Thursday, March 17, 2016

Nama             : Mindiya Nosi Ika Vioni
Nim                 : 1414231250
Jur/Smt          : Perbankan Syariah2 / 4
SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 168
  يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ [٢:١٦٨]
      Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi suci dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
      Melalui ayat ini Allah swt menyeru kepada kita semua agar kita memakan makanan yang halal yang sudah disediakan di muka bumi ini, carilah rezeki dengan cara yang halal yang diridoi Allah , sehingga apa yang didapat itu akan membawa keberkahan,dan mempermudah mnedapatkan rahmat Allah.
      Segala sesuatu yang diperoleh dengan cara yang menyimpang dari aturan main Allah dan rasulNya, maka akan mengandung racun, apabila dibelikan makanan, makanan tersebut mengandung racun. Makanan tersebut akan menjadi sel sel darah dan mengalir ke seluruh tubuh yang akhirnya bersarang di hati. Akibatnya hati menjadi kotor, sehingga akan menimbulkan penyakit di tubuh dan kalau bermohon kepada Allah akan sulit dikabulkan.
      Akibat yang ditimbulkan dari makanan yang berpenyakit ( cara yang tidak halal ), jika terkena pada fisik, maka akan jadi penyakit yang susah disembuhkan. Apabila ingin sembuh maka cara berobatnya harus dengan dua cara yaitu berobat ke dokter dan bertobat kepada Allah. Cara inipun tidak menjamin kesembuhannya. Hal itu tergantung bagaimana kehendak Allah SWT.
      Barangsiapa yang tidak mematuhi seruan Allah melalui ayat ini maka telah mengikuti lang-langkah syaitan. Sedangkan syaitan itu merupakan musuh yang nyata , selalu berbuat dusta , selalu mengajak berbuat keji dan munkar.
      Syaitan  itu ada yang nampak dan ada yang tidak nampak. Yang tidak nampak adanya di dalam hati manusia . Kerjaannya adalah membisikkan ke dalam hati manusia untuk berbuat keji dan munkar, berbuat zalim terhadap sesamanya . Sedangkan syaitan yang nampak adalah diri manusia itu sendiri dalam wujud prilakunya itu menyimpang dari aturan main Allah dan Rasulnya.
A.    Asbabun Nuzul Q.S Al-Baqarah Ayat 168
Penjelasan tentang makanan-makanan yang diharamkan tersebut dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat jahiliyah, baik di mekah maupun di madinah, yang menakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alas an bahwa yang disembelih atau dicabut nyawanya oleh manusia halal maka mengapa haram yang dicabut sendiri nyawanya oleh Allah.
Penjelasan tentang keburukan ini dilanjutkan dengan uraian ulang tentang merek yang menyembunyikan kebenaran, baik menyangkut kebaikan Nabi Muhammad, urusan kiblat, haji dan umroh, mupun menyembunyikan atau akan menyembunyikan tuntunan Allah menyangkut makanan. Orang-orang yahudi misalnya, menghalalkan hasil suap, orang-orang Nasrani membenarkan sedikit minuman keras, kendati dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit dari mereka yang meminumnya dengan banyak.[1]
B.     Tafsir Q.S Al-Baqarah Ayat 168
Dalam menafsirkan ayat diatas Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna ayat Al Baqarah ayat 168 maksudnya adalah  Allah swt telah membolehkan (menghalalkan) seluruh manusia agar memakan apa saja yang ada dimuka bumi, yaitu makanan yang halal, baik, dan bermanfaat bagi dirinya sendiri yang tidak membahayakan bagi tubuh dan akal pikirannya.
Segala apa saja yang akan dikonsumsi sudahlah mendapatkan standar kelayakan dari Allah swt. Standar itu adalah Halal dan Baik, apa saja yang hendak orang beriman konsumsi entah itu makanan, minuman, pakaian, kendaraan haruslah berstatus halal dn baik. Sebagaimana firman Allah swt ; (يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً   ) “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”. (يَا أَيُّهَا النَّاسُ ) “Hai sekalian manusia” dalam kaidah ulumul Qur’an jika ada ayat nida’ (orang yang dipanggil) menunjukankeumuman seperti (النَّاسُ ) manusia, maka ayat ini ditunjukan oleh Allah kepada seluruhmanusia tidak hanya orang islam saja. Meski sedemikian setiap nida’ yang berlafaz umumlebih berlaku khusus untuk orang beriman (orang islam), jadi ayat ini secara lafazmenunjukan keumuman dan secara makna
Dan maksud dari (كُلُواْ ) disini secara bahasa artinya memakan, atau lebih spesifiknya segala sesuatu yangdimasukan keperut  melalui mulut dinamakan makan. Jika ada seorang yang ludahnyatertelan berarti orang itu telah memakan air ludah meski ia tidak sengaja memakanya. Dan juga jika ada seseorang memasukan roti kemulutnya dan kemudian ditelandan masuk keperut  maka ia telah makan,namun jika ia hanya mengunyah dan tidakmemasukanya kedalam perut maka orang itu tidak makan. Inilah makna dari (كُلُواْ ) dalam arti sempit .
Namun (كُلُواْ ) disini tidak hanya berarti makan atu memakan sematamelainkan (كُلُواْ ) disini bisa ditafsirkan dengan makna lebih luas yaitu (كُلُواْ ) disini artinya adalah mengkonsumsi, oleh sebab jika dimaknai hanya cukup memakan saja maka akan menyempitkan makna. Selain itu setelah lafaz (كُلُواْ ) diiringi lafaz makna yang memiliki sifat makna luas yaitu(فِي الأَرْضِ ) “Di muka Bumi”. Jadi (كُلُواْ ) maknanya tidak hanya makan atau memakanbumi sifatnya tidak hanya barang yang hanya bisa dimakan semata namun banyakbarang yang bisa dinikmati , dan kesemuanya bersifat kearah makna konsumsi. halal dan baik oleh sebab semua itu adalah barang yang sifatnya barang konsumsi manusia. Maka yang disifatkan Allah atas manusia yang halal dan baik tidak hanya makanan semata melainkansemua barang yang dikonsusmi haruslah halal dan baik sifatnya, entah itu kendaraan, makanan, pakaian, perhiasan dan sawah ladang semuanya harus berstatus halal dan baik. kemudian(كُلُواْ ) ini dari segi bahasa juga termasuk fiil Amr atau kalimat perintah, maka ini artinya Allah memerintahkanatas suatu hal, yaitu perintah untuk mengkonsumsi apa-apa yang halal dan yang baik.
Kemudian makna (حَلاَلاً) yaitu segala sesuatu yang cara memperolehnyadibenarkan oleh syariat dan juga wujud barangnya juga yang dibenarkan oleh syariat. Gula, dari segi barang adalah barang yang dihalalkan syariat namun bisa jadi haram jikacara memperolehnya dengan cara mencuri. Dan khamer (miras) adalah barang yangsifatnya haram meski khamer itu dibeli dengan uang yang halal maka khamer itu akan tetap haram. Inilah makna dari (حَلاَلاً)
      Dan kemudian makna (طَيِّباً ) Tayyiban adalah lawan dari khabitsan atau jelek/menjijikan, perkara yang baik adalah perkara yang secara akal dan fitrah dianggap baik. secara akal (ilmu/pengetahuan) tembakau itu jelek oleh sebab membahayakan kesehatan, maka ini bukanlah perkara yang bukan tayyib namun jelek dan juga kecoa secara fitrah adalah hewan menjijikan meski ada sebagian orang yang tidak jijik, maka kecoa ini adalah hewan yang jelek/khabits dan bukan perkara tayyib. (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ  ) “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”(QS.Al Baqarah.172). Ibnu Katsir menjelaskan bahwa  Allah memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk memakan makanan yang baik atas rizki yang Allah berikan agar mereka senantiasa-dianggap-bersyukur atas rizqi Allah yang diberikan tersebut, jika benar mereka itu hamba-hamba Allah yang beriman. Mengkonsumsi perkara halal adalah sarana terkabulnya doa dan diterimanya ibadah sebagaimana mengkonsumsi perkara haram mengurangi doa dan tertolaknya ibadah.
1.      Menurut Tafsir Al-Maraghi
      Setelah Allah menjelaskan tentang keadaan orang-orang yang menyekutukan Allah dengan cara mempertuhan sesame manusia dihari kiamat nanti dan siksaan yang amat pedih yang akan mereka terima. Allah juga menjelaskan bahwa orang-orang yang menjadi panutan sesaat itu ingin membebasakan diri dari mereka ketika siksaan sudah di depan mata mereka, tetapi hubungan mereka sudah terputus sama sekali. Yang dimaksud dengan hubungan disini adalah manfaat-manfaat keduniaan yang dipungut oleh para pemimpin, atau kait mengait antara dua belah pihak.
      Didalam pembahasan yang telah lalau dapat diketahui bahwa menyekutukan Allah terdiri dari dua bagian :
-          Percaya kepada seseorang bahwa ia dapat menolak bahaya atau dapat mendatangkan manfaat dengan kekuatan gaib bukan karena sebab-sebab yang dibolehkan.
-          Memang pendapat seseorang sebagai hokum syariat dalam masalah penghalalan dan dan pengharaman tanpa didasarkan kitabullah dan sunah Rasulnya.
Kemudian dipembahasan ayat ini, Allah menjelaskan bahwa kedua cara diatas adalah haram. Allah juga menjelaskan bahwa fanatisme mereka kepada kebatilan disebabkan rasa percaya mereka terhadap apa yang dilakukan nenek moyang tanpa menggunakan akal pikiran dan hidayah Allah. [2]
Allah memerintahkan kita semua memakan apa yang ada dibumi ini yang terdiri berbagai makanan, termasuk persoalan dengan cara gaib yabg bertassaruf di seluruh alam semesta maka orang yang seperti ini telah tersesat dan telah menjadi pengabdi setia setan.
Dalam tafsir ini dapat disimpulkan bahwa Allah memerintahkan hambanya untuk memakan makanan yang halal baginya dan menghindarikan segala kebathilan dalam kehidupan sehari-harinya.
C.    Penjelasan Hukum Ekonomi Q.S Al-Baqarah Ayat 168
      Ekonomi islam dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pengelolaan harta benda menurut perspektif islam
      Ekonomi islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun islam.
      Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah SWT memerintahkan nya, sebagaiomana frmannya “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasulnya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”.
      Suka atau tidak, ilmu ekonomi islam tidak dapat berdiri netral diantara tujuan yang berbeda-beda. Kegiatan membuat dan menjual minuman al-kohol dapat merupakan aktifitas yang baik dalam system ekonomi modern. Namun hal ini tidak dimungkinkan dalam Negara islam. Ada 2 prinsip – prinsip ekonomi dalam Al-Qur’an
      Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang prinsip berekonomi yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 168, yang telah dijelaskan diatas tadi, dapat disimpulkan bahwa menurut perspektif islam, ada beberapa prinsip dalam system ekonomi islam, yang dijadikan sebagai kerangka acuan dalam melakukan berbagai aktifitas perekonomian. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Asas salaing menguntungkan. Seperti telah dijelaskan pada tafsir Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 168, setiap akad yang dilakukan oleh pihak yang satu dengan pihak yang lainnya harus bersifat menguntungkan semua pihak yang berakad. Tidak boleh menguntungkan satu pihak dengan merugikan pihak lain. Tidak merugikan dan mengeksploitasi manusia dalam berbagai bentuk bidang usaha yang mana itu semua terjadi karena adanya bujuk rayu syaitan yang mana pada ayat tersebut kita sudah diperintahkan agar tidak mengikuti jejaknya perinsip ini dimaksudkan supaya para pelaku ekonomi dalam berusaha bergerak dalam batas-batas yang ditentukan syari’at penipuan (gharar), manipulasi , dan kecurangan-kecurangan, serta penimbunana barang oleh pedagang (ihtikar) tidak mewarnai aktifitas ekonomi. Dengan demikian setiap pihak merasakan ketentraman berusaha menjamin kemaslahatan bersama.
2.   Asas Manfaat Atau Kehalalan Barang. Asa ini dijelaskan pada surat Al-Baqarah ayat 168. Maksudnya ialah bahwa akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak berkenaan dengan hal-hal (objek) yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Sehingga kedua belah pihak saling sama-sama menguntungkan itulah sebabnya mengapa islam mengharamkan akad berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mudharat sepertyi jual beli benda-benda yang diharamkan atau benda-benda yang tidak bermanfaat apalagi yang membahayakan. Baik cara memperoleh input, pengelolaannya dan outputnya harus terbukti halal. Karena pada dasarnya seluruh yang baik itu dihalalkan, sedangkan yang akan merusak dan kotor-kotor diharamkan. Perdagangan minuman keras, babi, obat-obat terlarang dan yang sejenisnya seyoganya dijauhi dan dihindari.
Konfirmasi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah karena pada prinsipnya, segala sesuatu yang tolerir sudah pasti mangandung kemaslahatan. Apabila muatan atau indikator kemaslahatan (al-maslahah) ada dalam bidang mu’amalah, maka itulah sebenarnya yang dituju oleh hokum syara’ karena islam disyari’atkan memang untuk kemaslahatan manusia secra universal untuk kehidupan didunia dan diakhirat.
Jadi ringkasnya, dalam ilmu ekonomi islam kita tidak hanya mempelajari individu social melainkan juga manusia dengan bakat religiusnya. Hal itu disebabkan karena banyaknyakebutuhan dan kekurangan sarana maka timbullah masalah ekonomi. Masalah ini pada dasarnya sama baik dalam ekonomi modern maupun ekonomi islam. Namun perbedaan timbul berkenaan dengan pilihan. Ilmu ekonomi islam dikendalikan oleh nilai-nilai dasar islam dan ilmu ekonomi modern sangat dikuasai oleh kepentingan diri si individu. Yang membuat ilmu ekonomi islam benar-benar berbeda ialah system pertukaran dan transfer satu arah yang terpadu mempengaruhi alokasi keuangan sumber-sumber daya, dengan demikian menjadikan proses pertukaran langsung relevan dengan kesejahteraan menyeluruh yang berbeda hanya dari kesejahteraan ekonomi.[3]
D.    Penjelasan Secara Umum
      Setelah Allah menyuguhkan kepada kita dua rangkaian ayat yang membincang soal hubungan kepengikutan (antara pengikut dan yang diikuti), tiba-tiba Dia meminta kepada seluruh manusia untuk berhati-hati dalam hal makanan. Ini pasti bukan kebetulan. Juga pasti bukan tak punya hubungan dengan ayat-ayat sebelumnya. Kalau kita cermati, Allah punya pesan yang sangat jelas di ayat ini: jikalau hubungan kepengikutan tidak mengikuti akal sehat dan tuntunan Kitab Suci, maka pasti mengikuti tuntunan “perut”. Saat kepengikutan tak lagi memiliki aspek-aspek teologisnya, dengan serta-merta berubah menjadi soal “makanan” dan “piring”.
      Orang memilih pemimpin atau imam tak lagi berfikir apa konsekuenasi akhiratnya, tetapi apa yang mereka dapat dengan menjadi pengikutnya. Dan para Khalifah Duniawi tahu persis ini, sehingga menjadikannya bahan permainan kekuasaan. Mereka tahu bahwa manusia paling mudah disandra melalui perutnya. Mereka membagikan setetes keuntungan politiknya kepada ‘ulama’ dan ‘mufti’ (pemilik otoritas untuk berfatwa) dalam berbagai bentuk fasilitas yang memungkinkan ‘ulama’ dan ‘mufti’ tersebut hidup layak dan menjadi tokoh ‘panutan’. ‘Ulama’ dan ‘mufti’ inilah nantinya yang menjadi tameng opini bagi Sang Khalifah sehingga serangan publik tak pernah mendarat langsung di wajahnya.
      Caranya; menyembunyikan ayat-ayat Allah yang berkenaan dengan Khalifah Ilahi yang sesungguhnya seraya ‘memperhalus’ atau bahkan ‘membelokkan’ makna ayat-ayat yang mengecam para Khalifah Duniawi. “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Kitab Suci dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (2:174)
      Dampak selanjutnya dari perbuatan ‘ulama’ dan ‘mufti’ bayaran ini ialah terpecah-belahnya umat ke dalam berbagai kelompok. Penyebabnya; tiap datang Khalifah Duniawi yang baru selalu punya keinginan dan hasrat politik yang berbeda sebagaimana berbedanya gaya kepemimpinan mereka. Sehingga ‘ulama’ dan ‘mufti’ pun “dipaksa” menyesuaikan fatwa dan opini keagamaan mereka masing-masing, kendati subjek bahasannya sama. Setiap jenis fatwa dan opini ini melahirkan komunitas pengikutnya sendiri-sendiri. Lahirlah mazhab-mazhab.
      Terbentuklah golongan-golongan. Bergemalah suara-suara. Muncullah ketegangan-ketegangan. Bergandalah masjid-masjid. Akibatnya; kekuatan politik umat tercerai-berai menjadi sebanyak langgar-langgar. Sehingga tidak ada lagi kedamaian di surau-surau, yang ada ialah kebisingan pendapat-pendapat. Para Khalifah Duniawi tinggal menebar jala, menuai keuntungan besar, cukup dengan menerapkan manajemen konflik dari kursi goyangnya sambil mengisap cerutu impornya. “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang suci-bersih, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu.” (23:51-54)
      Dari pembahasan diatas kita bisa memahami makna dari kata حَلاَلاً طَيِّباً (halālan thayyiban, yang halal lagi suci). Yang halal sudah jelas; statusnya: boleh. Lawannya, haram; statusnya: terlarang. Lalu yang thayyibah masuk dimana? Kalau kita artikan thayyibah itu “yang baik”, bukankah yang halal itu secara otomatis juga “baik”? Sehingga mengartikan thayyibah itu “yang baik” hanya akan mengacaukan pengertian halal—muncul kesan bahwa tidak semua yang halal itu baik. Padahal mana mungkin Allah meng-halal-kan sesuatu kalau sesuatu itu mengandung unsur-unsur yang “tidak baik”. Firman-Nya: “… menghalalkan bagi mereka segala yang baik (at-thayyibāt) dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (al-khabāits)...” (7:157) Juga: “Mereka menanyakan kepadamu: ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu segala yang baik (at-thayyibāt)…’.” (5:4) “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik (at-thayyibāt)….” (5:5)
       Dari ayat-ayat itu jelas bahwa yang halal sudah pasti juga “baik”. Kalau begitu apa itu thayyibah? Ayat berikut ini bisa membantu kita: “Wanita-wanita yang khabĭtsah (buruk) adalah untuk laki-laki yang khabĭts (buruk), dan laki-laki yang khabĭts (buruk) adalah buat wanita-wanita yang khabĭtsah (buruk), dan wanita-wanita yang thayyibah (baik) adalah untuk laki-laki yang thayyib (baik)  dan laki-laki yang thayyib (baik) adalah untuk wanita-wanita yang thayyibah (baik). (Bila) mereka (yang dituduh berzina) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh), (maka) baginya ampunan dan rezki yang mulia (surga).” (24:26)
      Kalau begitu thayyibah itu bermakna “bersih dari dosa (dalam hal perbuatan) atau najis (dalam hal makanan)”. “Dan tanah yang baik (at-thayyib), tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang buruk (khabutsa), tanaman-tanamannya tidak tumbuh kecuali dalam keadaan merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (7:58)
      Dengan demikian bekerja di bawah pemimpin yang melakukan (atau mendukung pelaku) kejahatan terhadap kemanusiaan atau menentang ayat-ayat Allah, maka pendapatan yang diterima tidak lagi berkategori حَلاَلاً طَيِّباً (halālan thayyiban, yang halal lagi suci), karena secara tidak langsung membantu mereka melakukan perbuatan buruk tersebut.
      Bekerja pada mereka sendiri (tanpa berani melakukan teguran sepertimana Musa lakukan terhadap Fir’aun dan Ibrahim terhadap Namrut) sudah menjastifikasi secara halus tindakan-tindakan mereka. Mereka seakan menemukan kekuatan moral di balik keterlibatan ‘ulama’ dan ‘mufti’ di dalam pemerintahan mereka. Itu sebabnya, bagian akhir ayat ini berbunyi: وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ (wa lā tattabi’ŭ khuthuwātis-syaythāni innaɦu lakum ‘aduwwun mubĭn, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu).
      Allah menyebut mereka sebagai عَدُوٌّ مُّبِينٌ (‘aduwwun mubĭn, musuh yang nyata) karena orang awam pun dengan mudah mengenali mereka. Kalau syaitan yang dimaksud di sini ialah yang berkelebat-kelebat dalam kegelapan dan di rumah-rumah hantu, tentu itu tidak مُّبِينٌ (mubĭn, nyata). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorangpun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (24:21)
      Seorang mukmin (orang yang beriman) sudah semestinya memakan dan meminum atas sesuatu yang sudah mendapat label Halal oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun, tidak hanya cukup makan dan minum apa-apa yang dihalalkan oleh  Syari’at saja melainkan makanan dan minuman itu hendaknya juga Tayyibah (Baik). Maka, makanan dan minuman yang halal dan tayib itulah barang konsumsinya orang-orang beriman.
      Seorang yang beriman akan senantiasa mengkonsumsi apa saja yang dipandang oleh syariat sebagai perkara yang halal dan baik, ketentuan itu telah ditetapkan oleh Allah SWT. Entah itu mengkonsumsi untuk dirinya sendiri, dinafkahkan kepada keluarga atau diperjual belikan kepada kaum muslimin. Sebagai hamba Allah yang senantiasa menjaga iman, tidak selayaknya mereka mengkonsumsi perkara yang haram dan jelek terlebih menafkahkannya kepada keluarga atau menjual belikanya dikalangan kaum muslimin. Sebab Rasulullah saw bersabda : “Tidak boleh berlaku bahaya dan membahayakan”.
      Sesama mukmin haram hukumnya membahayakan mukmin lainya, entah ia menjual, membeli, memberi atau menafkahi sesuatu yang haram dan berbahaya. Seperti halnya memberi nafkah keluarga dengan uang haram atau seorang ibu yang mengijinkan anaknya merokok. Oleh sebab uang haram adalah haram dan rokok adalah barang yang jelek bukan tayyib. Kedua perkara ini, yaitu perkara yang haram dan jelek atau bukan yang tayyib adalah dua perkara yang diingkari oleh Allah SWT.[4]









Daftar Pustaka
Imam jalaludin al-Mahalli dan Imam Jalaludin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Bara Algesindo
http://uraianayatalquran.blogspot.co.id/2014/08/surat-al-baqarah-ayat-168-169.html




[1] Imam jalaludin al-Mahalli dan Imam Jalaludin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Bara Algesindo,
[2] http://uraianayatalquran.blogspot.co.id/2014/08/surat-al-baqarah-ayat-168-169.html
[3] http://ngaji-tafsir-al-quran.blogspot.co.id/2012/11/tafsir-qs-al-baqarah-168-tidak-cukup.html
[4] http://uraianayatalquran.blogspot.co.id/2014/08/surat-al-baqarah-ayat-168-169.html

No comments:

Post a Comment