HERLINA
Haramnya Riba, Teguhkan Taqwa
(Surat Ali-Imran ayat 130)
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB (
(#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”(QS.Ali-Imran-130).
Mufrodat
:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
|
Hai
orang-orang yang beriman
|
اللَّهَ
|
kepada
Allah
|
لَا
تَأْكُلُوا الرِّبَا
|
janganlah
kamu memakan riba
|
لَعَلَّكُمْ
|
supaya
kamu
|
أَضْعَافًا
مُضَاعَفَةً
|
dengan
berlipat
|
تُفْلِحُونَ
|
mendapat
keberuntungan
|
وَاتَّقُوا
|
dan
bertakwalah kamu
|
Lafadz يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا itu
terdapat munada di dalamnya yakni lafadz أيyang
digunakan untuk munada yang mana sifatnya berupa isim mausul yang dipasang Al.
juga bahwa lafadz diatas itu sudah kelaku dalam Kalam Arob, Dalam Al Fiyah Ibn
Malik diutarakan dalam Nadhomyna :
وايها ذا ايها الذي ورد * ووصف اي بسوى
هذا يرد
Kemudian dalam Lafadz selanjutnya
terdapat huruf لَا nahi yang
mempunyai arti larangan pada lafadzأَضْعَافًا
مُضَاعَفَةًتَأْكُلُوا الرِّبَاyakni larangan atau jangan kamu semua memakan harta
riba dengan berlipat ganda.
Tafsir Quraish Shihab :
Di dalam
Surat Ali Imron ayat 130 ahli Tafsir menjelaskan bahwa lafadz يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا ini yang dimaksud adalah kaum Sakif
atau golongan manusia dari bani Sakif, kemudian lafadz لَا
تَأْكُلُوا الرِّبَاأَضْعَافًا ini yang dimaksud adalah di dalam
harta dirham yang berlebihan, disusul lagi lafadz sebagai penguwat yaitu مُضَاعَفَةً ini
maksudnya adala الاجل misi atau
tujuan, kemudian dilanjutkan lagi dengan kata وَاتَّقُوا
اللَّهَ takutlah kamu semua orang Iman kepada
Allah di dalam memakan sesuatu yang mengandung Riba. لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَini dengan maksud supanya kamu semua mendapatkan keselamatan dari murka
seksaan Allah.
Periode ketiga Allah SWT menurunkan Surat Al Imron ayat 130, dan Ayat ini
adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. Ayat ini
menjelaskan kebiasaan orang Arab saat itu
yang sering mengambil riba dengan berlipat
ganda. Ayat ini telah secara jelas mengharamkan
perbuatan riba, akan tetapi bentuk pengharaman pada ayat ini masih bersifat
sebagian, yaitu kepada kebiasaan orang saat itu yang mengambil
riba dengan berlipat ganda dari modal. Riba ini disebut
dengan riba keji (ربا فحش) yaitu riba dengan
penambahan dari pokok modal dari hutang yang berlipat ganda.
Dalam Tafsir di atas dalam Surat Ali
Imron ayat 130 ini penulis simpulkan bahwa : a. yang diperingatkan dalam ayat
ini adalah Golongan Saqif, umumnya Ummat Mamusia beragama Islam, b.Peringatan
untuk menjahui makan Riba, c. Takutlah kepada Allah dalam makan harta Riba,
dengan harapan tidak mendapat murka dan Seksa dari Allah.
Tafsir
Al-Azhar :
Ayat 130 ini berkisar sekitar
membicarakan tentang urusan riba. Kalau kita baca sepintas lalu seakan-akan
bunga rampai; saja sesudah membicarakan hal mengambil teman karib, sahabat
rapat, hendaklah hati-hati, kemudian dibicarakan hal perang Uhud, tiba-tiba
sekarang dibicarakan perlarangan riba lagi. Orang yang tidak mendalam perasaan
halusnya tentang al-Quran akan menyangka, bahwa susunan al-Quran itu berkacau
balau saja, atau yang agak halus perasaannya merasa sebagi bunga rampai tentang
berbagai soal saja. Tetapi apabila dirasakan lebih dalam lagi, niscaya
bertemulah peraturan antara serangkum ayat dengan rangkuman yang lain.
Tadi diberi peringatan, jngan
terlalu rapat berkawan dengan orang yang bukan golongan kamu, dan hendaklah
kamu bersabar dan bertakwa di dalam menghadapi musuh. Siapa yang dimaksud
dengan yang bukan golongan kamu itu? Dan siapa yang di maksud dengan
musuh-musuh yang memerangi Islam itu? Ialah orang Yahudi di Madinah, ataupun
orang musyrikin Makkah. Dengan apa kedua golongan itu memerangi Islam? Ialah
dengan harta benda, dengan kekayaan. Dan terkenallah pada zaman itu bahwa mata
pencaharian hartawan-hartawan musyrikin yang tersebar ialah dari menternakkan
uang, makan riba. Orang yahudi pun demikian pula. Ribalah mata penghidupan yang
utama bagi hartawan-hartawan mereka. Sedang kaum muslimin di Madinah setiap
hari ada hubungan jual-beli, pinjam –meminjam dengan mereka. Maka di samping
peperangan yang kerapkali terjadi dengan musyrikin dan perang dingin dengan
Yahudi yang ada di Madinah, kaum muslimin pun hendaklah menghindarkan mata-mata
pencaharian penghisapan darah dengan menternakan uang itu, supaya kehidupan
Muslimin dan sumber-sumber pencaharian mereka jangan sekali-kali menyerupai
sumber hidup riba yang hina itu.
“Wahai orang-orang yang beriman! janganlah kamu memakan Riba
berlipat ganda dan bertakwalah kepada Alla, supaya kamu beroleh
kemenangan.”(ayat 130).
Menurut keterangan
ahli-ahli tafsir, inilah ayat mengharamkan riba yang mula-mula turun. Adapun
ayat yang ada dalam surat al-Baqarah yang telah terlebih dahulu kita tafsirkan
itu adalah termasuk ayat yang terakhir turunya kepada Nabi.
Menurut karangan
Sayidina Umar bin Khathab sebelum Rasulullah s.a.w. menerangkan riba yang
berbahaya itu secara terperinci, beliaupun wafat. Tetapi pokoknya sudah nyata
dan jelas dalam ayat yang mula-mula turun tentang riba, yang sedang kita
perkatakan ini. Riba adalah suatu pemerasan hebat dari berpiutang kepada yang
berutang, yaitu: Adh’afan Mudha’afatan. Adh’afatan artinya berlipat-lipat,
mudh’afatan artinya berlipat lagi; berlipat-lipat, berganda-ganda.
Dinamai juga Riba Nasiy’ah. Sebagai dahulu kita menafsirkan hal
riba pada ayat 275-276 sampai dengan surat 279 surat al-Baqarah kita terangkan,
si berhutang boleh terlambat (Nasiy’ah) membayarnya, bahkan yang berpiutang
memang menghendaki supaya hutang itu dilambat-lambatkan membayar, karena bila
bertambah lambat membayar bertambah berlipat hutang itu. Seseorang berhutang
misalnya Rp.100, bolehlah dibayarnya tahundepan saja tetapi menjadi Rp.200. kalau
terlambat lagi setahun, sudah menjadi Rp.400. demikian seterusnya. Dan boleh
pula diangsur membayar, tetapi yang akan terangsur hanya bung saja. Pokok
hutang sudah tertimbun oleh lipatan bunga. Sehingga akhirnya dengan diri-diri
orang itu sendiripun tidaklah hutang itu akan dapat dibayarkan lagi.
Inilah yang
bernama Riba Nasiy’ah, secara jahiliyah yang berlipat-lipat, berganda-ganda
itu. Dengan beginilah kaum Yahudi hidup dan beginilah hartawan-hartawan Makkah
memperkaya diri dan menindas orang yang melarat. Di ujung ayat disuruh orang
beriman supaya takwa, yaitu memelihara baik-baik dan takut kepada Allah. Kalau
itu tidak ada, takut kaum Muslimin akan terjerumus kepada main riba.
Maksud ajaran Islam
bukanlah semata-mata memperbaiki hubungan dengan Allah, melainkan juga
mengokohkan hubungan sesama manusia. Sebagai ayat 122 di atas tadi, yaitu
supaya jangan putus tali dengan Allah dan tali dengan manusia. Kedua sayap
kehidupan inilah yang akan diperbaiki oleh Islam. Oleh sebab itu jika Riba,
secara jahiliyah itu masih ada, boleh dikatakan percuma menegakan agama.
Sekiranya orang diperintahkan sholat berjamaah menghadap tuhan, apalah arti
jamaah kalau antara yang menjadi ma’mum itu ada seorang penindas atau lintah
darat yang memeras darah kawannya, sedang ma’mum yang lain, ialah orang yang
dihisap darahnya itu?
Pendeknya, riba
adalah kehidupan yang paling jahat dan meruntuhkan segala bangunan
persaudaraan. Itulah sebabnya di dalam ayat disuruh supaya seorang Mu’min takwa
kepada Allah. Karena orang yang telah takwa tidak mungkin akan mencari
kehidupan dengan memeras keringat dan menghisap darah orang lain. Dan di ujung
ayat diterangkan pula, bahwa janganlah memakan riba dan hendaklah bertakwa,
supaya kamu beroleh kemenangan. Barulah kejayaan di dalam menegakan masyarakat
yang adil dan makmur, tidak ada penghisapan manusia atas manusia, berdasar
kepada ridha Allah dan ukhwah yang sejati.
Tafsir Fi-Zalali Qur’an (Sayyid Quthb) :
Sebelumnya telah ada pembicaraan secara rinci tentang riba dan
sistem ribawi di dalam Zilal ini sehingga tidak perlu kita ulangi disini.
Tetapi kita perlu mencermati kalimat “Berlipat Ganda”. Karena ada orang-orang
di zaman sekarang ini yang ingin berlindungdi balik nash ini lalu mengatakan :
Sesungguhnya yang di haramkan adalah “berlipat ganda”. Sedangkan empat persen,
lima persen, tujuh persen, sembilan persen .. tidak berlipat ganda dan tidak
termasuk yang di haramkan!
Kita mulai dengan menegaskan bahwa “berlipat ganda” itu merupakan
deskripsi (al-washfu) tentang suatu realitas, bukan syarat yang berkaitan
dengan hukum. Nash yang terdapat di dalam surat al-Baqarah secara tegas
mengharamkan pokok riba, tanpa pembatasan dan penentuan: ”..dan tinggalkan sisa
riba ..” (al-Baqarah: 278) .. apa pun bentuknya!
Jika kita telah sesuai menegaskan prinsip maka perlu kami tegaskan
sehubungan dengan deskripsi ini: pada hakikatnya ia bukan deskripsi historis
semata-mata tentang berbagai praktek riba yang pernah terjadi di Jazirah Arabia
dan menjadi objek larangan itu di sini. Tetapi sesungguhnya ia merupaka
deskripsi yang senantiasa ada pada sistem ribawi yang terkutuk, berapapun nilai
barang yang ada.
Sesungguhnya sistem ribawi berarti melakukan perputaran harta
secara keseluruhan atas dasar prinsip ini. Pada gilirannya ini berarti bahwa
praktek ribawi bukanlah praktek yang terpisah dan sederhana, tetapi merupakan
praktek yang berulang-ulang di suatu sisi dan kompleks di sisi yang lain.
Praktik ribawi tak di perdebatkan lagi seiring dengan waktu, pengulangan dan
kompleksitas akan menjadi berlipat ganda.
Sesungguhnya sistem ribawi secara alamiyah selalu melahirkan
deskripsi ini. Karena ia tidak terbatas pada prakterk-praktek yang pernah di
lakukan di Jazirah Arabia, tetapi merupakan deskripsi yang lekat pada sistem
tersebut di setiap zaman.
Diantara tabi’at sistem ini bahwa ia aka merusak kehidupan jiwa dan
moral sebagaimana telah kami jelaskan secara rinci di dalam juz ketiga di
samping merusak kehidupan ekonomi dan politik sebagaiman juga telah kami
jelaskan secara rinci. Dari sini, nampak jelas hubunganya dengan kehidupan
ummat secara keseluruhan dan pengaruhnya terhadap seluruh perkembangannya.
Islam dalam rangka membangun ummat Islam mengingikan kehidupan jiwa
dan moral yang yang bersih untuk ummat ini, sebagaimana mengingikan kehidupan
ekonomi dan politik yang sehat baginya. Pengaruh kedua hal ini dalam
hasil-hasil pertempruran yang di lakukan oleh umat ini sangat jelas. Karena
itu, larangan memakan riba dalam ulasan terhadap pertempuran perang adalah
merupakan perkara yang mudah di fahami dalam manhaj yang paripurna dan
berpandangan tajam ini
Sedangkan ulasan terhadap larangan ini dengan perintah taqwa kepada
Allah demi mengharapkan kejayaan dan menghindari apai neraka yang di siapkan
untuk orang-orang kafir .. ulasan dengan kedua sentuhan ini juga mudah di
fahami, bahkan merupakan ulasan yang paling tepat:
Sesungguhnya orang yang bertaqwa kepada Allah dan takut akan api
neraka yang di siapkan untuyk orang-orang kafir tidak akan memakan riba ..
karena iman bukan sekedar kalimat yang di ucapkan dengan lisan, tetapi
merupakan tindakan mengikuti manhaj yang di jadikan Allah sebagai terjemah
aplikatif yang nyata bagi keimanan ini. Allah menjadikan iman sebagai
pendahuluan untuk merealisasikan manhaj ini dalam kehidupan nyata dan
menyelaraskan kehidupan masyarakat dengan berbagai konsekuensi.
Iman dan sistem ribawi mustahil bisa berhimpun di suatu tempat.
Bila sistem ribawi tegak pasti di sana ada tindakan keluar dari agama ini
secara keseluruhan, dan di sana pasti ada neraka yang di siapkan untuk
orang-orang kafir itu! Hobi perbedaan pendapat dalam perkara ini tidak akan
keluar dari statusnya sebagai hobi berbeda pendapat .. penghimpunan di dalam
ayat-ayat ini, antara larangan memakai riba dan ajakan bertaqwa kepada Alah
serta menjauhi api neraka yang disiapkan untuk orang-orang kafir, bukanlah
tindakan sia-sian dan kebetulan belaka. Tetapi merupakan pengukuhan dan
pendalaman hakikat ini di dalam tashawwur kaum Muslimin.
Demikian pula mengharapkan kejayaan (al-falah) dengan meniggalkan
riba dan dengan bertaqwa kepada Allah SWT. . karena kejayaan merupakan buah
alamiah dari taqwa dan realisasi manhaj Allah dalam kehidupan manusia.. pada
juz ketiga telah di bahas tentang pengaruh riba pada segenap masyarakat manusia
dan bahayanya yang mengerikan bagi kehidupan manusia. Silahkan rujuk penjelasan
tersebut, agar kita bisa mengetahui makna kejayaan di sini dan kaitanya dengan
meninggalkan sistem ribawi yang terkutuk itu!
Syaikh Abu
Bakar Jabir al Jazairi mengatakan, “Ketahuilah wahai orang yang beriman bahwa
riba yang dipraktekkan oleh bank konvensional pada saat ini itu lebih zalim dan
lebih besar dosanya dari pada jahiliah yang Allah haramkan dalam ayat ini dan
beberapa ayat lain di surat al Baqarah. Hal ini disebabkan riba dalam bank itu
buatan orang-orang Yahudi sedangkan Yahudi adalah orang yang tidak punya kasih
sayang dan belas kasihan terhadap selain mereka.
Buktinya jika
bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika itu
pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus real.
Jika orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah total
yang harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari
jumlah hutang sebenarnya.
Bandingkan
dengan riba jahiliah. Pada masa
jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang
berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo.
Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang
tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan
penangguhan waktu pembayaran.
Boleh jadi
ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu
diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian
karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek
para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.
Sedangkan setelah Allah
mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak
ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit.
Perhatikan sabda Rasulullah yang menegaskan hal ini,
دِرْهَمٌ
رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ
زَنْيَةً
“Satu dirham uang riba yang
dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba
dosanya lebih besar dari pada berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari
Abdulloh bin Hanzholah dan dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih al
Jami’, no. 3375)” [Nida-atur Rahman li Ahli Iman hal 41]
Dalam hadits
di atas dengan tegas Nabi mengatakan bahwa uang riba itu haram meski sangat
sedikit yang Nabi ilustrasikan dengan satu dirham. Bahkan meski sedikit, Nabi
katakan lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan berzina bahkan meski
berulang kali. Jadi hadits tersebut menunjukkan bahwa uang riba atau bunga itu tidak
ada bedanya baik sedikit apalagi banyak.
Ayat ini
berada di antara ayat-ayat yang membicarakan perang Uhud. Sebabnya menurut
penjelasan Imam Qurthubi adalah karena dosa riba adalah satu-satunya dosa yang
mendapatkan maklumat perang dari Allah sebagaimana dalam QS. al Baqarah [2]:
289. Sedangkan perang itu identik dengan pembunuhan. Sehingga seakan-akan Allah
hendak mengatakan bahwa jika kalian tidak meninggalkan riba maka kalian akan
kalah perang dan kalian akan terbunuh. Oleh karena itu Allah perintahkan kaum
muslimin untuk meninggalkan riba yang masih dilakukan banyak orang saat itu
(lihat Jam’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Kemudian
Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu
terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya.
Al Falah/keberuntungan dalam
bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan yang diinginkan dan terhindar dari yang
dikhawatirkan. Oleh karena itu keberuntungan dalam pandangan seorang muslim
adalah masuk surga dan terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim
dan neraka adalah hal yang sangat dia takuti.
Ayat ini
menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa
dan salah satu bukti takwa adalah menghindari riba.
Hal ini menunjukkan bahwa jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar
keberuntungan yang akan di dapatkan juga akan turut berkurang. Di antara bukti
bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang
sahabat yang bernama ‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadits berikut ini.
Dari Abu
Hurairah, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba di masa
jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta ribanya.
Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak pamanku?” “Di
Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga berada
di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga fulan berada?”, tanyanya untuk
ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak orang-orang. Akhirnya dia
memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin
yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum muslimin, mereka berkata,
“Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.”
Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat keluarganya
dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui saudara
perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya
mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena membela
Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela Allah dan
Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal beliau belum pernah
melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta
dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2212).
Ad Dainuri
bercerita bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di
dekat beliau, “Siapakah seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum
pernah shalat?” Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas
mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”
Dalam riwayat
Ibnu Ishaq disebutkan ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada
Rasulullah, beliau lantas bersabda, “Sungguh dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir
al Qosimi, 2/460)
Catatan Penting: Hadits di atas tidaklah tepat jika
dijadikan dalil bahwa orang yang tidak shalat itu tidak kafir karena sahabat
tadi bukannya tidak ingin mengerjakan shalat namun dia tidak berkesempatan
untuk menjumpai waktu shalat sesudah dia masuk Islam karena kematian
merenggutnya terlebih dahulu.
Pada ayat
selanjutnya Allah menakuti-nakuti kita sekalian dengan neraka. Banyak pakar
tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ancaman keras untuk
orang-orang yang membolehkan transaksi riba. Siapa saja yang menganggap
transaksi riba itu halal/boleh maka dia adalah orang yang kafir dan divonis
kafir meski masih mengaku sebagai seorang muslim.
Ada juga
pakar tafsir yang menjelaskan bahwa maksud ayat, waspadailah amal-amal yang
bisa mencabut iman kalian sehingga kalian wajib masuk neraka. Di antara amal
tersebut adalah durhaka kepada orang tua, memutus hubungan kekerabatan, memakan
harta riba dan khianat terhadap amanat.
Akan tetapi dalam perkembangan ekonomi , banyak muncul
berbagai fenomena. Misalnya di Indonesia, dari tahun ke tahun nilai tukar
rupiah mengalami perubahan . Uang satu juta rupiah pada tahun 1995 tidaklah
sama dengan tahun berikutnya, Jika pada awal tahun1995 dipinjam uang sebesar satu
juta dan kemudian dikermbalikan pada tahun 2000 –secara ekonomi-
dirugikan.Dalam kondisi seperti ini, agar tidak ada pihak yang dirugikan,
pengembalian hutang harus disertai tambahan untuk kompensasi perubahan nilai
tukar rupiah. Akan tetapi langkah ini pasti akan dikatakan riba jika
berdasarkan kategori diatas. Fenomena ini menggambarkan pengembalian ‘ru’us
amwalikum ini tidak relevan dengan
tidak adanya dzulm sebagaiman terdapat dalam surat Al-baqarah:279.
Sementara perkembangan ekonomi dari masa ke masa
mengalami perkembangan , yang dulu tidak dikenal,sekarang ada. Dulu lembaga
permodalan seperti bunga bank tidak dikenal ,sekarang ada. Di satu sisi,bunga
bank terperangkap dalam praktek riba, tetapi di sisi lain bank punya fungsi
sosisl yang besar. Mengenai hal ini ada 2 pendapat. Pendapat pertama,
mengatakan bahwa bunga bank sama dengan riba ,sehingga harus dihindari oleh
umat islam. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank belum tentu
disebut riba apabila tidak ada unsur dzulm
di dalamnya. Sekalipun demikian sebenarnya kita belum menawarkan rumusan yang
baku tentang kriteria dzulm
Bagaimanpun di masa lampau riba dengan segala sifat
dampaknya sudah difahami, kendati pengertiannya sederhana., artinya berbagai
kegiatan ekonomi sudah dapat dikategorikan sebagai riba atau tidak . Sementara
perkembangan ekonomi terus melaju sehingga membentuk perspektif tertentu dalam
masyarakat menyangkut penilaian terhadap tentang kegiatan ekonomi ,sehingga
kegiatan ekonomi tertentu dewasa ini justru dipandang baik, bahkan dibutuhkan
.Oleh karena itu perlunya ada pengkajian
ulang tentang karakter riba yang terkandung dalam Al-qur’an .
No comments:
Post a Comment