Thursday, March 17, 2016

Nama                           :  Khotibul Umam
NIM                            :  1414231063
Jurusan/Semester         :  4/ Ps-2
Mata Kuliah                :  Tafsir Ayat Ekonomi

Tafsir Surat At-Taubah ayat 60

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (60)
Terjemahan:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Tafsir Al-Azhar:
Yang Mustahak Menerima Zakat
“Sedekah-sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, dan orang-orang miskin.”
            Yang mustahak atau yang berhak mendapat pembagian zakat (sedekah) iyu adalah delapan jenis, sebagai tersebut dalam ayat ini, atau tujuh jenis. Sebab para ulama banyak memperbincangkan tentang jenis-jenis fakir dan miskin ini. Kata setengah mereka, orang yang fakir dan miskin sama saja keadaannya. Yaitu sama-sama tidak mampu, tidak berkecukupan, melarat, sengsara. Tetapi setengah mereka pula mengatakan bahwa fakir itu lebih melarat dari pada miskin. Ada yang memisalkan, jika seseorang memerlukan belanja hidup tiap hari misalnya 100 rupiah, bagaimanapun dia berusaha, dia hanya mendapat kurang dari 50 rupiah. Itulah orang fakir. Dan ada orang yang berusaha mencari 100 rupiah, tetapi yang dapat dihasilkannya, hanya kurang dari 100 rupiah, tetapi tidak dibawah 50 rupiah, itulah orang yang miskin.
            Demikian pendapat stengah penafsir
            Dan ada pula yang berkata bahwa miskin, lebih susa hidupnya dari pada fakir. Tetapi al-quran satu lai pernah memberi kita pedoman untuk menentukan bahwa orang miskin itu juga ada mempunyai perusahaan. Ayat 79 dari surat al-kahfi menerangkan jawaban hamba Allah yang diberi rahmat dan ilmu oleh Tuhan, yang menurut setengah dari ahli tafsirbernama Nabi Khidhir. Ketika dia menjawab kepada Nabi Musa apa sebeb perahu itu dilobanginya, dia mengatakan bahwa perahu itu ialah kepunyaan orang-orang miskin yang berusaha di lautan, sedang raja di negeri itu suka merampok perahu orang yang di pandangnya bagus. Ayat ini mewmberi petunjuk bahwa orang yang berusaha sebagai nelayan yang empunya perahu itu adalah orang-orang miskin.
            Sebuah hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan beberapa ulama hadits yang lain dari Abu Hurairah, dapat juga memberi kita pedoman tentang arti miskin:
            “Berkata Rasulullah saw: bukanlah orang miskin itu de ngan berkeliling-keliling, meminta-minta kepada manusia, lalu ditolak akan dia oleh satu suap dua suap atau satu butir dua butir kurma. Lalu orang bertanya: “kalau begitu apa orang miskin itu, ya Rasul Allah?” Beliau menjawab: “Ialah orang yang tidak mempunyai  orang kaya buat membantunya, dan orang tidak mengerti akan nasibnya, supaya orang yang bersedekah kepadanya; dan diapun tidak meminta-minta kepada orang lain.”
            Sesudah memahamkan kedua dalil ini, baik surat al-kahfi ayat79 itu, ataupun sabda Rasulullah s.a.w. pada hadits yang shahih iti, dapatlah kita menyimpulkan bahwa fakir dan miskin adalah sama. Kadang-kadang orang miskin itulah yang lebih susah, sebab dia selalu meminta-minta. Dia adalah berusaha sebagai nelayan dengan perahunya tadi, tapi tidak mencukupi. Di luar kadang-kadang tidak kelihatan bahwa dia orang susah, sebab dia menjaga harga diri. Di dalam surat Al-Baqarah ayat 273 di terangkan sikap hidup mereka, yaitu mereka tidak sanggup berusaha di muka bumi, di sangka oleh orang-orng yang tidak tahu bahwa dia orang kaya juga, dari sebab dia pandai menahan diri, dan dia yang tidak mau meminta-minta kepada orang lain secara paksa, yaitu menyebut-nyebut kesusahannya supaya hati orang kasihan, atau orang terpaksa memberi karena pandainya berdiplomasi. Ayat 273 itu mengatakan orang yang berilmu dapat mengenal tanda-tanda orang yang demikian. Satu di antara tanda itu ialah, karena ia seorang mu’min yang taat beribadat dan berjama’ah, selalu dia ke masjid. Orang yang tajam mata akan dapat melihat bahwa kain baju yang di pakainya tidak bertukar-tukar, itu ke itu juga, sudah berbulan-bulan, tetapi tetap bersih. Dan telah di tambal-tambal, tetapi harus tambalannya. Itu adalah salah satu contoh tanda saja, yang dapat diketahui oleh orang yang arif budiman.
Sekarang kita jelaskan satu per satu:
1.      FAKIR asal artinya ialah dari “membungkuk tulang punggung”, diambil dari nama sebutan buat orang yang telah bungkuk memikul beban berat kehidupan.
2.      MISKIN dari kata sukuun, artinya berdiam diri saja, menahankan penderitaan hidup. Oleh sebab itu tidaklah ada salahnya kalau sekiranya ada orang yang berpendapat bahwa Fakir dan Miskin itu adalah satu jenis. Inilah dua jenis pertama atau satu jenis pertama yang berhak menerima zakat.
3.      DAN PENGURUS-PENGURUS ATASNYA. Jika yang ketiga berhak menerima pula ialah pengurus yang di tugaskan memungut dan mengumpulkan zakat itu.
Sebagaimana dimaklumi, kalau negara berdiri menurut peraturan islam, maka zakat adalah di pungut oleh negara. Negara menentukan pengurus atau pegawai yang akan memungut itu. Si pengurus atau pegawai, berhak pula mendapat bahagian. Tetapi tentu kita maklum bahwa harta itu terlebih dahulu wajib diserahkannya kepada negara semua, dengan tidak mengambil terlebih dahulu sesuka hatinya, kalau di ambilnya terlebih dahulu sebagai panjer (Porsekot), tentu diperhitungkan kelak pada waktu membagi.
Kalau si pemungut zakat itu menyembunyikan sebagian harta yang dipungutnya itu untuk kepentingan diri sendiri, dan tidak dilaporkannya, perbuatannya itu dinamai Ghulul. Termasuk dosa besar, sama dengan mencuri; bahasa halus sekarang adalah korupsi. Sama haramnya dengan menyembunyikan harta rampasan dalam perang dengan tidak melaporkan kepada pimpinan perang.
Ketika orang membantai ternak Kurban Hari Raya Haji, pernah juga terjadi ghulul. Daging-daging kurban itu akan dibagi sebaik-baiknya kepada yang berhak menerima. Tetapi kalau ada orang yang menyembunyikan daging itu sebelum dibagi, dan nanti dia akan menerima bagian pula, lebih hina dari mencuri.
Pada pendapat saya di dalam suatu negeri yang pemungutan zakat dikerjakan oleh ummat islam sendiri, karena kesadaran agama mereka, mereka boleh mengadakan panitia (komiti) untuk memungut dan mengumpulkan. Dengan persetujuan bersama, anggota-anggota panitia itu berhak mendapat bagian. Sebab tanggungjawab panitia itupun berat dan pekerjaan atau usahanya yang lain berhenti karena mengurus itu.
4.      DAN ORANG-ORANG YANG DITARIK HATI MEREKA.
Artinya, orang-orang yang ditarik-tarik untuk mencintai islam. Nabi s.a.w. telah melakukan ini, mula-mula setelah selesai peperangan hunain dan penaklukan Kabilah Hawazin, sebagaimana yang telah kita ketahui pada tafsir yang dahulu. Meskipun terang, seketika terdesak dari penyerbuan hawazin dan tsaqif di medan perang hunain banyak mereka yang lari tunggang-langgang, namun setelah selesai perang dengan sangat royal Rasulullah s.a.w. membagi bagikan ghanimah yang berlimpah-limpah itu kepada mereka, sehingga Anshar dan Muhajirin yang sama datang dari madinah, tidak mendapat pembagian apa-apa. Padahal nyata bahwa di kalangan mereka itu ada yang llemah iman bahkan ada yang masih munafik. Kita teringat pemberian kepada Abu Sufyan 100 unta, anaknya muawiyah 100 unta dan anaknya Yazid 100 unta. Demikian pula kepada yang lain-lain. Maka kebaikan hati dan tangan terbuka yang sedemikian rupa sangat mengesan kepada jiwa mereka sehingga mereka menjadi orang islam yang baik.
Saiyidina Abu Bakar dalam masa pemerintahannya pernah pula memberikan bagian zakat yang besar kepada ‘Adi bin Hatim dan Zabarqan bin Badar. Yang pertama ialah seorang pemuda nasrani yang masuk islam dan yang kedua pemuda Persia masuk islam. Keduanya adalah orang-orang kaya yang mampu dan di segani dalam kaum mereka. Dan keduanyapun orang-orang islam yang baik. Maksud Khalifah Rasulullah s.a.w. memberikan zakat dengan jumlah besar kepada mereka itu ialah untuk dapat lebih memperdalam pengaruh mereka dalam kalangan kaum mereka, supaya kaum inipun tertarik kepada islam.
Atas dasar-dasar ini maka ahli-ahli fiqh mengambil kesimpulan bahwa orang-orang yang ditarik-tarik itu adalah dua macam, pertama dari kalangan islam sendiri, kedua dari orang lain agama.
Dari kalangan islam yang patut mendapat bantuan besar itu pula ialah orang muslimin yang tinggal di tapal batas di antara negeri kuasa islam dengan negeri kuasa musuh. Oleh karena itu bisa terombang-ambing, apakah akkan masuk dalam perlindungan pemerintahan islam. Setelah fuqaha mengatakan bahwa inipun boleh masuk dalam Sabilillah!
Dari kalangan orang islam juga, yaitu orang yang berpengaruh dalam satu negeri atau desa islam. Supaya karena pengaruhnya maka penduduk negeri itu dapat dengan lancar mengeluarkan zakatnya.
Tentang orang yang ditarik-tarik hatinya ini (AL-MUALLAFATU QALUBUHUM) menjadi pembicaraan pula di kalangan ulama, menurut Imam Abu Hanifah, bagian ini hanya berlaku seketika Islam masih dalam taraf propaganda. Kalau islam telah kuat, tidak perlu lagi. Imam Syafi’i pun berpendapat seperti itu. Alasan mereka ialah karena seorang musyrik pernah datang kepada sayidina Umar, bersedia masuk islam dan minta pemberian harta. Dengan sangat murka Umar bin Khattab berkata menurut ayat: “siapa yang senang, berimanlah. Siapa suka, kafirlah!” Dan dalam riwayat lain, di zaman Abu Bakar, bahwa Uyainah bin Hasan dan al-Aqra’ bin Habis, datang kepada beliau memohon diberi tanah. Lalu Abu Bakar memberi mereka sepucuk surat dan disuruh bawa kepada Umar (Wazir beliau, seketika Abu Bakar jadi Khalifah). Setelah surat itu di lihat oleh umar, beliau robek, dan beliau berkata: “Memang, dahulu Rasul Allah memberi kalian harta, untuk mmenarik hati kalian kepada islam. Adapun hari ini, islam telah kuat dan tidak memerlukan kalian lagi. Kalau kalian tetap teguh kepada islam, terserahlah kepada kalian untuk kebaikan diri kalian sendiri. Tetapi kalau kalian murtad dari islam, maka di antara kami dan kalian ialan pedang!”
Mendengar penolakan setegas itu dari Umar bin Khattab, merekapun kembali kepada Abu Bakar dan berkata: “Siapa yang khalifah, emhkaukah apa Umar. Engkau memberi, tetapi dia merobek surat engkau!”
Abu Bakar menjawab: “Dia berhak berbuat begitu”
Dan tidak ada para sahabat lain yang membantah Umar merobek surat itu. Karena kejadian inilah maka imam abu hanifah berpendapat bahwa saham jenis muallaf ini, sudah habis masanya. Dan Imam Syafi’i pun pernah menyatakan pendapat yang sesuai dengan itu. Tetapi menilik kepada kejadian ini, tidak ada ulama yang tegas-tegas mengatakan bahwa muallaf ini telah mansukh. Jenis ini tetap ada, sebab islam selalu dalam perkembangan. Tolakan umar kepada kedua orang itu bukanlah berlaku untuk yang lain.
5.      DAN UNTUK MELEPASKAN PERBUDAKAN
Di waktu negeri-negeri di dunia ini masih memakai sistem perbudakan, maka agama islam menyediakan lagi bagian harta zakat itu untuk menebus dan memerdekakan budak. Sebagian dari harta zakat itu dipergunakan pembeli budak, langsung budak itu dimerdekakan. Termasuk juga di dalamnya, misalnya seseorang yang empunya budak memberikan janji kepada budaknya, asal engkau dapat membayar ganti kerugianku membeli engkau sekian banyaknya, engkau aku merdekakan. Si budak melaporkan kepada pengumpul zakat, atau kepada pemberi zakat bebas, lalu uang itu diserahkan kepada pendahulu tadi, dan si budakpun merdekalah. Ini yang di namai Budak Mukaatab, artinya telah mengikat janji merdeka dengan surat-menyurat dengan tuannya. Atau bagian harta zakat digunakan untuk menebus orang yang dalam tawanan, sehingga dia merdeka dari tawanan itu.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dari al-Bara’ bin ‘Azib, bahwa datang seorang kepada Rasulullah s.a.w. lalu dia berkata: “Tunjukilah aku, apakah amalan yang dapat mendekatkan aku ke syurga dan menjauhkan daku dari neraka?” Lalu Rasulullah s.a.w. menjawab: “Merdekakanlah orang, dan tinggalkan perbudakan.” Lalu orang itu berkata lagi: “Bukankah itu hanya satu saja?” Rasul Allah menjawab pula: “Tidak! (itu bukan satu), memerdekakan budak ialah engkau sendiri memerdekakan budakmu, dan menanggalkan perbudakan ialah engkau tolong memerdekakan budak-budak lain dengan menentukan harganya,”
Lantaran itu dianjurkanlah kalau orang berzakat, mengeluarkan sebagian dari zakatnya itu buat membeli budak yang langsung di merdekakan. Kalau pemerintahan di atur secara islam, dia hendaknya segera melaporkan kepada penguasa tentang harga budak itu, sehingga harga itu tidak ditagih lagi buat dimasukkan ke Baitul Mal, untuk dibagi kepada yang lain.
6.        DUA ORANG YANG BERHUTANG
Orang yang berhutang dan sudah sangat terdesak, sedang dia tidak sangup membayarnya, bolehlah melaporkan nasibnya kepada penguasa pembagian zakat, sehingga hutang itu dibayar dengan zakat. Atau kalau di zaman kita ini ada panitia zakat, laporkanlah beberapa hutang itu kepada panitia. Panitia wajib membayar, setelah mengadakan penelitian dengan seksama.
Seorang sahabat Rasulullah s.a.w. bernama Qubaishah bin Mukharriq dari Bani Hilal datang kepada Rasulullah menyatakan nasibnya, berhutang tetapi sudah lama dia berusaha, belum juga dapat terbayar. Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w.:
“Tunggulah, sampai datang zakat; akan kami suruhkan memberikan untuk engkau.” Lalu beliau berkata pula: “Hai Qubaishah, meminta-minta ini tidaklah halal, kecuali dalam tiga hal. Seorang laki-laki memikul suatu beban, maka halallah dia meminta sampai lepas beban itu, kemudian hendaklah dia berhenti. Seorang laki-laki ditimpa kesusahan yang sangat. Ketika itu boleh dia meminta, sampai susahnya hilang; maka berhentilah. Seorang laki-laki bagi yang sudah sangat melarat, sehingga sudah sampai bertiga kaumnya yang mampu-mampu mengatakan, bahwa dia memang sudah sangat melarat; maka ketika itu halallah dia meminta, sehingga dia dapat hidup. Lain dari itu, wahai Qubaishah kalau masih meminta-minta juga, adalah itu suatu perbuatan curang yang membawa mati dalam kehinaan.”
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, an-Nasa’i, dan Abu Daud)
Lain dari itu maka seorang yang hendak berzakatpun boleh mengatakan terus terang kepada orang yang berhutang kepadanya, bahwa dia bersedia membayar zakat kepadanya, asal saja dengan zakat itu hutangnya dibayarkan.
7.      DAN PADA JALAN ALLAH
Sebagai sambungan dari mengeluarkan zakat untuk menolong kemerdekaan manusia dari perbudakan tadi. Inilah bagian yang amat luas sekali. Memang, Ulama-ulama fiqh zaman dahulu banyak sekali memberi arti bahwa dengan harta zakat, disediakan juga untuk perbelanjaan perang, karena pada masa itu Sabilillah, lebih banyak kepada peprjuangan perang.
Ada juga Ulama sebagai Imam Ahmad yang mengatakan Sabilillah itu, termasuk juga pergi Haji.
Pendapat ulama Ahmad bin Hambal bahwa naik hajipun termasuk Sabilillah, itulah yang menjadi perhatian bagi orang yang beriman. Memang, orang baru wajib naik haji apabila dia sendiri mempunyai kesanggupan dan kemampuan (isti-tha’ah). Sebab itu sebaiknyalah dia berusaha sendiri mencukupkan ongkos belanja naik haji. Tetapi orang lain yang beriman pula, sepatutnya memberi bantuan kepadanya dengan zakat, baik oleh karena memang dengan mengerjakan haji itu dia telah melakukan sabilillah, ataupun karena naik haji itu dia telah terhitung Ibnus Sabil.
Maka berkatalah pula setengah ulama, dan kata ini amat memuaskan hati kita: “perkataan ini adalah umum. Sebab itu tidaklah boleh dia dibatasi pada satu macam saja. Termasuk di dalamnya segala usaha-usaha yang baik, seumpama memberi kafan jenazah orang miskin, membuat jembatan penghubung dua pinggir sungai, membangun benteng, mendirikan mesjid, dan lain-lain.”
Pendapat ini di kuatkan ole Sayid Hasan Shadiq Khan Bahadur di dalam kitab tafsirnya “Fathul Bayan”. Dan di dalam kitab fiqh beliau yang bernama “Ar-Raudhatun-Nadiyah”, beliau mengatakan pendapat bahwa Ulama-ulama yang telah mengorbankan seluruh waktunya untuk memperdalam pengetahuan agama dan memimpinkannya kepada orang banyak, itupun berhak mendapat bagian zakat dari Sabilillah; biarpun dia kaya apalagi kalau dia miskin.
Dan sebagian besar ulama salaf, diantaranya Imam Ghazali mengatakan bahwa lebih baik Ulama-ulama yang merangkap menjadi pemimpin jiwa ummat itu menerima zakat dari sabilillah, dari pada ulama mengharapkan pemberian dari sultan. Karena harta yang dari sultan itu sudah bercampur-aduk diantara yang halal dan yang haram, apalagi takut akan hilang kemerdekaan jiwa Ulama itu mengatakan yang hak karena terhimpit lidah oleh pemberian sultan.
8.      DAN ORANG-ORANG PERJALANAN
Sependapat pula ulama-ulama menyatakan bahwa orang yang terputus hubungannya dengan kampung halamannya karena suatu perjalanan, berhak menerima zakat, meskipun dia orang yang kaya di negerinya, namun dalam musafir dia adalah miskin. Sebagaimana telah kita uraikan juga pada penafsiran-penafsiran yang telah lalu, ini menunjukkan bahwa islam sangat menganjurkan supaya orang banyak musyafir untuk pengetahuan, menambah pengalaman, menambah persahabatan dan perbandingan. Tentu saja Ulama pun berhati-hati di dalam menentukan perjalanan itu, bukan perjalanan untuk maksiat, sehingga seorang musyafir yang telah berbuat maksiat dalam perjalanan, meskipun orang tidak tahu, memakan harta haramlah dia kalau zakat orang di tempatnya singgah itu diterimanya juga.
Teringatlah penulis manakala Penulis melewat Semenanjung Tanah Melayu pada tahun 1955. Sebagaimana dimaklumi pengiriman yang dari Indonesia amat sulit pada waktu itu. Maka berfatwalah Almarhum Syaikh Thaher Jalaluddin kepada murid-muridnya di Kuala Lumpur dan Kuala Kangsar (perak) dan Pulau Pinang, agat saya diberi bantuan belanja dengan zakat, supaya perjalanan saya jangan tertegun-tegun. Saya ingat kata beliau: “Hamka itu kaya di negerinya, tetapi dia fakir dalam perjalanan.”
Di beberapa negeri besar di India, baik sebelum berpisah menjadi dua negara, India dan Pakistan, atau sesudahnya, ada di dapat rumah-rumah yang bernama “Musafir Khanah”, yaitu tempat bermalam bagi orang-orang muslim yang tengah musafir. Makan minum dan tempat menginap, mereka sediakan selama tiga hari. Biasanya rumah-rumah itu adalah wakaf dari orang-orang hartawan. Di semenanjung tanah melayu telah terdapat pula rumah-rumah buat musafir itu pada beberapa mesjid di kota-kota besar, terutama di Kuala Lumpur.
Dari jenis-jenis disebut berhak nenerima zakat di dalam ayat telah dapat kita lihat bahwa pengeluaran zakat itu di hadapkan untuk dua keperluan. Pertama keperluan umum, kedua untuk kepentingan perseorangan. Sabilillah dan kemerdekaan budak adalah keduanya untuk kemaslahatan umum. Kata sabilillah mengandung daerah yang luas sekali. Kemerdekaan budakpun bukanlah untuk kepentingan pribadi budak yang di merdekakan itu saja, tetapi membersihkan masyarakat dari pada adanya manusia yang dipandang rendah, melainkan hendaklah duduk sama-sama rendah dan tegak sama tinggi. Adapun orang yang di tarik hatinya dan orang yang tengah musafir dalam perjalanan, adalah untuk kepentingan pribadi orang yang dibantu itu sendiri, sebagai akibat dari pada Ukhuwwah, atau persaudaraan yang ditanamkan oleh islam kepada ummatnya. Tetapi memberi zakat kepada fakir miskinpun boleh diartikan mengandung kepada kedua maksud tadi juga, pertama kepentingan pribadi orang yang di bantu itu, kedua membersihkan masyarakat umum dari kemelaratan dan kemiskinan, sebagai tujuan dari satu masyarakat yang adil dan makmur.
Niscaya yang berhak menerima itu, ialah fakir miskin yang masih beragama islam. Yang murtad dari islam, atau yang mempunyai ideologi tidak percaya ada Tuhan, (Komunis dan Atheis), tidak berhak menerima zakat itu, sedangkan orang Yahudi dan Nasrani yang taat memegang agama mereka, tetapi miskin, kalau yang empunya zakat menimbang untuk di beri, bolehlah mereka diberi sesudah mendahulukan fakir miskin kalangan Islam sendiri.


No comments:

Post a Comment