Thursday, March 17, 2016

HILDA TAFSIR SURAT AL RUM AYAT 39

  
Dalam Tafsir Al-Mishbah Karangan M.Quraish Shihab Pembahasan pokok tentang riba disebutkan dalam beberapa tempat secara berkelompok, yaitu surat Ar-rum:39, surat An-Nisa’:160-161, surat ali Imran :130, dan surat Al-baqarah 275-280. Sedangkan mengenai pengertian riba ,para ulama’ menjadikan surat ali Imran ;130dan surat Al-baqarah :278-279 sebagai pijakan, harus dipahami bahwa pendapatans hanya berhak menerima pelunasan sejumlah pinjaman, dan kelebihan atas jumlah pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu tanpa iwad( imbalan ) adalah riba. Riba menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia. Riba dalam pembahasan ini terbatas pada riba yang dibicarakan dalam Al-Qur’an, bukan yang terdapat dalam al-Hadits.

Riba Menurut Al-Quran tafsir quraish shihab

Tulisan berikut tidak akan membahas kehalalan atau keharaman riba, karena keharamannya telah disepakati oleh setiap Muslim berdasarkan ayat-ayat Al-Quran serta ijma' seluruh ulama Islam, apa pun mazhab atau alirannya. Yang dibahas adalah apa yang di maksud sesungguhnya oleh Al-Quran dengan riba yang diharamkannya itu?
Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktek transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama.
Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada praktek-praktek transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi.
Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai 'Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini. Beliau berkata: "Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu."
Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan 'Umar r.a., "meninggalkan sembilan per sepuluh yang halal".
Sebelum membuka lembaran-lembaran Al-Quran yang ayat-ayatnya berbicara tentang riba, terlebih dahulu akan dikemukakan selayang pandang tentang kehidupan ekonomi masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran.
Sejarah menjelaskan bahwa Tha'if, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Tha'if bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktek-praktek riba, sehingga keberadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktek tersebut.
Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal prktek-praktek riba. Terbukti bahwa sebagian dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti 'Abbas bin 'Abdul Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan lain-lain, mempraktekkannya sampai dengan turunnya larangan tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap sama dengan jual beli (QS 2:275). Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan.
1.      Tafsir ayat Ar-Rum 39

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ     
تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). 
Dalam Surat Ar-Ruum Ayat 39, terdapat beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami yakni:
 وَمَا آتَيْتُمْ
dan apa-apa yang kamu berikan
مِنْ زَكَاةٍ
berupa atau dari Zakat
مِنْ رِبًا
sesuatu dari Riba
 تُرِيدُونَ
yang kamu semua maksudkan atau kehendaki
 لِيَرْبُوَ
agar dia (harta tersebut) tambah
وَجْهَ اللَّهِ
untuk mencapai keridhoan Allah
فِي أَمْوَالِ النَّاسِ
di dalam hartaya manusia
فَأُولَئِكَ
maka mereka yang berbuat itu
فَلَا يَرْبُو
maka riba itu tidak menjadikan bertambah
هُمُ
orang yang berbuat itulah
عِنْدَ اللَّهِ
di sisi Allah
الْمُضْعِفُونَ
yakni orang-orang yang melipat gandakan dalam (Pahalanya)
وَمَا آتَيْتُمْ
dan apa yang kamu berikan

Di dalam bahasa Arab, bahwa lafadz “Riba” itu bisa mengandung  makna tambahan secara mutlaq atau bahwa Riba secara bahasa bermakna :  Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prisip muamalah dalam Islam. Tetapi dalam lafadz yang terdapat dalam Surat Ar-Ruum ayat 39, tambah disini yang dimaksud tidak lahil hanyalah dalam perihal Pemberihan hadiah supaya orang yang memberi hadiah tersebut mendapat tambahan yang lebih. Ini sekilas dari pada uraian lafadz Riba yang dibaca Jer sebab kemasukan huruf Jer Min.
Dapat disimpulkan bahwa yang di maksud riba adalah sesuatu yang berlebih atau berlipat ganda, dari unsur mengutangkan dan pada akhirnya akan menimbulkan penganiayaan.

Penjelasan dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)
Seandainya uraian tentang perang Uhud telah selesai, maka ayat yang berbicara tentang riba di atas ini, boleh jadi tidak terlalu membingungkan untuk dicari rahasia penempatannya disini. Tetapi ayat-ayat yang berbicara tentang perang Uhud masih cukup panjang. Ini menjadikan sementara ulama memeras pikiran untuk mencari hubungannya, bahkan sebagian mereka – karena tidak puas dengan upaya atau pandangan ulama lain – berhenti dan berkesimpulan bahwa ayat ini tidak perlu dihubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya.
Salah satu pendapat yang dapat dipertimbangkan adalah yang dikemukakan oleh al-Qaffal bahwa karena kaum musyrikin membiayai peperangan-peperangan mereka, antara lain pada perang Uhud, dengan harta yang mereka hasilkan dari riba, maka boleh jadi terlintas dalam benak kaum muslim untuk mengumpulkan pula biaya peperangan melalui riba. Ayat ini turun mengingatkan mereka agar jangan melangkah kesana.
Al-Biqa’i berpendapat bahwa sebab utama dari malapetaka yang terjadi dalam perang Uhud adalah langkah para pemanah meninggalkan posisi mereka di atas bukit untuk turun mengambil harta rampasan perang, padahal Nabi saw. sebelumnya telah melarang mereka. Harta yang mereka ambil itu adalah serupa dengan riba, dari sisi bahwa keduanya adalah sesuatu yang merupakan bagian yang berlebih dari hiasan dunia. Kesamaanya dalam hal sesuatu yang terlarang atau sesuatu yang berlebih dari yang wajar, itulah yang mengundang ayat ini mengajak orang-orang beriman agar janganlah kamu memakan riba sebagaimana yang sering terjadi pada masyarakat jahiliyah pada masa itu, yakni dengan berlipat ganda. Mereka diajak untuk menghindari siksa Allah didunia dan di akhirat dengan perintah-Nya; Dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan di dunia dan di akhirat. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, kalau kamu tidak dapat memeliharanya atas dorongan cinta, maka syukur kepada Allah. Neraka yang disediakan untuk orang-orang kafir, antara lain mereka yang menghalalkan riba, demikian juga untuk orang-orang durhaka yang mengkufuri nikmat Allah swt.
Al-Biqa’i menguatkan pendapatnya ini dengan mengutip beberapa riwayat, antara lain dari Abu Daud melalui Abu Hurairah ra. yang kesimpulannya adalah bahwa seseorang – Amr ibn Uqaisy atau Ushairim ibn Abdil Asyhal – melakukan transaksi riba, dan dia enggan masuk Islam sebelum dia memungut riba itu. Tetapi ketika terjadi perang Uhud, dia menanyakan tentang anak-anak pamannya atau anak saudaranya dan beberapa temannya. Setelah disampaikan bahwa mereka berada di Uhud, segera dia menunggangi kudanya dan pergi menemui mereka. Ketika kaum muslim melihatnya mereka menyuruhnya pulang, tetapi dia menyatakan dirinya telah beriman. Dia ikut aktif terlibat dalam peperangan itu dan mengalami luka berat. Di rumahnya ia ditanya tentang sebab keterlibatannya dalam perang, apakah karena ingin membela keluarga atau demi karena Allah. Dia menjawab, ”Demi karena Allah dan Rasul-Nya”. Tidak lama kemudian dia gugur karena lukanya. Rasul saw. menyatakan bahwa dia adalah penghuni surga, padahal tidak sekalipun dia shalat.
Peristiwa ini dijadikan oleh sementara ulama sebagai sebab turunnya ayat, dan seperti terlihat ia masih berkaitan dengan perang Uhud yang menjadi uraian ayat-ayat yang lalu. Berdasarkan hal tersebut, maka ayat diatas dapat juga bermakna, ”wahai orang-orang yang berkeinginan untuk beriman, janganlah kamu berbuat seperti Amr ibn Uqaisy atau Ushairim ibn Abdil Asyhal yang menunda keislamannya karena ingin memungut riba yang kamu kenal berlaku dalam masyarakat, tetapi bersegeralah beriman dan bertaqwa kepada Allah agar kalian tidak celaka tetapi memperoleh keberuntungan”, atau, ”wahai orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai orang yang beriman, lakukanlah seperti apa yang dilakukan Asyram. Dengan kesungguhan Imannya dia berperang, meninggalkan riba sehingga memperoleh keberuntungan”.
Sayyid Quthub, yang pandangannya dipuji oleh asy-Sya’rawi, menyatakan bahwa sebelum ayat-ayat surah ini melanjutkan uraian tentang Perang Uhud serta komentar-komentar yang berkaitan denga peristiwa-peristiwanya, terlebih dahulu dipaparkan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pertempuran yang dahsyat, yakni pertempuran dalam diri manusia dan lingkungan kehidupannya. Yakni uraian tentang riba, tentang takwa, dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, tentang bernafkah di jalan Allah dalam keadaan lapang atau sempit, sistem kerjasama yang terpuji berhadapan dengan sistem riba yang terkutuk, juga tentang menahan amarah, pemaafan, penyebarluasan kebajikan ditengah masyarakat, serta istighfar, permohonan taubat dan kesadaran untuk tidak berlanjut dalam kesalahan dan dosa. Semua itu dikemukakan sebelum menguraikan peperangan fisik dan militer agar dapat menunjukan ciri khas ajaran islam, yaitu ”Kesatuan dan ketercakupan” al-Wahdat wasy syumul menghadapi eksistensi manusia dan segala aktivitasnya. Semua dikembalikan kepada satu poros, yaitu poros ibadah dan pengabdian kepada Allah swt. serta mengarahkan segala persoalan kepada-Nya semata.
Penjelasan dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab)
Prof.Dr.Qurays Shihab memahami riba dalam ayat ini dalam arti hadiah yang mempunyai maksud-maksud selain jalina persahabatan murni. Di sisi lain, dalam al-qur’an kata riba ditemukan dalam Al-qur’an sebanyak delapan kali dalam empat surat. Salah satu yang menarik adalah cara penulisannya.Hanya dalam surat Ar-rum ini yang ditulis tanpa menggunakn huruf wawu ,ditulis (ربا) . Sedang , selainnya ditulis dengan huruf wawu yakni(الربو) . pakar ilmu Al-qur’an az-Zarkasyi, menjadikan perbedaan penulisan ini sebagai salah satu indicator tentang perbedaan maknanya . yang ini adalah riba yang halal ,yakni hadiah, sedang yang sealinnya adalah riba yang haram, yang merupakan salah satu pokok keburukan ekonomi.
Sedangkan perbandingan antara riba dan zakat menunjukkan bahwa riba terkesan mengambil harta orang lain tanpa ada transaksi penyeimbang,sedangkan zakat memberikan harta kepada orang lain sebagai wujud kepedulian .Keduanya dapat melipatgandakan harta sedangkan zakat melipatgandakan pahala karena sifat kesalehan social orang yang berzakat,”fa ula’ika humul mudh’ifuuna.

*      QS.An-Nisa’:160-161
Ayat ini turun dalam konteks waktu itu, orang-orang Yahudi biasa melakukan perbuatan dosa besar. Mereka selalu menyalahi aturan yang telah ditentukan oleh allah SWT. Barang-barang yang telah dihalakan oleh Allah mereka haramkan, dan apa yang diharamkan oleh Allah mereka lakukan. Sebagian dari barang yang diharamkan oleh Allah yang mereka banyak budayakan adalah riba.Hanya orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah secara jujur dari kalangan meraka – diantaranya Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’yah, Asad bin Sa’yah dan Asad bin Usaid – saja yang tidak mau melakukan kezaliman. Sehubungan dengan itu, Allah SWT menurunkan ayat 161 sebagai khabar tentang perbuatan mereka dan sebagai kabar gembira bagi mereka yang beriman untuk mendapatkan pahala yang besar dari sisi Allah SWT. (HR. Ibn Abi Hatim dari Muhammad b. Abdillah b. Yazid al-Muqri dari Yahya b. Uyainah dari Amr b. Ash).
Dalam tahap ini, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Dalam ayat ini diceritakan bahwa orang-orang yahudi dilarang melakukan riba, tetapi larangan itu dilanggar mereka sehingga mereka dimurkai Allah SWT dan diharamkan kepada mereka sesuatu yang telah pernah dihalalkan kepada mereka sebagai akibat pelanggaran yang mereka lakukan. Ayat ini turun sesudah Hijrah (Madaniyah). Dan ayat ini belum secara jelas ditujukan kepada kaum muslimin, tetapi secara sindiran telah menunjukan bahwa, kaum muslimin pun jika berbuat demikian akan mendapat kutuk sebagaimana yang didapat orang-orang yahudi.

*      QS.Ali Imran:130
Sebagian ulama’ berijtihad memeras keringat untuk menemukan hubungan ayat ini karena sebelumnya telah diuraikan panjang lebar mengenai sejarah perang uhud,namun ada sebagian mereka tidak puas dengan pandangan ulama lain berhenti dan berkesimpulan bahwa ayat ini tidak perlu dihubungkan dengan ayat –ayat sebelumnya.
Salah satu pendapat yang dapat dipertimbangkan adalah pendapat al-Qaffal bahwa ,karena kaum musyrikin membiayai peperangan-peperangan mereka, antara lain pada perang uhud,dengan harta yang mereka hasilkan dari riba,boleh jadi terlintas dalam benak kaum muslimin untuk mengumpulkan pula biaya peperangan melalui riba. Ayat ini turun mengingatkan mereka agar jangan melangkah ke sana. Kesamaannya dalam hal sesuatu yang terlarang ,atau sesuatu yang lebih dari wajar ,itulah yang mengundang ayat ini mengajak orang-orang beriman agar tidak memakan riba sebagaimana yang sering terjadi dalam masyarakat jahiliyyah pada waktu itu, yakni yang berlipat ganda.
Al-Biqa’I  menguatkan pendapatnya ini dengan  mengutip beberapa riwayat ,antara lain  dari Abu Daud melalui Abu Hurairah yang kesimpulannya adalah bahwa seseorang yang kesimpulannya adalah bahwa seseorang-Amr ibn Uqaisy atau Usairim Ibn abdil Asyhal-melakukan transaksi riba , dan dia enggan masuk islam sebelum memungut riba itu.Namun,ketika perang uhud terjadi, dia menanyakan tentang anak-anak pamannya ,atau anak pamannya ,atau anak saudaranya dan beberapa temannya. Setelah disampaikan bahwa mereka berada di uhud, dia segera menunggang kudanya dan pergi menemui mereka. Ketika kaum muslim melihatnya, mereka menyuruhnya pulang , tetapi dia menyatakan dirinya telah beriman . Dia ikut aktif terlibat dalam peperangan itu dan mengalami luka berat. Di rumahnya , dia ditanya tentang sebab keterlibatannya dalam peperangan apakah karena ingin membela keluarga atau karena Allah.Dia menjawab:”Karena Allah dan Rasulnya” Tidak lama kemudian, dia gugur karena lukanya.Rasulullah  SAW menyatakan bahwa dia adalah penghunu syurga ,padahal tak sekalipun ia sholat.
Peristiwa ini sementara dijadikan oleh ulama’sebagai asbabun nuzul ayat dan seperti terlihat ia masih berkaitan dengan perang uhud,yang menjadi uraian-uraian ayat-ayat lalu.Berdasarkan hal tersebut,ayat dia atas juga dapat berarti “Wahai orang-orang yang berkeinginan untuk beriman  untuk beriman,maka janaganlah berbuat seperti –Amr Ibnu Uqaisy atau Ushairim Ibnu Abdil Asyhal-yang menunda keislamannya karena ingin memungut harta riba yang kamu kenal berlaku di masyarakat,tetapi bersegeralah berimankepada Allah agar kalian tidak celaka,tetapi menorah keuntungan. Atau , wahai oarng-orang yang menyatakan dirinya sebagai orang yang beriman,lakukanlah seperti yang dilakukan Asyram. Dengan kesungguhan imannya ,dia berperang, dan meninggalkan riba sehingga memperoleh keberuntungan.
Sementara Imam Ar Razi mengatakan,” Pada masa jahiliyyah , bila seseorang berhutang pada orang lain sebanyak 100 dirham,jika telah waktunya,ternyata orang yang berhutang belum bisa membayarnya ,ia akan mengatakan:”tambahilah waktu pembayarannya”,biar nanti aku tambah jumlah pembayarannya. Dan ini terkadang mencapai 200 dirham. Setelah tiba waktu  yang dijanjikan,terulang  lagi hal yang serupa dan hal itu terjadi beberapa kali ,sehingga seratus dirham ia dapat mengambil berlipat ganda dari modalnya.
Ayat di mulai dengan panggilan kepada orang-orang yang beriman disusul dengan larangan riba.Dimulainya demikian memberi isyarat bahwa bukanlah sifat dan kelakuan orang yang beriman memakan yakni mencari dan menggunakan uang yang diperolehnya dari praktek riba.
Riba atau kelebihan yang terlarang oleh ayat tersebut adalah yang sifatnya adh’afam mudlo’afah,yakni berlipat ganda, sebagaimana kebiasaan masyarakat jahiliyyah . Jika seseorang tidak mapu membayar hutang , dia ditawari atau menawarkan penangguhan pembayaran , dan sebagai imbalan penangguhan itu-ketika membayar  utangnya-dia membayar nya dengan ganda atau berlipat ganda.
Dalam tafsir Al-Kasyf disebutkan bahwa imam abu hanifah, apabila membaca ayat 130 di atas , beliau berkata :” Inilah ayat-ayat yang paling menakutkan dalam Al-qur’an karena Allah mengancam orang-orang yang beriman terjerumus dalam neraka yang disediakan Allah untuk orang-orang kafir. Memang riba adalah kejahatan ekonomi yang terbesar .Ia adalah penindasan terhadap orang yang butuh.Penindasan dalam bidang ekonomi dapat lebih besar daripada penindasan dalam bidang fisik. Tidak heran jika sebagian ulama’-seperti Muhammad Abduh – yang menilai kafir , orang-orang yang melakukan praktik riba- walaupun mengakui keharamannya dan walau dia mengcapkan kalimat syahadat dan secara formal melakukan sholat-adalah serupa orang-oranng kafir yang terancam kekal di neraka.
QS. Al-B-aqarah :275-280.
Banyak juga ulama memahami redaksi diatas dalam pengertian kebahasaannya. Yakni apa yang kamu berikan kepada orang lain, dengan maksud menambah harta orang yang kamu berikan itu, baik dalam bentuk hadiah, guna memperoleh popularitas atau guna mendapat tempat disisi yang kamu beri, atau sebagai cara untuk memperoleh keuntungan lebih banyak di masa mendatang, maka itu tidak terhitung sebagai amalan yang sesuai dengan kerihaan Allah, tetapi itu hanya bermanfaat untuk diri kamu sendiri.
Sayyid Quthub menulis bahwa ketika itu ada sementara oran yang berusaha mengembangkan usahanya dengan memberi hadiah-hadiah kepada orang-orang mampu agar memperoleh imbalan yang lebih banyak. Maka ayat ini menjelaskan bahwa hal demikian bukanlah cara pengembangan usaha yang sebenarnya, walaupun redaksi ayat ini mencakup semua cara yang bertujuan mengembangkan harta dengan cara dan bentuk apapun yang bersifat penambahan (ribawi). Sayyid Quthub menambahkan dalam catatan kakinya bahwa cara ini tidak haram sebagaimana keharaman riba yang populer, tetapi bukan cara pengembangan harta yang sebenarnya pada penggalan ayat selanjutnya yaitu: Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai wajah Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya), yakni memberinya tanpa imbalan, tanpa menanti ganti dari manusia, tetapi demi karena Allah.
Ayat di atas menyatakan bahwa barang siapa yang menafkahkan hartanya karena Allah semata, maka ia akan memperoleh kebahagiaan, sedang orang yang menafkahkannya dengan cara riya’ atau mengharapkan imbalan serta untuk mendapatkan popularitas maka tidak ada tambahannya di sisi Allah. Dan si pemberi tidak akan mendapat pahala, tetapi hal itu tidak ada dosanya. Demikian pendapat sebagian para ulama dan Sayid Qutb dalam bukunya: "Fi Zi lalil Quran" hal. 48 Jus 21. Dan ayat ini turun karena adanya pemberian seperti itu.
Ayat tersebut  juga menunjukkan bahwa manusia diberikan kebebasan dalam memilih jalan untuk menambah kekayaan. Konsekuensi dari menggantungkan harapan kepada selain Allah dalam hal mengharapkan balasan adalah tidak bertambahnya keridhaan dari Allah, yang bisa jadi berarti harta berapapun tidak akan pernah cukup. Sedangkan konsekuensi dari mengharapkan ridha Allah sudah pasti akan menambah pahala dan balasan yang berlipat ganda. Sebanyak apapun hasil yang diperoleh dari riba, bagi orang yang meyakini adanya Allah dan hari akhir, pada prinsipnya tidak akan menenangkan hati seseorang dari rasa ketidakcukupan harta.
Sayyid Quthub menulis bahwa ketika itu ada orang yang berusaha mengembangkan usahanya dengan memberi hadiah-haddiah kepada orang-orang yang mempu agar memperoleh imbalan yang lebih banyak. Kemudian ayat ini menjelaskan bahwa hal demikian bukanlah cara pengembangan usaha yang sebenarnya, walaupun redaksi ayat ini mencakup semua cara yang bertujuan mengembangkan harta dengan cara dan bentuk apapun yang bersifat penambahan (ribawi). Sayyid Quthub menambahkan dalam catatan kakinya bahwa cara ini tidak haram sebagaimana keharaman riba yang popular, tetapi bukan cara pengembangan harta yang suci dan terhormat. Allah menjelaskan cara pengembangan harta yang sebenarnya pada penggalan ayat selanjutnya, Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu  maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya), yakni memberinya tanpa imbalan, tanpa menanti ganti dari manusia, tetapi semata hanya karena Allah. Karena hanya Allah lah yang melapangkan rezeki dan mempersempitnya.




No comments:

Post a Comment