia sedih
atas yang mati di antara mereka, lalu membenci Tuhan dan menentangnya, atau
macam-macam kemaksiatan lainnya seperti meratap-ratap yang biasa di lakukan
oleh kaum ibu, merobek-robek baju mereka dan memukuli wajah mereka sendiri.
Jadi fitrah yang
ditimbulkan oleh harta, sehingga seseorang mau saja mencari harta haram dan
mengambil harta orang lain secara bathil demi anak. Maka wajib bagi orang
mukmin memelihara diri dari kedua macam fitnah itu memelihara diri dari yang
pertama dengan cara member harta yang halal lalu menafkahkannya pada jalan
kebajikan dan kebenaran. Kemudian, menjaga diri dari bahaya fitnah yang kedua,
baik di segi yang ada kaitannya dengan harta atau lainnya, sesuai dengan
petunjuk hadits, atau segi kejiwaan agama, seperti mendidik anak anak dengan
sebaik-baiknya, melatihlah mereka melaksanakan agama dan sifat-sifat utama,
serta menghindarkan mereka dari perbuatan maksiat dan tercela.
Dan sesungguhnya
di sisi Allah-lah pahala yang besar. Maka dari itu, dengan memperthatikan hukum
hukum agamaNya dalam soal harta dan anak-anak, lebih kamu sukai dari pada
kenikmatan yang kamu peroleh dari keduanya, yang barangkali tak sempat kamu
nikmati selagi di dunia.
Sesungguhnya
kecintaanmu kepada harta benda dan anak anak adalah cobaan dan ujian, sebab
seringkali hal itu menyebabkan perbuatan dosa dan pelanggaran terhadap apa apa
yang terlarang.
Harta benda
didahulukan atas anak anak, karena harta benda merupakan fitnah paling besar,
sebagaimana di firmankan : “ketahuilah sesungguhnya manusia benar benar
melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.
Telah di
keluarkan oleh Ahmad, At Tabrani, Al Hakim dan At Tarmizi dari Ka’ab bin Iyad
ia berkata, aku mendengar Rasulullah mengatakan sesungguhnya setiap umat
mempunyai cobaan dan cobaan umatku adalah harta benda.
Bagi orang yang
lebih mencintai dan menaati Nya atas kecintaan dan ketaatannya kepada anak anak,
oleh karena itu, jangan pula kamu melakukan kemaksiatan karena anak-anak dan
jangan pula kamu melebihkan anak-anak itu di atas pahala yang besar dan yang
ada di sisi Allah. Harta meliputi segala sesuatu yang di gunakan manusia dalam
kehidupan sehari-hari (duniawi) seperti uang, tanah, kendaraan, rumah,
perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikanan, kelautan
dan pakaian termasuk dalam kategori al amwal. Islam sebagai agama yang benar
sempurna memandang harta tidak lebih sekedar anugerah Allah Swt yang di
titipkan kepada manusia.
Oleh karena itu
di dalam memperoleh harta dengan bekerja. Dalam artian, terdapat keseimbangan
usaha manusia dalam mendapatkan materi agar sesuai dengan harapan yang di
cita-citakan sebagai khalifah di bumi. Keseimbangan tersebut baik terhadap
Tuhan. Dalam penjelasan ini mengenai anak dan harga sebagai titipan dari Allah
sehingga kit sebagai muslim haru menjaga keduanya dengan baik agar bisa menjadi
maslahat bagi yang lainnya.
Tafsir Al-Kabir
Anak dan harta
merupakan fitnah, maka Allah memerintahkan kita kita agar senantiasa bertaqwa
dan taat kepada Allah setelah menyebutkan hakikat fitnah keduanya, “maka
bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah
dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Allah menegaskan akan kemungkinan
sebagian keluarga berbalik menjadi musuh bagi seseorang. Harta dan anak
merupakan objek ujian dan cobaan Allah Swt yang dapat saja menghalang seseorang
menunaikan amanah Allah dan Rasulnya dengan baik. Padahal kehidupan yang mulia
adalah kehidupan yang menuntut seseorang agar mampu menunaikan segala amanah
kehidupan yang diembannya.
Maka melalui
ayat ini Allah Swt ingin member peringatan kepada semua khalifahnya agar fitnah
harta dan anak tidak melemahkannya dalam mengemban amanah kehidupan dan perjuangan
agar meraih kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Dan inilah titik lemah
manusia di depan harta dan anak-anaknya, sehingga peringatan Allah akan
besarnya fitnah harta dan anak di iringi dengan kabar gembira akan pahala dan
keutamaan yang akan di raih melalui sarana harta dan anak.
Sesudah itu
Allah memperingatkan kaum Muslimin agar supaya mereka mengetahui bahwasannya
harta dan anak anak mereka itu adalah cobaan. Menganugerahkan harta benda dan
anak-anak kepada kaum muslimin sebagai ujian bagi mereka itu apakah harta dan
anak anak banyak itu menambah ketakwaan kepada Allah, mensyukuri nikmat serta
melaksanakan hak dan kewajiban seperti yang telah di tentukan oleh Allah.
Apabila seorang muslim di beri kekayaan harta oleh Allah, kemudian ia menyukuri
Allah atas kekayaan itu dengan membelanjakan menurut ketentuan ketentuan Allah,
berarti memenuhi kewajiban kewajiban yang telah di tentukan Allah terhadap
mereka. Tetapi apabila dengan kekayaan yang mereka peroleh kemudian mereka
bertambah tamak dan berusaha menambah kekayaannya dengan jalan yang tidak halal
serta enggan menafkahkan hartanya berarti orang yang demikian ini adalah orang
yang mengingkari nikmat Allah. Demikian juga kehidupan manusia dalam masyarakat
harta benda adalah merupakan kebanggan dalam kehidupan dunia. Sering orang lupa
bahwa harta benda itu hanyalah amanah dari Allah yang di titipkan kepada
mereka, sehingga mereka kebanyakan tertarik kepada harta kekayaan itu dan
melupakan kewajiban kewajiban yang harus di laksanakan.
Demikian juga anak adalah salah satu
kesenangan hidup dan menjadi kebanggan
seseorang. Hal ini adalah merupakan cobaan pula terhadap kaum muslimin. Anak
itu harus di didik dengan pendidan yang baik sehingga menjadi anak yang soleh. Maka
apabila seseorang berhasil mendidik anak-anaknya menurut tuntutan agama,
berarti anak itu menjadi rahmat yang tak ternilai harganya. Akan tetapi bila
anak itu di biarkan sehingga menjadi anak yang menuruti hawa nafsunya, tidak
mau melaksanakan perintah perintah agama maka hal ini menjadi bencana. Tidak
saja kepada kedua orang tuanya bahkan seluruhnya, oleh sebab itu wajiblah bagi
seorang muslim memelihara diri dari kedua cobaan tersebut. Hendaklah dia
mengendalikan harta dan anak untuk di pergunakan dan di didik sesuai dengan
tuntutan agama serta menjauhkan diri dari bencana yang di timbulkan oleh harta
dan anak tadi. Di akhir ayat Allah Swt menegaskan bahwa sesungguhnya di sisi
Allah lah pahala yang besar. Maksudnya ialah barang siapa yang mengutamakan
ialah barang siapa yang mengutamakan keridaan Allah dari pada mencintai harta
dan anak-anaknya, maka ia akan mendapat pahala yang besar dari sisi Allah.
Komitmen
terhadap iman menjadikan seseorang komitmen dalam menjaga amanat. Karena iman
tidak akan bisa bergabung dengan pengkhianatan. Berkhianat merupakan perilaku
buruk dan kotor, karna itu barangsiapa yang melakukan pengkianatan dengan
sadar, maka balasan dan siksanya sangat pedih. Kecintaan yang berlebih lebihan
terhadap harta dan anak anak mengakibatkan manusia melakukan pengkhianatan, namun
kecintaan tersebut dalam batas wajar terhadap anak anak mereka, maka hal ini
adalah suatu perkara alami dan tidak sampai mengakibatkan manusia berkhianat.
Harta dan anak anak memili gaya tariknya masing-masing, bila diabdningkan
dengan kelembutan dan anugerah Allah tidak ada apa apanya, karena itulah kita
tidak boleh menjauhkan diri dari Allah Swt karena harta dan anak. (dan
ketahuilah bahwa harta kalian dan anak anak kalian itu hanyalah sebagai cobaan)
buat kalian yang menghambat kalian dari perkara perkara akhirat (dan
sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar) maka janganlah sekali-kali
kalian mau berbuat khianat demi untuk mereka. Ketahuilah pula wahai orang orang
yang benar benar beriman, bahwa cobaan hidup itu di antaranya di sebabka oleh
cinta yang berlebihan pada anak anak kalian. Maka, janganlah cinta pada anak
dan harta benda itu melebihi cinta kalian pada Allah, karena hal yang demikian
itu akan merusak urusan kalian. Dan ketahuilah bahwa pahala Allah jauh lebih
besar dari pada harta dunia dan keturunan.
Terdapat
beberapa hikmah yang dapat di petik dari ayat di atas di antara hikmah
hikmahnya adalah sebagai berikut :
Bahwa sebagai
orang yang beriman, kita dilarang berkhianat, terlebih lebih mengkhianati Allah
dan Rasulnya. Khianat di atas digambarkan
dalam dua jenis. Pertama pengkhianatan khusus yaitu mengkhianati Allah dan
Rasulnya. Khianat kepada Allah dan Rasulullah terjadi pada kisah Abu Lubabah
yang berkhianat menjadi latar belakangnya ayat ini. Adapun khianat yang kedua
yaitu adalah khianat umum yaitu khianat terhadap segala hal yang diamanahkan
kepada kita, janji, jabatan, keluarga, harta dan rahasia. Penyebab terjadinya
sifat khianat umumnya adalah faktor harta dan keturunan, seperti Abu Lubabah
yang memang secara histori memiliki hubungan sangat baik dengan Yahudi Bani
Quraidzah, bahkan beliau menitipkan anak anak dan juga harta di Yahudi Bani
Quraidzah. Kedekatan hubungan inilah yang kemudian yang membuat Abu Lubabah
tega mengkhianati Allah dan Rasulullah Saw, padahal tidak seharusnya beliau
memberitahukan itu.
No comments:
Post a Comment