Thursday, March 17, 2016

AYAT TENTANG KONSUMSI
Q.S Al-Maidah Ayat 87
ىَأَيُّهَاالَّذِينَءَامَنُوالاَتُحَرِمُواطَىِّبَتِ مَاأَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا أِنَّ اللهَ لاَىُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu. Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”
1.      Tafsir Q.S Al-Maidah Ayat 87
a.       Menurut tafsir Al-Maraghi
Dalam ayat-ayat terdahulu Allah memuji kaum nasrani, bahwa mereka adalah orang-orang yang paling dekat kecintaannya kepada kaum mu’minin. Disebutkan bahwa salah satu sebabnya karena diantara mereka terdapat para pendeta dan rahib. Namun kemudian mengira bahwa dalam hal ini terdapat dorongan untuk melakukan rubaniyahnya  (kerahbannya). Demikian pula orang-orang yang cenderung meninggalkan segala kesenangan dunia mengira bahwa ruhbaniyah merupakan suatu kedudukan yang akan mendekatkan mereka kepada Allah, dan hal itu  tidak akan tercpai kecuali dengan meninggalkan kesenangan yang berupa makanan, pakaian dan wanita. Baik hal itu secara terus menerus, seperti rahib tidaak pernah kawin, maupun dalam waktu-waktu tertentu, seperti berbagai macam puasa yang mereka adakan, sebb itu, Allah melenyapkan dugaan-dugaan seperti ini dengan larangan yang jels itu.
Ibnu Jarir, Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Madawaih meiwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat “ya ayyuhalladzina amanu ia tuharrimu tayyibati ma ahallalahu lakum”. Diturunkan mengenai sebagian sahabat yang mengatakan, “kami memutuskan segala ingatan, meninggalkan ssegala kesenangan dunia  dan berjalan di muka bumi untuk beribadah, sebagaimana yang dilakukan para rahib” setelah berita tu sampai pada Nabi Saw. Beliau mengutus mereka untuk menanyakan hal itu. Mereka menjawab. “ya” maka Nabi Saw bersabda yang artinya “akan tetapi saya menjalani puasa, berbuka saja melaksanakan solat dan juga tidurdan saya mengawini wanita. Sebab itu, barang siapa yang mengikuti sunahku, maka dia termasuk umatu”
Ibnu Jarir, Ibnu Munzir dan Abu Syaikh meriwayatkan dari Ikrimah, bahwa Utsman bin Maz’un, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Mas’ud, Miqdad bin Aswad bin Salim Maula Abu Huzifah, dan Qaddamah, telah bersengaja untuk tetap membujang, mereka berkeliling ke rumah rumah, menjauhi kaum wanita, mengenakan pakaian dari bulu, mengharamkan yang baik-baik, berupa makanan dan pakaian, kecuali apa yang bisa dimakan dan dipakai oleh orang-orang yang mengadakan perjalanan peribadatan dan bani israel, mereka bermaksud hendak mengabari dirinya,  dan sepakat untuk bangun malam, dan puasa disiang hari
1)      Larangan mengharamkan yang baik-baik dan berlebihan dalam menggunakannya
Janganlah kalian mengaharamkan atas diri kalian sendiri apa yang telah Allah halalkan bagi kalian, hal yang baik-baik. Seperti dengan sengaja kalian meninggalkannya dengan bermaksud beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, jangan pula kalian melampaui batas kesinambungan sampai kepada tingkat yang membahayakan badan, seperti terlalu kenyang, mencurahkan perhatian di dalam hidup untuk bersenang senang dengannya, atau hal itu membuat kalian lalai terhadap perkara perkara yang bermanfaat seperti ilmu dan amal amal lain yang berguna bagi diri dan warga negara kalian.
2)      Janganlah kalian melampaui hal yang baik-baik sampai kepada hal-hal yang diharamkan
Ringkasnya ada dua macam cara melampaui batas, melampaui batas dalam sesuatu itu sediri dengan cara berlebihan dalam menggunakannya, dan melampaui batas dengan melanggar yang lain bukan dari jenisnya, yaitu hal-hal yang buruk kemudian Allah memberikan alasan terhadap larangan itu dengan alasan yang membuat seseorang tidak mau melakukannya.
Allah tidak menyukai orang yang melanggar batas syari’atnya, meskipun dia beniat beribadah kepadanyadan mengharamkan segala yang baik dari yang dihalalkannya.
            Keharusan kadang kala dimaksudkan untuk melatih diri dengan  jalan yang mengekangnya dari hal-hal yang baik, kadang kala lahir marah kepada istri atau anak, sperti orang yang bersumpah demi Allah atau demi “talak” untuk tidak memkan makanan-makanan yang mubah, atau seperti orang yang mengatakan, jika melakuakan hal ini maka dia bebas dari bertanggug jawab terhadap islam, Allah dan Rasulnya, atau lain sebagainya, semua ini dialrang secara syara’, dan tidak sekalipun dari yang baik-baik itu diharamkan atas seseorang karena perkataan perkataan seperti itu menurut syafi’i, orang yang bersumpah dalam hal hal semacam itu tidak diwajibkan membayar kiffarat,
            Pengharaman hal yang baik-baik dan perhiasan serta penyiksaan diri termasuk peribadatan yang pernah dilakukan oleh orang orang yahudi dan yunani kuno, kemudian, hal itu ditiru oleh ahli kitab, terutama kaum nasrani. Mereka telang mengharamkan secara keras dan ekstrim atas dirinya, apa apa yang tidak diharamkan oleh kitab kitab suci, karena didalamnya terdapat perintah yang keras.
            Hikamah yang terdapat pada larangan ini, bahwa Allah menyukai bahwa hambanya menggunakan nikmat nikmat yang telah dilimahkan kepada mereka dalam hal-hal untuk itu ia dilimpahkan, lalu mereka bersyukur kepadanya atas semua itu Allah tidak menyukai bila mereka menjadi pengecut terhadap syariat yang telah digariskannya bagi mereka, sehingga mereka melampaui batas dengan mengharamkan apa apa yang tidak diharamkannya, dia juga tidak menyukai bila mereka berani terhadap syariat itu dengan jalan memubahkan apa yang telah diharamkannya dan meninggalkan apa yang telah diwajibkannya.
            Makanlah diantara rizki yang telah Allah berikan kepada kalian yang berupa hal hal yan halal pada dirinya, bukan hal hal yang diharamkan, seperti bangkai, darah yang mengair dan daging babi, dan hal-hal yang halal dalam pencairannya seperti bukan barang riba, suht (usaha yan haram), bukan pula barang curian, di smaping itu, rizki itu hendaknya sedap dimakan, dan tidak kotor, baik karna zatnya sendiri, karena rusak atau berubah karna trlalu lama disimpan .
            Yang dimaksud dengan “makan” di dalam ayat ini adalah “menikmati” maka mencakup minum dan sebaginya , dari hal-hal yang halal, tidak memabukan atau membahayakan, dan dari segala yang baik, tidak kotor pada zatnya sendiri atau kotor karna sesuatu seba.
            Dengan demikian menurut tafsir Al-Maraghi ringkasnya, hendaknya orang mukmin menikmati apa yang mudah baginya dianntara hal yang baik-baik, tanpa merasa berdosa ataupun sulit dan hendaknya yakin, bahwa dia mengamalkan syri’at Allah, menegakan fitrah, yang Allah menciptakan manusia menurut fitrah itu, dan bersyukur kepadanya, kemudian hendaknya menyadari bahwa jika melarang dirinya untuk memakan rizki yang baik-baik yang telah Allah berikan kepadanya, padaha fitrah mendorong menikmatinya, berarti dia telah melakukan dosa di dunia, yang karena itu dia berhak menerima siksaan di akhirat, sebab, dia telah menambah ke dalam agama Allah cara-cara mendekatkan diri yang tidak diizinkan olehnya, dia telah menyia-nyiakan hak Allah dan hak para hambanya, seperti para istri dan keluarganya.
            Pengharaman dan penghalalan adalah tsyri’ yang merupakan hak Allah. Maka, barang siapa yang merusak untuk kepntigan dirinya berarti dia telah menganggap dirinya bersift ruhbaniyyah, atau paling tidak setiap orang yang meliat sifat itu.
b.      Menurut tafsir Al-Bayan
Allah melarang kita mengharamkan makanan yang halal. Tidak boleh kita mengi’tiqadkan keharamannya. Tidak boleh menjauh diri dari padanya sebagi menjauh diri dari benda yang haram, menurut Asy-Syafi’I tidak menjadi haram apa yang kita haramkan, selain dari istri dan tidak wajib kaffarat. Imam Ahmad mewajibkan kita memberi kaffarat. Inilah dasar kita tidak boleh berlebih-lebihan dalam melaksanakan ibadah.
Pada ayat-ayat ini Allah SWT. Menunjukan firmannya kepada kaum muslimin, yaitu melarang mereka mengharamkan bagi diri mereka segala yang baik yang telah dihalalkannya, seperti makanan, minuman, pakaian pernikahan, dan lin-lain yang baik dan halal.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan beberapa sorang sahabat yang keliru dalam memahami dan melaksanakan ajaran-ajaran agama islam, mereka mengira, bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Harus melepaskan diri dari segala kenikmatan duniawi, mereka berpendapat, kenikmatan itu hanya akan melalaikan mereka beribadah kepada Allah, padahal Allah SWT. Telah menciptakan dan menyediakan di muka bumi ini barang-barang yang baik yang dihalalkannya untuk mereka. Dan disamping itu, dia telah menjelaskan apa-apa yang diharamkannya
Akan tetapi walaupun  Allah SWT telah menyediakan dan menghalalkan barang-barang yang baik bagi hambanya, namun haruslah dilakuakan dengan cara yang telah ditentukannya, maka firman Allah dalam ayat ini melarang hambanya dari sikap dan perbuatan yang melampaui batas. Perbuatan yang melampaui batas dalam hal makanan, misalnya, dapat diartikan dengan dua macam pengertian:
1)      Seseorang tetap makan makanan yang baik, yang halal, akan tetapi ia berlebih-lebihan dalam makan makanan itu, atau terlalu banyak, padahal makan yang terlalu kenyang akan merusak kesehatan, alat-alat pencernaan dan mungkin fikiran. Dana dan daya tertuju kepada makanan dan minuman, sehingga kewajiban-kewajiban lainnya terbengklai, terutama ibadahnya.
2)      Seseorang telah melampaui batas dalam hal macam makanan yang dimakannya, dan minuman yang diminumnya tidak lagi terbatas pada makanan yang baik dan halal, bahkan telah melampauinya kepada yang merusak dan berbahaya, yang telah diharamkan oleh agama. Kedua hal itu tidak dbenarkan dalam ajaran agama islam.
Pada akhir ayat tersebut Allah SWT. Memperingatkan kepada hambanya, bahwa dia tidak suka kepada orang-orang yang melamaui batas. Ini berarti bahwa setiap pkerjaan yang kita lakukan haruslah selalu dalam batas-batas tertentu, baik yang ditetapkan oleh agama, seperti batas halal dan haramnya, mauun batas-batas yang diketahui oleh akal, pikiran, dan perasaan , misalnya batas mengenai banyak sedikitnya serta manfaat dan mudaraatnya.
Suatu hal yang perlu kita ingat ialah prinsip yang terdapat pada syari’at islam bahwa apa-apa yang dihalalkan oeh agama karena ia bermanfaat dan tidak berbahaya. Sebaliknya apa-apa yang diharamkannya adalah karena ia berbahaya dan tidak beranfaat atau karena bahayanya lebih besar dari pada manfaatnya.
Oleh sebab itu tidaklah boleh mengubah-ubah sendiri hukum-hukum agama yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulnya. Allah SWT maha mengetahui apa-apa yang baik dan bermanfaat bagi hambanya dan apa yang berbahaya bagi mereka. Dan dia maha pengasih terhadap mereka
Dengan demikian menurut tafsir Al-Bayyan bahwa dalam ayat ini Allah melarang hambanya dari sikap dan perbuatan yang melampaui batas. Seperti beribadah yang berlebihan, makan dan minum yang berlebihan ataupun kegiatan sehari-hari kaum mu’minin perbuat secara berlebihan.
c.       Menurut tafsir Al-Mishbah
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Allah tidak menyukai segala apa yang berlebihan karena sesungguhnya Allah tidak melimpahkan rahmat dan ganjarannya kepada orang-orang yang meampaui batas, walaupun kemampuan batas itu berkaitan dengan upaya mendekati diri kepada Allah, segabaimana halnya orang-orang nasrani yang melakukan ruhbaniyyah dengan mengharamkan apa yang halal.
            Ath-Thabrani dan Al-Wahidi meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kedatangan seorang kepada Nabi Saw. Sambil berkata”kalau saya makan daging, lalu saya akan terus mendatangi wanita-wanita, maka saya mengaramkan diri saya atas daging”. Ayat ini turun meluruskan pandangannya itu. Riwayat ini ditemukan juga dalam Sunan At-Tirmidzi riwayat lain yang sejalan dengan makna riwayat di atas menyatakan bahwa sahabat Nabi Saw berkumpul untuk membandingkan amal-amal mereka dengan amal-amal Nabi Saw dan akhirnya mereka berkesimpulan untuk melakukan amalan-amalan yang berat. Ada yang ingin shalat semalam suntuk, ada yang tidak menggauli wanita, ada yang akan berpuasa terus-menerus. Mendengan rencana itu Nabi menegur seraya bersabda “sesungguhnya aku adalah yang paing bertaqwa diantara kalian, tetapi aku shalat malam dan tidur, aku berpuasa tetapi aku juga berbuka, barang siapa yang enggan mengikuti sunahku, maka dia bukanlah kelompok dari umatku”.
            Dengan demikian menurut tafsir Al-Mishbah bahwa Allah tidak menyukai segala apa yang berlebihan karena sesungguhnya Allah tidak melimpahkan rahmat dan ganjarannya kepada hambanya yang selalu berebihan dalam hal beribadah makan dan minum dan lain sebagainya.
d.      Asbabun Nuzul Q.S Al-Maidah Ayat 87
Keterangan asbabun nuzul ayat diatas menunjukan teguran atas beberapa tindakan tindakan sahabat yang melenceng dan melampaui batas  dalam menjalankan ajaaran agama islam. Ayat ini mencakup semua dari beberapa tindakan tindakan sahabat yang keliru dalam agama yaitu, mula-mula mengharamka apa yang halal berupa tidak menikmati makanan lezat dan meninggalkan istri merka. Selanjutnya mereka giat beribadah sehingga melupakan kesehatan dan melanggar fitrahnya sendri.
Anas bin Malik berkata: ada tiga orang mendatangi rumah-rumah istri Nabi Saw dan bertanya teentang ibadah. Setelah diberitahukan kepada mereka. Sepertinya mereka mengira hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata: “ibadah kita tak ada apa-apanya dibandingkan Rasulullah, bukankah beliiau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang?”. Salah seorang dari mereka berkata: “ sungguh, aku akan solat malam selamanya”. Kemudian yang lain berkata “kalau aku, maka aku sungguh akan berpuasa dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka dan yang lain berkata: aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama lamanya”. Kemudian datang Rasulullah kepada mereka seraya berkata: “kalian berkata begini dan begitu. Adapun aku. Demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah, diantara kalian, dan juga paling bertaqwa. Aku berpuasa dan berbuka, aku solat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barang siapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku”
e.       Refleksi Ayat
Penjelasan hukum ekonomi Q.S Al-Maidah Ayat 87
Firmannya la ta’tudu/ jangan melampaui batas dengan bentuk kata yang menggunakan huruf ta’ bermakna keterpaksaan. Yakni diluar batas yang lumrah. Ini menunjukan bahwa fitrah manusia mengarah kepada moderasi dalam arti menempatkan segala sesuatu pada yang wajar dan tidak berlebih dan juga tidak berkurang. Setiap pelampauan batas adalah semacam paksaan terhadap fitrah dan dasarnya berat, atau risih melakukannya. Inilah yang diisyaratkan oleh ta’tadu.
Larangan melampaui batas ini, dapat juga berarti bahwa menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal, merupakan pelampauan batas kewenangan, karena hanya Allah SWT yang berhak menghalalkan dan mengharamkan. Pada masa jahiliyah kaum musyrikin mengatasnamakan Allah mengharamkan sekian banyak yang halal, sebagaimana akan terbaca dalam surat al-an’am. Itu aga nya yang menjadi aasan sehingga ayat ini dimulai dengan panggilan, “ya ayyuhalladzina amanu” karena penghalalan dan pengharaman seperti itu bertentangan dengan keimanan. Selanjutnya, karena itu pula sehingga ayat berikut yang masih berkaitan erat dengan ayat ini memerintahkan memakan sebagian apa yang telah dirizkikan olehnya kepada manusia dan memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah karena orang-orang mukmin selalu bertaqwa kepadaya, dengan mengikuti apa yang diperintahkannya, menjauhi larangannya, menghalalkan apa yang halal. Dan mengharamkan apa yang haram.


No comments:

Post a Comment