Nama : Lutpi Try Hidayatulloh
NIM : 1414231069
Jurusan : Perbankan Syriah
PERSAKSIAN DAN JAMINAN UTANG
Tafsir Al-
Misbah (Ayat 283 Surah Al-Baqarah)
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
283.
jika kamu dalam
perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[(oleh yang
berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
Tentu
saja tuntunan-tuntunan ayat yang laku tidak sulit dilakasanakan jika seseorang
berada dalam kota, dimana para saksi dan penulis berada. Tetapi jika kamu dalam
perjalanan dan bermuamalah tidak secara tunai, sedang kamu tidak mendapatkan seorang
penulis yang dapat menulis hutag-piutang sebagaimana mestinya, maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)
Bolehnya
member barang tanggungan sebagai jaminan pinjaman, atau dengan kata lain
menggadai, walau dalam ayat ini kaiatannya dengan perjalanan, tetpai itu bukan
berarti bahwa menggadaikan hanya dibenarkan dalam perjalanan. Nabi Saw, pernah
menggadaikan perisai beliau kepada seorang Yahudi, padahal ketika itu beliau
sedang berada di Madinah. Dengan demikian, penyebutan kata dalam perjalanan,
hanya karena seringnya tidak ditemukan penulis dalam perjalanan. Dari sini pula
dapat ditarik kesan, bahwa sejak masa turunnya ayat ini al Qur’an telah
menggaris bawahi, bahwa ketidak mampuan menulis hanya dapat ditoleransi untuk
sementara – bagi yang tidak bertempat tinggal atau normad.
Bahkan
menyimpan barang sebagai jaminan atau menggadainya pun tidak harus dilakukan,
karena itu jika sebagai kaum mempercayai sebagaian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya, hutang atau apapun yang dia terima.
Disini
jaminan bukan berbentuk tulisan atau saksi, tetapi kepercayaan dan amanah
timbale balik. Hutang diterima oleh pengutang, dan barang jaminan diserahkan
kepada pemberi hutang.
Amanah
adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi, bahwa
sesuatu yang diberikan atau dititipkan kepadanya itu akan terpelihara
sebagaimana mestinya, dan pada saat yang menyerahkan memintanya kembali maka ia
akan menerimanya utuh sebagimana adanya tanpa keberatan dari yang dititipi.
Yang menerima pun menerimanya atas dasar kepercayaan dar pemberi, bahwa apa
yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi / penitip
tidak akan meminta melebihi apa yang diberikan atau di sepakati kedua pihak. Karena
itu lanjutannya ayat itu mengingat agar, dan hendaklah ia, yakni yang menerima
dan member ayat, bertakwa kepada allah tuhan pemelihara- nya.
Kepada
para saksi, yang pada hakikatnya juga memikul amanah kesaksian, diingatkan,
jangalah kaum, wahai para saksi, menyembunyikan persaksian, yakni jangan
mengurangi, melebihi, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui
oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya. Dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.
Penyebutan
hati dalam ayat ini adalah untuk mengukuhkan kalimat ini. Bukankah jika anda
berkata, “ saya melihatnya dengan mata kepala”, maka ucapan anda ini lebih kuat
daripada sekedar berkata “ saya melihatnya”, di sisi lain, penyebutan kata itu
juga mengisyaratkan bahwa dosa yang dilakukan, adalah dosa yang tidak kecil.
Anggota badan yang lain boleh jadi melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan
kebenaran, tetapi apa yang dilakukan itu belum tentu di nilai dosa jika tidak
ada dorongan atau pembenaran hati atas
perbuatannya. Seseorang yang lidahnya mengucapkan kalimat kufur – di bawah
tekanan ancaman – tidak di nilai berdosa selama hatinya tetap tenang meyakini
keesaan allah swt. (baca QS. An- Nahl [16]:106). Jika hati berdosa, maka seluruh
anggota tubuh berdosa. Nabi Muhammad saw. Bersabda, “ sesungguhnya, didalam
diri manusia ada “ segumpal,” apabila ia baik, baiklah seluruh jasad, dan bila
ia buruk, buruklah seluruh jasad yaitu kalbu.
Akhrinya
allah mengingatkan semua pihak, bahwa allah maha mengetahui apa yang kamu
kerjaka, walau sekecil apapun, pekerjaan yang nyata maupun yang tersembunya,
yang dilakukan oleh anggota badan maupun hati
Tafsir
Al-Misbah Prof. Quraisy Shihab.
A. Teks Ayat dan Tarjamahnya
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ
تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ
تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُهُ وَاللهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Qs.2:283
B. Kaitan dengan Ayat Sebelumnya
Ayat 282 yang lalu memberikan bimbingan tentang etika utang
piutang seperti (1) tercatat, (2) ada saksi, (3) jangka waktu yang ditetapkan,
(4) bagaimana pula jika terjadi perselisihan antara kedua belah fihak. Ayat 283
ini memberikan bimbingan bagaimana transaksi atau utang piutang dilakukan di
perjalanan, tidak ada saksi, tidak pula tersedia fasilitas tulis menulis.
C. Tafsir Kalimat
1. وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ
تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ ُ
Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang jaminan yang bisa dipegang
Pada ayat sebelumnya ditandaskan bahwa mu’amalat itu
seyogyanya dilakukan secara tertulis, dan ada saksi supaya tidak terjadi
sesuatu hal yang berakibat buruk di kemudian hari. Pangkal ayat ini merupakan
pengecualian, bagi yang tidak bisa memenuhi ketentuan tersebut, utamanya
tatkala di perjalanan. Solusinya ialah yang meminjam hendaknya memberikan
jaminan kepada yang berpiutang. Ayat ini memberi isyarat bahwa tanpa penulis
itu hanya bisa dilakukan tatkala di perjalanan dan tidak ada penulis. Dengan
kata lain, selama ada penulis, tetap bukti tertulis itu mesti ada. Perintah
yang tercantum pada ayat sebelumnya (2:282) diserukan kepada orang mu`min.
Keimanan mesti dibuktikan dengan pangakuan dan pengamalan.[1]
Oleh karena itu setiap perintah al-Qur`an, mesti dilaksanakan, walau hanya
urusan mu’malat seperti utang piutang. Perkataan رِهَان menurut bahasa berasal
dari رهن yang berarti sesuatu yang ditahan, tetap, tidak berubah. [2]Sedangkan
menurut istilah syari’ah ialah suatu barang yang dijadikan jaminan sehingga
pemiliknya tidak bisa menjual atau menukar dengan lain.[3]
Kalimat فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ (jaminan yang bisa dipegang), terkait
dengan tatkala di perjalanan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah boleh utang
piutang dengan jaminan walau berada di tempat sendiri? Secara tersurat dalam
ayat ini, jaminan itu diperlukan bila utang piutang dilakukan dalam perjalanan.
Namun bila kedua belah fihak memerlukan jaminan dalam keadaan muqim (berada di
tempat), tetap diperbolehkan demi menjaga kepercayaan dan ketenangan.[4]
Fungsi jaminan, utamanya adalah untuk menjaga kepercayaan bersama, dan
pegangan bagi yang punya piutang dari yang berutang.[5]
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا
مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ فَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
Dari
Aisyah diriwayatkan bahwa Rasul SAW membeli bahan pangan dengan menghutang
sampai waktu yang ditentukan dengan jaminan baju besinya. Hr. al-Bukhari[6]
Imam Muslim menempatkan hadits ini pada باب الرهن
وجوازه في الحضر والسفر bab gadai dan dibolehkannya menggunakan jaminan
baik dalam utang piutang di perjalanan atau berada di tempat.[7]
Dalam riwayat al-Nasa`iy, di ujung hadits tersebut ada tambahan: الرهن في
الحضر utang piutang dengan jaminan (gadai), tatkala hadir (bukan
di perjalanan).[8]
Adapun barang yang dijadikan jaminan, berada di mana tergantung kesepakatan
bersama. Orang yang memanfaatkan barang jaminan adalah yang bertanggung jawab
tentang resikonya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ وَيُشْرَبُ لَبَنُ الدَّرِّ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا
Diriwayatkan dari Abi Hurairah,
Rasul SAW bersabda: kendaraan jaminan bisa ditunggangi dengan resiko
membiayainya, hewan bisa diminum air susunya, jika menjadi barang jaminan. Hr. al-Bukhari dan Ibn Hibban,[9]
Redaksi
lainnya masih dari Abi Hurairah, sabda Rasul SAW sebagai berikut:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي
يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
Kendaraan yang dijadikan jaminan bisa ditunggangi, ternak
yang dijaminkan bisa diminum air susunya. Orang yang menunggangi kendaraan yang
dijaminkan, dan yang meminum air susu hewan bertanggung jawab membiayai
resikonya.
Hr. Al-Bukhari, Abu dawud al-Turmudzi[10]
Kedua hadits ini memberi isyarat bahwa barang jaminan bisa
dimanfaatkan, baik oleh pemiliknya atau orang yang mendapat jaminan. Namun
resiko dan biaya yang dibutuhkan oleh barang jaminan itu tanggung jawab yang
menggunakannya. Tidak nampak dalam hadits ini ketentuan tentang di mana
keberadaan barang jaminan, apakah dipegang yang punya utang atau yang punya
piutang. Semua itu bisa diputuskan atas dasar kesepakatan kedua belah fihak.
Demikian pula bila terjadi sesuatu yang menimbulkan perpanjangan jangka waktu
utang piutang, status jaminan tidak otomatis bisa disita. Menurut al-Zarqani
(1122H), pada jaman jahiliyah, jaminan itu bisa dirampas oleh yang punya
piutang dari pemiliknya yang tidak bisa membayar tepat waktu. Hukum semacam ini
dikoreksi oleh syari’ah.[11]
Rasul SAW bersabda:
لاَ يُغْلِقُ الرَّهْنُ
الرَّهْنَ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ لَهُ غُنُمُهُ وَعَلَيْهِ غُرُمُهُ
Pergadaian tidak menghilangkan
jaminan dari hak pemiliknya yang telah ia gadaikan; baik keuntungan atau
kergiannya.
Hr. al-Syafi’iy, Ibn Hibban, al-Hakim, al-Bayhaqi[12]
Al-Zuhayli juga berpendapat bahwa
hadits ini sebagai koreksi terhadap kebiasaan jahiliyah, yang punya
piutang suka langsung menyita barang jaminan dari yang berutang bila tidak bisa
membayar tepat waktu.[13]
Keabsahan hadits ini ada yang memperdebatkan, karena mata rantainya ada yang
terputus. Namun menurut Syams al-Haq, banyak jalur lain yang menguatkannya,
sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan.[14]
Dengan demikian jika terjadi sesuatu atas yang punya utang sehingga tidak bisa
membayar tepat waktu, barang jaminan tidak otomatis bisa dirampas, melainkan
ditentukan atas dasar musyawarah. Jika musyawarah tidak mencapai kesepakatan,
maka keputusannya bisa melalui jalur hukum dan hakim yang memutuskannya secara
adil.[15]
2. فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya)
Jika kedua belah saling mempercayai, boleh saja mereka
bersepakat tidak memerlukan jaminan. Al-Sya’fiy mengatakan:
الْبُيُوع ثَلاثَة بَيْع شُهُود
وَكِتاب وَبَيْع بِرِهَان مَقْبُوْضَة وَبَيْع بِالاَمَانة وَقَرأ آيَة الدَّيْن
Bertransaksi perniagaan bisa dengan
tiga hal (1) mengguanakn saksi dan bukti tertulis, (2) utang piutang dengan
jaminan atau pergadaian, (3) melalui kepercayaan atau salaing mepercayai.
Kemudian beliau membaca ayat tentang utang piutang (Qs.2:282-283).[16]
Namun yang punya utang mesti dapat dipercaya, jangan sampai berkhianat.
Memperlambat bayar utang, padahal telah mampu membayarnya, merupakan perbuatan
zhalim. Rasul SAW bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى
مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ
Orang yang mampu, menangguhkan bayar utang merupakan kezhaliman.
Jika di antaramu diserahi orang yang mampu, maka terimalah. Hr. al-Bukhari dan Muslim[17]
Hadits ini mengisyaratkan bahwa (1) memperlambat bayar
utang, padahal sudah punya untuk membayarnya, sama dengan berbuat zhalim,
(2) jika yang punya utang melimpahkan tanggung jawabnya kepada yang
mampu, boleh saja diterima.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ
يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا
أَتْلَفَهُ اللَّهُ
Barangsiapa yang meminjam harta orang lain, kemudian
berusaha ingin membayarnya, Allah akan memberikan kemudahan untuk membayarnya.
Barangsiapa yang meminjamnya untuk merusaknya, maka Allah akan merusaknya. Hr. al-Bukhari,[18]
Berdasar hadits ini orang yang meminjam sesuatu pada orang
lain dan tidak bermaksud membayarnya, maka akan menderita kesulitan untuk
membayarnya. Sebaliknya orang yang berkeinginan keras untuk membayar utang,
Allah akan memberikan kemudahan. Jika sampai akhir hayat belum dibayar, maka
akan menjadi beban berkepanjangan. Rasul SAW bersabda:
نَفْسُ
الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa
seorang mu`min terikat dengan utangnya hingga dibayar. Hr. al-Syafi’iy, al-Turmudzi.[19]
Rasul
SAW enggan melakukan shalat jenazah yang meninggalkan utang, sehingga ada yang
menanggungnya untuk membayar.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى
بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ
فَضْلًا فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ لِدَيْنِهِ وَفَاءً صَلَّى وَإِلَّا قَالَ
لِلْمُسْلِمِينَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْفُتُوحَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ
تُوُفِّيَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ
تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ
Dari Abi hurairah diriwayatkan bahwa dihadapkan kepada Rasul
SAW seseorang yang wafat meninggalkan utang. Beliau bertanya kepada keluarganya
apakah al-marhum meninggalkan harta untuk membayar utang? Jika dikatakan bahwa
al-marhum punya harta untuk membayarnya, maka beliau langsung
menyolatinya. Jika ternyata al-marhum tidak punya harta untuk membayar
utangnya, maka Rasul bersabda: Shalatlah kailan untuk shahabat kalian! Namun
tatkala Allah SWT memberikan kemenangan di berbagai peperangan, Rasul bersabda
aku adalah wali bagi orang mu`min. Barangsiapa yang mempunyai utang aku
membayarkannya. Barang siapa yang meninggalkan harta, maka untuk ahli wrisnya. Hr. al-Bukhari dan Muslim[20]
Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasul enggan melakukan
shalat jenazah al-marhum yang meninggalkan utang. Orang yang punya utang,
shalat jenazahnya diserahkan kepada shahabat. Ketika telah berhasil
meraih kemenangan, utang al-Marhum dibayar terlebih dahulu oleh harta yang
telah terkumpul di tangan Rasul SAW. Hal ini menunjukkan betapa penting
membayar utang sebelum menghadapi kematian. Harta warisan pun, sebagaimana
dikemukan dalam surat al-nisa: 11-12, baru bisa dibagikan apabila telah
terpenuhi membayar utang.
3. وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ
dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya;
Oleh karena itu hendaklah semua fihak bertaqwa kepada Allah
SWT, jangan ada yang berkhianat kepada sesamanya. Perintah taqwa disipkan dalam
urusan utang piutang, mangandung perintah waspada terhadap orang yang punya
uang dalam memberi pinjaman. Juga memberikan bimbingan agar yang punya utang
disiplin membayar. Orang yang melalikan utang, berarti tidak bertaqwa.
4. وَلاَ تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ
dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.
Orang yang mengetahui, hendaklah selalu siap menjadi saksi.
Jangan sekali-kali menyembunyikan kesaksian, demi menunjukkan kebenaran.
Bersaksi dalam menegakkan kebenaran, murupakan ibadah yang nilainya cukup
tinggi di sisi Allah, karena bukan hanya disiplin taqwa, tapi juga menghindari
kezaliman atau kecurangan.
5. وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ
قَلْبُهُ
Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya;
Sebaliknya orang yang tidak mau bersaksi, padahal dia tahu,
maka merupakan dosa. Sedangkan saksi palsu termasuk dosa besar. Hukum
menyembunyikan kesaksian adalah dosa, yang akan dimintai tanggung jawab d
akhirat. Setiap yang tahu fakta wajib hukumnya memberi kesaksian, dan haram
hukumnya menolak jadi saksi atau menjadi saksi palsu.
6. وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Allah SWT mengetahui apa yang dikerjakan hamba-Nya, baik
yang nampak secara terang-terangan maupun yang disembunyikan. Oleh karena itu
pra saksi jangan menyembunyikan persaksian, apalagi membikin kepalsuan. Mungkin
saja di antara sesame manusia ada unsure penipuan, yang tidak bisa ditampakkan,
tapi semuanya itu diketahui dan bakan dipertanggung jawabkan.
Beberapa Ibrah
1. Setiap transaksi yang mengandung
perjanjian penangguhan seharusnya ada bukti tertulis. Namun jika tidak
memungkinkan perjanjian tertulis, maka hendaklah ada yang menjadi saksi. Jika
ternyata tidak ada saksi, tidak pula bukti tulisan, maka dipersilakan adanya
jaminan.
2. Prisnsip mu’amalat adalah saling
percaya dan menjaga kepercayaan semua fihak. Untuk menghilangkan keraguan maka
hendakla diadakan perjanjian secara tertulis atau jaminan. Namun kalau semuanya
saling mempercayai, atau dalam transaksi tunai yang tidak akan menimbulkan
masalah di kemudian hari, tidak mengapa tanpa tulisan atau jaminan aslakan
tetap menjaga amanah.
3. Orang yang mengetahui fakta
kebenaran mesti bersedia menjadi saksi. Bersaksi dalam kebenaran, merupkan
ibadah. Sebaliknya yang menyembunyikan kesaksian, terancam siksa. Sedangkan
bersaksi palsu termasuk dosa besar.
4. Taqwa mencakup segala aspek
kehidupan. Oleh karena itu dalam jual beli, utang piutang, atau mu’amalat
lainnya mesti didasari taqwa. Taqwa juga mesti dimanifestasikan dalam menjaga
amanah, kepercayaan, kejujuran dan menjauhi hal-hal yang merugikan fihak
manapun.
5. Allah SWT maha mengetahui segalanya.
Oleh karena itu setiap insane mesti tetap menjaga kejujuran, menegakkan
kebenaran, menampakkan fakta sebenarnya bila diminta persaksian. Orang yang
menyembunyikan kesaksian akan diungkap kesalahannya oleh yang Maha Mengetahui.
[1] Al-Margahi (1365H), tafsir al-Maraghi, III h.78
[2] Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, XIII h.189
[3] Manshur Ali Nashif, al-taj al-Jami li Ushul ahadits, II h.651
[4] Wahbah al-Zuhayli, al-tafsir al-Munir, III h.122
[5] tafsir al-Wahidi, I h.195
[6] Shahih al-Bukhari, II h.729
[7] Shahih Muslim, III h.1226
[8] Sunan al-Nasa`iy, IV h.38
[9] shahih al-Bukhari, II h.888, Shahih Ibn Hibban, XIII h.258
[10] shahih al-Bukhari, II h.888, sunan al-Tirmidzi, III h.555
[11] Syarh al-Zarqani, IV h.7
[12] Musnad al-Syafi’iy, I h.251, Shahih Ibn Hibban, XIII h.258,
al-Mustadrak, II h.58, sunan al-Bayhaqi al-Kubra, VI h.39
[13] al-tafsir al-Munir, III h.124
[14] Awn al-Ma’bud, IX h.321
[15] Ibn al-Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, II h.207
[16] Mushannaf Ibn Abi Syaibah, IV h.299
[17] Shahih al-Bukhari, II h.799, Shahih Muslim, III h.1197
[18] shahih al-Bukhari, II h.841
[19] Musnad al-Syafi’iy, I h.361, Sunan al-Turmudzi, III h.389
[20] Shahih al-Bukhari, II h.805, Shahih Muslim, III h.1237
No comments:
Post a Comment