Thursday, March 17, 2016

Nama              : Lutpi Try Hidayatulloh
NIM                : 1414231069
Jurusan          : Perbankan Syriah

PERSAKSIAN DAN JAMINAN UTANG
Tafsir Al- Misbah (Ayat 283 Surah Al-Baqarah)
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  
283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[(oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Tentu saja tuntunan-tuntunan ayat yang laku tidak sulit dilakasanakan jika seseorang berada dalam kota, dimana para saksi dan penulis berada. Tetapi jika kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secara tunai, sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis yang dapat menulis hutag-piutang sebagaimana mestinya, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)
Bolehnya member barang tanggungan sebagai jaminan pinjaman, atau dengan kata lain menggadai, walau dalam ayat ini kaiatannya dengan perjalanan, tetpai itu bukan berarti bahwa menggadaikan hanya dibenarkan dalam perjalanan. Nabi Saw, pernah menggadaikan perisai beliau kepada seorang Yahudi, padahal ketika itu beliau sedang berada di Madinah. Dengan demikian, penyebutan kata dalam perjalanan, hanya karena seringnya tidak ditemukan penulis dalam perjalanan. Dari sini pula dapat ditarik kesan, bahwa sejak masa turunnya ayat ini al Qur’an telah menggaris bawahi, bahwa ketidak mampuan menulis hanya dapat ditoleransi untuk sementara – bagi yang tidak bertempat tinggal atau normad.
Bahkan menyimpan barang sebagai jaminan atau menggadainya pun tidak harus dilakukan, karena itu jika sebagai kaum mempercayai sebagaian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya, hutang atau apapun yang dia terima.
Disini jaminan bukan berbentuk tulisan atau saksi, tetapi kepercayaan dan amanah timbale balik. Hutang diterima oleh pengutang, dan barang jaminan diserahkan kepada pemberi hutang.
Amanah adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi, bahwa sesuatu yang diberikan atau dititipkan kepadanya itu akan terpelihara sebagaimana mestinya, dan pada saat yang menyerahkan memintanya kembali maka ia akan menerimanya utuh sebagimana adanya tanpa keberatan dari yang dititipi. Yang menerima pun menerimanya atas dasar kepercayaan dar pemberi, bahwa apa yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi / penitip tidak akan meminta melebihi apa yang diberikan atau di sepakati kedua pihak. Karena itu lanjutannya ayat itu mengingat agar, dan hendaklah ia, yakni yang menerima dan member ayat, bertakwa kepada allah tuhan pemelihara- nya.
Kepada para saksi, yang pada hakikatnya juga memikul amanah kesaksian, diingatkan, jangalah kaum, wahai para saksi, menyembunyikan persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihi, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.
Penyebutan hati dalam ayat ini adalah untuk mengukuhkan kalimat ini. Bukankah jika anda berkata, “ saya melihatnya dengan mata kepala”, maka ucapan anda ini lebih kuat daripada sekedar berkata “ saya melihatnya”, di sisi lain, penyebutan kata itu juga mengisyaratkan bahwa dosa yang dilakukan, adalah dosa yang tidak kecil. Anggota badan yang lain boleh jadi melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan kebenaran, tetapi apa yang dilakukan itu belum tentu di nilai dosa jika tidak ada  dorongan atau pembenaran hati atas perbuatannya. Seseorang yang lidahnya mengucapkan kalimat kufur – di bawah tekanan ancaman – tidak di nilai berdosa selama hatinya tetap tenang meyakini keesaan allah swt. (baca QS. An- Nahl [16]:106). Jika hati berdosa, maka seluruh anggota tubuh berdosa. Nabi Muhammad saw. Bersabda, “ sesungguhnya, didalam diri manusia ada “ segumpal,” apabila ia baik, baiklah seluruh jasad, dan bila ia buruk, buruklah seluruh jasad yaitu kalbu.
Akhrinya allah mengingatkan semua pihak, bahwa allah maha mengetahui apa yang kamu kerjaka, walau sekecil apapun, pekerjaan yang nyata maupun yang tersembunya, yang dilakukan oleh anggota badan maupun hati
Tafsir Al-Misbah Prof. Quraisy Shihab.

A.    Teks Ayat dan Tarjamahnya
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُهُ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Qs.2:283
B.     Kaitan dengan Ayat Sebelumnya
Ayat 282 yang lalu memberikan bimbingan tentang etika utang piutang seperti (1) tercatat, (2) ada saksi, (3) jangka waktu yang ditetapkan, (4) bagaimana pula jika terjadi perselisihan antara kedua belah fihak. Ayat 283 ini memberikan bimbingan bagaimana transaksi atau utang piutang dilakukan di perjalanan, tidak ada saksi, tidak pula tersedia fasilitas tulis menulis.
C.     Tafsir Kalimat
1.      وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ ُ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang bisa dipegang
Pada ayat sebelumnya ditandaskan bahwa mu’amalat itu seyogyanya dilakukan secara tertulis, dan ada saksi supaya tidak terjadi sesuatu hal yang berakibat buruk di kemudian hari. Pangkal ayat ini merupakan pengecualian, bagi yang tidak bisa memenuhi ketentuan tersebut, utamanya tatkala di perjalanan. Solusinya ialah yang meminjam hendaknya memberikan jaminan kepada yang berpiutang. Ayat ini memberi isyarat bahwa tanpa penulis itu hanya bisa dilakukan tatkala di perjalanan dan tidak ada penulis. Dengan kata lain, selama ada penulis, tetap bukti tertulis itu mesti ada. Perintah yang tercantum pada ayat sebelumnya (2:282) diserukan kepada orang mu`min. Keimanan mesti dibuktikan dengan pangakuan dan pengamalan.[1] Oleh karena itu setiap perintah al-Qur`an, mesti dilaksanakan, walau hanya urusan mu’malat seperti utang piutang. Perkataan رِهَان menurut bahasa berasal dari رهن yang berarti sesuatu yang ditahan, tetap, tidak berubah. [2]Sedangkan menurut istilah syari’ah ialah suatu barang yang dijadikan jaminan sehingga pemiliknya tidak bisa menjual atau menukar dengan lain.[3]  Kalimat فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ (jaminan yang bisa dipegang), terkait dengan tatkala di perjalanan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah boleh utang piutang dengan jaminan walau berada di tempat sendiri? Secara tersurat dalam ayat ini, jaminan itu diperlukan bila utang piutang dilakukan dalam perjalanan. Namun bila kedua belah fihak memerlukan jaminan dalam keadaan muqim (berada di tempat), tetap diperbolehkan demi menjaga kepercayaan dan ketenangan.[4]  Fungsi jaminan, utamanya adalah untuk menjaga kepercayaan bersama, dan pegangan bagi yang punya piutang dari yang berutang.[5]
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ فَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
Dari Aisyah diriwayatkan bahwa Rasul SAW membeli bahan pangan dengan menghutang sampai waktu yang ditentukan dengan jaminan baju besinya. Hr. al-Bukhari[6]
Imam Muslim menempatkan hadits ini pada  باب الرهن وجوازه في الحضر والسفر  bab gadai dan dibolehkannya menggunakan jaminan baik dalam utang piutang di perjalanan atau berada di tempat.[7] Dalam riwayat al-Nasa`iy, di ujung hadits tersebut ada tambahan: الرهن في  الحضر   utang piutang dengan jaminan (gadai), tatkala hadir (bukan di perjalanan).[8] Adapun barang yang dijadikan jaminan, berada di mana tergantung kesepakatan bersama. Orang yang memanfaatkan barang jaminan adalah yang bertanggung jawab tentang resikonya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ وَيُشْرَبُ لَبَنُ الدَّرِّ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا
Diriwayatkan dari Abi Hurairah, Rasul SAW bersabda: kendaraan jaminan bisa ditunggangi dengan resiko membiayainya, hewan bisa diminum air susunya, jika menjadi barang jaminan. Hr. al-Bukhari dan Ibn Hibban,[9]
Redaksi lainnya masih dari Abi Hurairah, sabda Rasul SAW sebagai berikut:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
Kendaraan yang dijadikan jaminan bisa ditunggangi, ternak yang dijaminkan bisa diminum air susunya. Orang yang menunggangi kendaraan yang dijaminkan, dan yang meminum air susu hewan bertanggung jawab membiayai resikonya. Hr. Al-Bukhari, Abu dawud al-Turmudzi[10]
Kedua hadits ini memberi isyarat bahwa barang jaminan bisa dimanfaatkan, baik oleh pemiliknya atau orang yang mendapat jaminan. Namun resiko dan biaya yang dibutuhkan oleh barang jaminan itu tanggung jawab yang menggunakannya. Tidak nampak dalam hadits ini ketentuan tentang di mana keberadaan barang jaminan, apakah dipegang yang punya utang atau yang punya piutang. Semua itu bisa diputuskan atas dasar kesepakatan kedua belah fihak. Demikian pula bila terjadi sesuatu yang menimbulkan perpanjangan jangka waktu utang piutang, status jaminan tidak otomatis bisa disita. Menurut al-Zarqani (1122H), pada jaman jahiliyah, jaminan itu bisa dirampas oleh yang punya piutang dari pemiliknya yang tidak bisa membayar tepat waktu. Hukum semacam ini dikoreksi oleh syari’ah.[11] Rasul SAW bersabda:
لاَ يُغْلِقُ الرَّهْنُ  الرَّهْنَ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ لَهُ غُنُمُهُ وَعَلَيْهِ غُرُمُهُ
Pergadaian tidak menghilangkan jaminan dari hak pemiliknya yang telah ia gadaikan; baik keuntungan atau kergiannya. Hr. al-Syafi’iy, Ibn Hibban, al-Hakim, al-Bayhaqi[12]
            Al-Zuhayli juga berpendapat bahwa hadits ini sebagai koreksi terhadap kebiasaan jahiliyah,  yang punya piutang suka langsung menyita barang jaminan dari yang berutang bila tidak bisa membayar tepat waktu.[13] Keabsahan hadits ini ada yang memperdebatkan, karena mata rantainya ada yang terputus. Namun menurut Syams al-Haq, banyak jalur lain yang menguatkannya, sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan.[14] Dengan demikian jika terjadi sesuatu atas yang punya utang sehingga tidak bisa membayar tepat waktu, barang jaminan tidak otomatis bisa dirampas, melainkan ditentukan atas dasar musyawarah. Jika musyawarah tidak mencapai kesepakatan, maka keputusannya bisa melalui jalur hukum dan hakim yang memutuskannya secara adil.[15]
2.      فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
Jika kedua belah saling mempercayai, boleh saja mereka bersepakat tidak memerlukan jaminan. Al-Sya’fiy mengatakan:
الْبُيُوع ثَلاثَة  بَيْع شُهُود وَكِتاب وَبَيْع بِرِهَان مَقْبُوْضَة وَبَيْع بِالاَمَانة وَقَرأ آيَة الدَّيْن
Bertransaksi perniagaan bisa dengan tiga hal (1) mengguanakn saksi dan bukti tertulis, (2) utang piutang dengan jaminan atau pergadaian, (3) melalui kepercayaan atau salaing mepercayai. Kemudian beliau membaca ayat tentang utang piutang (Qs.2:282-283).[16]
Namun yang punya utang mesti dapat dipercaya, jangan sampai berkhianat. Memperlambat bayar utang, padahal telah mampu membayarnya, merupakan perbuatan zhalim. Rasul SAW bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ
Orang yang mampu, menangguhkan bayar utang merupakan kezhaliman. Jika di antaramu diserahi orang yang mampu, maka terimalah. Hr. al-Bukhari dan Muslim[17]
Hadits ini mengisyaratkan bahwa (1) memperlambat bayar utang, padahal sudah punya untuk membayarnya, sama dengan berbuat zhalim, (2)  jika yang punya utang melimpahkan tanggung jawabnya kepada yang mampu, boleh saja diterima.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
Barangsiapa yang meminjam harta orang lain, kemudian berusaha ingin membayarnya, Allah akan memberikan kemudahan untuk membayarnya. Barangsiapa yang meminjamnya untuk merusaknya, maka Allah akan merusaknya. Hr. al-Bukhari,[18]
Berdasar hadits ini orang yang meminjam sesuatu pada orang lain dan tidak bermaksud membayarnya, maka akan menderita kesulitan untuk membayarnya. Sebaliknya orang yang berkeinginan keras untuk membayar utang, Allah akan memberikan kemudahan. Jika sampai akhir hayat belum dibayar, maka akan menjadi beban berkepanjangan. Rasul SAW bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa seorang mu`min terikat dengan utangnya hingga dibayar. Hr. al-Syafi’iy, al-Turmudzi.[19]
Rasul SAW enggan melakukan shalat jenazah yang meninggalkan utang, sehingga ada yang menanggungnya untuk membayar.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلًا فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ لِدَيْنِهِ وَفَاءً صَلَّى وَإِلَّا قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ
Dari Abi hurairah diriwayatkan bahwa dihadapkan kepada Rasul SAW seseorang yang wafat meninggalkan utang. Beliau bertanya kepada keluarganya apakah al-marhum meninggalkan harta untuk membayar utang? Jika dikatakan bahwa al-marhum punya harta untuk membayarnya, maka  beliau   langsung menyolatinya. Jika ternyata al-marhum tidak punya harta untuk membayar utangnya, maka Rasul bersabda: Shalatlah kailan untuk shahabat kalian! Namun tatkala Allah SWT memberikan kemenangan di berbagai peperangan, Rasul bersabda aku adalah wali bagi orang mu`min. Barangsiapa yang mempunyai utang aku membayarkannya. Barang siapa yang meninggalkan harta, maka untuk ahli wrisnya. Hr. al-Bukhari dan Muslim[20]
Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasul enggan melakukan shalat jenazah al-marhum yang meninggalkan utang. Orang yang punya utang, shalat jenazahnya diserahkan kepada shahabat. Ketika telah berhasil  meraih kemenangan, utang al-Marhum dibayar terlebih dahulu oleh harta yang telah terkumpul di tangan Rasul SAW. Hal ini menunjukkan betapa penting membayar utang sebelum menghadapi kematian. Harta warisan pun, sebagaimana dikemukan dalam surat al-nisa: 11-12, baru bisa dibagikan apabila telah terpenuhi membayar utang.
3.      وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya;
Oleh karena itu hendaklah semua fihak bertaqwa kepada Allah SWT, jangan ada yang berkhianat kepada sesamanya. Perintah taqwa disipkan dalam urusan utang piutang, mangandung perintah waspada terhadap orang yang punya uang dalam memberi pinjaman. Juga memberikan bimbingan agar yang punya utang disiplin membayar. Orang yang melalikan utang, berarti tidak bertaqwa.
4.      وَلاَ تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ
dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.
Orang yang mengetahui, hendaklah selalu siap menjadi saksi. Jangan sekali-kali menyembunyikan kesaksian, demi menunjukkan kebenaran. Bersaksi dalam menegakkan kebenaran, murupakan ibadah yang nilainya cukup tinggi di sisi Allah, karena bukan hanya disiplin taqwa, tapi juga menghindari kezaliman atau kecurangan.
5.      وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُهُ
Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;
Sebaliknya orang yang tidak mau bersaksi, padahal dia tahu, maka merupakan dosa. Sedangkan saksi palsu termasuk dosa besar. Hukum menyembunyikan kesaksian adalah dosa, yang akan dimintai tanggung jawab d akhirat. Setiap yang tahu fakta wajib hukumnya memberi kesaksian, dan haram hukumnya menolak jadi saksi atau menjadi saksi palsu.
6.      وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Allah SWT mengetahui apa yang dikerjakan hamba-Nya, baik yang nampak secara terang-terangan maupun yang disembunyikan. Oleh karena itu pra saksi jangan menyembunyikan persaksian, apalagi membikin kepalsuan. Mungkin saja di antara sesame manusia ada unsure penipuan, yang tidak bisa ditampakkan, tapi semuanya itu diketahui dan bakan dipertanggung jawabkan.
Beberapa Ibrah
1.      Setiap transaksi yang mengandung perjanjian penangguhan seharusnya ada bukti tertulis. Namun jika tidak memungkinkan perjanjian tertulis, maka hendaklah ada yang menjadi saksi. Jika ternyata tidak ada saksi, tidak pula bukti tulisan, maka dipersilakan adanya jaminan.
2.      Prisnsip mu’amalat adalah saling percaya dan menjaga kepercayaan semua fihak. Untuk menghilangkan keraguan maka hendakla diadakan perjanjian secara tertulis atau jaminan. Namun kalau semuanya saling mempercayai, atau dalam transaksi tunai yang tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari, tidak mengapa tanpa tulisan atau jaminan aslakan tetap menjaga amanah.
3.      Orang yang mengetahui fakta kebenaran mesti bersedia menjadi saksi. Bersaksi dalam kebenaran, merupkan ibadah. Sebaliknya yang menyembunyikan kesaksian, terancam siksa. Sedangkan bersaksi palsu termasuk dosa besar.
4.      Taqwa mencakup segala aspek kehidupan. Oleh karena itu dalam jual beli, utang piutang, atau mu’amalat lainnya mesti didasari taqwa. Taqwa juga mesti dimanifestasikan dalam menjaga amanah, kepercayaan, kejujuran dan menjauhi hal-hal yang merugikan fihak manapun.
5.      Allah SWT maha mengetahui segalanya. Oleh karena itu setiap insane mesti tetap menjaga kejujuran, menegakkan kebenaran, menampakkan fakta sebenarnya bila diminta persaksian. Orang yang menyembunyikan kesaksian akan diungkap kesalahannya oleh yang Maha Mengetahui.








[1] Al-Margahi (1365H), tafsir al-Maraghi, III h.78
[2] Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, XIII h.189
[3] Manshur Ali Nashif, al-taj al-Jami li Ushul ahadits, II h.651
[4] Wahbah al-Zuhayli, al-tafsir al-Munir, III h.122
[5] tafsir al-Wahidi, I h.195
[6] Shahih al-Bukhari, II h.729
[7] Shahih Muslim, III h.1226
[8] Sunan al-Nasa`iy, IV h.38
[9] shahih al-Bukhari, II h.888, Shahih Ibn Hibban, XIII h.258
[10] shahih al-Bukhari, II h.888, sunan al-Tirmidzi, III h.555
[11] Syarh al-Zarqani, IV h.7
[12] Musnad al-Syafi’iy, I h.251, Shahih Ibn Hibban, XIII h.258, al-Mustadrak, II h.58, sunan al-Bayhaqi al-Kubra, VI h.39
[13] al-tafsir al-Munir, III h.124
[14] Awn al-Ma’bud, IX h.321
[15] Ibn al-Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, II h.207
[16] Mushannaf Ibn Abi Syaibah, IV h.299
[17] Shahih al-Bukhari, II h.799, Shahih Muslim, III h.1197
[18] shahih al-Bukhari, II h.841
[19] Musnad al-Syafi’iy, I h.361, Sunan al-Turmudzi, III h.389
[20] Shahih al-Bukhari, II h.805, Shahih Muslim, III h.1237

No comments:

Post a Comment