Nama : Jaenal Abidin
Prody/Smst : Perbankan Syariah 2/IV
Nim
: 1414231056
MK : Tafsir Ayat Ekonomi
BINATANG SEBAGAI SARANA TRANSPORTASI
DAN
HARTA KEKAYAAN
Q.S. An-Nahl ayat 8
“Dan (Dia telah
menciptakan) kuda, baghal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan
(menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak ketahui.”
(QS. An-Nahl: 8)
Tafsir Al-Mishbah :
Setelah
ayat yang lalu menyebut binatang-binatang yang paling banyak dimiliki manusia
sekaligus paling banyak manfaatnya, kini disebut lagi beberapa binatang lain
dengan firman-Nya: dan Allah juga telah menciptakan untuk kamu manfaatkan kuda,
begal, yakni binatang yang lahir dari seekor kuda dan keledai, dan
keledai, itu semua diciptakan Allah agar kamu menungganginya dan Allah
menjadikannya juga sebagai perhiasan dimuka bumi ini. Siapa yang
memandang kuda-kuda yang tangguh dan kuat, atau binatang lain, maka hatinya
akan berdecak kagum karena keindahannya.
Dan
bukan
hanya itu sebagai alat transportasi dan hiasan, tetapi Dia yakni Allah SWT.
secara terus menerus menciptakan aneka ciptaan, baik alat transportasi
maupun perhiasan apa yang kamu tidak mengetahuinya sekarang tetapi kelak
akan kamu ketahui dan gunakan jika kamu mau berfikir dan mengarahkan segala
potensi yang ada, dan Allah menciptakan juga apa yang kamu tidak akan
mengetahuinya sama sekali hingga ciptaan itu kamu melihat dan ketahui.
Ayat ini hanya menyebut fungsi ketiga binatang yang
disebut diatas dalam tunggangan dan hiasan tanpa menyebutnya sebagai alat
pengangkut sebagaimana halnya binatang ternak. Ini bukan berarti bahwaketiga
binatang yang disebut disini tidak dapat digunakan sebagai alat angkut. Ayat
ini berdialog dengan masyarakat arab yang ketika itu tidak terbiasa menjadikan
kuda, bagal dan keledai kecuali sebagai tunggangan dan hiasan. Kuda dan bagal
mereka gunakan untuk berperang atau berburu, sedang keledai mereka tunggangi
sebagai alat transportasi dalam kota. Karena ayat ini bertujuan menguraikan
nikmat-nikmat Allah SWT., maka tentu saja yang digarisbawahinya adalah hal-hal
yang mereka rasakan langsung, walaupun yang tidak disebut itu merupaka juga
aspek nikmat Ilahi.
Atas dasar itu, bukanlah pada tempatnya menjadikan ayat
ini sebagai argumentasi larangan memakan daging kuda, bagal atau keledai dengan
dalih bahwa ayat ini tidak menyebut ketiga binatang itu sebagai bahan pangan.
Sekian banyak nikmat Allah yang terhampar dibumi ini ysng tidak disebut secarakhusus
manfaatnya namu dapat digunakan dan dimanfaatkan secara halal. Katakanlah
jenis-jenis tumbuhan yang berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit
tertentu.
Memang, para ulama berbeda pendapat tentang boleh
tidaknya ketiga binatang itu dimakan berdasarkan berbagai argumentasi diluar
ayat ini. Imam Malik dan Abu Hanifah mengharamkan daging kuda. Ada juga riwayat
yang menyatakan bahwa Imam Malik hanya menilainya makruh. Demikian pakar tafsir
dan hukum al-Qurthubi. Adapun keledai, maka ia
terdiri dari keledai jinak dan liar. Banyak ulama memblehkan memakan keledai
liar dan melarang yang jinak. Pendapat ini antaralain dianut oleh Imam-imam
Malik, Abu Hanifah dan Syafi’i. adapun bagal, mayoritas ulama mengharamkannya,
paling tidak dengan alas an ia lahir dari percampuran dua binatang –kuda dan
keledai-sedang keledai (yang jinak) tidak boleh dimakan.
Penggunaan bentuk mudhari’/kata kerja masa kini
dan akan datang pada kata ( (يخلق yakhluqu/menciptakan, mengisyaratkan akan
berkemangnya aneka alat transportasi, yang beklum tergambar dalam benak mitra
bicara (manusia) ketika turunnya ayat ini. Alat-alat itu pastilah lebih baik
dari apa yang selama ini mereka ketahui.
Ayat ini dinilai oleh thahir Ibn ‘Asyur sebagai salah
satu ayat yang mengandung mukjizat dari aspek pemberitaan gaib. Ayat ini,
menurutnya, mengisyaratkan akan adanya ilham Allah kepada manusia guna
menciptakan alat-alat transportasi yang lebih baik dan berguna daripada ketiga
binatang yang disebut di atas, dimulai dengan lahirnya sepeda, berlanjut
dengan kereta api, mobil, pesawat udara dan lain-lain yang kesemuanya tidak
dikenal oleh generasi-generasi masa lalu sebelum terciptanya alat-alat
tersebut.
Sayid Quthub menggarisbawahi penggalan ayat ini ( ويخلق ما لا تعلمون) wayakhluqu
maa laa ta’lamuun/dan Dia menciptakan apa yang kamu tidakk mengetahuinya
antara lain bahwa ini membuka lapangann yang luas dalam pandangan manusia untuk
menerima bentuk-bentuk baru dari alat-alat pengangkutann dan transpotasi serta
keindahan. Dengan demikian, ayat ini tidak menutup pandangan mereka menyangkut
hal-hal yang berada diluar batas lingkungan atau batas waktu dimana mereka
hidup, karena dibalik apa yang terdapat pada lingkungan dan zaman mereka masih
ada hal-hal lain.
Memang Islam adalah agama yang terbuka, lentur dapat
menerima segala sesuatu yang lahir dari kemampuan, ilmu dan apa yang dilahirkan
oleh masa depan, selama hal-hal tersebut tidak bertentangan dengan fitrah
manusia dan nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa.[1]
Tafsir Ibn Katsir :
Ini
adalah bagian lain dari apa yang Allah ciptakan untuk hamba-Nya, Allah
anugerahkan itu untuk mereka, yaitu kuda, baghal, dan keledai, yang Allah
jadikan sebagai tunggangan dan perhiasan. Dan itu semua adalah tujuan yang
paling besar. Dan ketika Allah merinci binatang-binatang ini dan menyebutkannya
secara terpisah dari binatang-binatang ternak, sebagian ulama menjadikan hal
itu sebagai dalil atas pendapat mereka bahwa daging kuda adalah haram, seperti
Imam Abu Hanifah; dan para ulama fiqih yang sependapat dengan beliau, bahwa
sesungguhnya Allah menyebutkannya bersamaan dengan baghal dan keledai, yang
memang kedua-duanya adalah haram, seperti yang telah ditetapkan oleh Sunnah
Nabawiyyah, ini adalah pendapat sebagian besar para ulama.
Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir
telah meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, bahwa sesungguhnya Ibnu `Abbas memakruhkan
daging kuda, keledai dan baghal. Dan beliau berkata: “Allah Ta’ala berfirman:
‘Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untukmu, padanya ada [bulu] yang
menghangatkan dan berbagai manfaat dan sebagiannya kamu makan,’ berarti ini
untuk di makan.”
“Dan Dia telah menciptakan kuda, baghal dan keledai agar kamu menungganginya.” Maka ini untuk di tunggangi. Begitu juga diriwayatkan melalui jalur Sa’id bin Jubair dan lainnya, dari Ibnu `Abbas dengan nada yang sama. Dan al-Hakam bin `Utaibah berkata seperti itu juga. Lalu para ulama itu melanjutkan dalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, dari Khalid bin al-Walid, beliau berkata: “Rasulullah melarang makan daging kuda, baghal dan keledai.” Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits tersebut dari Shalih bin Yahya bin Miqdam, dan hadits tersebut perlu dikaji.
“Dan Dia telah menciptakan kuda, baghal dan keledai agar kamu menungganginya.” Maka ini untuk di tunggangi. Begitu juga diriwayatkan melalui jalur Sa’id bin Jubair dan lainnya, dari Ibnu `Abbas dengan nada yang sama. Dan al-Hakam bin `Utaibah berkata seperti itu juga. Lalu para ulama itu melanjutkan dalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, dari Khalid bin al-Walid, beliau berkata: “Rasulullah melarang makan daging kuda, baghal dan keledai.” Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits tersebut dari Shalih bin Yahya bin Miqdam, dan hadits tersebut perlu dikaji.
Imam
Ahmad meriwayatkan hadits tersebut dari jalan lain dengan nada yang lebih
terbuka dan lebih jelas dalam menunjukkan dalil, lalu beliau berkata: “Dari
Miqdam bin Ma’d Yakrab berkata: ‘Kami telah melakukan peperangan bersama Khalid
bin al-Walid di negeri ash-Sha-ifah, lalu sahabat-sahabat kami mendatangi
daging, lalu mereka meminta batu dariku lalu aku berikan batu kepada mereka dan
mereka mengikatkan tali pada batu itu (untuk menyembelih) lalu aku berkata
kepada mereka: ‘Tetaplah kalian di tempat kalian sehingga aku menemui Khalid
untuk bertanya kepadanya,’ setelah aku temui dia dan bertanya kepadanya, lalu
beliau berkata: `Kami telah berperang bersama Rasulullah dalam perang Khaibar,
lalu orang-orang bergegas menuju kebun orang Yahudi, lalu Rasulullah menyuruhku
untuk memanggil bahwa shalat telah didirikan, dan tidak masuk surga kecuali
orang muslim,’ lalu Rasulullah bersabda: “Hai orang-orang, sesungguhnya kalian
telah tergesa-gesa (untuk mengambil) kebun orang-orang Yahudi, ingatlah!!!
Tidak halal hartanya orang-orang yang hidup di bawah perjanjian kecuali dengan
haknya, dan haram atas kalian daging keledai jinak, kuda jinak dan baghal
jinak, dan setiap binatang-binatang yang memiliki taring dari jenis binatang
buas, dan setiap binatang yang memiliki kuku pencakar dari jenis burung.”
Seolah-olah kejadian ini terjadi setelah diberikannya kepada mereka (orang-orang
Yahudi) perjanjian dan muamalah dengan syarat, wallahu a’lam.
Sekiranya
hadits ini shahih, tentu akan menjadi nash dalam keharaman daging kuda, tetapi
hadits ini tidak dapat menandingi apa yang telah ditetapkan dalam Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Jabir Ibnu `Abdillah berkata: “Rasulullah
perbolehkan daging kuda.” Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan hadits ini
dengan dua isnad yang masing-masing isnad atas syarat Imam Muslim, dari Jabir
Ibnu Abdillah berkata: Kami menyembelih pada perang Khaibar kuda, baghal dan
keledai, lalu Rasulullah melarang kami dari baghal dan keledai dan beliau tidak
melarang kami dari kuda.
Dan
riwayat dalam Shahih Muslim, dari Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anha
berkata: “Kami menyembelih kuda pada zaman Rasulullah, lalu kami memakannya,
sedangkan kami (waktu itu) di Madinah.” Hadits-hadits ini merupakan dalil yang
lebih jelas, lebih kuat dan lebih tetap. Maka sebagian besar para ulama, Malik,
asy-Syafi’i, Ahmad, pengikut-pengikut mereka, dan sebagian besar ulama Salaf
dan Khalaf (mengarah) kepada pemahaman itu.
(ويخلق ما لا تعلمون) Berupa menciptakan sesuatu yang menarik dan
ajaib. Tidak disebutkan contohnya oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala, karena Dia
tidaklah menyebutkan di dalam kitab-Nya selain sesuatu yang diketahui
hamba-hamba-Nya atau yang serupa dengannya, karena jika tidak begitu
hamba-hamba-Nya tidak akan tahu dan tidak akan memahami maksudnya, Dia
menyebutkan asal (dasar) yang mencakup apa yang mereka ketahui dan yang tidak
mereka ketahui. Misalnya menyebutkan kenikmatan surga, disebutkan di antaranya
yang kita ketahui dan yang kita saksikan persamaannya, seperti pohon kurma,
anggur dan delima, sedangkan yang tidak kita ketahui, Dia menyebutkan secara
garis besar, seperti dalam firman-Nya, “Di dalam kedua surga itu terdapat
aneka buah-buahan yang berpasang-pasangan.” (terj. Ar Rahman: 52)
Nash
(ayat) di atas menunjukkan dalil atas diperbolehkannya menunggang
binatang-binatang tersebut, di antaranya adalah baghal. Rasulullah pemah
dihadiahi seekor baghal, dan waktu itu Rasulullah menungganginya, sedangkan
beliau melarang perkawinan keledai atas kuda agar keturunan tidak putus.
No comments:
Post a Comment