Thursday, March 17, 2016


HERLINA
Haramnya Riba, Teguhkan Taqwa
 (Surat Ali-Imran ayat 130)

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ  
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”(QS.Ali-Imran-130).
Mufrodat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Hai orang-orang yang beriman
اللَّهَ
kepada Allah
لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا
janganlah kamu memakan riba
لَعَلَّكُمْ
supaya kamu
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
dengan berlipat
 تُفْلِحُونَ
mendapat keberuntungan
وَاتَّقُوا
dan bertakwalah kamu

Lafadz يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا  itu terdapat munada di dalamnya yakni lafadz  أيyang digunakan untuk munada yang mana sifatnya berupa isim mausul yang dipasang Al. juga bahwa lafadz diatas itu sudah kelaku dalam Kalam Arob, Dalam Al Fiyah Ibn Malik diutarakan dalam Nadhomyna :
          وايها ذا ايها الذي ورد * ووصف اي بسوى هذا يرد
Kemudian dalam Lafadz selanjutnya terdapat huruf  لَا nahi yang mempunyai arti larangan pada lafadzأَضْعَافًا مُضَاعَفَةًتَأْكُلُوا الرِّبَاyakni larangan atau jangan kamu semua memakan harta riba dengan berlipat ganda.




Tafsir Quraish Shihab :

Di dalam Surat Ali Imron ayat 130 ahli Tafsir menjelaskan bahwa lafadz يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ini yang dimaksud adalah kaum Sakif atau golongan manusia dari bani Sakif, kemudian lafadz لَا تَأْكُلُوا الرِّبَاأَضْعَافًا ini yang dimaksud adalah di dalam harta dirham yang berlebihan, disusul lagi lafadz sebagai penguwat yaitu مُضَاعَفَةً ini maksudnya adala  الاجل misi atau tujuan, kemudian dilanjutkan lagi dengan kata وَاتَّقُوا اللَّهَ  takutlah kamu semua orang Iman kepada Allah di dalam memakan sesuatu yang mengandung Riba.  لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَini dengan maksud supanya kamu semua mendapatkan keselamatan dari murka seksaan Allah.
Periode ketiga Allah SWT menurunkan Surat Al Imron ayat 130, dan Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. Ayat  ini  menjelaskan  kebiasaan  orang  Arab  saat  itu  yang  sering mengambil  riba  dengan  berlipat  ganda.  Ayat  ini  telah  secara  jelas mengharamkan perbuatan riba, akan tetapi bentuk pengharaman pada ayat ini masih bersifat sebagian, yaitu kepada kebiasaan orang saat itu yang  mengambil  riba  dengan  berlipat  ganda dari modal. Riba ini disebut dengan riba keji (ربا فحش) yaitu riba dengan penambahan dari pokok modal dari hutang yang berlipat ganda.
Dalam Tafsir di atas dalam Surat Ali Imron ayat 130 ini penulis simpulkan bahwa : a. yang diperingatkan dalam ayat ini adalah Golongan Saqif, umumnya Ummat Mamusia beragama Islam, b.Peringatan untuk menjahui makan Riba, c. Takutlah kepada Allah dalam makan harta Riba, dengan harapan tidak mendapat murka dan Seksa dari Allah.

Tafsir Al-Azhar :
            Ayat 130 ini berkisar sekitar membicarakan tentang urusan riba. Kalau kita baca sepintas lalu seakan-akan bunga rampai; saja sesudah membicarakan hal mengambil teman karib, sahabat rapat, hendaklah hati-hati, kemudian dibicarakan hal perang Uhud, tiba-tiba sekarang dibicarakan perlarangan riba lagi. Orang yang tidak mendalam perasaan halusnya tentang al-Quran akan menyangka, bahwa susunan al-Quran itu berkacau balau saja, atau yang agak halus perasaannya merasa sebagi bunga rampai tentang berbagai soal saja. Tetapi apabila dirasakan lebih dalam lagi, niscaya bertemulah peraturan antara serangkum ayat dengan rangkuman yang lain.
            Tadi diberi peringatan, jngan terlalu rapat berkawan dengan orang yang bukan golongan kamu, dan hendaklah kamu bersabar dan bertakwa di dalam menghadapi musuh. Siapa yang dimaksud dengan yang bukan golongan kamu itu? Dan siapa yang di maksud dengan musuh-musuh yang memerangi Islam itu? Ialah orang Yahudi di Madinah, ataupun orang musyrikin Makkah. Dengan apa kedua golongan itu memerangi Islam? Ialah dengan harta benda, dengan kekayaan. Dan terkenallah pada zaman itu bahwa mata pencaharian hartawan-hartawan musyrikin yang tersebar ialah dari menternakkan uang, makan riba. Orang yahudi pun demikian pula. Ribalah mata penghidupan yang utama bagi hartawan-hartawan mereka. Sedang kaum muslimin di Madinah setiap hari ada hubungan jual-beli, pinjam –meminjam dengan mereka. Maka di samping peperangan yang kerapkali terjadi dengan musyrikin dan perang dingin dengan Yahudi yang ada di Madinah, kaum muslimin pun hendaklah menghindarkan mata-mata pencaharian penghisapan darah dengan menternakan uang itu, supaya kehidupan Muslimin dan sumber-sumber pencaharian mereka jangan sekali-kali menyerupai sumber hidup riba yang hina itu.
“Wahai orang-orang yang beriman! janganlah kamu memakan Riba berlipat ganda dan bertakwalah kepada Alla, supaya kamu beroleh kemenangan.”(ayat 130).
            Menurut keterangan ahli-ahli tafsir, inilah ayat mengharamkan riba yang mula-mula turun. Adapun ayat yang ada dalam surat al-Baqarah yang telah terlebih dahulu kita tafsirkan itu adalah termasuk ayat yang terakhir turunya kepada Nabi.
            Menurut karangan Sayidina Umar bin Khathab sebelum Rasulullah s.a.w. menerangkan riba yang berbahaya itu secara terperinci, beliaupun wafat. Tetapi pokoknya sudah nyata dan jelas dalam ayat yang mula-mula turun tentang riba, yang sedang kita perkatakan ini. Riba adalah suatu pemerasan hebat dari berpiutang kepada yang berutang, yaitu: Adh’afan Mudha’afatan. Adh’afatan artinya berlipat-lipat, mudh’afatan artinya berlipat lagi; berlipat-lipat, berganda-ganda.
                Dinamai juga Riba Nasiy’ah. Sebagai dahulu kita menafsirkan hal riba pada ayat 275-276 sampai dengan surat 279 surat al-Baqarah kita terangkan, si berhutang boleh terlambat (Nasiy’ah) membayarnya, bahkan yang berpiutang memang menghendaki supaya hutang itu dilambat-lambatkan membayar, karena bila bertambah lambat membayar bertambah berlipat hutang itu. Seseorang berhutang misalnya Rp.100, bolehlah dibayarnya tahundepan saja tetapi menjadi Rp.200. kalau terlambat lagi setahun, sudah menjadi Rp.400. demikian seterusnya. Dan boleh pula diangsur membayar, tetapi yang akan terangsur hanya bung saja. Pokok hutang sudah tertimbun oleh lipatan bunga. Sehingga akhirnya dengan diri-diri orang itu sendiripun tidaklah hutang itu akan dapat dibayarkan lagi.
            Inilah yang bernama Riba Nasiy’ah, secara jahiliyah yang berlipat-lipat, berganda-ganda itu. Dengan beginilah kaum Yahudi hidup dan beginilah hartawan-hartawan Makkah memperkaya diri dan menindas orang yang melarat. Di ujung ayat disuruh orang beriman supaya takwa, yaitu memelihara baik-baik dan takut kepada Allah. Kalau itu tidak ada, takut kaum Muslimin akan terjerumus kepada main riba.
            Maksud ajaran Islam bukanlah semata-mata memperbaiki hubungan dengan Allah, melainkan juga mengokohkan hubungan sesama manusia. Sebagai ayat 122 di atas tadi, yaitu supaya jangan putus tali dengan Allah dan tali dengan manusia. Kedua sayap kehidupan inilah yang akan diperbaiki oleh Islam. Oleh sebab itu jika Riba, secara jahiliyah itu masih ada, boleh dikatakan percuma menegakan agama. Sekiranya orang diperintahkan sholat berjamaah menghadap tuhan, apalah arti jamaah kalau antara yang menjadi ma’mum itu ada seorang penindas atau lintah darat yang memeras darah kawannya, sedang ma’mum yang lain, ialah orang yang dihisap darahnya itu?
            Pendeknya, riba adalah kehidupan yang paling jahat dan meruntuhkan segala bangunan persaudaraan. Itulah sebabnya di dalam ayat disuruh supaya seorang Mu’min takwa kepada Allah. Karena orang yang telah takwa tidak mungkin akan mencari kehidupan dengan memeras keringat dan menghisap darah orang lain. Dan di ujung ayat diterangkan pula, bahwa janganlah memakan riba dan hendaklah bertakwa, supaya kamu beroleh kemenangan. Barulah kejayaan di dalam menegakan masyarakat yang adil dan makmur, tidak ada penghisapan manusia atas manusia, berdasar kepada ridha Allah dan ukhwah yang sejati.

Tafsir Fi-Zalali Qur’an (Sayyid Quthb) :
Sebelumnya telah ada pembicaraan secara rinci tentang riba dan sistem ribawi di dalam Zilal ini sehingga tidak perlu kita ulangi disini. Tetapi kita perlu mencermati kalimat “Berlipat Ganda”. Karena ada orang-orang di zaman sekarang ini yang ingin berlindungdi balik nash ini lalu mengatakan : Sesungguhnya yang di haramkan adalah “berlipat ganda”. Sedangkan empat persen, lima persen, tujuh persen, sembilan persen .. tidak berlipat ganda dan tidak termasuk yang di haramkan!
Kita mulai dengan menegaskan bahwa “berlipat ganda” itu merupakan deskripsi (al-washfu) tentang suatu realitas, bukan syarat yang berkaitan dengan hukum. Nash yang terdapat di dalam surat al-Baqarah secara tegas mengharamkan pokok riba, tanpa pembatasan dan penentuan: ”..dan tinggalkan sisa riba ..” (al-Baqarah: 278) .. apa pun bentuknya!
Jika kita telah sesuai menegaskan prinsip maka perlu kami tegaskan sehubungan dengan deskripsi ini: pada hakikatnya ia bukan deskripsi historis semata-mata tentang berbagai praktek riba yang pernah terjadi di Jazirah Arabia dan menjadi objek larangan itu di sini. Tetapi sesungguhnya ia merupaka deskripsi yang senantiasa ada pada sistem ribawi yang terkutuk, berapapun nilai barang yang ada.
Sesungguhnya sistem ribawi berarti melakukan perputaran harta secara keseluruhan atas dasar prinsip ini. Pada gilirannya ini berarti bahwa praktek ribawi bukanlah praktek yang terpisah dan sederhana, tetapi merupakan praktek yang berulang-ulang di suatu sisi dan kompleks di sisi yang lain. Praktik ribawi tak di perdebatkan lagi seiring dengan waktu, pengulangan dan kompleksitas akan menjadi berlipat ganda.
Sesungguhnya sistem ribawi secara alamiyah selalu melahirkan deskripsi ini. Karena ia tidak terbatas pada prakterk-praktek yang pernah di lakukan di Jazirah Arabia, tetapi merupakan deskripsi yang lekat pada sistem tersebut di setiap zaman.
Diantara tabi’at sistem ini bahwa ia aka merusak kehidupan jiwa dan moral sebagaimana telah kami jelaskan secara rinci di dalam juz ketiga di samping merusak kehidupan ekonomi dan politik sebagaiman juga telah kami jelaskan secara rinci. Dari sini, nampak jelas hubunganya dengan kehidupan ummat secara keseluruhan dan pengaruhnya terhadap seluruh perkembangannya.
Islam dalam rangka membangun ummat Islam mengingikan kehidupan jiwa dan moral yang yang bersih untuk ummat ini, sebagaimana mengingikan kehidupan ekonomi dan politik yang sehat baginya. Pengaruh kedua hal ini dalam hasil-hasil pertempruran yang di lakukan oleh umat ini sangat jelas. Karena itu, larangan memakan riba dalam ulasan terhadap pertempuran perang adalah merupakan perkara yang mudah di fahami dalam manhaj yang paripurna dan berpandangan tajam ini
Sedangkan ulasan terhadap larangan ini dengan perintah taqwa kepada Allah demi mengharapkan kejayaan dan menghindari apai neraka yang di siapkan untuk orang-orang kafir .. ulasan dengan kedua sentuhan ini juga mudah di fahami, bahkan merupakan ulasan yang paling tepat:
Sesungguhnya orang yang bertaqwa kepada Allah dan takut akan api neraka yang di siapkan untuyk orang-orang kafir tidak akan memakan riba .. karena iman bukan sekedar kalimat yang di ucapkan dengan lisan, tetapi merupakan tindakan mengikuti manhaj yang di jadikan Allah sebagai terjemah aplikatif yang nyata bagi keimanan ini. Allah menjadikan iman sebagai pendahuluan untuk merealisasikan manhaj ini dalam kehidupan nyata dan menyelaraskan kehidupan masyarakat dengan berbagai konsekuensi.
Iman dan sistem ribawi mustahil bisa berhimpun di suatu tempat. Bila sistem ribawi tegak pasti di sana ada tindakan keluar dari agama ini secara keseluruhan, dan di sana pasti ada neraka yang di siapkan untuk orang-orang kafir itu! Hobi perbedaan pendapat dalam perkara ini tidak akan keluar dari statusnya sebagai hobi berbeda pendapat .. penghimpunan di dalam ayat-ayat ini, antara larangan memakai riba dan ajakan bertaqwa kepada Alah serta menjauhi api neraka yang disiapkan untuk orang-orang kafir, bukanlah tindakan sia-sian dan kebetulan belaka. Tetapi merupakan pengukuhan dan pendalaman hakikat ini di dalam tashawwur kaum Muslimin.
Demikian pula mengharapkan kejayaan (al-falah) dengan meniggalkan riba dan dengan bertaqwa kepada Allah SWT. . karena kejayaan merupakan buah alamiah dari taqwa dan realisasi manhaj Allah dalam kehidupan manusia.. pada juz ketiga telah di bahas tentang pengaruh riba pada segenap masyarakat manusia dan bahayanya yang mengerikan bagi kehidupan manusia. Silahkan rujuk penjelasan tersebut, agar kita bisa mengetahui makna kejayaan di sini dan kaitanya dengan meninggalkan sistem ribawi yang terkutuk itu!
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi mengatakan, “Ketahuilah wahai orang yang beriman bahwa riba yang dipraktekkan oleh bank konvensional pada saat ini itu lebih zalim dan lebih besar dosanya dari pada jahiliah yang Allah haramkan dalam ayat ini dan beberapa ayat lain di surat al Baqarah. Hal ini disebabkan riba dalam bank itu buatan orang-orang Yahudi sedangkan Yahudi adalah orang yang tidak punya kasih sayang dan belas kasihan terhadap selain mereka.
Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang sebenarnya.
Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan penangguhan waktu pembayaran.
Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.
Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit. Perhatikan sabda Rasulullah yang menegaskan hal ini,
دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah dan dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’, no. 3375)” [Nida-atur Rahman li Ahli Iman hal 41]
Dalam hadits di atas dengan tegas Nabi mengatakan bahwa uang riba itu haram meski sangat sedikit yang Nabi ilustrasikan dengan satu dirham. Bahkan meski sedikit, Nabi katakan lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan berzina bahkan meski berulang kali. Jadi hadits tersebut menunjukkan bahwa uang riba atau bunga itu tidak ada bedanya baik sedikit apalagi banyak.
Ayat ini berada di antara ayat-ayat yang membicarakan perang Uhud. Sebabnya menurut penjelasan Imam Qurthubi adalah karena dosa riba adalah satu-satunya dosa yang mendapatkan maklumat perang dari Allah sebagaimana dalam QS. al Baqarah [2]: 289. Sedangkan perang itu identik dengan pembunuhan. Sehingga seakan-akan Allah hendak mengatakan bahwa jika kalian tidak meninggalkan riba maka kalian akan kalah perang dan kalian akan terbunuh. Oleh karena itu Allah perintahkan kaum muslimin untuk meninggalkan riba yang masih dilakukan banyak orang saat itu (lihat Jam’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Kemudian Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya.
Al Falah/keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan yang diinginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena itu keberuntungan dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka adalah hal yang sangat dia takuti.
Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa dan salah satu bukti takwa adalah menghindari riba. Hal ini menunjukkan bahwa jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di dapatkan juga akan turut berkurang. Di antara bukti bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadits berikut ini.
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba di masa jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak pamanku?” “Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga fulan berada?”, tanyanya untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak orang-orang. Akhirnya dia memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum muslimin, mereka berkata, “Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.” Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat keluarganya dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui saudara perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena membela Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal beliau belum pernah melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2212).
Ad Dainuri bercerita bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di dekat beliau, “Siapakah seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum pernah shalat?” Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”
Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada Rasulullah, beliau lantas bersabda, “Sungguh dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir al Qosimi, 2/460)
Catatan Penting: Hadits di atas tidaklah tepat jika dijadikan dalil bahwa orang yang tidak shalat itu tidak kafir karena sahabat tadi bukannya tidak ingin mengerjakan shalat namun dia tidak berkesempatan untuk menjumpai waktu shalat sesudah dia masuk Islam karena kematian merenggutnya terlebih dahulu.
Pada ayat selanjutnya Allah menakuti-nakuti kita sekalian dengan neraka. Banyak pakar tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ancaman keras untuk orang-orang yang membolehkan transaksi riba. Siapa saja yang menganggap transaksi riba itu halal/boleh maka dia adalah orang yang kafir dan divonis kafir meski masih mengaku sebagai seorang muslim.
Ada juga pakar tafsir yang menjelaskan bahwa maksud ayat, waspadailah amal-amal yang bisa mencabut iman kalian sehingga kalian wajib masuk neraka. Di antara amal tersebut adalah durhaka kepada orang tua, memutus hubungan kekerabatan, memakan harta riba dan khianat terhadap amanat.
Akan tetapi dalam perkembangan ekonomi , banyak muncul berbagai fenomena. Misalnya di Indonesia, dari tahun ke tahun nilai tukar rupiah mengalami perubahan . Uang satu juta rupiah pada tahun 1995 tidaklah sama dengan tahun berikutnya, Jika pada awal tahun1995 dipinjam uang sebesar satu juta dan kemudian dikermbalikan pada tahun 2000 –secara ekonomi- dirugikan.Dalam kondisi seperti ini, agar tidak ada pihak yang dirugikan, pengembalian hutang harus disertai tambahan untuk kompensasi perubahan nilai tukar rupiah. Akan tetapi langkah ini pasti akan dikatakan riba jika berdasarkan kategori diatas. Fenomena ini menggambarkan pengembalian ‘ru’us amwalikum  ini tidak relevan dengan tidak adanya dzulm sebagaiman terdapat dalam surat Al-baqarah:279.
Sementara perkembangan ekonomi dari masa ke masa mengalami perkembangan , yang dulu tidak dikenal,sekarang ada. Dulu lembaga permodalan seperti bunga bank tidak dikenal ,sekarang ada. Di satu sisi,bunga bank terperangkap dalam praktek riba, tetapi di sisi lain bank punya fungsi sosisl yang besar. Mengenai hal ini ada 2 pendapat. Pendapat pertama, mengatakan bahwa bunga bank sama dengan riba ,sehingga harus dihindari oleh umat islam. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank belum tentu disebut riba  apabila tidak ada unsur dzulm di dalamnya. Sekalipun demikian sebenarnya kita belum menawarkan rumusan yang baku tentang kriteria dzulm
Bagaimanpun di masa lampau riba dengan segala sifat dampaknya sudah difahami, kendati pengertiannya sederhana., artinya berbagai kegiatan ekonomi sudah dapat dikategorikan sebagai riba atau tidak . Sementara perkembangan ekonomi terus melaju sehingga membentuk perspektif tertentu dalam masyarakat menyangkut penilaian terhadap tentang kegiatan ekonomi ,sehingga kegiatan ekonomi tertentu dewasa ini justru dipandang baik, bahkan dibutuhkan .Oleh karena itu  perlunya ada pengkajian ulang tentang karakter riba yang terkandung dalam Al-qur’an .


No comments:

Post a Comment