Nama
: Moh. Faisal
Nim
: 1414231076
Fak/jur
: syariah/perbankan syariah 2
Surat
Al-Qasas Ayat 26 (pekerjan buruh atau sewa menyewa)
قَالَتْإِحْدَاهُمَايَاأَبَتِاسْتَأْجِرْهُ
ۖ إِنَّخَيْرَمَنِاسْتَأْجَرْتَالْقَوِيُّالْأَمِينُ
Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya".
Ijârah
berasal dari kata al-ajr yang berarti sama dengan kata al-‘iwadh yaitu
ganti rugi atau upah. Menurut Dr. Helmi Karim, Ijârah dalam pandangan syara'
berarti akad atas manfaat dengan imbalan atau tukaran dengan syarat-syarat
tertentu. Dalam arti luas, Ijârah bermakna suatu akad yang berisi
penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah
tertentu.
Sedangkan Dwi Suwiknyo, SEI. dalam
bukunya Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, memberikan makna Ijârah
dengan arti akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu aset dalam waktu
tertentu dengan pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
aset itu sendiri. Mu’ajir memberikan upah atau uang sewa kepada musta’jir,
sehingga musta’jir mengakui pendapatan sewa atau upah. Misalnya,
transaksi mahasiswa yang menyewa rumah untuk kos tempat tinggalnya selama
kuliah atau para pekerja yang mendapatkan upah atau gaji setiap bulannya. Dalam
al-Quran bentuk kalimat kerja Ijârah yakni ista’jartu disebut
dalam QS. Qhashas (28); 26,
Ayat ini merupakan salah satu bagian
ayat yang menceritakan kisah nabi Musa ketika hijrah ke Negeri Madyan karena
akan dibunuh oleh Fir’aun dan anak buahnya.
Sebelum
membahas QS. Al-Qashash (28); 26 diatas, karena ayat tersebut ialah
sebuah cerita sunah nabi Musa ‘alaih al-salâm yang dalam pandangan
ulama’ Islam diistilahkan dengan syar’u man qablana, maka, perlu kiranya
penulis sampaikan pembahasan syariat umat terdahulu yang bisa dijadikan pijakan
istidlâl.
Wahbah al-Zuhailiy mengatakan bahwa Syar’u man qablana
ialah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada umat terdahulu melalui
perantara para nabi mereka seperti nabi Ibrahim, Musa, Dawud, dan Isa ‘alaihim
al-salâm.
Terhadap klasifikasi yang ketiga ini para ulama’ terpilah
menjadi dua kubu, dimana mayoritas Hanafiyah, malikiyah, sebagian Syafi’iyah
dan Imam Ahmad dalam satu riwayat yang kuat berpendapat bahwa hukum-hukum
tersebut termasuk syariat bagi kita. Sedangkan Syafi’iyah berdasarkan pendapat
yang kuat menurut mereka, Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah berpendapat bahwa syar’u
man qablana bukanlah termasuk syariat kita.
Menurut analisis penulis, QS. Al-Qashash (28); 26
dengan didukung oleh dalil-dalil lain tentang Ijârah baik dari al-Quran. maupun Sunah Nabi, termasuk dalam
klasifikasi syar’u man qablana bagian kedua, yakni hukum-hukum yang
ditetapkan oleh syariat kita dan hukum-hukum tersebut berlaku pada kita umat
nabi Muhammad SAW.
Sebagaimana ayat sebelumnya, dalam memahami QS. Al-Qashash
(28); 26, juga perlu untuk diperhatikan beberapa kata kunci sebagai
berikut:
Ista’jirhu
: Ambillah upahan dia sebagai pekerja
Ista’jarta
: Engkau ambil upahan sebagai pekerja
Al-Qawiyu
: yang kuat
Al-aminu
: dapat dipercaya
1. Ulama Syafi’iyah memberikan defenisi
Ijârah sebagai berikut:
الايجار هو عقد على منفعة مقصودة
معلومة محابة قابلة للبذل والاباحة بعوض معلوم
“Ijârah
adalah ‘akad atas
suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima
pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
2.
Ijârah menurut ulama Hanafiyah:
الايجار هو عقد علي المنا فع بعوض
“Ijârah
adalah akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
3.
Ulama Malikiyah yang juga diamini oleh Hanabilah mendefinisikan Ijârah:
الايجار هو تمليك منا فع شيئ مباحة
مدة معلومة بعوض
“Ijârah adalah menjadikan
milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan mengganti.
Ada yang menerjemahkan Ijârah sebagai jual
beli jasa (upah mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula
yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.
Mayoritas ulama’ fiqh berpendapat bahwa Ijârah adalah
menjual manfaat, dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya.
Oleh karena itu mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba
untuk diambil susunya, dan lain sebagainya, yang semua itu bukan manfaatnya
tetapi bendanya.
Tafsir
Jalalayn
(Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata) yakni wanita yang disuruh menjemput Nabi
Musa yaitu yang paling besar atau yang paling kecil ("Ya bapakku! Ambillah
dia sebagai orang yang bekerja pada kita) sebagai pekerja kita, khusus untuk
menggembalakan kambing milik kita, sebagai ganti kami (karena sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja pada kita ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya") maksudnya, jadikanlah ia pekerja padanya,
karena dia adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Lalu Nabi Syuaib
bertanya kepada anaknya tentang Nabi Musa. Wanita itu menceritakan kepada
bapaknya semua apa yang telah dilakukan oleh Nabi Musa, mulai dari mengangkat
bata penutup sumur, juga tentang perkataannya, "Berjalanlah di belakangku".
Setelah Nabi Syuaib mengetahui melalui cerita putrinya bahwa ketika putrinya
datang menjemput Nabi Musa, Nabi Musa menundukkan pandangan matanya, hal ini
merupakan pertanda bahwa Nabi Musa jatuh cinta kepada putrinya, maka Nabi
Syuaib bermaksud mengawinkan keduanya.
Tafsir
Quraisy Shihab
Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata, "Wahai Ayah, pekerjakan pemuda itu
untuk menggembala atau mengurus domba piaraan kita dengan gaji! Sungguh, ia
adalah orang yang paling baik yang engkau pekerjakan, karena tenaganya kuat dan
dirinya dapat dipercaya."
Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang
mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang
termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa).
Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi
muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut
merupakan terobosan baru dalam dunia modern.Dalam hal ini kita harus cermat,
apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan tidak dengan kaidah fiqih?
Jika tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah.
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara
sederhana tentang landasan untuk mempekerjakan seseorang, memberi upah maupun
sewa menyewa terkait QS Al Qashas ayat 26.
Penafsiran Ayat
a.
Penafsiran Para Ulama
Ketika kedua wanita itu tiba kembali di
rumah lebih dini dari biasanya, ayah mereka merasa agak heran dan bertanya
kepada mereka, gerangan apakah yang menjadikan mereka dapat menyelesaikan tugas
mereka lebih cepat daripada biasanya, lalu diceritakanlah kepada sang ayah apa
yang dilakukan oleh Musa untuk menolong mereka memberi minum ternak sehingga
dengan cepat mereka dapat kembali ke rumah. Syu’aib ( ayah kedua wanita ) itu
pun mengundang Musa untuk berkenalan sambil ingin menyatakan terima kasihnya
atas pertolongan Musa terhadap anak-anaknya.
Setiba Musa di rumah Syu’aib
berceritalah ia kepada tuan rumahnya, bagaimana ia lari dari Mesir ketakutan
sampai ia bertemu dengan gadis-gadis Syu’aib.
Apa yang terjadi setelah pembicaraan
Musa dengan orang tua kedua wanita itu tidak lagi diuraikan al-qur’an, termasuk
jamuan dan balasan budi baik yang dijanjikan untuk Musa. Ayat tersebut langsung
berpindah uraian dengan menyatakan bahwa salah seorang dari kedua wanita itu
yakni yang datang mengundangnya berkata :“wahai ayahku, pekerjakanlah dia
agar ia dapat menangani pekerjaan kita selama ini antara lain menggembala
ternak kita karena sesungguhnya dia adalah orang yang paling baik yang engkau
pekerjakan untuk tugas apapun adalah orang yang uat fisik dan mentalnya lagi
terpercaya.”
Pernyataan itu adalah suatu pujian yang
sangat halus dari seorang gadis terhadap seorang pria dan menyatakan bahwa
pegawai yang baik adalah yang kuat (sanggup melaksanakan tugas) dan kepercayaan
serta jujur.
b. Hubungan Ekonomi
Terkait QS Al Qashas ayat 26
Dalam QS Al Qashas ayat 26
dijadikan landasan dalam mempekerjakan seseorang, memberi upah maupun sewa
menyewa. Para ulama’ berbeda pendapat dalam hal upah atau imbalan terhadap
pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya ibadah atau perwujudan ketaatan kepada Allah.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Syu’aib dan Nabi Musa.
Ketika kedua wanita itu kembali
lebih cepat dengan membawa kambing-kambing ke rumah ayahnya, sang ayah pun
tidak percaya dengan kedatangan keduanya yang begitu cepat. Dia menyanyakan
tentang kondisi kedua putrinya itu. Lalu keduanya menceritakan peristiwa
tentang yang dilakukan oleh Musa. Maka sang ayah mengutus salah satu dari kedua
puterinya itu untuk mengajak Musa menemui dirinya. Firman Allah: fajaa-atHu
ihdaaHumaa tamsyii ‘alas tihyaa-i (“Kemudian datanglah kepada Musa salah
seorang dari wanita itu berjalan dengan malu-malu.” Yaitu jalannya
wanita-wanita yang terhormat [bukan budak].”)
Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah menjelaskan
bahwa setelah tersebar berita bahwa Musa telah membunuh seorang penduduk asli
Mesir, datanglah seorang kaum Fir’aun menemui Musa dan menasehatinya untuk
segera lari meninggalkan Mesir karena Fir’aun telah memerintahkan tentaranya
untu membunuhnya sehingga Musa terpaksa meninggalkan Mesir dengan segera. Dalam perjalanan Musa meninggalkan Mesir, ia menolong dua gadis yang
sedang menunggu untuk mengambil air dan memberi minum ternak mereka. Salah
seorang dari kedua gadis itu mengatakan bahwa bapak mereka mengundang Musa ke
rumahnya untuk menerima balasan atas jasa baik yang telah diberiannya. Musa
memenuhi undangan itu dan menceritakan kepada orang tua itu semua pengalamannya
sampai dia bertemu dengannya.
Pada ayat inilah dijelaskan mengenai permintaan gadis itu terhadap
bapaknya agar Musa diangkat sebagai pembantu mereka. Permintaan ini berkenaan
di hati orang tua itu, bahkan ia menawarkan kepada Musa supaya mengawini salah
seorang putrinya, dengan ketentuan ia harus bekerja padanya selama delapan
tahun.
Kalau Musa mau bekerja sepuluh
tahun, maka itulah yang paling baik sebagai mana dijelaskan pada ayat
setelahnya.
Sebagaimana
diriwayatkan dari Amirul Mukminin, ‘Umar ra, berkata: “Dia datang dengan
menutupkan dengan pakaiannya ke wajahnya.”
Ibnu Abi Hatim
berkata bahwa ‘Amir bin Maimun berkata, ‘Umar ra. berkata: “Dia datang berjalan
dengan malu-malu dengan menutupkan pakaian ke wajahnya, bukan wanita yang amat
berani dan sering keluar rumah.” Isnadnya shahih.
Al-Jauhari
berkata: “Kata [assalfa’u] pada laki-laki adalah pemberani, dan pada wanita
adalah aktif dan gesit, sedangkan pada unta adalah tangkas.”
Qaalat inna
abii yad’uuka liyajziyaka ajra maa saqaita lanaa (“Ia berkata: ‘Sesungguhnya
ayahku memanggilmu, agar ia memberi balasan terhadap kebaikanmu memberi minum
ternak kami.’”) ini merupakan sikap beradab dalam bertutur kata, dimana ia
tidak memintanya secara mutlak, agar tidak menimbulkan perasaan curiga, bahkan
ia berkata: “Sesungguhnya ayahku memanggilmu untuk memberikan balasan bagi
kebaikanmu memberi minum ternak kami.” Yaitu “agar ia memberikan balasan dan memberimu
upah atas pertolonganmu memberikan minum ternak kami.”
Falammaa
jaa-aHu wa qash-sha ‘alaiHil qashasha (“Maka tatkala Musa mendatangi ayahnya
dan menceritakan kepadanya cerita tentang dirinya.”) yaitu dia menceritakan
kepadanya perkara yang terjadi terhadap dirinya yang menyebabkan ia keluar dari
negerinya.
Qaala laa
takhaf najauta minal qaumidh dhaalimiin (“Ayahnya berkata: ‘Jangan kamu takut.
Kamu telah selamat dari orang-orang yang dhalim itu.’”) ia berkata:
“Tenteramlah jiwamu dan luruskanlah pandanganmu, karena engkau telah keluar
dari kerajaan mereka. mereka tidak memiliki kekuasaan di negeri kami.” Untuk
itu dia berkata: takhaf najauta minal qaumidh dhaalimiin (“Kamu telah selamat
dari orang-orang yang dhalim itu.”)
Para ahli
tafsir berbeda pendapat tentang siapa ayah wanita ini. Ada beberapa pendapat,
salah satunya berpendapat bahwa ayahnya itu adalah Syu’aib as. salah seorang
Nabi yang diutus kepada penduduk Madyan. Inilah pendapat yang masyur di
kalangan banyak ulama. Juga dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri dan selainnya.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hatim, telah bercerita kepada kami ‘Abdul ‘Aziz al-Azdi, dari
Malik bin Anas, telah sampai kabar kepadanya, bahwa Syu’aib as. lah yang
diceritakan oleh Musa tentang dirinya. Dia berkata: “laa takhaf najauta minal
qaumidh dhaalimiin (“Jangan kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang
yang dhalim itu.”)
Ath Thabrani
meriwayatkan dari Salamah bin Sa’ad al-Ghazi, bahwa seorang utusan datang
kepada Rasulullah saw. dan berkata kepadanya: “Selamat datang kaum Syu’aib dan
dua saudari Musa, semoga engkau diberi hidayah.”
Ulama lain
berkata: “Dia adalah anak laki-laki saudara Syu’aib.” Pendapat lain mengatakan:
“Dia adalah seorang laki-laki Mukmin dari kaum Syu’aib.”
Firman Allah:
qaalat ihdaaHumaa yaa abatis ta’jirHu inna khaira manis ta’jartal qawiyyul
amiin (“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Ya bapakku, ambillah ia
sebagai orang yang bekerja [pada kita], karena sesungguhnya orang yang paling
baik yang engkau ambil untuk bekerja [pada kita] ialah orang yang kuat lagi
dapat dipercaya.’”) yaitu berkata salah seorang putri laki-laki ini. Satu
pendapat mengatakan, wanita itu adalah yang pergi di belakang Musa as. ia
berkata kepada ayahnya: yaa abatis ta’jirHu (“Hai ayahku, ambillah ia sebagai pekerja.”)
yaitu sebagai penggembala kambingnya.
‘Umar, Ibnu
‘Abbas, Syuraih al-Qadhi, Abu Malik, Qatadah, Muhammad bin Ishaq dan selainnya
berkata: Ketika wanita itu berkata: inna khaira manis ta’jartal qawiyyul amiin
(“sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja [pada
kita] ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”) maka ayahnya berkata
kepadanya: “Apa yang kamu ketahui tentang itu?” wanita itu berkata: “Dia telah
mengangkat sebuah batu besar yang tidak mampu diangkat kecuali oleh 10 orang
laki-laki. Dan saat aku datang bersamanya, aku berjalan di depannya, lalu ia
berkata kepadaku: ‘Berjalanlah di belakangku.’ Jika ia berbeda jalan denganku,
ia memberikan sebuah tanda batu kerikil agar aku mengetahui kemana ia
berjalan.”
Sufyan
ats-Tsauri berkata dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Manusia paling
cerdik ada 3 orang; Abu Bakar yang memberikan kecerdikannya kepada ‘Umar, teman
Yusuf ketika ia berkata: ‘Berikanlah kepadanya tempat yang baik,’ dan teman
wanita Musa berkata: “yaa abatis ta’jirHu inna khaira manis ta’jartal qawiyyul
amiin (“Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja [pada kita], karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja [pada kita]
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”) ayahnya berkata: innii uriidu an
unkihaka ihdabnatayya Haataini (“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan
salah seorang dari kedua anakku ini.”) Laki-laki ini memintanya untuk
menggembalakan kambingnya dan menikahkannya dengan salah seorang putrinya.
Syu’aib
al-Jubba-i berkata: “Keduanya cantik dan molek.”
Para murid Abu
Hanifah mengambil dalil ayat ini tentang sahnya jual beli, dimana salah seorang
berkata: “Aku jual kepadamu salah seorang budak ini dengan harga 100.” Lalu
yang lain berkata, “Aku beli.” Maka sah. wallaaHu a’lam.
Firman-Nya:
‘alaa an ta’juranii tsamaaniya hijajin fa in atsmamta ‘asyran fa min ‘indika
(“Atas dasar bahwa engkau bekerja denganku delapan tahun dan jika engkau
cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah darimu.”) kewajibanmu hanya
menggembalakan kambingku selama delapan tahun. Jika engkau mendermakan dengan
melebihkannya dua tahun maka itu adalah darimu sendiri. Kalau tidak, cukup
delapan tahun saja.
Wamaa uriidu an
asyuqqa ‘alaika satajidunii insyaa allaaHu minash shaalihiin (“Maka aku tidak
hendak memberatkanmu. Dan engkau insya Allah akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang baik.”) yaitu aku tidak akan memberatkanmu, tidak menyakitimu
dan tidak menguasaimu.
Firman Allah
mengabarkan tentang Musa: qaala dzaalika bainii wa bainika ayyamal ajalaini
qadlaitu falaa ‘udwaana ‘alayya wallaaHu ‘alaa maa naquulu wakiil (“Dia [Musa]
berkata: ‘Inilah [perjanjian] antara aku dan dirimu. Mana saja dari kedua waktu
yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas
diriku [lagi]. Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.’”) ia
berkata, Sesungguhnya Musa berkata kepada mertuanya: “Perkaranya sesuai dengan
yang engkau katakan, dimana engkau menjadikan aku sebagai pegawai selama
delapan tahun. Jika aku sempurnakan menjadi sepuluh tahun, maka itu berarti
dariku. Mana saja yang paling minimal aku lakukan, maka aku telah bebas dari
tanggungan dan telah keluar dari syarat yang ada.
Untuk itu ia
berkata: ayyumal ajalaini qadlaitu falaa ‘udwaana ‘alayya (“Mana saja dari
kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan
tambahan atas diriku [lagi].”) maka tidak mengapa bagiku, sekalipun sempurna
itu lebih baik sekalipun mubah, karena ia merupakan kelebihan dari satu sisi
dengan dalil yang lain, sebagaimana Allah berfirman: faman ta’ajjala fii
yaumaini falaa itsma ‘alaiHi wa man ta-akhkhara falaa itsma ‘alaiHi
(“Barangsiapa yang ingin cepat berangkat [dari Mina] sesudah dua hari, maka tak
ada dosa baginya. Dan barangsiapa yang menangguhkan [keberangkatannya dari dua
hari itu], maka tidak ada dosa pula baginya.”)(al-Baqarah: 203)
Sesungguhnya
dalil menunjukkan bahwa Musa as. melakukan dua waktu yang paling sempurna dan
lengkap.
Al-Bukhari
berkata, bahwa Sa’id bin Jubair berkata: “Seorang Yahudi dari penduduk Hirah
bertanya kepadaku, waktu yang mana yang ditunaikan Musa dari waktu yang
ditetapkan. Aku berkata, “Aku tidak tahu hingga aku bertanya kepada ahli bahasa
Arab, aku bertanya kepadanya, lalu aku ajukan kepada Ibnu ‘Abbas. Maka aku menanyakannya
dan beliau berkata: ‘Katakanlah, bahwa dia menunaikan waktu yang paling lama
dan paling baik. Karena seorang Rasul Allah jika berkata, ia pasti lakukan.’
Diriwayatkan
dari hadits Ibnu ‘Abbas secara marfu’, ia berkata, Ibnu Jarir berkata dari Ibnu
‘Abbas, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku bertanya kepada Jibril, waktu yang
mana yang ditunaikan Musa as ? Jibril menjawab: ‘Yang paling lengkap dan paling
sempurna [di antara keduanya].’” HR Ibnu Abi Hatim dan al-Bazzar meriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi saw.
Kemudian Ibnu
Abi Hatim berkata dari Yusuf bin Tirah, bahwa Rasulullah saw. ditanya, “Dua
masa mana yang dilakukan Musa?” beliau menjawab, “Aku tidak mengetahui.” Lalu
Rasulullah saw. bertanya kepada Jibril dan Jibril menjawab, “Aku tidak
mengetahui.” Lalu Jibril bertanya kepada Malaikat yang berada di atasnya dan
mereka menjawab, “Aku tidak mengetahui.” Maka malaikat itu bertanya kepada Rabb
tentang apa yang dipertanyakan Jibril dari pertanyaan Muhammad saw. Maka Allah
menjawab, “Dia menunaikan yang paling bagus dan paling baik.” Hadits ini mursal
serta ada dalam jalan lain secara mursal. Ini merupakan jalan-jalan yang saling
mendukung. Kemudiah hal ini diriwayatkan dari Abu Dzarr ra, al-Hafizh Abu Bakar
al-Bazzar berkata dari Abu Dzarr ra. bahwa Nabi saw. ditanya, manakah dua waktu
yang ditunaikan Musa? Beliau menjawab: “Yang paling lengkap dan paling baik. Ia
berkata: dan jika engkau ditanya tentang dua wanita mana yang dinikahinya? Maka
katakanlah: yang paling muda.”
Kemudian al-Bazzar berkata: “Kami
tidak mengetahui yang diriwayatkan dari Abu Dzarr kecuali dengan isnad ini.”
Salah seorang diantara putri-putrinya berkata, “upahilah Musa untuk
menggembalakan kambingmu, karena sebai-baik orang yang diupahi untuk
menggembala ialah orang yang kuat dalam menjaga dan mengurus kambing, seorang
yang dapat dipercaya yang tidak di khawatirkan akan menghianati amanat.
Rupanya orang tua itu tidak memiliki anak laki-laki dan tidak pula
mempunyai pembantu. Oleh sebab itu, yang mengurus semua urusan keluarga itu
hanyalah kedua putrinya saja, sampai keduanya terpaksa menggembala kambing
mereka, di samping mengurus rumah tangga. Terpikir oleh seorang putri itu untuk
meminta tolong kepada Musa yang tampaknya amat baik sikap dan budi pekertinya
dan kuat tenaganya menjadi pembantu di rumahnya.
Tidak diragukan lagi, perkataan wanita itu termasuk perkataan yang padat
dan mengandung hikmah yang sempurna. Sebab manakala kedua sifat ini
keterpercayaan dan kemampuan terdapat pada seseorang yang mengerjakan suatu
perkara, maka ia akan mendatangkan keuntungan dan keberhasilan.
No comments:
Post a Comment