AYAT TENTANG
KONSUMSI
Q.S Al-Maidah Ayat 87
ىَأَيُّهَاالَّذِينَءَامَنُوالاَتُحَرِمُواطَىِّبَتِ
مَاأَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا أِنَّ اللهَ لاَىُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu. Dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas”
1.
Tafsir
Q.S Al-Maidah Ayat 87
a.
Menurut
tafsir Al-Maraghi
Dalam ayat-ayat terdahulu Allah memuji kaum nasrani, bahwa mereka
adalah orang-orang yang paling dekat kecintaannya kepada kaum mu’minin.
Disebutkan bahwa salah satu sebabnya karena diantara mereka terdapat para
pendeta dan rahib. Namun kemudian mengira bahwa dalam hal ini terdapat dorongan
untuk melakukan rubaniyahnya
(kerahbannya). Demikian pula orang-orang yang cenderung meninggalkan
segala kesenangan dunia mengira bahwa ruhbaniyah merupakan suatu kedudukan yang
akan mendekatkan mereka kepada Allah, dan hal itu tidak akan tercpai kecuali dengan
meninggalkan kesenangan yang berupa makanan, pakaian dan wanita. Baik hal itu
secara terus menerus, seperti rahib tidaak pernah kawin, maupun dalam
waktu-waktu tertentu, seperti berbagai macam puasa yang mereka adakan, sebb
itu, Allah melenyapkan dugaan-dugaan seperti ini dengan larangan yang jels itu.
Ibnu Jarir, Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Madawaih meiwayatkan dari Ibnu
Abbas, bahwa ayat “ya ayyuhalladzina amanu ia tuharrimu tayyibati ma
ahallalahu lakum”. Diturunkan mengenai sebagian sahabat yang
mengatakan, “kami memutuskan segala ingatan, meninggalkan ssegala kesenangan
dunia dan berjalan di muka bumi untuk
beribadah, sebagaimana yang dilakukan para rahib” setelah berita tu sampai pada
Nabi Saw. Beliau mengutus mereka untuk menanyakan hal itu. Mereka menjawab.
“ya” maka Nabi Saw bersabda yang artinya “akan tetapi saya menjalani puasa,
berbuka saja melaksanakan solat dan juga tidurdan saya mengawini wanita. Sebab
itu, barang siapa yang mengikuti sunahku, maka dia termasuk umatu”
Ibnu Jarir, Ibnu Munzir dan Abu Syaikh meriwayatkan dari Ikrimah,
bahwa Utsman bin Maz’un, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Mas’ud, Miqdad bin Aswad bin
Salim Maula Abu Huzifah, dan Qaddamah, telah bersengaja untuk tetap membujang,
mereka berkeliling ke rumah rumah,
menjauhi kaum wanita, mengenakan pakaian dari bulu, mengharamkan yang
baik-baik, berupa makanan dan pakaian, kecuali apa yang bisa dimakan dan
dipakai oleh orang-orang yang mengadakan perjalanan peribadatan dan bani
israel, mereka bermaksud hendak mengabari dirinya, dan sepakat untuk bangun malam, dan puasa
disiang hari
1)
Larangan
mengharamkan yang baik-baik dan berlebihan dalam menggunakannya
Janganlah kalian mengaharamkan atas diri kalian sendiri apa yang
telah Allah halalkan bagi kalian, hal yang baik-baik. Seperti dengan sengaja
kalian meninggalkannya dengan bermaksud beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah, jangan pula kalian melampaui batas kesinambungan sampai kepada tingkat
yang membahayakan badan, seperti terlalu kenyang, mencurahkan perhatian di
dalam hidup untuk bersenang senang
dengannya, atau hal itu membuat kalian lalai terhadap perkara perkara
yang bermanfaat seperti ilmu dan amal amal
lain yang berguna bagi diri dan warga negara kalian.
2)
Janganlah
kalian melampaui hal yang baik-baik sampai kepada hal-hal yang diharamkan
Ringkasnya ada dua macam cara melampaui batas, melampaui batas
dalam sesuatu itu sediri dengan cara berlebihan dalam menggunakannya, dan
melampaui batas dengan melanggar yang lain bukan dari jenisnya, yaitu hal-hal
yang buruk kemudian Allah memberikan alasan terhadap larangan itu dengan alasan
yang membuat seseorang tidak mau melakukannya.
Allah tidak menyukai orang yang melanggar batas syari’atnya,
meskipun dia beniat beribadah kepadanyadan mengharamkan segala yang baik dari
yang dihalalkannya.
Keharusan kadang kala dimaksudkan
untuk melatih diri dengan jalan yang
mengekangnya dari hal-hal yang baik, kadang kala lahir marah kepada istri atau
anak, sperti orang yang bersumpah demi Allah atau demi “talak” untuk tidak
memkan makanan-makanan yang mubah, atau seperti orang yang mengatakan, jika
melakuakan hal ini maka dia bebas dari bertanggug jawab terhadap
islam, Allah dan Rasulnya, atau lain sebagainya, semua ini dialrang
secara syara’, dan tidak sekalipun dari yang baik-baik itu diharamkan atas
seseorang karena perkataan perkataan
seperti itu menurut syafi’i, orang yang bersumpah dalam hal hal
semacam itu tidak diwajibkan membayar kiffarat,
Pengharaman hal yang baik-baik dan
perhiasan serta penyiksaan diri termasuk peribadatan yang pernah dilakukan oleh
orang orang yahudi
dan yunani kuno, kemudian, hal itu ditiru oleh ahli kitab, terutama kaum
nasrani. Mereka telang mengharamkan secara keras dan ekstrim atas dirinya, apa apa
yang tidak diharamkan oleh kitab kitab
suci, karena didalamnya terdapat perintah yang keras.
Hikamah yang terdapat pada larangan
ini, bahwa Allah menyukai bahwa hambanya menggunakan nikmat nikmat
yang telah dilimahkan kepada mereka dalam hal-hal untuk itu ia dilimpahkan,
lalu mereka bersyukur kepadanya atas semua itu Allah tidak menyukai bila mereka
menjadi pengecut terhadap syariat yang telah digariskannya bagi mereka,
sehingga mereka melampaui batas dengan mengharamkan apa apa
yang tidak diharamkannya, dia juga tidak menyukai bila mereka berani terhadap
syariat itu dengan jalan memubahkan apa yang telah diharamkannya dan
meninggalkan apa yang telah diwajibkannya.
Makanlah diantara rizki yang telah
Allah berikan kepada kalian yang berupa hal hal
yan halal pada dirinya, bukan hal hal
yang diharamkan, seperti bangkai, darah yang mengair dan daging babi, dan
hal-hal yang halal dalam pencairannya seperti bukan barang riba, suht (usaha
yan haram), bukan pula barang curian, di smaping itu, rizki itu hendaknya sedap
dimakan, dan tidak kotor, baik karna zatnya sendiri, karena rusak atau berubah
karna trlalu lama disimpan .
Yang dimaksud dengan “makan” di
dalam ayat ini adalah “menikmati” maka mencakup minum dan sebaginya , dari
hal-hal yang halal, tidak memabukan atau membahayakan, dan dari segala yang
baik, tidak kotor pada zatnya sendiri atau kotor karna sesuatu seba.
Dengan demikian menurut tafsir
Al-Maraghi ringkasnya, hendaknya orang mukmin menikmati apa yang mudah baginya dianntara
hal yang baik-baik, tanpa merasa berdosa ataupun sulit dan hendaknya yakin,
bahwa dia mengamalkan syri’at Allah, menegakan fitrah, yang Allah menciptakan
manusia menurut fitrah itu, dan bersyukur kepadanya, kemudian hendaknya
menyadari bahwa jika melarang dirinya untuk memakan rizki yang baik-baik yang
telah Allah berikan kepadanya, padaha fitrah mendorong menikmatinya, berarti
dia telah melakukan dosa di dunia, yang karena itu dia berhak menerima siksaan
di akhirat, sebab, dia telah menambah ke dalam agama Allah cara-cara mendekatkan
diri yang tidak diizinkan olehnya, dia telah menyia-nyiakan hak Allah dan hak
para hambanya, seperti para istri dan keluarganya.
Pengharaman dan penghalalan adalah
tsyri’ yang merupakan hak Allah. Maka, barang siapa yang merusak untuk
kepntigan dirinya berarti dia telah menganggap dirinya bersift ruhbaniyyah,
atau paling tidak setiap orang yang meliat sifat itu.
b.
Menurut
tafsir Al-Bayan
Allah melarang kita mengharamkan makanan yang halal. Tidak boleh
kita mengi’tiqadkan keharamannya. Tidak boleh menjauh diri dari padanya sebagi
menjauh diri dari benda yang haram, menurut Asy-Syafi’I tidak menjadi haram apa
yang kita haramkan, selain dari istri dan tidak wajib kaffarat. Imam Ahmad
mewajibkan kita memberi kaffarat. Inilah dasar kita tidak boleh berlebih-lebihan
dalam melaksanakan ibadah.
Pada ayat-ayat ini Allah SWT. Menunjukan firmannya kepada kaum
muslimin, yaitu melarang mereka mengharamkan bagi diri mereka segala yang baik
yang telah dihalalkannya, seperti makanan, minuman, pakaian pernikahan, dan
lin-lain yang baik dan halal.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan beberapa sorang sahabat yang
keliru dalam memahami dan melaksanakan ajaran-ajaran agama islam, mereka
mengira, bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Harus melepaskan diri
dari segala kenikmatan duniawi, mereka berpendapat, kenikmatan itu hanya akan
melalaikan mereka beribadah kepada Allah, padahal Allah SWT. Telah menciptakan
dan menyediakan di muka bumi ini barang-barang yang baik yang dihalalkannya
untuk mereka. Dan disamping itu, dia telah menjelaskan apa-apa yang
diharamkannya
Akan tetapi walaupun Allah
SWT telah menyediakan dan menghalalkan barang-barang yang baik bagi hambanya,
namun haruslah dilakuakan dengan cara yang telah ditentukannya, maka firman
Allah dalam ayat ini melarang hambanya dari sikap dan perbuatan yang melampaui
batas. Perbuatan yang melampaui batas dalam hal makanan, misalnya, dapat
diartikan dengan dua macam pengertian:
1)
Seseorang
tetap makan makanan yang baik, yang halal, akan tetapi ia berlebih-lebihan
dalam makan makanan itu, atau terlalu banyak, padahal makan yang terlalu
kenyang akan merusak kesehatan, alat-alat pencernaan dan mungkin fikiran. Dana
dan daya tertuju kepada makanan dan minuman, sehingga kewajiban-kewajiban lainnya
terbengklai, terutama ibadahnya.
2)
Seseorang
telah melampaui batas dalam hal macam makanan yang dimakannya, dan minuman yang
diminumnya tidak lagi terbatas pada makanan yang baik dan halal, bahkan telah
melampauinya kepada yang merusak dan berbahaya, yang telah diharamkan oleh
agama. Kedua hal itu tidak dbenarkan dalam ajaran agama islam.
Pada akhir ayat
tersebut Allah SWT. Memperingatkan kepada hambanya, bahwa dia tidak suka kepada
orang-orang yang melamaui batas. Ini berarti bahwa setiap pkerjaan yang kita
lakukan haruslah selalu dalam
batas-batas tertentu, baik yang ditetapkan oleh agama, seperti batas halal dan
haramnya, mauun batas-batas yang diketahui oleh akal, pikiran, dan perasaan ,
misalnya batas mengenai banyak sedikitnya serta manfaat dan mudaraatnya.
Suatu hal yang
perlu kita ingat ialah prinsip yang terdapat pada syari’at islam bahwa apa-apa
yang dihalalkan oeh agama karena ia bermanfaat dan tidak berbahaya. Sebaliknya
apa-apa yang diharamkannya adalah karena ia berbahaya dan tidak beranfaat atau
karena bahayanya lebih besar dari pada manfaatnya.
Oleh sebab itu
tidaklah boleh mengubah-ubah sendiri hukum-hukum agama yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT dan Rasulnya. Allah SWT maha mengetahui apa-apa yang baik dan
bermanfaat bagi hambanya dan apa yang berbahaya bagi mereka. Dan dia maha
pengasih terhadap mereka
Dengan demikian
menurut tafsir Al-Bayyan bahwa dalam ayat ini Allah melarang hambanya dari
sikap dan perbuatan yang melampaui batas. Seperti beribadah yang berlebihan,
makan dan minum yang berlebihan ataupun kegiatan sehari-hari kaum mu’minin
perbuat secara berlebihan.
c.
Menurut
tafsir Al-Mishbah
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Allah tidak menyukai segala
apa yang berlebihan karena sesungguhnya Allah tidak melimpahkan rahmat dan
ganjarannya kepada orang-orang yang meampaui batas, walaupun kemampuan batas
itu berkaitan dengan upaya mendekati diri kepada Allah, segabaimana halnya
orang-orang nasrani yang melakukan ruhbaniyyah dengan mengharamkan apa yang
halal.
Ath-Thabrani dan Al-Wahidi
meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kedatangan seorang kepada
Nabi Saw. Sambil berkata”kalau saya makan daging, lalu saya akan terus
mendatangi wanita-wanita, maka saya mengaramkan diri saya atas daging”. Ayat
ini turun meluruskan pandangannya itu. Riwayat ini ditemukan juga dalam Sunan
At-Tirmidzi riwayat lain yang sejalan dengan makna riwayat di atas menyatakan
bahwa sahabat Nabi Saw berkumpul untuk membandingkan amal-amal mereka dengan
amal-amal Nabi Saw dan akhirnya mereka berkesimpulan untuk melakukan
amalan-amalan yang berat. Ada yang ingin shalat semalam suntuk, ada yang tidak
menggauli wanita, ada yang akan berpuasa terus-menerus. Mendengan rencana itu
Nabi menegur seraya bersabda “sesungguhnya aku adalah yang paing bertaqwa
diantara kalian, tetapi aku shalat malam dan tidur, aku berpuasa tetapi aku
juga berbuka, barang siapa yang enggan mengikuti sunahku, maka dia bukanlah
kelompok dari umatku”.
Dengan demikian menurut tafsir
Al-Mishbah bahwa Allah tidak menyukai segala apa yang berlebihan karena
sesungguhnya Allah tidak melimpahkan rahmat dan ganjarannya kepada hambanya
yang selalu berebihan dalam hal beribadah makan dan minum dan lain sebagainya.
d. Asbabun Nuzul Q.S Al-Maidah Ayat 87
Keterangan asbabun nuzul ayat diatas menunjukan
teguran atas beberapa tindakan tindakan sahabat yang melenceng dan melampaui
batas dalam menjalankan ajaaran agama
islam. Ayat ini mencakup semua dari beberapa tindakan tindakan sahabat yang
keliru dalam agama yaitu, mula-mula mengharamka apa yang halal berupa tidak
menikmati makanan lezat dan meninggalkan istri merka. Selanjutnya mereka giat
beribadah sehingga melupakan kesehatan dan melanggar fitrahnya sendri.
Anas bin Malik berkata: ada tiga orang
mendatangi rumah-rumah istri Nabi Saw dan bertanya teentang ibadah. Setelah
diberitahukan kepada mereka. Sepertinya mereka mengira hal itu masih sedikit
bagi mereka. Mereka berkata: “ibadah kita
tak ada apa-apanya dibandingkan Rasulullah, bukankah beliiau sudah diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang?”. Salah seorang dari
mereka berkata: “ sungguh, aku akan solat
malam selamanya”. Kemudian yang lain berkata “kalau aku, maka aku sungguh akan
berpuasa dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka dan yang lain berkata:
aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama lamanya”. Kemudian
datang Rasulullah kepada mereka seraya berkata: “kalian berkata begini dan begitu. Adapun aku. Demi Allah, adalah orang
yang paling takut kepada Allah, diantara kalian, dan juga paling bertaqwa. Aku
berpuasa dan berbuka, aku solat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barang
siapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku”
e.
Refleksi Ayat
Penjelasan hukum ekonomi Q.S Al-Maidah Ayat 87
Firmannya la ta’tudu/ jangan melampaui batas
dengan bentuk kata yang menggunakan huruf ta’
bermakna keterpaksaan. Yakni diluar batas yang lumrah. Ini menunjukan bahwa
fitrah manusia mengarah kepada moderasi dalam arti menempatkan segala sesuatu
pada yang wajar dan tidak berlebih dan juga tidak berkurang. Setiap pelampauan
batas adalah semacam paksaan terhadap fitrah dan dasarnya berat, atau risih
melakukannya. Inilah yang diisyaratkan oleh ta’tadu.
Larangan melampaui batas ini, dapat juga berarti bahwa
menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal, merupakan pelampauan
batas kewenangan, karena hanya Allah SWT yang berhak menghalalkan dan
mengharamkan. Pada masa jahiliyah kaum musyrikin mengatasnamakan Allah
mengharamkan sekian banyak yang halal, sebagaimana akan terbaca dalam surat
al-an’am. Itu aga nya yang menjadi aasan sehingga ayat ini dimulai dengan
panggilan, “ya ayyuhalladzina amanu”
karena penghalalan dan pengharaman seperti itu bertentangan dengan keimanan.
Selanjutnya, karena itu pula sehingga ayat berikut yang masih berkaitan erat
dengan ayat ini memerintahkan memakan sebagian apa yang telah dirizkikan
olehnya kepada manusia dan memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah karena
orang-orang mukmin selalu bertaqwa kepadaya, dengan mengikuti apa yang
diperintahkannya, menjauhi larangannya, menghalalkan apa yang halal. Dan
mengharamkan apa yang haram.
No comments:
Post a Comment