Dalam Tafsir Al-Mishbah
Karangan M.Quraish Shihab Pembahasan pokok tentang riba disebutkan dalam beberapa tempat
secara berkelompok, yaitu surat Ar-rum:39, surat An-Nisa’:160-161, surat ali
Imran :130, dan surat Al-baqarah 275-280. Sedangkan mengenai pengertian
riba ,para ulama’ menjadikan surat ali Imran ;130dan surat Al-baqarah
:278-279 sebagai pijakan, harus dipahami bahwa pendapatans hanya berhak menerima pelunasan sejumlah pinjaman, dan kelebihan
atas jumlah pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu tanpa iwad(
imbalan ) adalah riba. Riba menimbulkan pro
dan kontra di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia. Riba dalam
pembahasan ini terbatas pada riba yang dibicarakan dalam Al-Qur’an, bukan yang terdapat
dalam al-Hadits.
Riba Menurut Al-Quran tafsir quraish shihab
Tulisan berikut tidak akan membahas kehalalan
atau keharaman riba, karena keharamannya telah disepakati oleh setiap Muslim
berdasarkan ayat-ayat Al-Quran serta ijma' seluruh ulama Islam, apa pun mazhab
atau alirannya. Yang dibahas adalah apa yang di maksud sesungguhnya oleh
Al-Quran dengan riba yang diharamkannya itu?
Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika
membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi
mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka
beberapa praktek transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah
praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun
menjadi haram, ataukah tidak sama.
Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian
pada praktek-praktek transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan
diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru
transaksi ekonomi.
Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan
oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa waktu
sebelum beliau wafat, sampai-sampai 'Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan
kejelasan masalah riba ini. Beliau berkata: "Sesungguhnya
termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba.
Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang
meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu."
Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang
diharamkan itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan 'Umar r.a.,
"meninggalkan sembilan per sepuluh yang halal".
Sebelum
membuka lembaran-lembaran Al-Quran yang ayat-ayatnya berbicara tentang riba,
terlebih dahulu akan dikemukakan selayang pandang tentang kehidupan ekonomi
masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran.
Sejarah
menjelaskan bahwa Tha'if, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75
mil sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu
pusat perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di
Tha'if bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktek-praktek riba,
sehingga keberadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktek tersebut.
Suku
Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan
Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka
telah mengenal prktek-praktek riba. Terbukti bahwa sebagian dari tokoh-tokoh
sahabat Nabi, seperti 'Abbas bin 'Abdul Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid
bin Walid, dan lain-lain, mempraktekkannya sampai dengan turunnya larangan
tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan
praktek riba yang mereka anggap sama dengan jual beli (QS 2:275). Dalam arti
mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan
tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil
perdagangan.
1. Tafsir ayat Ar-Rum 39
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ
النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ
تُرِيدُونَ
وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).
Dalam Surat Ar-Ruum
Ayat 39, terdapat beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami yakni:
وَمَا آتَيْتُمْ
|
dan apa-apa yang kamu
berikan
|
مِنْ
زَكَاةٍ
|
berupa atau dari
Zakat
|
مِنْ رِبًا
|
sesuatu dari Riba
|
تُرِيدُونَ
|
yang kamu semua
maksudkan atau kehendaki
|
لِيَرْبُوَ
|
agar dia (harta
tersebut) tambah
|
وَجْهَ
اللَّهِ
|
untuk mencapai
keridhoan Allah
|
فِي
أَمْوَالِ النَّاسِ
|
di dalam hartaya
manusia
|
فَأُولَئِكَ
|
maka mereka yang
berbuat itu
|
فَلَا
يَرْبُو
|
maka riba itu tidak
menjadikan bertambah
|
هُمُ
|
orang yang berbuat
itulah
|
عِنْدَ
اللَّهِ
|
di sisi Allah
|
الْمُضْعِفُونَ
|
yakni orang-orang
yang melipat gandakan dalam (Pahalanya)
|
وَمَا آتَيْتُمْ
|
dan apa yang kamu
berikan
|
Di dalam bahasa Arab,
bahwa lafadz “Riba” itu bisa mengandung makna tambahan secara
mutlaq atau bahwa Riba secara bahasa bermakna : Ziyadah / tambahan.
dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar.
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelasakan riba,
namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambin
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil
atau bertentangan dengan prisip muamalah dalam Islam. Tetapi dalam lafadz yang
terdapat dalam Surat Ar-Ruum ayat 39, tambah disini yang dimaksud tidak lahil
hanyalah dalam perihal Pemberihan hadiah supaya orang yang memberi hadiah
tersebut mendapat tambahan yang lebih. Ini sekilas dari pada uraian lafadz Riba
yang dibaca Jer sebab kemasukan huruf Jer Min.
Dapat
disimpulkan bahwa yang di maksud riba adalah sesuatu yang berlebih atau
berlipat ganda, dari unsur mengutangkan dan pada akhirnya akan menimbulkan
penganiayaan.
Penjelasan
dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)
Seandainya uraian tentang perang Uhud telah
selesai, maka ayat yang berbicara tentang riba di atas ini, boleh jadi tidak
terlalu membingungkan untuk dicari rahasia penempatannya disini. Tetapi
ayat-ayat yang berbicara tentang perang Uhud masih cukup panjang. Ini
menjadikan sementara ulama memeras pikiran untuk mencari hubungannya, bahkan
sebagian mereka – karena tidak puas dengan upaya atau pandangan ulama lain –
berhenti dan berkesimpulan bahwa ayat ini tidak perlu dihubungkan dengan
ayat-ayat sebelumnya.
Salah satu pendapat yang dapat dipertimbangkan
adalah yang dikemukakan oleh al-Qaffal bahwa karena kaum musyrikin membiayai
peperangan-peperangan mereka, antara lain pada perang Uhud, dengan harta yang
mereka hasilkan dari riba, maka boleh jadi terlintas dalam benak kaum muslim
untuk mengumpulkan pula biaya peperangan melalui riba. Ayat ini turun
mengingatkan mereka agar jangan melangkah kesana.
Al-Biqa’i berpendapat bahwa sebab utama dari
malapetaka yang terjadi dalam perang Uhud adalah langkah para pemanah
meninggalkan posisi mereka di atas bukit untuk turun mengambil harta rampasan
perang, padahal Nabi saw. sebelumnya telah melarang mereka. Harta yang mereka
ambil itu adalah serupa dengan riba, dari sisi bahwa keduanya adalah sesuatu
yang merupakan bagian yang berlebih dari hiasan dunia. Kesamaanya dalam hal
sesuatu yang terlarang atau sesuatu yang berlebih dari yang wajar, itulah yang
mengundang ayat ini mengajak orang-orang beriman agar janganlah kamu memakan
riba sebagaimana yang sering terjadi pada masyarakat jahiliyah pada masa
itu, yakni dengan berlipat ganda. Mereka diajak untuk menghindari siksa
Allah didunia dan di akhirat dengan perintah-Nya; Dan bertakwalah kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan di dunia dan di akhirat. Dan
peliharalah dirimu dari api neraka, kalau kamu tidak dapat memeliharanya
atas dorongan cinta, maka syukur kepada Allah. Neraka yang disediakan untuk
orang-orang kafir, antara lain mereka yang menghalalkan riba, demikian juga
untuk orang-orang durhaka yang mengkufuri nikmat Allah swt.
Al-Biqa’i menguatkan pendapatnya ini dengan
mengutip beberapa riwayat, antara lain dari Abu Daud melalui Abu Hurairah ra.
yang kesimpulannya adalah bahwa seseorang – Amr ibn Uqaisy atau Ushairim ibn
Abdil Asyhal – melakukan transaksi riba, dan dia enggan masuk Islam sebelum dia
memungut riba itu. Tetapi ketika terjadi perang Uhud, dia menanyakan tentang
anak-anak pamannya atau anak saudaranya dan beberapa temannya. Setelah
disampaikan bahwa mereka berada di Uhud, segera dia menunggangi kudanya dan
pergi menemui mereka. Ketika kaum muslim melihatnya mereka menyuruhnya pulang,
tetapi dia menyatakan dirinya telah beriman. Dia ikut aktif terlibat dalam peperangan itu dan
mengalami luka berat. Di rumahnya ia ditanya tentang sebab keterlibatannya
dalam perang, apakah karena ingin membela keluarga atau demi karena Allah. Dia
menjawab, ”Demi karena Allah dan Rasul-Nya”. Tidak lama kemudian dia gugur
karena lukanya. Rasul saw. menyatakan bahwa dia adalah penghuni surga, padahal
tidak sekalipun dia shalat.
Peristiwa ini dijadikan oleh sementara ulama
sebagai sebab turunnya ayat, dan seperti terlihat ia masih berkaitan dengan
perang Uhud yang menjadi uraian ayat-ayat yang lalu. Berdasarkan hal tersebut,
maka ayat diatas dapat juga bermakna, ”wahai orang-orang yang berkeinginan
untuk beriman, janganlah kamu berbuat seperti Amr ibn Uqaisy atau Ushairim ibn
Abdil Asyhal yang menunda keislamannya karena ingin memungut riba yang kamu
kenal berlaku dalam masyarakat, tetapi bersegeralah beriman dan bertaqwa kepada
Allah agar kalian tidak celaka tetapi memperoleh keberuntungan”, atau, ”wahai
orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai orang yang beriman, lakukanlah
seperti apa yang dilakukan Asyram. Dengan kesungguhan Imannya dia berperang,
meninggalkan riba sehingga memperoleh keberuntungan”.
Sayyid Quthub, yang pandangannya dipuji oleh
asy-Sya’rawi, menyatakan bahwa sebelum ayat-ayat surah ini melanjutkan uraian
tentang Perang Uhud serta komentar-komentar yang berkaitan denga
peristiwa-peristiwanya, terlebih dahulu dipaparkan petunjuk-petunjuk yang
berkaitan dengan pertempuran yang dahsyat, yakni pertempuran dalam diri manusia
dan lingkungan kehidupannya. Yakni uraian tentang riba, tentang takwa, dan
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, tentang bernafkah di jalan Allah dalam
keadaan lapang atau sempit, sistem kerjasama yang terpuji berhadapan dengan
sistem riba yang terkutuk, juga tentang menahan amarah, pemaafan,
penyebarluasan kebajikan ditengah masyarakat, serta istighfar, permohonan
taubat dan kesadaran untuk tidak berlanjut dalam kesalahan dan dosa. Semua itu
dikemukakan sebelum menguraikan peperangan fisik dan militer agar dapat
menunjukan ciri khas ajaran islam, yaitu ”Kesatuan dan ketercakupan” al-Wahdat
wasy syumul menghadapi eksistensi manusia dan segala aktivitasnya. Semua
dikembalikan kepada satu poros, yaitu poros ibadah dan pengabdian kepada Allah
swt. serta mengarahkan segala persoalan kepada-Nya semata.
Penjelasan
dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)
Prof.Dr.Qurays Shihab
memahami riba dalam ayat ini dalam arti hadiah yang mempunyai maksud-maksud
selain jalina persahabatan murni. Di sisi lain, dalam al-qur’an kata riba
ditemukan dalam Al-qur’an sebanyak delapan kali dalam empat surat. Salah satu
yang menarik adalah cara penulisannya.Hanya dalam surat Ar-rum ini yang ditulis
tanpa menggunakn huruf wawu ,ditulis (ربا)
. Sedang , selainnya ditulis dengan huruf wawu yakni(الربو)
. pakar ilmu Al-qur’an az-Zarkasyi, menjadikan perbedaan penulisan ini sebagai
salah satu indicator tentang perbedaan maknanya . yang ini adalah riba yang
halal ,yakni hadiah, sedang yang sealinnya adalah riba yang haram, yang
merupakan salah satu pokok keburukan ekonomi.
Sedangkan perbandingan
antara riba dan zakat menunjukkan bahwa riba terkesan mengambil harta orang
lain tanpa ada transaksi penyeimbang,sedangkan zakat memberikan harta kepada
orang lain sebagai wujud kepedulian .Keduanya dapat melipatgandakan harta
sedangkan zakat melipatgandakan pahala karena sifat kesalehan social orang yang
berzakat,”fa ula’ika humul mudh’ifuuna.
QS.An-Nisa’:160-161
Ayat ini turun dalam
konteks waktu itu, orang-orang Yahudi biasa melakukan perbuatan dosa besar.
Mereka selalu menyalahi aturan yang telah ditentukan oleh allah SWT.
Barang-barang yang telah dihalakan oleh Allah mereka haramkan, dan apa yang
diharamkan oleh Allah mereka lakukan. Sebagian dari barang yang diharamkan oleh
Allah yang mereka banyak budayakan adalah riba.Hanya orang-orang yang
benar-benar beriman kepada Allah secara jujur dari kalangan meraka –
diantaranya Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’yah, Asad bin Sa’yah dan Asad
bin Usaid – saja yang tidak mau melakukan kezaliman. Sehubungan dengan itu,
Allah SWT menurunkan ayat 161 sebagai khabar tentang perbuatan mereka dan
sebagai kabar gembira bagi mereka yang beriman untuk mendapatkan pahala yang
besar dari sisi Allah SWT. (HR. Ibn Abi Hatim dari Muhammad b. Abdillah b. Yazid
al-Muqri dari Yahya b. Uyainah dari Amr b. Ash).
Dalam tahap ini, riba
digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Dalam ayat ini diceritakan bahwa
orang-orang yahudi dilarang melakukan riba, tetapi larangan itu dilanggar
mereka sehingga mereka dimurkai Allah SWT dan diharamkan kepada mereka sesuatu
yang telah pernah dihalalkan kepada mereka sebagai akibat pelanggaran yang
mereka lakukan. Ayat ini turun sesudah Hijrah (Madaniyah). Dan ayat ini belum
secara jelas ditujukan kepada kaum muslimin, tetapi secara sindiran telah
menunjukan bahwa, kaum muslimin pun jika berbuat demikian akan mendapat kutuk
sebagaimana yang didapat orang-orang yahudi.
QS.Ali Imran:130
Sebagian ulama’
berijtihad memeras keringat untuk menemukan hubungan ayat ini karena sebelumnya
telah diuraikan panjang lebar mengenai sejarah perang uhud,namun ada sebagian
mereka tidak puas dengan pandangan ulama lain berhenti dan berkesimpulan bahwa
ayat ini tidak perlu dihubungkan dengan ayat –ayat sebelumnya.
Salah satu pendapat
yang dapat dipertimbangkan adalah pendapat al-Qaffal bahwa ,karena kaum
musyrikin membiayai peperangan-peperangan mereka, antara lain pada perang
uhud,dengan harta yang mereka hasilkan dari riba,boleh jadi terlintas dalam
benak kaum muslimin untuk mengumpulkan pula biaya peperangan melalui riba. Ayat
ini turun mengingatkan mereka agar jangan melangkah ke sana. Kesamaannya dalam
hal sesuatu yang terlarang ,atau sesuatu yang lebih dari wajar ,itulah yang
mengundang ayat ini mengajak orang-orang beriman agar tidak memakan riba sebagaimana
yang sering terjadi dalam masyarakat jahiliyyah pada waktu itu, yakni yang berlipat
ganda.
Al-Biqa’I menguatkan pendapatnya ini
dengan mengutip beberapa riwayat ,antara
lain dari Abu Daud melalui Abu Hurairah
yang kesimpulannya adalah bahwa seseorang yang kesimpulannya adalah bahwa
seseorang-Amr ibn Uqaisy atau Usairim Ibn abdil Asyhal-melakukan transaksi riba
, dan dia enggan masuk islam sebelum memungut riba itu.Namun,ketika perang uhud
terjadi, dia menanyakan tentang anak-anak pamannya ,atau anak pamannya ,atau
anak saudaranya dan beberapa temannya. Setelah disampaikan bahwa mereka berada
di uhud, dia segera menunggang kudanya dan pergi menemui mereka. Ketika kaum
muslim melihatnya, mereka menyuruhnya pulang , tetapi dia menyatakan dirinya
telah beriman . Dia ikut aktif terlibat dalam peperangan itu dan mengalami luka
berat. Di rumahnya , dia ditanya tentang sebab keterlibatannya dalam peperangan
apakah karena ingin membela keluarga atau karena Allah.Dia menjawab:”Karena
Allah dan Rasulnya” Tidak lama kemudian, dia gugur karena
lukanya.Rasulullah SAW menyatakan bahwa
dia adalah penghunu syurga ,padahal tak sekalipun ia sholat.
Peristiwa ini sementara
dijadikan oleh ulama’sebagai asbabun nuzul ayat dan seperti terlihat ia masih
berkaitan dengan perang uhud,yang menjadi uraian-uraian ayat-ayat
lalu.Berdasarkan hal tersebut,ayat dia atas juga dapat berarti “Wahai
orang-orang yang berkeinginan untuk beriman
untuk beriman,maka janaganlah berbuat seperti –Amr Ibnu Uqaisy atau
Ushairim Ibnu Abdil Asyhal-yang menunda keislamannya karena ingin memungut
harta riba yang kamu kenal berlaku di masyarakat,tetapi bersegeralah
berimankepada Allah agar kalian tidak celaka,tetapi menorah keuntungan. Atau ,
wahai oarng-orang yang menyatakan dirinya sebagai orang yang beriman,lakukanlah
seperti yang dilakukan Asyram. Dengan kesungguhan imannya ,dia berperang, dan
meninggalkan riba sehingga memperoleh keberuntungan.
Sementara Imam Ar Razi
mengatakan,” Pada masa jahiliyyah , bila seseorang berhutang pada orang lain
sebanyak 100 dirham,jika telah waktunya,ternyata orang yang berhutang belum
bisa membayarnya ,ia akan mengatakan:”tambahilah waktu pembayarannya”,biar
nanti aku tambah jumlah pembayarannya. Dan ini terkadang mencapai 200 dirham.
Setelah tiba waktu yang
dijanjikan,terulang lagi hal yang serupa
dan hal itu terjadi beberapa kali ,sehingga seratus dirham ia dapat mengambil
berlipat ganda dari modalnya.
Ayat di mulai dengan
panggilan kepada orang-orang yang beriman disusul dengan larangan riba.Dimulainya
demikian memberi isyarat bahwa bukanlah sifat dan kelakuan orang yang beriman
memakan yakni mencari dan menggunakan uang yang diperolehnya dari praktek riba.
Riba atau kelebihan
yang terlarang oleh ayat tersebut adalah yang sifatnya adh’afam mudlo’afah,yakni
berlipat ganda, sebagaimana kebiasaan masyarakat jahiliyyah . Jika seseorang
tidak mapu membayar hutang , dia ditawari atau menawarkan penangguhan
pembayaran , dan sebagai imbalan penangguhan itu-ketika membayar utangnya-dia membayar nya dengan ganda atau
berlipat ganda.
Dalam tafsir Al-Kasyf
disebutkan bahwa imam abu hanifah, apabila membaca ayat 130 di atas , beliau
berkata :” Inilah ayat-ayat yang paling menakutkan dalam Al-qur’an karena Allah
mengancam orang-orang yang beriman terjerumus dalam neraka yang disediakan
Allah untuk orang-orang kafir. Memang riba adalah kejahatan ekonomi yang
terbesar .Ia adalah penindasan terhadap orang yang butuh.Penindasan dalam
bidang ekonomi dapat lebih besar daripada penindasan dalam bidang fisik. Tidak
heran jika sebagian ulama’-seperti Muhammad Abduh – yang menilai kafir ,
orang-orang yang melakukan praktik riba- walaupun mengakui keharamannya dan
walau dia mengcapkan kalimat syahadat dan secara formal melakukan sholat-adalah
serupa orang-oranng kafir yang terancam kekal di neraka.
QS. Al-B-aqarah
:275-280.
Banyak juga ulama memahami redaksi diatas dalam
pengertian kebahasaannya. Yakni apa yang kamu berikan kepada orang lain, dengan
maksud menambah harta orang yang kamu berikan itu, baik dalam bentuk hadiah,
guna memperoleh popularitas atau guna mendapat tempat disisi yang kamu beri,
atau sebagai cara untuk memperoleh keuntungan lebih banyak di masa mendatang,
maka itu tidak terhitung sebagai amalan yang sesuai dengan kerihaan Allah,
tetapi itu hanya bermanfaat untuk diri kamu sendiri.
Sayyid
Quthub menulis bahwa ketika itu ada sementara oran yang berusaha mengembangkan
usahanya dengan memberi hadiah-hadiah kepada orang-orang mampu agar memperoleh
imbalan yang lebih banyak. Maka ayat ini menjelaskan bahwa hal demikian
bukanlah cara pengembangan usaha yang sebenarnya, walaupun redaksi ayat ini
mencakup semua cara yang bertujuan mengembangkan harta dengan cara dan bentuk
apapun yang bersifat penambahan (ribawi). Sayyid Quthub menambahkan dalam
catatan kakinya bahwa cara ini tidak haram sebagaimana keharaman riba yang
populer, tetapi bukan cara pengembangan harta yang sebenarnya pada penggalan
ayat selanjutnya yaitu: Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai wajah Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan
(pahalanya), yakni memberinya tanpa imbalan, tanpa menanti ganti dari
manusia, tetapi demi karena Allah.
Ayat di atas menyatakan bahwa barang siapa yang menafkahkan hartanya karena
Allah semata, maka ia akan memperoleh kebahagiaan, sedang orang yang
menafkahkannya dengan cara riya’ atau mengharapkan imbalan serta untuk
mendapatkan popularitas maka tidak
ada tambahannya di sisi Allah. Dan si pemberi tidak akan mendapat pahala,
tetapi hal itu tidak ada dosanya. Demikian pendapat sebagian para ulama dan
Sayid Qutb dalam bukunya: "Fi Zi lalil Quran" hal. 48 Jus 21. Dan
ayat ini turun karena adanya pemberian seperti itu.
Ayat
tersebut juga menunjukkan bahwa manusia diberikan kebebasan dalam memilih
jalan untuk menambah kekayaan. Konsekuensi dari menggantungkan harapan kepada
selain Allah dalam hal mengharapkan balasan adalah tidak bertambahnya keridhaan
dari Allah, yang bisa jadi berarti harta berapapun tidak akan pernah cukup.
Sedangkan konsekuensi dari mengharapkan ridha Allah sudah pasti akan menambah
pahala dan balasan yang berlipat ganda. Sebanyak apapun hasil yang diperoleh
dari riba, bagi orang yang meyakini adanya Allah dan hari akhir, pada
prinsipnya tidak akan menenangkan hati seseorang dari rasa ketidakcukupan
harta.
Sayyid Quthub menulis
bahwa ketika itu ada orang yang berusaha mengembangkan usahanya dengan memberi
hadiah-haddiah kepada orang-orang yang mempu agar memperoleh imbalan yang lebih
banyak. Kemudian ayat ini menjelaskan bahwa hal demikian bukanlah cara
pengembangan usaha yang sebenarnya, walaupun redaksi ayat ini mencakup semua
cara yang bertujuan mengembangkan harta dengan cara dan bentuk apapun yang
bersifat penambahan (ribawi). Sayyid Quthub menambahkan dalam catatan kakinya
bahwa cara ini tidak haram sebagaimana keharaman riba yang popular, tetapi
bukan cara pengembangan harta yang suci dan terhormat. Allah menjelaskan cara
pengembangan harta yang sebenarnya pada penggalan ayat selanjutnya, Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya), yakni memberinya tanpa imbalan, tanpa menanti ganti
dari manusia, tetapi semata hanya karena Allah. Karena hanya Allah lah yang
melapangkan rezeki dan mempersempitnya.
No comments:
Post a Comment