Thursday, March 17, 2016

INDAH ZUMROTUN NA’IMAH
1414231049/PS 2/ SMSTR 4
TAFSIR AYAT EKONOMI


Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-isra ayat 29
Tentang Distribusi Harta
Ÿwur ö@yèøgrB x8ytƒ »'s!qè=øótB 4n<Î) y7É)ãZãã Ÿwur $ygôÜÝ¡ö6s? ¨@ä. ÅÝó¡t6ø9$# yãèø)tFsù $YBqè=tB #·qÝ¡øt¤C ÇËÒÈ  
29. Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya[852] karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
 Maksudnya: jangan kamu terlalu kikir, dan jangan pula terlalu Pemurah.
larangan pelit ini oleh al qur’an di simbolkan dengan perilaku orang pelit seolah olah ia tidak merasa puas dengan Cuma menggengam jari-jemari tanganya untuk tidak mau mmberikan sesuatu itu,sampai-sampai ia angkat kedua tangannya lalu ia letakan (di belenggukan) di atas lehernya.pada sat yang bersamaan ,alloh juga melarang kamu mengulurkan/membentangkan tanganmu dengan bentangan yang tanpa batas;maksudnya di arang terlalu royal atau boros dalam hal distribusi .sehingga ia sendiri ,keluarga dan /pihak yang berhak lainya mengalami kesulitan untuk mendapatkan hak-haknyasebab,sikap terlalu pelit dan terlalu boros (terlalu royal) dalam mendistribusikan ekonomi dan keuangan sama tidak baiknya . bagaimanapun,perilaku pelit maupun boros ,itu pada gilirannya menyebabkan pelakunya menjadi orang yang tercela  tau di cela ,serta bagaimanapun pada ahirnya ia akan menyesali perbuatannya tersebut.

ان ربك يبسط ا لرزق لمن يشاء ويقدر

Sesungguhnya rabb mu akan memudahkan/melapangkan rizki bagi siapa saja yang dia kehendaki;dan dia tentukan kadar banyaknya;karena sessungguhnya alloh itu adalah sangat mengetahui lagi maha melihat segala tintak tanduk hambanya.
Maksudnya sessungguhnya rabb mu akan meluaskan atau melapangkan rizki kepada siapa saja yang dia kehendaki;dalam rangka menguji coba orang itu apakah dia bersyukur atau malah menjadi kufur?alloh jugalah yang menentukan dalam arti membatasi atau bahkan menyempitkan rizki seseorang dalam konteks pengujian apakah ia bersabar atau bahkan ia berkeluh kesah dan malah merasa tidak suka/ puas dengan itu .menurut ilmu dan kebijaksanaannya mengingat manusia itu sebagian ada yang tidak berlaku patut ,kecuali dengan keluasan rezekinya,sementata sebagian yang lain ada juga yang tidak dapat berbuat maslahat ,kecuali dengan kesempitan rezekinya
. انه كا ن بعبا دهههه خبيرا بصير

Itulah sebabnya mengapa alloh daalam memperlakukan hambanya itu ada yang lapang ada yang sempit menurut ilmu dan kebijaksanaan nya .
Mengingat manusia itu sendiri sebagian ada yang tidak berlaku patut,kecuali dengan keluasan rezekinya ;sementara sebagian yang lain ada juga yang tidak berbuat maslahat,kecuali dengan kesempitan rizkinya.

Allah Swt. memerintahkan (kepada hamba-hamba-Nya) agar bersikap ekonomis dalam kehidupan, dan mencela sifat kikir; serta dalam waktuyang sama melarang sifat berlebihan.



Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu. (Al-Isra: 29)
Dengan kata lain, janganlah kamu menjadi orang kikir dan selalu menolak orang yang meminta serta tidak pernah sekalipun memberikan sesuatukepada seseorang. Orang-orang Yahudi, semoga laknat Allah menimpa mereka, mengatakan bahwa tangan Allah terbelenggu. Maksud mereka ialah Allah bersifat kikir, padahal kenyataannya Allah Mahatinggi lagi Mahasuci, Mahamulia dan Maha Pemberi.
Firman Allah Swt.:


dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya. (Al-Isra: 29)
Artinya janganlah kamu berlebihan dalam membelanjakan hartamu dengan cara memberi di luar kemampuanmu dan mengeluarkan biaya lebih dari pemasukanmu.
 



karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (Al-Isra: 29)
Ungkapan ini termasuk ke dalam versi lifwan nasyr, yakni gabungan dari beberapa penjelasan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa jika kamu kikir, maka kamu akan menjadi orang yang tercela; orang-orang akan mencela dan mencacimu serta tidak mau bergaul denganmu. Seperti yang dikatakan oleh Zuhair ibnu Abu Sulma dalam Mu'aliaqat-Nya yang terkenal itu, yaitu:
 




Dan manakala kamu membuka tanganmu lebar-lebar dengan memberi di luar kemampuanmu, maka kamu akan menyesal karena tidak punya sesuatu lagi yang akan kamu belanjakan Perihalnya sama dengan hewan yang tidak kuat lagi melakukan perjalanan, maka ia berhenti karena lemah dan tidak mampu. Hewan yang berspesifikasi demikian dinamakan hasir,yakni hewan yang kelelahan.
Yang dimaksud dengan hasir ialah lemah, tidak dapat melihat adanya cela.Makna yang dimaksud oleh ayat ini ditafsirkan dengan pengertian kikir dan berlebih-lebihan, menurut Ibnu Abbas, Al-Hasan, Qatadah, Ibnu Juraij, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui hadis Abuz Zanad, dari Ai-A'raj, dari Abu Hurairah, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
 








Perumpamaan orang yang kikir dan orang yang dermawan ialah sama dengan dua orang lelaki yang keduanya memakai jubah besi mulai dari bagian dada sampai ke bagian bawah lehernya. Adapun orang yang dermawan, maka tidak sekalikali ia mengeluarkan nafkah melainkan jubah besinya itu terasa makin lebar atau longgar sehingga semua jarinya tersembunyi dan tidak kelihatan. Adapun orang yang kikir,maka tidak sekali-kali dia bermaksud hendak membelanjakan sesuatu melainkan setiap lekukan dari jubah besinya menempel pada tempatnya; sedangkan dia berupaya untuk melonggarkannya, tetapi baju besinya tidak mau longgar.

Demikianlah menurut lafaz hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab zakatnya.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui Hisyam ibnu Urwah,dari istrinya (yaitu Fatimah bintil Munzir), dari neneknya (yaitu Asma binti Abu Bakar) yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:



 





Berinfaklah dengan cara anu dan anu dan anu, dan janganlah kamu mengingat-ingatnya, karena Allah akan membalasmu dengan perlakuan yang sama. Dan janganlah kamumenghitung-hitungnya, karena Allah akan membalas menghitung-hitungnya pula.
Allah berfirman seraya memerintahkan untuk berlaku sederhana dalam menjalani hidup, dan mencela sifat kikir sekaligus melarang bersikap berlebih-lebihan.
Walaa taj’al yadaka maghluulatan ilaa ‘unuqika (“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelengggu pada lehermu.”) Maksudnya, janganlah kamu kikir dan bakhil, tidak pernah memberikan sesuatu pun kepada seseorang.
Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi -la’natullah `alaihim-: “Tangan Allah itu terbelenggu.” Yang mereka maksudkan dengan kalimat itu adalah bahwa Allah itu kikir. Mahatinggi Allah dan Mahasuci serta Mahapemurah lagi Maha-dermawan.
Dan firman-Nya: walaa tabshuth-Haa kullal bashthi (“Dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya.”) Maksudnya, janganlah kamu berlebihan dalam berinfak, di mana kamu memberi di luar kemampuanmu dan mengeluarkan pengeluaran yang lebih banyak daripada pemasukan. Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Artinya, jika kamu kikir, niscaya kamu akan menjadi tercela yang senantiasa mendapat celaan dan hinaan dari orang-orang serta tidak akan dihargai dan mereka tidak memerlukanmu lagi.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Zuhair bin Abi Salma, dalam mu’allaqatnya:
“Barangsiapa yang mempunyai banyak harta lalu ia kikir dengan kekayaannya itu,niscaya ia akan diabaikan kaumnya, dan mendapat hinaan.”
Bila kamu mengulurkan tanganmu di luar kemampuanmu, maka kamu akan hidup tanpa sesuatu apapun yang dapat kamu nafkahkan, sehingga kamu menjadi seperti hasir, yaitu binatang yang sudah tidak mampu berjalan, yang berhenti, lemah dan tiada daya. Demikianlah yang dinamakan hasir. Ayat di atas ditafsirkan oleh Ibnu `Abbas, al-Hasan, Qatadah, Ibnu juraij, Ibnu Zaid dan lain-lain, bahwa yang dimaksudkan di sini adalah sifat kikir dan sifat berlebih-lebihan.
Dan dalam kitab ash-Shahihain diriwayatkan dari Asma’ binti Abi Bakar, ia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Berinfaklah kamu begini, begini, dan begini, dan janganlah kamu kikir sehingga Allah pun akan kikir kepadamu, serta janganlah pula kamu enggan memberi orang sehingga Dia pun akan menahan pemberian kepadamu.”
Dalam lafazh yang lain disebutkan: “Dan janganlah kamu menghitung-hitung (pemberian) sehingga Allah pun akan menghitung-hitung (pemberian) kepadamu.”
Dan dalam kitab Shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah pemah berkata kepadaku, ‘Berinfaklah, maka Aku akan memberi infak kepadamu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Firman-Nya: inna rabbaka yabsuthur rizqa limay yasyaa-u wa yaqdiru (“Sesungguhnya Rabbmu melapangkan rizki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya.”) Hal itu sebagai pemberitahuan bahwa Dia adalah sang Pemberi rizki, Pengambil rizki, Penyalur rizki, serta pengendali segala urusan makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian, Dia akan menjadikan kaya siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan akan menjadikan miskin siapa saja yang dikehendaki-Nya. Karena yang demikian itu terdapat hikmah.
Oleh karena itu, Dia berfirman: innaHuu kaana bi-‘ibaadiHii khabiiram bashiiran (“Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Mahamelihat akan hamba-hamba-Nya.”) Yakni, Mahamelihat siapa orang yang berhak memperoleh kekayaan dan siapa juga orang-orang yang layak hidup miskin.
Janganlah kamu enggan mengulurkan tangan untuk menginfakkan harta dalam kebaikan, seolah-olah tanganmu terikat di leher dengan belenggu yang terbuat dari besi sehingga tak bisa terulur. Tetapi janganlah pula kamu terlalu mengulurkan tanganmu untuk berlebih-lebihan dalam berinfak. Sebab dengan begitu kamu akan menjadi tercela dan menyesal karena tidak berinfak atau kehabisan harta karena boros dan berlebih-lebihan.
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya. Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (17: 29)
Sebelumnya telah disebutkan bagaimana Allah begitu menekankan soal berbuat baik kepada kedua orang tua, famili dan orang-orang yang tidak mampu. Sementara ayat ini menyebutkan, dalam berinfaq dan mengeluarkan sedekah hendaknya manusia bersikap tidak ekstrim; tidak terlalu kikir di mana apa yang dimilikinya disimpan rapi-rapi. Tapi juga tidak terlalu dermawan, sehingga apa saja yang dimilikinya harus dibagi-bagikan kepada orang lain yang pada akhirnya malah menyusahkannya. Islam adalah agama yang selalu menekankan keadilan dan melarang setiap sikap ekstrim baik kiri maupun kanan bahkan dalam perbuatan baik sekalipun.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sebagaimana kikir adalah perilaku yang tidak diterima, sikap berlebihan dalam berinfak juga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
2. Hasil setiap pemborosan tetap buruk dalam pandangan Islam sekalipun dalam perbuatan baik.
dalam konsumsi (mengeluarkan Harta) tidak boleh kikir dan tidak boleh berlebih-lebihan (boros). Hal ini berarti konsumsi tidak hanya selain untuk kebutuhan duniawi tapi juga untuk memenuhi kebutuhan akhirat. Konsumsi disini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi tapi juga harus ingat kebutuhan orang lain. Setiap orang mempunyai tujuan masing-masing dalam melakukan konsumsi. Hal ini terlihat jelas secara teoritis tujuan konsumsi Islam dan konsumsi konvensional. Sebagai muslim, manusia memiliki tujuan konsumsi, yaitu (Hadi, 2012) Kebaikan dan tuntutan jiwa yang mulia harus direalisasikan untuk mendapatkan pahala dari Allah. Allah telah memberikan arahan kepada umatnya agar penggunaan dana sebagai bagian dari amal sholeh dan mengharap mendapat ridha dari tuhan Untuk mewujudkan kerjasama antar anggota masyarakat dan menyediakan jaminan sosial Memberikan rasa tanggung jawab pribadi terhadap kemakmuran diri, keluarga dan masyarakat sebagai bagian aktivitas dan dinamisasi ekonomi Untuk meminimalkan pemerasan dengan memcari sumber-sumber pendapatan Negara memberikan perlindungan dan bertanggung jawab terhadap warganya yang ekonomi rendah. Pada surat Al Isra ayat 29, Konsumsi dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa norma etika. Menurut Yusuf Qardhawi yang dikutip oleh Winario, aktivitas konsumsi dilandasi dengan dua norma dasar. Pertama, dalam membelanjakan harta harus dalam kategori kebaikan dan menjauhi sikap kikir. Hal ini menjadi dasar bahwa harta yang diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun atau sekedar dihitung tetapi digunakan untuk kemaslahatan umat. Harta yang dititipkan kepada manusia bukan milik pribadinya tetapi ada hak orang lain didalamnya. Hal ini membuat manusia diharuskan untuk mengeluarkan zakat, infaq, shadaqah dan wakaf. Kedua, dalam menggunakan harta tidak melakukan kemubadziran. Hal ini membuat manusia dilarang untuk bersikap boros atau berlebih-lebihan. (Winario, n.d) Dalam mengeluarkan hartanya, manusia harus memiliki pengertian terhadap kebutuhan yang paling penting untuk pribadi dan keluarga. Meskipun dalam ayat di atas melarang adanya sifat kikir, tetapi pada ayat diatas juga melarang adanya pemborosan dalam hal penggunaan harta untuk konsumtif dan dalam memberikan sebagian hartanya sebagai zakat, infak, sadaqah dan wakaf. Jadi, manusia harus mengerti adanya pola keseimbangan dalam penggunaan hartanya. Menurut Ibawa, banyak yang harus diperhatikan dalam konsumsi yaitu kewajiban makan yang halal dan larangan makan yang haram, larangan hidup pemborosan, larangan hidup mewah, larangan kikir dan hidup hemat dan sederhana. (Ibawa, n.d.) Menurut Manan, seperti yang dikutip Wigati, ada lima prinsip konsumsi Islam, yaitu: (Wigati, 2011) Prinsip keadilan. Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Prinsip kebersihan. Maksudnya adalah bahwa makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Prinsip kesederhanaan. Prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makan dan minuman yang tidak berlebihan. Prinsip kemurahan Hati. Dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhannya Prinsip moralitas. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah SWT. sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan. Pada intinya, dalam menggunakan harta (konsumsi) harus menggunakan norma etika, yaitu tidak bersifat kikir dan tidak boros. Manusia harus memiliki pengertian mengenai dirinya sendiri mengenai kuantitas dan kualitas kebutuhan yang harus dipenuhi. Di sisi lain, manusia juga harus mempertimbangkan kebutuhan orang lain karena ada hak orang lain dalam hartanya. Namun, harus dipikirkan pula bahwa pemborosan itu tidak hanya dalam hal konsumtif tetapi juga memikirkan seberapa besar harta yang diberikan untuk orang lain.

Adapun keterangan-keterangan yang didapat dari hadis-hadis Nabi dapat dikemukakan sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan ahli hadis yang lain, dari Ibnu Abbas ia berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Tidak akan menjadi miskin orang yang berhemat".
Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas, Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw bersabda: Berlaku hemat dalam membelanjakan harta, separoh dari penghidupan.
Allah berfirman seraya memerintahkan untuk berlaku sederhana dalam menjalani hidup, dan mencela sifat kikir sekaligus melarang bersikap berlebih-lebihan.
Walaa taj’al yadaka maghluulatan ilaa ‘unuqika (“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelengggu pada lehermu.”) Maksudnya, janganlah kamu kikir dan bakhil, tidak pernah memberikan sesuatu pun kepada seseorang.
Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi -la’natullah `alaihim-: “Tangan Allah itu terbelenggu.” Yang mereka maksudkan dengan kalimat itu adalah bahwa Allah itu kikir. Mahatinggi Allah dan Mahasuci serta Mahapemurah lagi Maha-dermawan.
Dan firman-Nya: walaa tabshuth-Haa kullal bashthi (“Dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya.”) Maksudnya, janganlah kamu berlebihan dalam berinfak, di mana kamu memberi di luar kemampuanmu dan mengeluarkan pengeluaran yang lebih banyak daripada pemasukan. Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Artinya, jika kamu kikir, niscaya kamu akan menjadi tercela yang senantiasa mendapat celaan dan hinaan dari orang-orang serta tidak akan dihargai dan mereka tidak memerlukanmu lagi.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Zuhair bin Abi Salma, dalam mu’allaqatnya:
“Barangsiapa yang mempunyai banyak harta lalu ia kikir dengan kekayaannya itu,niscaya ia akan diabaikan kaumnya, dan mendapat hinaan.”
Bila kamu mengulurkan tanganmu di luar kemampuanmu, maka kamu akan hidup tanpa sesuatu apapun yang dapat kamu nafkahkan, sehingga kamu menjadi seperti hasir, yaitu binatang yang sudah tidak mampu berjalan, yang berhenti, lemah dan tiada daya. Demikianlah yang dinamakan hasir. Ayat di atas ditafsirkan oleh Ibnu `Abbas, al-Hasan, Qatadah, Ibnu juraij, Ibnu Zaid dan lain-lain, bahwa yang dimaksudkan di sini adalah sifat kikir dan sifat berlebih-lebihan.
Seperti yang disampaikan sebelumnya dalam surat al-isra ayat 29 yang berbunyi:
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺠْﻌَﻞْ ﻳَﺪَﻙَ ﻣَﻐْﻠُﻮﻟَﺔً ﺇِﻟَﻰ ﻋُﻨُﻘِﻚَ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺒْﺴُﻄْﻬَﺎ
ﻛُﻞَّ ﺍﻟْﺒَﺴْﻂِ ﻓَﺘَﻘْﻌُﺪَ ﻣَﻠُﻮﻣًﺎ ﻣَﺤْﺴُﻮﺭًﺍ (29)
Kemudian Allah SWT menjelaskan cara-cara yang baik dalam membelanjakan harta, yaitu Allah SWT melarang orang menjadikan tangannya terbelenggu pada leher. Ungkapan ini adalah lazim dipergunakan oleh orang-orang Arab, yang berarti larangan berlaku bakhil. Allah melarang orang-orang yang bakhil, sehingga enggan memberikan harta kepada orang lain, walaupun sedikit. Sebaliknya Allah juga melarang orang yang terlalu mengulurkan tangan, ungkapan serupa ini berarti melarang orang yang berlaku boros membelanjakan harta, sehingga belanja yang dihamburkannya melebihi kemampuan yang dimilikinya. Akibat orang yang semacam itu akan menjadi tercela, dan dicemoohkan oleh handai-tolan serta kerabatnya dan menjadi orang yang menyesal karena kebiasaannya itu akan mengakibatkan dia tidak mempunyai apa-apa.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa cara yang baik dalam membelanjakan harta ialah membelanjakannya dengan cara yang layak dan wajar, tidak terlalu bakhil dan tidak terlalu boros.
Adapun keterangan-keterangan yang didapat dari hadis-hadis Nabi dapat dikemukakan sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan ahli hadis yang lain, dari Ibnu Abbas ia berkata: "Rasulullah saw bersabda:
ﻣﺎ ﻋﺎﻝ ﻣﻦ ﺍﻗﺘﺼﺪ
Artinya:
"Tidak akan menjadi miskin orang yang berhemat".
Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas, Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw bersabda:
ﺍﻹﻗﺘﺼﺎﺩ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻔﻘﺔ ﻧﺼﻒ ﺍﻟﻤﻌﻴﺸﺔ
Artinya:
Berlaku hemat dalam membelanjakan harta, separoh dari penghidupan.
Dan dalam kitab ash-Shahihain diriwayatkan dari Asma’ binti Abi Bakar, ia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Berinfaklah kamu begini, begini, dan begini, dan janganlah kamu kikir sehingga Allah pun akan kikir kepadamu, serta janganlah pula kamu enggan memberi orang sehingga Dia pun akan menahan pemberian kepadamu.”
Dalam lafazh yang lain disebutkan: “Dan janganlah kamu menghitung-hitung (pemberian) sehingga Allah pun akan menghitung-hitung (pemberian) kepadamu.”
Dan dalam kitab Shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah pemah berkata kepadaku, ‘Berinfaklah, maka Aku akan memberi infak kepadamu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Firman-Nya: inna rabbaka yabsuthur rizqa limay yasyaa-u wa yaqdiru (“Sesungguhnya Rabbmu melapangkan rizki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya.”) Hal itu sebagai pemberitahuan bahwa Dia adalah sang Pemberi rizki, Pengambil rizki, Penyalur rizki, serta pengendali segala urusan makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian, Dia akan menjadikan kaya siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan akan menjadikan miskin siapa saja yang dikehendaki-Nya. Karena yang demikian itu terdapat hikmah.
Janganlah terlalu berlebihan dalam berinfak, di mana seseorang memberi di luar kemampuannya dan mengeluarkan pengeluaran yang lebih banyak daripada pemasukan. Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Artinya, jika kamu kikir, niscaya kamu akan menjadi tercela yang senantiasa mendapat celaan dan hinaan dari orang-orang serta tidak akan di hargai dan mereka tidak memerlukanmu lagi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Zubair bin Abi Salma dalam mu’allaqatnya:
“Barangsiapa yang mempunyai banyak harta lalu ia kikir dengan kekayaannya itu, niscaya ia akan diabaikan kaumnya, dan mendapat hinaan.”
Bila kamu mengulurkan tanganmu di luar kemampuanmu, maka kamu akan hidup tanpa sesuatu apapun yang dapat kamu nafkahkan, sehingga kamu menjadi seperti hasir, yaitu binatang yang sudah tidak mampu berjalan yang berhenti lemah dan tiada daya. Demikianlah yang dinamakan hasir. Ayat di atas ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, Qatadah, Ibnu Juraij, Ibnu Zaid dan lain-lain, bahwa yang dimaksudkan di sini adalah sifat kikir dan sifat berlebih-lebihan.
Dan dalam kitab ash-Shahihain diriwayatkan dari Asma’ binti Abi Bakar, ia bercerita, Rasulullah bersabda:
“Berinfaklah, kamu begini, begini dan begini, dan janganlah kamu kikir sehingga Allah pun akan kikir kepadamu, serta janganlah pula kamu enggan memberi orang sehingga Allah pun akan menahan pemberian kepadamu. [Dan janganlah kamu menghitung-hitung pemberian sehingga Allah pun akan menghitung-hitung (pemberian) kepadamu.”
Dalam kitab shahib mulim disebutkan dari Abu Hurairah ia bercerita Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah pernah berkata kepadaku,”Berinfaklah, maka Aku akan memberi infak kepadamu.” (HR Bukhari dan Muslim)
¨bÎ) y7­u äÝÝ¡ö6tƒ s-øÎh9$# `yJÏ9 âä!$t±o âÏø)tƒur
Sesungguhnya Rabb-mu akan memudahkan/melapangkan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki; dan Dia tentukan kadar-banyaknya; karena sesungguhnya Allah itu adalah sangat mengetahui lagi Maha Melihat segala tidak tanduk hamba-Nya.
Maksudnya, sesungguhnya Allah akan meluaskan dan melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki, dalam rangka menguji coba orang itu apakah ia bersyukur atau malahan menjadi kufur? Allah jugalah yang menentukan dalam arti membatasi bahkan menyempitkan rezeki seorang dalam konteks pengujuan apakah ia akan bersabar atau bahkan ia keluh-kesah dan malahan merasa tidak suka/puas dengan itu. Mengingat manusia itu sebagian ada yang tidak berlaku patut, kecuali dengan keluasan rezekinya, sementara sebagian yang lain ada juga yang tidak dapat berbuat maslahat, kecuali dengan kesempitan rezekinya.
¼çm¯RÎ) tb%x. ¾ÍnÏŠ$t6ÏèÎ #MŽÎ7yz #ZŽÅÁt
Itulah sebabnya mengapa Allah dalam memperlakukan hamba-Nya itu ada yang lapang dan ada yang sempit menurut ilmu dan kebijaksanaan-Nya.



Daftar Pustaka
Tafsir Ibnu Katsir Juz 15
https://alquranmulia.wordpress.com/2015/09/13/tafsir-ibnu-katsir-surah-an-israa-ayat-29-30/ Diposting Tgl 15/03/2016 Pukul :20.00


No comments:

Post a Comment