Thursday, March 17, 2016

NAMA                        : HISYAM SAYUTI
JURUSAN/SMT         : PERBANKAN SYARI’AH 2 / IV
MATA KULIAH       : TAFSIR AYAT EKONOMI

MEMBERI PINJAMAN ALLAH
`¨B #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟ÒãŠsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouŽÏWŸ2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)tƒ äÝ+Áö6tƒur ÏmøŠs9Î)ur šcqãèy_öè? ÇËÍÎÈ
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”

TAFSIR AL-MISBAH
Setelah menganjurkan berjuang dengan jiwa raga, kini yang di anjurkan adalah berjuang dengan harta benda. Memang perjuangan memerlukan harta. Kali ini anjurannya lebih kukuh dari anjuran sebelumnya. Karena di sini di paparkan dalam bentuk pertanyaan yang mengandung makna ujian tentang siapa yang membenarkan apa yang Dia informasikan. Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik.
            Kata yang meminjamkan dan pinjaman pada ayat ini adalah terjemahan dari kata qard yang kemudian masuk dalam aneka bahasa dengan makna yang sama dengan kredit. Dari tinjauan bahasa al-quran, kata tersebut padamulanya bermakna memotong sesuatu dengan gigi, seperti tikus yang memotong kayu dengan giginya. Ini memeberi kesan bahwa pijaman yang di berikan itu di berikan dalam situasi kejiwaan yang sulit. Di sisi lain, pada saat seseorang menggigit sesuatu, maka ijelas ia mengharapkan hasil yang memuaskan dari upayanya itu. Karena itu, pakar tafsir al-qurtubi misalnya, mendefinisikan qard sebagai “segala sesuatu yang di lakukan dengan mengharapkan imbalan.”nah, karena yang di beri pinjaman itu adalah Allah, maka tentu saja jika anda percaya kepadanya pasti anda percaya pula bahwa pinjaman itu tidak akan hilang bahkan akan mendapat imbalan yang wajar.
            Hanya satu syarat yang di tekankan dalam pemberian pinjaman itu di sini, yakni pinjaman yang baik dalam arti dengn niat bersih, hati yang tulus, serta harta yang halal.
            Apa makna meminjamkan kepada Allah? Allah mengumpamakan, pemberian seseorang dengan tulus nuntuk kemaslahatan hambaNya sebagai pinjaman allah kepadaNya, sehingga ada jaminan darinya bahwa pinjaman itu kelak akan di kembalikan.
            Selanjutnya, karena Allah yang meminjam, maka dia menjanjikan bahwa Dia akan melipat gandakan pembayaran pinjaman itu kepadanya di dunia atau di akhirat, dengan lipat ganda yang banyak seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, dan pada setiap butir satu biji (QS.al-baqarah : 261), bahkan lebih banyak. Jika anak kecil berkata banyak, maka itu belum tentu banyak dalam ukuran orang dewasa, tetapi sebaliknya, jika orang dewasa berkata banyak, maka pesti jumlahnya melebihi dugaan anak kecil. Yang menyatakan banyak dalam ayat ini adalah Allah SWT, karena iitu sulit di bayangkan, betapa banyak lipat gandaan yang di janjikannya itu.
            Kalau pada ayat yang lalu perintah berjuang dengan jiwa raga di sertai dengan prenjelasan bahwa kematian berrada di tangan Allah, dan bahwa jika telah datang ketetapannya, maka segala usaha akan sia sia, maka dalam ayat yang memerintahkan dalam pinjaman ini, hakikat lainnya di sebutkan, yaitu Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepadaNya lah kamu di kembalikan. Karena itu, jangan khawatir memberi pinjaman dan berjuang dengan harta benda di jalan Allah, apalagi pada akhirnya semua akan kembali kepadaNya.

TAFSIR IBNU KATSIR:
 “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampong halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: ‘Matilah kamu,’ kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (QS. Al-Baqarah: 243) Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesunggubnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui. (QS. Al-Baqarah: 244) Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah: alam tara ilalladziina kharajuu min diyaariHim wa Hum uluufun hadzaral mauti (“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu jumlahnya karena takut mati,”) ia mengatakan, “Mereka berjumlah empat ribu orang. Mereka pergi untuk menghindarkan diri dari wabah tha’un. Mereka mengatakan, “Kami akan pergi ke daerah yang tidak ada kematian disana.” Dan ketika mereka sampai di suatu tempat, Allah Ta’ala berfirman kepada mereka, “Matilah kamu.” Maka mereka pun mati semuanya. Setelah itu ada seorang nabi yang melewati mereka. Ia berdo’a kepada Rabb-Nya agar Dia menghidupkan mereka. Kemudian Allah Ta’ala menghidupkan mereka. Dihidupkannya mereka kembali oleh Allah, mengandung pelajaran dan dalil yang pasti akan adanya kebangkitan jasmani pada hari kiamat kelak. Oleh karena itu Allah berfirman, innallaaHa dzuu fadlin ‘alannaasi (“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia.”) Yaitu karunia berupa diperlihatkannya tanda-tanda kekuasaan Allah yang jelas. Walaakinna aktsaran naasi laa yasykuruun (“Tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”) Artinya, mereka tidak bersyukur atas nikmat yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka, baik nikmat agama maupun dunia.
Dalam kisah tersebut mengandung pelajaran dan dalil yang menunjukkan bahwa tindakan menghidarkan diri dari takdir itu sama sekali tidak berguna. Dan bahwasanya tidak ada tempat berlindung dari ketentuan Allah kecuali kepada-Nya. Karena mereka pergi dengan tujuan menghindarkan diri dari wabah penyakit untuk meraih kehidupan yang panjang, tetapi mereka mendapatkan kebalikan dari apa yang mereka tuju. Kematian mendatangi mereka dengan cepat dan dalam satu waktu.
Termasuk dalam pengertian ini adalah sebuah hadits shahih Yang diriwayatkan Imam Ahmad, bahwa Abdurrahman bin Auf memberitahu Umar bin Khaththab di Syam, Nabi bersabda: “Sesungguhnya penyakit ini dijadikan sebagai siksaan bagi umat-umat sebelum kalian. Jika kalian mendengarnya melanda di suatu daerah, maka janganlah memasuki daerah itu. Dan jika penyakit itu melanda di suatu daerah, sedangkan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar untuk menghindarinya.”
Ia menuturkan, kemudian Umar bin Khaththab pulang kembali Syam (tidak jadi memasuki wilayah Syam).
Hadits senada juga diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahihain, dari Malik, dari az-Zuhri.
Firman Allah: wa qaatiluu fii sabiilillaaHi wa’lamuu annallaaHa samii’un ‘aliim (“Dan peranglah kamu di jalan Allah. Ketahuilah sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Mahamengetahui.”) Maksudnya, sebagaimana tindakan menghindarkan diri dari takdir sama sekali tidak bermanfaat, demikian juga halnya tindakan melarikan diri dan menghindar dari jihad sama sekali tidak mendekatkan atau menjauhkan ajal kematian yang telah ditetapkan dan rizki yang sudah digariskan, bahkan hal itu merupakan ketentuan yang tidak ditambah ataupun dikurangi.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya: “Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang ‘Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak bunuh.’ Katakanlah: ‘Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.’” (QS. Ali Imraan: 168).
Firman-Nya: man dzal ladzii yuqridlullaaHa qardlan hasanan fayudlaa’ifaHuu laHuu ‘adl’aafan katsiiran (“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik [Menafkahkan hartanya di jalan Allah], maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”) Allah menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berinfak di jalan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah beberapa kali mengulangi ayat ini dalam kitab-Nya yang mulia tidak hanya di satu tempat.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan, ketika turun ayat tersebut, Abu Dahdah al-Anshari bertanya: “Ya Rasulullah, apakah Allah swt. mengharapkan pinjaman dari kita?” “Ya, wahai Abu Dahdah,” jawab Rasulullah. Kemudian Abu Dahdah berujar. “Perlihatkan tanganmu kepadaku, ya Rasulullah.” Kemudian Rasulullah, mengulurkan tangannya dan Abu Dahdah berkata: “Sesungguhnya aku akan meminjamkan kepada Rabbku kebunku.” Ibnu Mas’ud menceritakan: “Di dalam kebun itu terdapat enam ratus pohon kurma dan di sana tinggal pula ibu Abu Dahdah dan keluarganya.” Ibnu Masud melanjutkan, kemudian Abu Dahdah datang dan memanggilnya: “Hai Ummu Dahdah.” “Labbaik,” jawabannya. Dia berujar: “Keluarlah, karena aku telah meminjamkannya kepada Rabbku.” Hadits ini juga diriwayatkan Ibnu Mardawaih.
Firman-Nya: qardlan hasanan (“Pinjaman yang baik.”) Diriwayatkan dari Umar dan ulama salaf lainnya, yaitu infak di jalan Allah. Ada juga yang mengatakan, yaitu pemberian nafkah kepada keluarga. Tetapi ada juga yang berpendapat, yaitu tasbih dan “taqdis” (penyucian).
Firman-Nya: fa yudlaa’ifu laHuu adl’aafan katsiiratan (“Maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”) Hal ini seperti firman Allah Ta’ala yang artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahamengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261). Dan mengenai hal ini akan diuraikanlebih lanjut.
Firman-Nya selanjutnya: wallaaHu yaqbidlu wa yab-shuthu (“Dan Allah menyempitkan dan melapangkan [rizki].”) Artinya, berinfaklah dan janganlah kalian pedulikan, karena Allah Mahamemberi rizki. Dia akan sempitkan rizki siapa saja yang Diakehendaki, dan meluaskan rizki orang yang Dia kehendaki pula. Dan dalam hal itu Dia mempunyai hikmah yang sangat sempurna.
Wa ilaiHi turja’uun (“Dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”) Yaitu pada hari kiamat kelak.

TAFSIR AL-MARAGHI
PENGERTIAN SECARA IJMAL
Didalam ayat yang telah lalu, Allah memerintahkan kepada kita untuk berperang, menjelaskan tujuan perang di dalam membela kebenaran, yang harus di keluarkan biaya yang di pakai untuk persiapan untuk membela diri. Terutama setelah semakin majunya sistem ketentaraan yang membutuhkan kemajuan teknologi, tentu akan memakan biaya yang tidak sedikit, demi meninggikan agama dan mencegah penerangan musuh.
PENJELASAN
Infaq di Jalan Allah
 `¨B #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym
Allah memerintahkan di dalam ayat ini agar menginfaqkan harta benda di jalan Allah dan menambahkannya sebagai tabungan yang baik. Dengan demikian, masalah tersebut dapat mendorong umat islam untuk lebih giat didalam melakukan kebajikan.
            Allah Maha Kaya dan Mengetahui bahwa amal seperti ini hanya di gunakan untuk kepentingan mereka sendiri. Pada umumnya, orang tidak berminat menginfakkan harta yang bertalian dengan kepentingan umum. Saat ini, anda sering melihat bahwa banyak kalangan muslim kaya yang menginfaqkan hartanya kepada orang-oran tertentu di sekitarnya,yang motovasinya adalah karena takut kejahatan. Atau terkadang ingin dirinya dihormati atau disukai mereka, sebagaimana yang di katakan oleh penyair :
            “Berbuat baiklah terhada orang lain, maka engau akan daat menguasai hatinya, sebab kebajikan itu dapat menjinakkan hati seseorang”.
            Lebih-lebih jika pemberian atau santunannya itu di berikan kepada kaum kerabat yang terdekat. Maka, akibatnya pun positif dan hartanya akan semakin terpelihara. Sebab, seseorang mustahil bisa hidup aman dan tentram jika di sekelilingnya di penuhi dengan oran-orang yang menderita, sengsara, bahkan kaum faqir.
            Kemudian, jika menginfaqkan harta di jalan Allah demi meninggikan kaamu I’Lah, maka akibat-akibat seperti tersebut tidak akan terjadi. Kecuali jika pelaksanaannya secara sukarela dan terang terangan, serta di koordinir oleh pemerintah atau raja.
            Mengingat kenyataan tersebut, maka perintah atau anjuran berinfaq di jalan Allah ini membutuhkan perhatian khusus yang bisa mengetuk hati khalayk ramai. Dalam masalah ini, janganlah anda berendapat pada masalah-masalah yang memang tidak bisa di kerjakan oleh manusia. Atau, andaikata bisa di kerjakan, jarang di antara mereka yang mampu karena berat, sehingga sedikit orang-orang yang mengamalkannya. Janganlah anda berpendapat sebagaimana pengertian yang tersebut di dalam firman Allah berikut ini:
ö@è% `tB #sŒ Ï%©!$# /ä3ßJÅÁ÷ètƒ z`ÏiB «!$# ...
“ Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah...” (Al-Ahzab, 33:17)
 `tB #sŒ Ï%©!$# ßìxÿô±o ÿ¼çnyYÏã žwÎ) ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/
“...Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? ...” (Al-Baqarah, 2: 255)
Tabungan yang baik yang dimaksudkan di dalam ayat ini ialah mengeluarkan infak yang dipakai dijalan semestinya, dan selaras dengan kemaslahatan umum. Jadi, bukan untuk kesombongan atau memamerkan diri. Memang, mengeluarkan infak dengan maksud ingin mahsyur memang baik. Tetapi cara tersebut tidak menunjukkan kepercayaan pelakunya kepada Allah yang akan membalas kebaikannya. Dengan kata lain, berarti pemberi infak itu tidak ingin mendapatkan ridha Allah, atau memang ia sendiri hanya menginginkan “keharuman nama”. Jadi, yang ia harapkan hanyalah keharuman atau pujian, bukan semakin bertambah dekat kepada Allah melalui infak ini.
Kesimpulannya, infak yang baik itu tidak akan dicapai melainkan jika diletakkan pada tempat sebenarnya, yang disertai dengan niat ikhlas dan mengetahui kebutuhan yang perlu mendapatkan bantuan, sehingga bisa dimanfaatkan kaum muslimin dengan cara yang telah digariskan Allah.
Kebajikan Akan Dilipatgandakan
Kata Adh’af, bentuk tunggalnya adalah dha’fun. Artinya adalah dilipatgandakan beberapa kali dari modalnya. Dalam ayat diatas dikatakan bahwa infak di jalan Allah dinamakan sebagai tabungan baik. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang sudah diinfakkan itu tidak akan hilang dan tetap berada di sisi Allah. Kemudian dijelaskan pula di akhir bahwa pahalanya itu akan dilipat gandakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan agar semangat beramal lebih meningkat.
Pahala yang berlipat ganda ini sampai mencapai hitungan 700 kali lipat, seperti yang di sebutkan di dalam ayat lain, maksudnya ialah pahala di dunia dan di akhirat.
            Pada dasarnya, orang yang mengeluarkan infaq demi meninggalkan kalimatu ‘i-Lah, memperkuat bangsanya dan membela hak-haknya, sebenarnya ia telah membela dirinya dan melindungi hak-haknya sendiri. Kelemahan suatu bangsa dan lenyapnya hak-haknya berasal dari kelakuan para personinya yang rusak dan menyukai kelaliman. Hanya karena kedermawanan para dermawanlah dan karena mereka aktif memberikan pertolongan dan santunan antar ssesama, yakni menanggung beban kaum miskin dan menolong kaum yang lemah. Semua faktor tersebut memperluas lapangan kerja bagi masyarakat secara keseluruhan, yang berarti telah meningkatkan taraf hidup mereka, dengan syarat selama mereka masih tetap berpegang pada prinsip ini dan berjalan di atas kaidah-kaidahnya. Dengan demikian, mereka akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Pahala mereka pun akan di lipat gandakan di samping  mendapatkan keridhaanAllah itu lebih besar.
            Yaqbidhu,artinya menyempit. Yabsuthu, artinya melebar. Arti ayat : Allah mempersempit rizki sebagian orang karena kesalahan mereka sendiri, yakni tidak memperhatikan sunnatu ‘i-Lah di dalam mencari upaya peghidupan. Di samping itu, karena kemalasa mereka di daam mencari rizki di seluruh bumi Allah, sesuai yang di tetapkan Allah untuk hamba-hambaNya. Dan Allah membuka pintu rizki kepada sebagian yang lain karena mereka pandai membawa diri dan menyesuaikan diri dengan situasi yang ada, di sertai dengan usaha mereka yang sungguh-sungguh dan bersifat positif, sesuai dengan keadaan alam.
             Jika Allah menjadikan kaum miskin menjadi kaya secara mendadak, atau menjadikan orang kaya menjadi miskin secara mendadak, hal itu bagi Allah sangat mudah. Dan jika Allah menghendaki demikian, maka Allah pasti mampu membuatnya. Sebab, segala sesuatu itu akan berjalan sesuai dengan kenendak Allah. Allahlah yang akan memberi rizki, dan Allahlah yang akan mencabut rizki.
            Perintah Allah kepada kaum hartawan ini jangan di artikan bahwa Allah membutuhkan demikian, atau Allah tidak mampu memberi rizki. Sebab, perintah itu hanya semata-mata untuk memberikan petunjuk kepada hamba-hambanya agar belajar dan mensyukuri nikmat Alah. Dengan demikian, Allah akan menambah nikmat untuk mereka. Hal ini seperti yang di ungkapkan dalam firman Allah :
øŒÎ)ur šc©Œr's? öNä3š/u ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯RyƒÎV{ ( ûÈõs9ur ÷LänöxÿŸ2 ¨bÎ) Î1#xtã ÓƒÏt±s9 ÇÐÈ
“ Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
            Dengan demikian, manusia ini benar-benar teah mencapai berkat kemanusiaan secara sempurna, sebagaimana telah allah ciptakan sejak permulaan dan berhak menjadi khalifah di bumi. Mereka akan mebangun, dan akan menjadi manudia secara utuh.
            Kemudian, Allah SWT. Menjelaskan tempat kembali semua makhluq dan balasan amal perbuatan mereka ketika di bumi, baik perbuatan baik maupun tidak baik. Dalam ayat berikut ini terkandung sebuah janji dan ancaman.
            Kembali kepaada Allah itu terdapat dua macam :
1.      Menyerahkan diri dalam kehidupan dunia, yakni dengan cara mempelajari sunahnya yang bijaksana, dan kembali kepada tata aturan Allah ysng telah di tetapkan untuk makhluknya.
Misalnya, seorang bisa menjadi kaya jika ia bekerja secara sungguh-sungguh dan karena mendapatkan taufiq dan pertolongan Allah. Dan sebagian tanda syukurnya, ia harus menginfakkan harta atau sebagian nikmat yang di perolehnya. Infaq ini di keluarkan untuk kepentingan umum sehingga mereka pun ikut merasakan kenikmatan tersebut. Di samping itu, manfaatnya juga bisa di rasakan oleh pemberi infaq. Perlu di ingat bahwa melalaikan amal infaq ini akan mengkibatkan kerussakan dan bahaya secara umum, terutama sekali akan menimpa masyarakat dan individu-individunya.
Seorang, sudah barang tentu sangat mustahil melakukan pekerjaan sendirian meskipun tinggi kepandaiannya dan kecerdikannya. Mau tidak mau, ia harus membutuhkan pertolongsn dan taufiq dari Allah untuk bisa menjinakan berbagai media atau sarana yang dapat mengantarnya ke jenjang keberhasilan.
2.      Kembali kepada Allah besok di akhirat, ketika semua orang tempat menerima akibat dari amal perbuatannya masing-masiang selama hidup di dunia.
Pelajaran dari ayat yang mulia di atas:
Di antara pelajaran yang dapat dipetik dari ayat di atas adalah sebagai berikut:
1. Keutamaan berinfak dari rizki yang telah Allah karuniakan kepada kita.
2. Bahwasanya infak adalah salah satu konsekuensi dari keimanan, dan kikir (belit/bakhil) adalah kekurangan dalam iman. Oleh sebab itu seorang mukmin bukanlah orang yang pelit, namun orang mukmin adalah orang yang dermawan.
3. Peringatan bahwa seseorang tidak memperoleh rizki semata-mata dengan usahanya sendiri, usaha hanyalah sebab namun yang menjadikan sebab itu adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala4. Bahwasanya pada hari itu (Kiamat) tidak ada lagi kemungkinan (kesempatan) untuk sampai kepada apa yang diinginkan, dengan sarana/sebab apapun yang biasa mereka gunakan di dunia untuk meraih apa yang mereka inginkan, seperti jual beli, persahabatan, syafa’at. Akan tetapi yang bisa menyampaikan seseorang kepada apa yang diiginkan adalah ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
5. Bahwasanya syafa’at tidak bermanfaat bagi orang kafir, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhiri firman-Nya وَلاَ شَفَاعَةٌ (tidak ada syafa’at) dengan fiman-Nya:وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُون (Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim) dan ini diuatkan dengan firman-Nya:
فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ {48}
”Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at.”(QS. A-Mudatstsir:48)
6. Sesungguhnya kekufuran adalah kezhaliman yang paling besar, sisi pendalilannya adalah pembatasan kezhaliman hanya pada orang kafir. Cara pembatasan dalam ayat ini adalah dengan adanya dhamir fashl (kata ganti pemisah) هم
7. Bahwasanya seseorang tidak bisa mengambil manfaat dari hartanya setelah dia meninggal, berdasarkan firman-Nya:
… أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمُُ ….{254}
”… Infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari …(kematian).” (QS.Al-Baqarah: 254)
Namun hal ini dibatasi (kamsudnya hal ini tidak berlaku secara mutlak namun ia dibatasi) dengan hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعواله
Jika manusia mati terputuslah amalnya kecuali tiga: shadaqah jariyah, atau ilmu yang dia amalkan atau anak shalih yang mendoakannya.”(HR. Muslim)

8. Menafkahkan seluruh harta itu boleh. Hal ini kalau kita mengatakan bahwa makna huruf من (dari) dalam firman Allah مما رزقناكم adalah untuk penjelasan bahwa yang dinafkahkan adalah rizki yang Allah karuniakan, dan uruf tersebut bukan sebagai kata yang menunjukkan sebagian (tab’idhiyyah). Namun hal ini disyaratkan bahwasanya orang tersebut hendaklah yakin bahwa dia masih mampu berusaha, dan jujur dalam bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

No comments:

Post a Comment