Thursday, March 17, 2016

Nama              : Hana Aisyah
NIM                : 1414231041
Jurusan/SMT            : Perbankan Syariah 2/ IV
Mata Kuliah  : Tafsir Ayat Ekonomi

AYAT EKONOMI TENTANG REZKI
AL-BAQARAH (2) : 254
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& $£JÏB Nä3»oYø%yu `ÏiB È@ö7s% br& uÎAù'tƒ ×Pöqtƒ žw ÓìøŠt/ ÏmŠÏù Ÿwur ×'©#äz Ÿwur ×pyè»xÿx© 3 tbrãÏÿ»s3ø9$#ur ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËÎÍÈ  
Artinya:
254. Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (dijalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at [160], dan orang-orang kafir itulah orang-orang zalim.
 [160] Syafa'at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa'at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi orang-orang kafir.
Dengan ayat ini, Allah swt. memerintahkan kepada orang-orang yang beriman supaya mereka menafkahkan sebagian dari harta benda yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka untuk kepentingan diri dan keluarga, atau kepentingan masyarakat umum. Mereka harus ingat bahwa nanti akan datang suatu hari di mana tidak akan ada lagi kesempatan bagi mereka untuk membelanjakan harta benda tersebut, sebab pada hari itu terjadi hari kiamat yang diikuti oleh hari pembalasan. Tidak ada lagi teman karib yang akan memberikan pertolongan, dan tak ada lagi orang-orang yang dapat menyelamatkan dan memberikan bantuan. Harta benda dan anak cucu pun tak dapat memberikan pertolongan apa-apa. Kecuali orang-orang yang datang menghadap Tuhan dengan hati yang suci dan amal yang banyak. Pada hari itu akan tampak jelas kekayaan Allah swt. Orang-orang yang tidak mau membelanjakan harta bendanya di dunia untuk kepentingan umum (fisabilillah) adalah orang-orang yang mengingkari nikmat Allah. Dan dengan demikian mereka akan menjadi orang-orang yang zalim terhadap diri sendiridan terhadap orang lain. Zalim terhadap diri sendiri adalah karena dengan keingkaran itu ia akan mendapat azab dari Allah swt. . dan zalim terhadap orang lain, karena ia enggan memberikan hak orang lain yang ada pada harta bendanya itu, baik berupa zakat yang telah diwajibkan kepadanya maupun berupa sedekah dan sumbangan-sumbangan yang dianjurkan oleh agama. Ada beberapa pendapat para ulama mengenai infak atau "pembelanjaan harta" yang dimaksudkan dalam ayat ini. Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini ialah infak wajib, yaitu zakat, karena di akhir ayat iniAllah menyebut orang-orang yang tidak mau berinfak itu sebagai orang-orang kafir. Seandainya yang dimaksudkan dengan infak di sini hanya sunat, yaitu "sedekah", tentulah mereka yang tidak bersedekah itu tidak akan disebut sebagai orang-orang kafir. Dan sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan infak dalam ayat ini ialah infak untuk kepentingan jihad fisabilillah, yaitu untuk kepentingan perjuangan menegakkan agama Allah, , serta mempertahankan diri dan negara terhadap ancaman musuh. Sedang ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan infak dalam ayat ini adalah infak wajib dan infak sunat, yaitu zakat dan sedekah. Adapun kata-kata "kafir" dalam ayat itu adalah dengan arti "enggan berzakat"bukan kafir, tidak beriman. Harta benda menurut Islam adalah mempunyai fungsi sosial, di samping untuk kepentingan pribadi. Oleh sebab itu, apabila seseorang telah berhasil memperoleh harta benda dengan cara-cara yang halal, maka ia mempunyai kewajiban untuk membelanjakan sebahagian dari harta benda itu untuk kepentingan diri dan keluarganya, dan sebagiannya lagi untuk kepentingan umum, baik berupa zakat, atau sedekah-sedekah dan sumbangan suka rela untuk kemaslahatan umum. Menunaikan zakat mengandung dua macam faedah; pertama faedah bagi orang yang menunaikan zakat itu ialah membebaskannya dari kewajiban yang telah dipikulkan Allah kepadanya dan dengan demikian ia akan memperoleh rida dan ganjaran-Nya, dan juga akan menghilangkan sifat kikir dari dirinya. Faedah kedua ialah bahwa penunaian zakat itu berarti pula mensucikan harta bendanya yang tinggal setelah zakat itu dikeluarkan, sebab selama zakat itu belum dikeluarkan, senantiasalah pada hartanya itu tersangkut hak orang lain, yaitu hak kaum kerabat, fakir miskin, ibnu sabil dan orang-orang lain yang memerlukan pertolongan. Sungguh amat tinggilah hikmah yang terkandung dalam syariat Islam yang berkenaan dengan zakat ini. Sebab manusia pada umumnya adalah bersifat kikir. Apabila ia berhasil memperoleh harta benda, , beratlah hatinya untuk membelanjakan harta bendanya itu untuk kepentingan orang lain. Bahkan ada pula orang yang enggan membelanjakan harta bendanya bagi kepentingan dirinya sendiri padahal ia telah bersusahpayah mengumpulkannya. Kalau dia ingat bahwa padasuatu ketika ia akan meninggalkan dunia fana ini dan meninggalkan harta benda itu sendiri niscaya ia tidakakan bersifat demikian. Agama Islam telah menunjukkan obat yang sangat manjur untuk membasmi penyakit bakhil dari hati manusia. Islam memberikan didikan dan latihan kepada manusia untuk bersifat dermawan, murah hati, dan suka berkorban untuk kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain, ialah dengan peraturan zakatdan sedekah. Di samping itu sedekah dan sumbangan-sumbangan yang kita berikan untuk kepentingan umum oleh agama dinilai sebagai amal jariah, yaitu suatu amal yang pahalanya akan tetap mengalir kepada orang yang melakukannya walaupun ia telah meninggal dunia selama hasil sumbangannya itu dapat dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Akan tetapi dalam penunaian zakat dan sedekah itu diperlukan niat yang ikhlas, yaitu mencari rida Allah dan terjauh dari sifat riya, ingin dipuji dan disanjung oleh sesama manusia. Tambahan pula menunaikan zakat dan sedekah itu adalah merupakan suatu manifestasi dari rasa iman dan syukur kepada Allah yang telah menjanjikan akan menambah rahmat-Nya kepada siapa saja yang mau bersyukur. Sebaliknya orang-orang yang tidak mau bersyukur sehingga ia enggan berzakat dan bersedekah telah diancam dengan azab di hari kemudian. Allah berfirman:
øŒÎ)ur šc©Œr's? öNä3š/u ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯RyƒÎV{ ( ûÈõs9ur ÷LänöxÿŸ2 ¨bÎ) Î1#xtã ÓƒÏt±s9 ÇÐÈ  
7. dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S Ibrahim: 7)
Tafsir Indonesia Jalalain Surah Al Baqarah 254:
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& $£JÏB Nä3»oYø%yu `ÏiB È@ö7s% br& uÎAù'tƒ ×Pöqtƒ žw ÓìøŠt/ ÏmŠÏù Ÿwur ×'©#äz Ÿwur ×pyè»xÿx© 3 tbrãÏÿ»s3ø9$#ur ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËÎÍÈ  
(Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah sebagian dan rezeki yang telah Kami berikan padamu), yakni zakatnya, (sebelum datang suatu hari tidak ada lagi jual beli) atau tebusan (padanya, dan tidak pula persahabatan)yang akrab dan memberi manfaat, (dan tidak pula syafaat) tanpa izin dari-Nya, yaitu di hari kiamat. Menurut satu qiraat dengan baris di depannya ketigakata, bai`u, khullatu dan syafaa`atu. (Dan orang-orang yang kafir) kepada Allah atau terhadap apa yang diwajibkan-Nya, (merekalah orang-orang yang aniaya) karena menempatkan perintah Allah bukan pada tempatnya.
Perbedaan pendapat, berbunuh-bunuhan, mengharuskan adanya kelompok yang tampil menyelesaikan perbedaan itu. Kelompok itu dituntut mencurahkan kemampuannya untuk menghalangi perbedaan pendapat dan berbunuhan itu, lebih-lebih menghadapi siapa yang dilukiskan oleh akhir ayat ini sebagai orang-orang zalim.
Rezeki pada mulanya berarti pemberian untuk waktu tertentu. Namun makna asal ini berkembang sehingga kata rezeki juga dipahami antara lain dalam arti pangan, hujan, dan gaji. Bahkan al-Qur’an menggunakannya untuk makna anugrah kenabian. Al-Qur’an mengabdikan ucapan Nabi Syu’aib as yang berkata, “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugrahi-Nya aku dari-Nya rezeki yang baik (yakni kenabian)patutkah aku menyalahi perintah-Nya?” (QS. Hud[11]: 88). Atas dasar itu kita dapat berkata, bahwa rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan, baik material maupun spiritual. Dengan demikian, agaknya kurang tepat bila perintah menafkahkan rezeki dalam ayat ini dan ayat-ayat lain dipahami dalam arti menafkahkan harta benda saja, tetapi menafkahkan dalam arti memberikan apa saja yang berada dalam kemampuan seseorang.
Sementara ulama berpendapat, bahwa yang dinamai rezeki hanyalah pemberian yang bersifat halal. Tetapi pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama. Salah satu alasannya adalah ayat Hud diatas yang menggunakan istilah “rezeki yang baik” sebagai isyarat bahwa ada rezeki yang tidak baik, yakni yang haram.
Ayat diatas menyatakan, “Kami rezekikan kepada kamu,” Yang dimaksud dengan Kami adalah Allah swt. Penggunaan bentuk jamak untuk menunjuk Tuhan Yang Maha Esa mengisyaratkan ada dan perlunya keterlibatan manusia bersama Allah dalam dan guna perolehan rezeki itu. Ini sesuai dengan kebiasaan Al-Qur’an bila menggunakan bentuk jamak menujukan kepada Allah. Artinya, bentuk jamak itu menunjukan adanya keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam kegiatan yang diinformasikan. Penggunaan bentuk jamak itu mengisyaratkan juga perlunya menafkahkan yang halal, karena keterlibatan Allah dalam perolehan rezeki itu pastilah mencerminkan kehalalan rezeki, sebab Allah tidak akan terlibat dalam suatu aktivitas yang haram. Disamping itu rezeki tersebut bersumber dari Allah swt, dari siapa pun dia tidak dapat memperolehnya kecuali atas izin-Nya.
Nafkahkanlah sebagian rezeki itu sebelum datang hari yang tidak ada lagi jual beli, dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab, dan tidak ada lagi syafa’at. Yakni sebelum datang kematian serta tibanya hari Kiamat. Karena ketika itu, semua orang akan menyesal dan ingin memperbanyak amal-amal kebajikannya, semua orang ingin bertaubat menebus dosa-dosanya, padahal pada hari itu tidak ada lagi jual beli untuk menebus dosa, tidak juga persahabatan yang memungkinkan seseorang membantu walau sahabatnya yang amat dekat, sebagaimana dipahami dar kata ('©#äz) khullah, yakni persahabatan yang dijalin oleh cinta dan ridha yang sedemikian meresap masuk kecelah-celah relung hati. Kalau persahabatannya yang demikian dekat saja tidak akan mampu member bantuan, apalagi sahabat biasa. Tidak juga syafa’at yang tidak diizinkan Allah untuk diberikan. Dan Dia tidak mengizinkannya kecuali oleh dan terhadap yang berhak.
Ayat ini ditutup dengan frase, “Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim,” untuk mengisyaratkan bahwa perselisihan dan bunuh-membunuh setelah datangnya penjelasan dari para nabi, dapat mengantar mereka kepada kekufuran dan penganiayaan. Kenyataan menunjukan kebenaran isyarat ini. Bukankah sekian banyak kelompok yang mengaku sama-sama mengikuti nabi tertentu, yang justru saling kafir mengkafirkan, serta menyesatkan, menganiaya satu sama dengan yang lainnya, bahkan bunuh membunuh atas nama agama dan ajaran nabi yang mereka yakini? Lihatlah sejarah dan kenyataan yang dialami oleh umat beragama = Budha, Hindu, Yahudi, Kristen dan tidak terkecuali Islam.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat di atas:”Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menginfakkan rizki yang telah Allah karuniakan kepada mereka di jalan-Nya yaitu jalan kebaikan, supaya mereka menyimpan pahala perbuatan tersebut di sisi Rabb mereka, Raja mereka (Allah), dan supaya mereka bersegera untuk melakukan hal itu (infak) di kehidupan dunia ini, sebelum datang suatu hari, yaitu hari Kiamat.”
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata:”Seruan dalam ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa berpegang teguh dengan apa yang akan disebutkan dalam ayat ini adalah termasuk konskwensi dari keimanan, sama saja apakah ia berbentuk perintah ataupun larangan. Dan juga menunjukkan bahwa tidak merealisasikannya mengurangi keimanan. Dan juga menunjukkan motivasi dan anjuran, seolah-olah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ”Wahai orang-orang yang beriman, karena keimananmu maka kerjakanlah ini dan itu”, seperti ketika kita memotivasi seseorang dengan mengataan:”Hai laki-laki kerjakanlah ini dan itu” karena pekerjaan tersebut adalah konsekwensi dari kelelakian/kejantanannya.”
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata:”Allah menganjurkan kepada kaum mukminin untuk berinfak pada segala macam bentuk kebaikan, karena menghilang-kan obyek kalimat menunjukkan pada keumuman, dan Allah juga mengingatkan tentang nikmatNya atas mereka, bahwa Allah-lah yang telah memberi rizki kepada mereka, dan memberikan berbagai macam nikmat atas mereka, dan Allah tidak memerintahkan kepada mereka untuk mengeluarkan seluruh harta yang ada pada mereka, akan tetapi ayat ini datang dengan kata “min” yang menunjukkan arti sebagian, maka hal ini di antara perkara yang mengajak mereka untuk berinfak, dan juga di antara hal yang mengajak mereka untuk berinfak adalah kabar Allah kepada mereka bahwa infak-infak ter-sebut akan tersimpan rapi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala pada suatu hari yang tidak ada gunanya lagi saling tawar menawar untuk berjual beli dan semacamnya, tidak pula bantuan-bantuan sosial maupun syafaat, setiap orang akan berkata apa yang telah saya persembahkan untuk kehidupan saya, maka seluruh sebab-sebab akan lenyap, kecuali sebab-sebab yang berkaitan dengan ketaatan kepada Allah dan keimanan kepadaNya,
يَوْمَ لاَيَنفَعُ مَالٌ وَلاَبَنُونَ {88} إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ {89}
”(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu-‘ara: 88-89),
dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَآأَمْوَالُكُمْ وَلآأَوْلاَدُكُم بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِندَنَا زُلْفَى إِلاَّ مَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ لَهُمْ جَزَآءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ ءَامِنُونَ {37}
”Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka itulah yang memper-oleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerja-kan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).” (QS. Saba’: 37),
dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
…وَمَاتُقَدِّمُوا لأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ {20}
”Dan kebaikan sekecil apapun yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.”(QS. Al-Muzammil: 20)
Kemudian Allah berfirman, وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ  “Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim” hal itu karena Allah  menciptakan mereka hanya untuk beribadah kepadaNya, Dia memberi rizki dan menyehatkan mereka agar mereka mampu mengerjakan ketaatan dengannya, namun mereka berpaling dari tujuan Allah menciptakan mereka, mereka menyekutukan Allah dengan apa yang tidak Allah turunkan keterangan tentangnya, mereka melakukan kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan dengan kenikmatan itu, mereka tidak meletakkan keadilan pada tempat-nya, oleh karena itulah kezhaliman yang mutlak meliputi mereka.
Para Ulama berbeda pendapat tentang infak yang dieprintahkan dalam ayat ini; apakah ia infak wajib yaitu zakat ataukah ia infak seecara umum mencakup yang wajib dan yang sunnah? Al-Hasan al-Bahsri rahimahullah berpendapat bahwa infak dalam ayat ini adalah khsusus untuk zakat saja (infak wajib), bukan infak sunnah namun Ulama yang lain (Jumhur) berpendapat infak dalam ayat ini adalah umum mencakup infak yang wajib yaitu zakat dan juga infak yang sunnah seperti sedekah dan lain-lain.
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& $£JÏB Nä3»oYø%yu `ÏiB È@ö7s% br& uÎAù'tƒ ×Pöqtƒ žw ÓìøŠt/ ÏmŠÏù Ÿwur ×'©#äz Ÿwur ×pyè»xÿx© 3 tbrãÏÿ»s3ø9$#ur ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËÎÍÈ  
254. Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim.
Melalui ayat ini Allah Swt memerintah kan kepada hamba -hamba-Nya untuk berinfak, yakni membelanjakan sebagian dari apa yang Allah rezeki kan kepada mereka dijalan -Nya , yaitu jalan kebaikan. Dengan demikian, berarti mereka menyimpan pahala hal tersebut di sisi Tuhan yang memiliki mereka semua ; dan agar mereka ber segera melakukan hal tersebut dalam kehidupan di dunia ini , yaitu :
 `ÏiB È@ö7s% br& uÎAù'tƒ ×Pöqtƒ ÇËÎÍÈ  
sebelum datang suatu hari. (Al-Baqarah:254)
Hari yang dimaksud adalah hari kiamat.
žw ÓìøŠt/ ÏmŠÏù Ÿwur ×'©#äz Ÿwur ×pyè»xÿx© 3
yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat. (Al-Baqarah:254)
Artinya , pada hari itu seseorang tidak dapat membeli dirinya sendiri; tidak dapat pula menebusnya dengan harta, sekalipun ia menyerah-kan nya dan sekalipun ia mendatang kan emas sepenuh bumi untuk tujuan itu. Persahabatan yang akrab dengan seseorang tidak dapat memberikan manfaat apapun kepada dirinya, bahkan nasabnya sekalipun, seperti yang dinyatakan di dalam firman lainnya :
#sŒÎ*sù yÏÿçR Îû ÍqÁ9$# Ixsù z>$|¡Sr& óOßgoY÷t/ 7ͳtBöqtƒ Ÿwur šcqä9uä!$|¡tFtƒ ÇÊÉÊÈ  
Apabila sangkakala ditiup, maka tidak lah ada lagi pertalian nasab diantara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. (Al-Mu-miriun:101)
Firman Allah Swt :
Ÿwur ×pyè»xÿx© 3
dan tidak ada lagi syafaat. (Al-Baqarah:254)
Yakni tiada bermanfaat bagi mereka syafaat orang–orang yang mem-berikan syafaatnya.
Firman Allah Swt :
tbrãÏÿ»s3ø9$#ur ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËÎÍÈ  
Dan orang – orang kafir itu lah orang–orang yang zalim. (Al-Baqarah:254)
Mubtada dalam ayat ini dibatasi oleh khabar–nya ,yakni orang-orang yang benar- benar zalim diantara mereka yang datang menghadap kepada Allah adalah orang yang kafir.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Atau ibnu Dinar, bahwa ia pernah
berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah berfirman :
tbrãÏÿ»s3ø9$#ur ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËÎÍÈ                                 
Dan orang- orang kafir itulah orang- orang yang zalim' (Al-Baqarah:254)
Dan tidak mengatakan dalam firman- Nya, 'Orang- orang zalim itulah
orang- orang yang kafir'. "
Kandungan surat Al-baqarah ayat 254 :
1.      Ayat ini adalah seruan untuk semua orang beriman tanpa pandang suku, ras, warna kulit dan bangsa.
2.      Orang beriman adalah orang mengimani semua yang wajib diimani dengan ucapan lisan, keyakinan hati dan pengamalan dengan anggota tubuh. Iman bisa bertambah dengan ketaatan kepada Allah dan bisa berkurang dengan kedurhakaan kepada Allah.
3.      Allah menunjukkan kepada hamba-hambaNya akan kelembutanNya dengan memerintahkan kepada mereka agar mempersembahkan sesuatu dari rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka.
4.      Sungguh beruntung orang yang dermawan, yaitu yang mengeluarkan harta yang wajib seperti zakat dan nafkah kepada keluarga serta lainnya, dan yang sunnah seperti sedekah dan lainnya.
5.      Semua ini adalah untuk kebaikan diri mereka sendiri agar menjadi simpanan bagi mereka sehingga mendapatkan pahala yang berlimpah pada hari ketika semua manusia sangat mengharapkan kebaikan walau sekecil atom.
6.      Pada hari itu tidak ada lagi jual beli walau seseorang hendak menebus dirinya dengan sepenuh bumi emas agar terbebas dari adzab pasti tidak akan diterima, yaitu pada hari kiamat.
7.      Pada hari itu tidak bermanfaat pula teman dan sahabat karib serta pertolongan dan syafa'at (perantara) untuk mendapatkan kebaikan atau menolak keburukan kecuali dengan seijin Allah.
8.      Pada hari itu merugilah orang-orang yang melakukan kebatilan dan mendapatkan kehinaan, yaitu orang-orang yang dzalim yang menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, yang meninggalkan kewajibannya kepada Allah dan kepada sesama serta meninggalkan yang halal menuju yang haram.
9.      Kedzaliman yang paling besar adalah syirik dan kufur kepada Allah yaitu menempatkan ibadah yang semestinya hanya untuk Allah semata ternyata dialihkan untuk makhluk. Orang kafir dan musyrik itu adalah orang dzalim yang berada di puncak kedzaliman dan dzalim yang hakiki.
10.  Hendaklah kita waspada untuk tidak berbuat syirik dan kekafiran.
Ayat ini merupakan ancaman atau peringatan untuk orang-orang Mukmin bahwa selagi kalian masih berada didunia, maka gunakanlah kesempatan dan sediakanlah bekal untuk hari kiamat kalian. Lakukan transaksi dengan Allah didunia dan infakkanlah sebagian dari harta kalian untuk orang lain, karena dihari kiamat kelak, tiada lagi transaksi dan perdagangan sehingga dapat menjadi penolong kebahagiaan dan keselamatan kalian dari siksa. Janganlah kalian berharap kepada para pembesar kalian, karena disana nanti tidak ada seorangpun yang dapat membantu kalian dan tidak ada syafaat.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1.      Apa yang kalian punya bukanlah milik kalian, Kamilah yang memberikan kepada kalian.
2.      Kami telah katakana bahwa infakkanlah sebagian dari apa yang kami berikan, bukannya semua harta kalian.
3.      Infak tersebut pada hari kiamat nanti lebih baik bagi kalian disbanding dengan setiap kawan dan sahabat.







REFERENSI
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah, pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an. Lentera Hati. Jakarta : 2002.
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 3. Sinar Baru Algensindo.



No comments:

Post a Comment