Nama : Khotibul Umam
NIM : 1414231063
Jurusan/Semester : 4/ Ps-2
Mata Kuliah : Tafsir Ayat Ekonomi
Tafsir Surat At-Taubah ayat 60
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (60)
Terjemahan:
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Tafsir Al-Azhar:
Yang Mustahak Menerima
Zakat
“Sedekah-sedekah itu
hanyalah untuk orang-orang fakir, dan orang-orang miskin.”
Yang mustahak atau yang berhak mendapat pembagian zakat
(sedekah) iyu adalah delapan jenis, sebagai tersebut dalam ayat ini, atau tujuh
jenis. Sebab para ulama banyak memperbincangkan tentang jenis-jenis fakir dan
miskin ini. Kata setengah mereka, orang yang fakir dan miskin sama saja keadaannya.
Yaitu sama-sama tidak mampu, tidak berkecukupan, melarat, sengsara. Tetapi
setengah mereka pula mengatakan bahwa fakir itu lebih melarat dari pada miskin.
Ada yang memisalkan, jika seseorang memerlukan belanja hidup tiap hari misalnya
100 rupiah, bagaimanapun dia berusaha, dia hanya mendapat kurang dari 50 rupiah.
Itulah orang fakir. Dan ada orang yang berusaha mencari 100 rupiah, tetapi yang
dapat dihasilkannya, hanya kurang dari 100 rupiah, tetapi tidak dibawah 50
rupiah, itulah orang yang miskin.
Demikian pendapat stengah penafsir
Dan ada pula yang berkata bahwa miskin, lebih susa
hidupnya dari pada fakir. Tetapi al-quran satu lai pernah memberi kita pedoman
untuk menentukan bahwa orang miskin itu juga ada mempunyai perusahaan. Ayat 79
dari surat al-kahfi menerangkan jawaban hamba Allah yang diberi rahmat dan ilmu
oleh Tuhan, yang menurut setengah dari ahli tafsirbernama Nabi Khidhir. Ketika
dia menjawab kepada Nabi Musa apa sebeb perahu itu dilobanginya, dia mengatakan
bahwa perahu itu ialah kepunyaan orang-orang miskin yang berusaha di lautan,
sedang raja di negeri itu suka merampok perahu orang yang di pandangnya bagus.
Ayat ini mewmberi petunjuk bahwa orang yang berusaha sebagai nelayan yang empunya
perahu itu adalah orang-orang miskin.
Sebuah hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim dan beberapa ulama hadits yang lain dari Abu Hurairah, dapat
juga memberi kita pedoman tentang arti miskin:
“Berkata Rasulullah saw: bukanlah orang miskin itu de
ngan berkeliling-keliling, meminta-minta kepada manusia, lalu ditolak akan dia
oleh satu suap dua suap atau satu butir dua butir kurma. Lalu orang bertanya:
“kalau begitu apa orang miskin itu, ya Rasul Allah?” Beliau menjawab: “Ialah
orang yang tidak mempunyai orang kaya
buat membantunya, dan orang tidak mengerti akan nasibnya, supaya orang yang
bersedekah kepadanya; dan diapun tidak meminta-minta kepada orang lain.”
Sesudah memahamkan kedua dalil ini, baik surat al-kahfi
ayat79 itu, ataupun sabda Rasulullah s.a.w. pada hadits yang shahih iti,
dapatlah kita menyimpulkan bahwa fakir dan miskin adalah sama. Kadang-kadang
orang miskin itulah yang lebih susah, sebab dia selalu meminta-minta. Dia
adalah berusaha sebagai nelayan dengan perahunya tadi, tapi tidak mencukupi. Di
luar kadang-kadang tidak kelihatan bahwa dia orang susah, sebab dia menjaga
harga diri. Di dalam surat Al-Baqarah ayat 273 di terangkan sikap hidup mereka,
yaitu mereka tidak sanggup berusaha di muka bumi, di sangka oleh orang-orng
yang tidak tahu bahwa dia orang kaya juga, dari sebab dia pandai menahan diri,
dan dia yang tidak mau meminta-minta kepada orang lain secara paksa, yaitu
menyebut-nyebut kesusahannya supaya hati orang kasihan, atau orang terpaksa
memberi karena pandainya berdiplomasi. Ayat 273 itu mengatakan orang yang
berilmu dapat mengenal tanda-tanda orang yang demikian. Satu di antara tanda
itu ialah, karena ia seorang mu’min yang taat beribadat dan berjama’ah, selalu
dia ke masjid. Orang yang tajam mata akan dapat melihat bahwa kain baju yang di
pakainya tidak bertukar-tukar, itu ke itu juga, sudah berbulan-bulan, tetapi
tetap bersih. Dan telah di tambal-tambal, tetapi harus tambalannya. Itu adalah
salah satu contoh tanda saja, yang dapat diketahui oleh orang yang arif
budiman.
Sekarang kita jelaskan satu
per satu:
1.
FAKIR asal artinya ialah
dari “membungkuk tulang punggung”, diambil dari nama sebutan buat orang yang
telah bungkuk memikul beban berat kehidupan.
2.
MISKIN dari kata sukuun,
artinya berdiam diri saja, menahankan penderitaan hidup. Oleh sebab itu
tidaklah ada salahnya kalau sekiranya ada orang yang berpendapat bahwa Fakir
dan Miskin itu adalah satu jenis. Inilah dua jenis pertama atau satu jenis
pertama yang berhak menerima zakat.
3. DAN PENGURUS-PENGURUS ATASNYA. Jika yang ketiga berhak
menerima pula ialah pengurus yang di tugaskan memungut dan mengumpulkan zakat
itu.
Sebagaimana dimaklumi,
kalau negara berdiri menurut peraturan islam, maka zakat adalah di pungut oleh
negara. Negara menentukan pengurus atau pegawai yang akan memungut itu. Si
pengurus atau pegawai, berhak pula mendapat bahagian. Tetapi tentu kita maklum
bahwa harta itu terlebih dahulu wajib diserahkannya kepada negara semua, dengan
tidak mengambil terlebih dahulu sesuka hatinya, kalau di ambilnya terlebih
dahulu sebagai panjer (Porsekot), tentu diperhitungkan kelak pada waktu
membagi.
Kalau si pemungut zakat
itu menyembunyikan sebagian harta yang dipungutnya itu untuk kepentingan diri
sendiri, dan tidak dilaporkannya, perbuatannya itu dinamai Ghulul. Termasuk
dosa besar, sama dengan mencuri; bahasa halus sekarang adalah korupsi. Sama
haramnya dengan menyembunyikan harta rampasan dalam perang dengan tidak
melaporkan kepada pimpinan perang.
Ketika orang membantai
ternak Kurban Hari Raya Haji, pernah juga terjadi ghulul. Daging-daging kurban
itu akan dibagi sebaik-baiknya kepada yang berhak menerima. Tetapi kalau ada
orang yang menyembunyikan daging itu sebelum dibagi, dan nanti dia akan
menerima bagian pula, lebih hina dari mencuri.
Pada pendapat saya di
dalam suatu negeri yang pemungutan zakat dikerjakan oleh ummat islam sendiri,
karena kesadaran agama mereka, mereka boleh mengadakan panitia (komiti) untuk
memungut dan mengumpulkan. Dengan persetujuan bersama, anggota-anggota panitia
itu berhak mendapat bagian. Sebab tanggungjawab panitia itupun berat dan
pekerjaan atau usahanya yang lain berhenti karena mengurus itu.
4. DAN ORANG-ORANG YANG DITARIK HATI MEREKA.
Artinya, orang-orang yang
ditarik-tarik untuk mencintai islam. Nabi s.a.w. telah melakukan ini, mula-mula
setelah selesai peperangan hunain dan penaklukan Kabilah Hawazin, sebagaimana
yang telah kita ketahui pada tafsir yang dahulu. Meskipun terang, seketika
terdesak dari penyerbuan hawazin dan tsaqif di medan perang hunain banyak
mereka yang lari tunggang-langgang, namun setelah selesai perang dengan sangat
royal Rasulullah s.a.w. membagi bagikan ghanimah yang berlimpah-limpah itu
kepada mereka, sehingga Anshar dan Muhajirin yang sama datang dari madinah,
tidak mendapat pembagian apa-apa. Padahal nyata bahwa di kalangan mereka itu
ada yang llemah iman bahkan ada yang masih munafik. Kita teringat pemberian
kepada Abu Sufyan 100 unta, anaknya muawiyah 100 unta dan anaknya Yazid 100
unta. Demikian pula kepada yang lain-lain. Maka kebaikan hati dan tangan
terbuka yang sedemikian rupa sangat mengesan kepada jiwa mereka sehingga mereka
menjadi orang islam yang baik.
Saiyidina Abu Bakar dalam
masa pemerintahannya pernah pula memberikan bagian zakat yang besar kepada ‘Adi
bin Hatim dan Zabarqan bin Badar. Yang pertama ialah seorang pemuda nasrani
yang masuk islam dan yang kedua pemuda Persia masuk islam. Keduanya adalah
orang-orang kaya yang mampu dan di segani dalam kaum mereka. Dan keduanyapun
orang-orang islam yang baik. Maksud Khalifah Rasulullah s.a.w. memberikan zakat
dengan jumlah besar kepada mereka itu ialah untuk dapat lebih memperdalam
pengaruh mereka dalam kalangan kaum mereka, supaya kaum inipun tertarik kepada
islam.
Atas dasar-dasar ini maka
ahli-ahli fiqh mengambil kesimpulan bahwa orang-orang yang ditarik-tarik itu
adalah dua macam, pertama dari kalangan islam sendiri, kedua dari orang lain
agama.
Dari kalangan islam yang
patut mendapat bantuan besar itu pula ialah orang muslimin yang tinggal di
tapal batas di antara negeri kuasa islam dengan negeri kuasa musuh. Oleh karena
itu bisa terombang-ambing, apakah akkan masuk dalam perlindungan pemerintahan
islam. Setelah fuqaha mengatakan bahwa inipun boleh masuk dalam Sabilillah!
Dari kalangan orang islam
juga, yaitu orang yang berpengaruh dalam satu negeri atau desa islam. Supaya karena
pengaruhnya maka penduduk negeri itu dapat dengan lancar mengeluarkan zakatnya.
Tentang orang yang
ditarik-tarik hatinya ini (AL-MUALLAFATU QALUBUHUM) menjadi pembicaraan pula di
kalangan ulama, menurut Imam Abu Hanifah, bagian ini hanya berlaku seketika
Islam masih dalam taraf propaganda. Kalau islam telah kuat, tidak perlu lagi.
Imam Syafi’i pun berpendapat seperti itu. Alasan mereka ialah karena seorang
musyrik pernah datang kepada sayidina Umar, bersedia masuk islam dan minta
pemberian harta. Dengan sangat murka Umar bin Khattab berkata menurut ayat:
“siapa yang senang, berimanlah. Siapa suka, kafirlah!” Dan dalam riwayat lain,
di zaman Abu Bakar, bahwa Uyainah bin Hasan dan al-Aqra’ bin Habis, datang
kepada beliau memohon diberi tanah. Lalu Abu Bakar memberi mereka sepucuk surat
dan disuruh bawa kepada Umar (Wazir beliau, seketika Abu Bakar jadi Khalifah).
Setelah surat itu di lihat oleh umar, beliau robek, dan beliau berkata:
“Memang, dahulu Rasul Allah memberi kalian harta, untuk mmenarik hati kalian
kepada islam. Adapun hari ini, islam telah kuat dan tidak memerlukan kalian
lagi. Kalau kalian tetap teguh kepada islam, terserahlah kepada kalian untuk
kebaikan diri kalian sendiri. Tetapi kalau kalian murtad dari islam, maka di
antara kami dan kalian ialan pedang!”
Mendengar penolakan
setegas itu dari Umar bin Khattab, merekapun kembali kepada Abu Bakar dan
berkata: “Siapa yang khalifah, emhkaukah apa Umar. Engkau memberi, tetapi dia
merobek surat engkau!”
Abu Bakar menjawab: “Dia
berhak berbuat begitu”
Dan tidak ada para sahabat
lain yang membantah Umar merobek surat itu. Karena kejadian inilah maka imam
abu hanifah berpendapat bahwa saham jenis muallaf ini, sudah habis masanya. Dan
Imam Syafi’i pun pernah menyatakan pendapat yang sesuai dengan itu. Tetapi
menilik kepada kejadian ini, tidak ada ulama yang tegas-tegas mengatakan bahwa
muallaf ini telah mansukh. Jenis ini tetap ada, sebab islam selalu dalam
perkembangan. Tolakan umar kepada kedua orang itu bukanlah berlaku untuk yang
lain.
5. DAN UNTUK MELEPASKAN PERBUDAKAN
Di waktu negeri-negeri di
dunia ini masih memakai sistem perbudakan, maka agama islam menyediakan lagi
bagian harta zakat itu untuk menebus dan memerdekakan budak. Sebagian dari
harta zakat itu dipergunakan pembeli budak, langsung budak itu dimerdekakan.
Termasuk juga di dalamnya, misalnya seseorang yang empunya budak memberikan
janji kepada budaknya, asal engkau dapat membayar ganti kerugianku membeli
engkau sekian banyaknya, engkau aku merdekakan. Si budak melaporkan kepada
pengumpul zakat, atau kepada pemberi zakat bebas, lalu uang itu diserahkan
kepada pendahulu tadi, dan si budakpun merdekalah. Ini yang di namai Budak
Mukaatab, artinya telah mengikat janji merdeka dengan surat-menyurat dengan
tuannya. Atau bagian harta zakat digunakan untuk menebus orang yang dalam
tawanan, sehingga dia merdeka dari tawanan itu.
Sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dari al-Bara’ bin ‘Azib, bahwa datang
seorang kepada Rasulullah s.a.w. lalu dia berkata: “Tunjukilah aku, apakah
amalan yang dapat mendekatkan aku ke syurga dan menjauhkan daku dari neraka?”
Lalu Rasulullah s.a.w. menjawab: “Merdekakanlah orang, dan tinggalkan
perbudakan.” Lalu orang itu berkata lagi: “Bukankah itu hanya satu saja?” Rasul
Allah menjawab pula: “Tidak! (itu bukan satu), memerdekakan budak ialah engkau
sendiri memerdekakan budakmu, dan menanggalkan perbudakan ialah engkau tolong
memerdekakan budak-budak lain dengan menentukan harganya,”
Lantaran itu dianjurkanlah
kalau orang berzakat, mengeluarkan sebagian dari zakatnya itu buat membeli
budak yang langsung di merdekakan. Kalau pemerintahan di atur secara islam, dia
hendaknya segera melaporkan kepada penguasa tentang harga budak itu, sehingga
harga itu tidak ditagih lagi buat dimasukkan ke Baitul Mal, untuk dibagi kepada
yang lain.
6.
DUA ORANG YANG BERHUTANG
Orang yang berhutang dan
sudah sangat terdesak, sedang dia tidak sangup membayarnya, bolehlah melaporkan
nasibnya kepada penguasa pembagian zakat, sehingga hutang itu dibayar dengan
zakat. Atau kalau di zaman kita ini ada panitia zakat, laporkanlah beberapa
hutang itu kepada panitia. Panitia wajib membayar, setelah mengadakan
penelitian dengan seksama.
Seorang sahabat Rasulullah
s.a.w. bernama Qubaishah bin Mukharriq dari Bani Hilal datang kepada Rasulullah
menyatakan nasibnya, berhutang tetapi sudah lama dia berusaha, belum juga dapat
terbayar. Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w.:
“Tunggulah, sampai datang
zakat; akan kami suruhkan memberikan untuk engkau.” Lalu beliau berkata pula:
“Hai Qubaishah, meminta-minta ini tidaklah halal, kecuali dalam tiga hal.
Seorang laki-laki memikul suatu beban, maka halallah dia meminta sampai lepas
beban itu, kemudian hendaklah dia berhenti. Seorang laki-laki ditimpa kesusahan
yang sangat. Ketika itu boleh dia meminta, sampai susahnya hilang; maka
berhentilah. Seorang laki-laki bagi yang sudah sangat melarat, sehingga sudah
sampai bertiga kaumnya yang mampu-mampu mengatakan, bahwa dia memang sudah
sangat melarat; maka ketika itu halallah dia meminta, sehingga dia dapat hidup.
Lain dari itu, wahai Qubaishah kalau masih meminta-minta juga, adalah itu suatu
perbuatan curang yang membawa mati dalam kehinaan.”
(Diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, Muslim, an-Nasa’i, dan Abu Daud)
Lain dari itu maka seorang
yang hendak berzakatpun boleh mengatakan terus terang kepada orang yang
berhutang kepadanya, bahwa dia bersedia membayar zakat kepadanya, asal saja
dengan zakat itu hutangnya dibayarkan.
7. DAN PADA JALAN ALLAH
Sebagai sambungan dari
mengeluarkan zakat untuk menolong kemerdekaan manusia dari perbudakan tadi.
Inilah bagian yang amat luas sekali. Memang, Ulama-ulama fiqh zaman dahulu
banyak sekali memberi arti bahwa dengan harta zakat, disediakan juga untuk
perbelanjaan perang, karena pada masa itu Sabilillah, lebih banyak kepada
peprjuangan perang.
Ada juga Ulama sebagai
Imam Ahmad yang mengatakan Sabilillah itu, termasuk juga pergi Haji.
Pendapat ulama Ahmad bin
Hambal bahwa naik hajipun termasuk Sabilillah, itulah yang menjadi perhatian
bagi orang yang beriman. Memang, orang baru wajib naik haji apabila dia sendiri
mempunyai kesanggupan dan kemampuan (isti-tha’ah). Sebab itu sebaiknyalah dia
berusaha sendiri mencukupkan ongkos belanja naik haji. Tetapi orang lain yang beriman
pula, sepatutnya memberi bantuan kepadanya dengan zakat, baik oleh karena
memang dengan mengerjakan haji itu dia telah melakukan sabilillah, ataupun
karena naik haji itu dia telah terhitung Ibnus Sabil.
Maka berkatalah pula
setengah ulama, dan kata ini amat memuaskan hati kita: “perkataan ini adalah
umum. Sebab itu tidaklah boleh dia dibatasi pada satu macam saja. Termasuk di
dalamnya segala usaha-usaha yang baik, seumpama memberi kafan jenazah orang
miskin, membuat jembatan penghubung dua pinggir sungai, membangun benteng,
mendirikan mesjid, dan lain-lain.”
Pendapat ini di kuatkan
ole Sayid Hasan Shadiq Khan Bahadur di dalam kitab tafsirnya “Fathul Bayan”.
Dan di dalam kitab fiqh beliau yang bernama “Ar-Raudhatun-Nadiyah”, beliau
mengatakan pendapat bahwa Ulama-ulama yang telah mengorbankan seluruh waktunya
untuk memperdalam pengetahuan agama dan memimpinkannya kepada orang banyak,
itupun berhak mendapat bagian zakat dari Sabilillah; biarpun dia kaya apalagi
kalau dia miskin.
Dan sebagian besar ulama salaf,
diantaranya Imam Ghazali mengatakan bahwa lebih baik Ulama-ulama yang merangkap
menjadi pemimpin jiwa ummat itu menerima zakat dari sabilillah, dari pada ulama
mengharapkan pemberian dari sultan. Karena harta yang dari sultan itu sudah
bercampur-aduk diantara yang halal dan yang haram, apalagi takut akan hilang
kemerdekaan jiwa Ulama itu mengatakan yang hak karena terhimpit lidah oleh
pemberian sultan.
8. DAN ORANG-ORANG PERJALANAN
Sependapat pula
ulama-ulama menyatakan bahwa orang yang terputus hubungannya dengan kampung
halamannya karena suatu perjalanan, berhak menerima zakat, meskipun dia orang
yang kaya di negerinya, namun dalam musafir dia adalah miskin. Sebagaimana
telah kita uraikan juga pada penafsiran-penafsiran yang telah lalu, ini
menunjukkan bahwa islam sangat menganjurkan supaya orang banyak musyafir untuk
pengetahuan, menambah pengalaman, menambah persahabatan dan perbandingan. Tentu
saja Ulama pun berhati-hati di dalam menentukan perjalanan itu, bukan
perjalanan untuk maksiat, sehingga seorang musyafir yang telah berbuat maksiat
dalam perjalanan, meskipun orang tidak tahu, memakan harta haramlah dia kalau
zakat orang di tempatnya singgah itu diterimanya juga.
Teringatlah penulis
manakala Penulis melewat Semenanjung Tanah Melayu pada tahun 1955. Sebagaimana
dimaklumi pengiriman yang dari Indonesia amat sulit pada waktu itu. Maka
berfatwalah Almarhum Syaikh Thaher Jalaluddin kepada murid-muridnya di Kuala
Lumpur dan Kuala Kangsar (perak) dan Pulau Pinang, agat saya diberi bantuan
belanja dengan zakat, supaya perjalanan saya jangan tertegun-tegun. Saya ingat
kata beliau: “Hamka itu kaya di negerinya, tetapi dia fakir dalam perjalanan.”
Di beberapa negeri besar
di India, baik sebelum berpisah menjadi dua negara, India dan Pakistan, atau
sesudahnya, ada di dapat rumah-rumah yang bernama “Musafir Khanah”, yaitu
tempat bermalam bagi orang-orang muslim yang tengah musafir. Makan minum dan
tempat menginap, mereka sediakan selama tiga hari. Biasanya rumah-rumah itu
adalah wakaf dari orang-orang hartawan. Di semenanjung tanah melayu telah
terdapat pula rumah-rumah buat musafir itu pada beberapa mesjid di kota-kota
besar, terutama di Kuala Lumpur.
Dari jenis-jenis disebut
berhak nenerima zakat di dalam ayat telah dapat kita lihat bahwa pengeluaran
zakat itu di hadapkan untuk dua keperluan. Pertama keperluan umum, kedua untuk
kepentingan perseorangan. Sabilillah dan kemerdekaan budak adalah keduanya
untuk kemaslahatan umum. Kata sabilillah mengandung daerah yang luas sekali.
Kemerdekaan budakpun bukanlah untuk kepentingan pribadi budak yang di
merdekakan itu saja, tetapi membersihkan masyarakat dari pada adanya manusia
yang dipandang rendah, melainkan hendaklah duduk sama-sama rendah dan tegak
sama tinggi. Adapun orang yang di tarik hatinya dan orang yang tengah musafir
dalam perjalanan, adalah untuk kepentingan pribadi orang yang dibantu itu
sendiri, sebagai akibat dari pada Ukhuwwah, atau persaudaraan yang ditanamkan
oleh islam kepada ummatnya. Tetapi memberi zakat kepada fakir miskinpun boleh
diartikan mengandung kepada kedua maksud tadi juga, pertama kepentingan pribadi
orang yang di bantu itu, kedua membersihkan masyarakat umum dari kemelaratan
dan kemiskinan, sebagai tujuan dari satu masyarakat yang adil dan makmur.
Niscaya yang berhak
menerima itu, ialah fakir miskin yang masih beragama islam. Yang murtad dari
islam, atau yang mempunyai ideologi tidak percaya ada Tuhan, (Komunis dan
Atheis), tidak berhak menerima zakat itu, sedangkan orang Yahudi dan Nasrani
yang taat memegang agama mereka, tetapi miskin, kalau yang empunya zakat
menimbang untuk di beri, bolehlah mereka diberi sesudah mendahulukan fakir
miskin kalangan Islam sendiri.
No comments:
Post a Comment