Thursday, March 17, 2016

Nama               : Jayatiara Dewi Rizqiyah
Jurusan/smt     : Perbankan Syariah 2/4
Mata kuliah     : Tafsir Ayat Ekonomi

EKONOMI BAGIAN DARI IBADAH
(Tafsir QS. Al-Baqarah [2] : 177)

}§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# ÇÊÐÐÈ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”
.

M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah
            Firman-Nya: Bukanlah menghadapkan wajah kamu dalam shalat kea rah timur dan barat itu suatu kebajikan. Maksudnya, kebajikan atau ketaatan yang mengantar kepada kedekatan Allah bukanlah dalam menghadapkan wajah dalam shalat ke arah timur dan barat tanpa makna, tetapi kebajikan - yang seharusnya mendapat perhatian semua pihak – adalah yang mengantar kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu keimanan kepada Allah, dan lain-lain yang disebut oleh ayat ini.
            Redaksi ayat di atas dapat juga bermakna: Bukannya menghadapkan wajah kea rah timut dan barat yang merupakan kebajikan, atau bukannya semua kebajikan merupakan sikap menghadapkan wajah ke timur dan barat. Menghadap ke timur atau ke barat, bukan sesuatu yang sulit, atau membutuhkan perjuangan, tetapi ada tuntutan lain yang membutuhkan perjuangan, dan disanalah kebajikan sejati ditemukan.
            Kepada siapakah ayat ini ditunjukkan? Kalau melihat konteks ayat-ayat sebelumnya, tidak keliru jika dikatakan bahwa ia ditunjukkan kepada Ahl al-Kitab. Mereka bukan saja berkeras untuk tetap menghadap ke al-quds Yarusalem di mana terdapat Dinding Ratap dan Haikal Sulaiman, tetapi juga tidak henti-hentinya mengecam dan mencemoohkan kaum muslimin yang beralih kiblat ke Mekkah. Ayat ini seakan-akan berkata kepada mereka “Bukan demikian yang dinamakan kebajikan.” Hubungan ayat yang dikemukakan di atas mengisyaratkan pandangan ini. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini ditunjukkan kepada kaum muslimin, ketika mereka menduga bahwa mereka telah meraih harapan mereka dengan beralihnya kiblat ke Mekkah. Nah, mereka itu yang diperingatkan oleh ayat ini. Pandangan ini baik, apalagi hingga dewasa ini, masih ada yang menduga menghadapkan wajah ke arah yang ditetapkan Allah yakni Ka’bah, apakah posisinya ketika itu menjadikan Ka’bah berada di sebelah barat atau timurnya, tergantung posisi masing-masing. Bukan hanya itu maknanya. Bisa jadi ayat ini bahkan bermakna: Kebajikan bukan itu, jika shalat yang dilaksanakan hanya terbatas pada menghadapkan wajah tanpa makna dan kehadiran kalbu. Bukankah Allah mengancam mereka yang tidak menghayati makna shalatnya? “Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, yaitu orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna” (QS. Al-Ma’un [107]: 4-7).
            Namun demikian, pendapat yang lebih baik adalah yang memahami redaksi ayat tersebut ditunjukan kepada semua pemeluk agama, karena tujuannya adalah menggaris bawahi kekeliruan banyak di antara mereka yang hanya mengandalkan shalat atau sembahyang saja. Ayat ini bermaksud menegaskan bahwa yang demikian itu bukanlah kebajikan yang sempurna, atau bukan satu-satunya kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan sempurna ialah orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian sebenar-benarnya iman, sehingga meresap ke dalam jiwa dan membuahkan amal-amal shaleh, percaya juga kepada malaikat-malaikat, sebagai makhluk-makhluk yang ditugaskan Allah dengan aneka tugas, lagi amat ketat dan sedikit pun tidak membangkang perintah-Nya, juga percaya kepada semua kitab-kitab suci yang diturunkan, khususnya al-Qur’an, Injil, Taurat, dan Zabur yang disampaikan melalui para malaikat dan diterima para nabi, juga percaya kepada seluruh para nabi, manusia-manusia pilihan Tuhan yang diberi wahyu untuk membimbing manusia.
            Setelah menyebutkan sisi keimanan yang hakikatnya tidak nampak, ayat ini melanjutkan penjelasan tentang contoh-contoh kebajikan sempurna dari sisi yang lahir ke permukaan. Contoh-contoh itu antara lain berupa kesediaan mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain, sehingga bukan hanya memberi harta yang sudah tidak disenangi atau dibutuhkan walaupun ini tidak terlarang, tetapi memberikan harta yang dicintainya  secara tulus dan demi meraih cinta-Nya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan, dan orang-orang yang meminta-minta, dan juga memberi untuk tujuan memerdekakan hamba sahaya, yakni manusia yang diperjualbelikan, dan atau ditawan oleh musuh, maupun yang hilang kebebasannya akibat penganiayaan, melaksanakan shalat secara benar sesuai syarat, rukun, dan sunnah-sunnahnya, dan menunaikan zakat sesuai ketentuan dan tanpa menunda-nunda, setelah sebelumnya memberikan harta yang dicintainya selain zakat dan orang-orang yang terus menerus menepati janji-nya apabila ia berjanji. Dan adapun yang amat terpuji adalah orang-orang yang sabar yakni tabah, menahan diri dan berjuang dalam mengatasi kesempitan, yakni kesulitan hidup seperti krisis ekonomi; penderitaan, seperti penyakit atau cobaan; dan dalam peperangan, yakni ketika perang sedang berkecambuk, mereka itulah orang-orang yang benar, dalam arti sesuai sikap, ucapan, dan perbuatannya dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.



Tafsir Al – Azhar
"Bukanlah kebajikan itu lantaran kamu memalingkan mukamu ke arah timur dan barat. Akan tetapi kebajikan itu ialah bahwa kamu percaya kepada Allah dan hari yang akhir dan malaikat dan kitab dan Nabi-nabi."(pangkal ayat 177)

Artinya, meskipun telah kamu hadapkan mukamu ke timur dan ke barat ke Baitullah yang di Makkah atau ke Baitui Maqdis dahulunya, belumlah berarti bahwa pekerjaan menghadap itu telah bernama kebajikan, sebelum dia diisi dengan iman. Terutama bagi kamu orang Islam, menghadapmu ke timur atau ke barat, menurut tempat kamu berdiri seketika kamu mengerjakan shalat. Misalnya kita orang Indonesia arah ke barat dan orang Amerika arah ke timur, belumlah itu berarti suatu kebajikan, kalau imanmu kepada yang mesti diimani masih saja goyah. Atau hendaklah menghadapmu ke arah timur dan ke arah barat didorong oleh iman.

Rukun iman mudah saja menghafalnya. Tetapi dengan telah menghafal rukun iman belumlah berarti bahwa orang telah beriman. Iman itu bisa naik dan bertambah-tambah tidak ada batas, dan bisa juga menurun derjatnya dan hilang samasekali. Iman adalah perjuangan hidup. Sebab akibat dari iman ialah kesanggupan memikul cobaan. Tidak ada iman yang lepas dari cobaan. ltu kelak akan kita temui dalam penafsiran ayat-ayat pertama dari Surat al­'Ankabut (Surat 29).

Lanjutan ayat ialah ujian yang pertama dari Iman: "Dan memberikan harta atas cinta kepadanya."

Inilah ujian yang pertama dari iman yang tersebut tadi; ujian untuk me­nyempurnakan kebajikan. Mencintai harta adalah naluri manusia. Pada pokok asalnya manusia itu telah dijadikan Allah dalam keadaan loba akan mengumpul harta banyak banyak dan kikir sekali buat mengeluarkannya kembali. Ini ditegaskan Tuhan di dalam Surat 70 (al-Ma’arij, ayat 19). Maka kalau iman tidak ada, manusia ini akan diperbudak oleh harta karena nalurinya itu. Oleh sebab itu maka menurut penafsiran dari Abdullah bin Mas’ud , banyak orang memberi­kan harta benda, berderma, berkurban, namun di dalam hati kecilnya terselip rasa bakhil, karena dia ingin hidup dan dia takut akan kekurangan. Menurut riwayat dari al-Baihaqi pernah seorang sahabat Rasulullah menanyakan mem­berikan harta di dalam hal sangat cinta kepadanya, sedang tiap-tiap kami ini memang mencintai harta benda kami. Rasulullah s.a.w, menjawab. "Memang! Kamu berikan, sedang ketika kamu memberikan itu, hati kamu sendiri berkata, bagaimana kalau umur panjang, bagaimana kalau kita jatuh miskin?"

Oleh sebab itu maka bakhil adalah dasar jiwa manusia. Yang akan meme­rangi rasa bakhil itu lain tidak hanyalah iman. Ada kepercayaan dalam hati bahwa harta yang dikeluarkan itu pasti akan datang gantinya. Sebab harta yang telah ada itupun dahulunya tidaklah ada pada kita. Kemudian itu disebutkan pula, ke mana saja harta yang amat dikasihi itu hendak diberikan.

Rasulullah s.a.w. telah bersabda:

"Sedekah kepada orang miskin adalah semata-mata sedekah. Tapi ke­pada keluarga terdekat rahim dia jadi dua, yaitu sedekah dan menghubung tali kasih-sayang." (Dirawikan oleh Ahmad, Termidzi, an-Nasa'i, Ibnu Majah, al Hakim dan al-Baihaqi dari Hadis Salman bin Amir).

Kemudian datanglah sambungan ayat, tentang siapa lagi yang patut di­bantu (yang kedua): "Dan anak-anak Yatim. Tentang anak yatim kelak akan ditemui banyak ayat di dalam al-Quran, baik terhadap anak yatim yang kaya, sebagai tersebut di ayat-ayat pertama dari Surat an-Nisa', ataupun anak yatim yang miskin. Sampai Nabipun pernah bersabda bahwa satu rumah tangga yang bahagia ialah rumah tangga yang memelihara anak yatim dengan baik. Rumah itu akan diliputi oleh rahmat Allah. Niscaya pula anak yatim dari keluarga terdekat (karib kerabat) lebih diutamakan dari yang lain.

Selanjutnya disebutkan pula yang ketiga: "Dan anak perjalanan." Menurut tafsiran Ibnu Abbas, menurut riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim, anak perjalanan ialah tetamu yang singgah menumpang bermalam ke rumah kaum Muslimin. Menurut Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, sama juga dengan itu, yaitu orang musafir, di dalam perjalanan , lalu singgah menumpang ke rumah kita, maka selenggarakanlah dia dengan baik. Beri makan dan tempat bermalam, dan kalau kita mampu berilah sokongan belanja perjalanannya.

Keempat: "Dan orang-orang yang meminta."
Dalam adab sopan Islam, kalau belum terdesak benar, janganlah minta bantu kepada orang; Sebab tangan yang di atas (memberi) lebih mulia dari tangan yang di bawah (meminta atau menadah). Sebab itu kalau iman seseorang telah mendalam, kalau tidak terdesak benar, tidaklah dia akan meminta. Oleh sebab itu bagi seorang yang mampu, yang ingin berbuat kebajikan menurut ajaran Allah, kalau telah sampai terjadi seorang meminta kepada kita, sekali-kali janganlah pengharapannya dikecewakan. Makanya dia meminta kepada kita, sedang harga dirinya sebagai mu'min merasa berat menadahkan tangan kepada sesama manusia meminta-minta, adalah karena dia,percaya bahwa permintaannya itu tidak akan di kecewakan. Maka janganlah sampai air mukanya jatuh karena harapannya dihampakan.

Kelima "Dan penebus hamba sahaya. "

Sebagaimana telah kita maklumi di dalam sejarah manusia hidup dalam dunia ini, sejak beribu-ribu tahun, telah terjadi ada manusia yang dirampas kemerdekaannya, lalu mereka itu disebut budak, atau hamba sahaya. Perbudakan pada zaman purbakala itu terjadi karena adanya peperangan dan penaklukkan suatu negeri. Penyerang yang menang menjadikan penduduk negeri yang ditaklukkan itu menjadi budak.

Dan apa juga di zaman purbakala perbudakan timbul oleh karena seseorang terlalu banyak dan besar hutangnya kepada seseorang yang kaya, lalu dia menyerah­kan diri buat diperbudak sebagai pembayar hutangnya. Oleh sebab itu maka Nabi Muhaminad s.a.w. seketika diutus Tuhan membawa ajaran Islam telah mendapati perbudakan itu. Padahal pada hakikatnya, ajaran Islam yang berda­sar Tauhid dan kasih-sayang sesama manusia itu, tidaklah menyukai perbu­dakan. Tidaklah masuk di akal kalau agama yang suci menyukai pemerasan tenaga manusia oleh sesama manusia. Oleh sebab itu membrantas perbudakan dan mengembalikan kemerdekaan manusia adalah salah satu maksud utama dari Islam.

Ayat berikutnya yang keenam: "Dan mendirikan ' shalat."

Tegas di dalam ayat ini bahwasanya. shalat bukanlah semata-mata dikerjakan, melainkan didirikan. Artinya, timbul dari dasar iman dan kesadaran. Tidaklah lagi orang merasa keberatan mendirikan shalat itu, karena dia telah ditimbul daripada iman kepada Allah dan kasih-sayang kepada sesama manu­sia; tidak lagi shalat karena semata-mata menghadap muka atau beralih paling ke pihak timur atau ke pihak barat. Tidak lagi shalat karena turut-turutan, atau tunggang-tunggik ke atas ke bawah; berdiri, sujud, duduk dan lain sebagainya, padahal kosong daripada iman. Niscaya shalatnya itu menghadap kiblat; itu sudah terang. Tetapi karena iman dan kasih-sayang sudah terhunjam dalam jiwanya, maka bukan saja tagi mukanya yang dihadapkartnya kepada kiblat , melainkan batinnya yang terlebih dahulu dihadapkannya kepada Tuhan.

Di pangkal ayat sudah disebutkan bahwa memalingkan muka ke timur ataupun ke barat, belumlah bernama kebajikan. Kebajikan ialah apabila jiwa terlebih dahulu diisi dengan iman, dibuktikan dengan kasih sayang kepada manusia, dan dengan demikian timbullah shalat. Sebab shalat hendaklah timbul dari iman dan cinta kasih.

Kemudian datanglah lanjutan ayat (ketujuh): "Dan mengeluarkan zakat "

Mengeluarkan zakat; seka!i lagi disebut kemurahan hati mengeluarkan harta yang dicintai. Ada agaknya orang yang akan bertanya, apa perlunya lagi menyebutkan mengeluarkan zakat, padahal tadi di atas sudah dijelaskan bahwa alamat kebajikan ialah kemurahan hati mengeluarkan harta yang dicintai? Jawabnya ialah bahwasanya ini bukan kata berulang. Mengeiuar­kan harta yang amat dicintai, untuk membantu keluarga terdekat dan fakir ­miskin tidaklah tergantung kepada zakat saja. Orang yang beriman dan berbuat kebajikan, akan senantiasa mengeluarkan harta yang dicintainya.

Mengeluarkan zakat tiap tahun adalah minimum, ukuran paling rendah. Zakat adalah kewajiban tertentu tiap tahun, kewajiban routin Tetapi banyak lagi pintu lain di luar zakat , yang timbul dari hati yang dermawan Ada sadaqoh Tathaw­wu', sedekah sukarela yang tidak wajib menurut hukum Fiqh , tetapi wajib menurut perasaan halus budiman. Ada orang yang membagi sepiring nasi yang sedianya akan dimakannya sendiri, untuk fakir miskin yang mengharapkan bantuannya. Ada sedekah yang bernama hadiah, bernama hibah, bernama ihsan dan ada yang bernama wakaf. Semuanya itu adalah dalam golongan mengeluarkan harta yang dicintai tadi.

Kemudian datanglah lanjutan ayat (kedelapan):
"Dan orang-orang yang memenuhi akan janji mereka apabila mereka telah berjanji."
Janji kita ada dua macam. Pertama.janji dengan Tuhan. Kedua janji dengan manusia. Kehidupan ini seluruhnya diikat dengan janji. Mengakui sebagai hamba dari Allah, artinya akan menepati janji dengan Allah. Naik saksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, artinya ialah janji bahwa awak akan mematuhi segala perintah dan larangan Rasul. Kedua ialah janji dengan sesama manusia. Seluruh hidup kita ini adalah ikatan janji belaka. Mendirikan suatu negara adalah suatu janji bersama hendak hidup dengan rukun, kepentingan diriku terhenti bilamana telah bergabung dengan kepentingan kita bersama; itulah negara. Bahkan akad-nikah seorang ayah ketika dia menyerahkan anak perempuan nya kepada seorang laki-laki untuk menjadi isteri orang itu, yang dinamai ijab, lalu disambut dan diterima oleh si laki-laki di hadapan dua saksi, yang dinamai qabul, adalah janji.

Ada orang yang teguh memegang janjinya dengan manusia, tetapi rapuh janjinya dengan Tuhan. Seumpama satu perkumpulan agama yang sedang musyawarat mengatur siasat perjuangan Islam. Saking asyiknya rapat, teledor dia shalat ashar. Ada pula orang yang teguh janjinya dengan Tuhan, shalat di awal waktu, tetapi anaknya tidak diberikan pendidikan yang baik, atau isterinya tidak diberikan nafkah. Oleh sebab itu mungkir janji dengan manusiapun berarti memungkiri janji dengan Allah.

Lanjutan ayat (kesembilan):  "Dan orang-orang yang sabar di waktu kepa­yahan dan kesusahan dan seketika peperangan.”

Di sinilah kita bertemu kunci rahasia dari iman dan kebajikan. Di dalam membina iman dan kabajikan, syaratnya yang utama ialah sabar. Mulut bisa dibuka lebar buat menyerukan iman. Beribu-ribu orang tampil ke muka menyerukan iman, tetapi hanya berpuluh yang dapat melanjutkan perjalanan. Sebahagian terbesar jatuh tersungkur di tengah jalan karena tidak tahan menderita, karena tiada sabar. Di sini disebutkan ujian pertama ialah kepayahan; termasuk di dalamnya kemiskinan dan serba kekurangan. Kurang sandang,kurang pangan. Kekurangan alat untuk berjuang, kekurangan.belarija untuk mengatasi kesulitan. Kadang­-kadang bagai gunung kesulitan yang ditempuh, namun kita mesti terus mene­gakkan iman. Kesulitan dan rintangan kedua ialah kesusahan. Kesusahan ialah lantaran penyakit. Baik penyakit rohani apalagi karena penyakit jasmani. Kadang-kadang seisi rumah yang tadinya hidup tenteram dan mempunyai rezeki yang lumayan , tiba-tiba tiang keluarga yang berusaha ditimpa sakit payah, ataupun langsung mati.
Di dalam saat susah itulah iman diuji. Orang yang beriman berpandangan jauh. Mereka mempunyai kepercayaan bahwa keadaan tidak akan selalu begitu-begitu saja. Sesudah susah mestilah akan timbul kemudahan. Bahkan iman mengajarkan bahwa di dalam susah itu selalu terdapat kemudahan. Tidak ada dalam dunia,satu saatpun yang hanya semata susah ataupun semata mudah. Pedoman kesusahan dan kemudahan tidaklah terletak di luar, melain­kan di dalam diri kita sendiri. Lantaran itu dapatlah dikatakan bahwasanya jalan kebajikan yang telah digariskan dalam ayat, yaitu sejak daripada iman kepada Allah dan hari akhirat, kepada,Malaikat dan Kitab dan Nabi-nabi; sampai kepada kesudian berkurban, mengeluarkan harta benda yang dicintai untuk menolong orang-orang yang patut ditolong, sampai kepada mendirikan shalat dengan khusyu dan menge­luarkan zakat dengan hati rela, dan keteguhan memegang janji, semua susunan itu akan runtuh belaka kalau tidak ada sendi utamanya, yaitu sabar.

Kita di dunia mempunyai banyak keinginan dan cita-cita. Kadang-kadang kita mengharap kan sesuatu daripada Allah dengan sangat rindu. Tetapi ka­dang-kadang kita lupa kelema han kita, bahwa kita yang diatur oleh Tuhan, bukan kita yang mengatur Tuhan. Kita meminta segera hendaknya kesusahan hilang, dan kita meminta segera hendaknya permintaan dikabulkan. Kalau kehendak kesegeraan itu tidak lekas dikabulkan, kitapun mendongkol. Kitapun tidak sabar lagi. Maka yang menggagalkan kita bukanlah orang lain, melainkan diri kita sendiri. Ketahuilah bahwasanya tidak kurang daripada 98 ayat di dalam al-Quran yang menyebutkan keutamaan sabar. Sesudah semuanya itu diisi menurut tertibnya, barulah datang lanjutan ayat:
"Mereka ilulah orang-orang yang benar."

Artinya, isilah semuanya itu dengan tertib, mulailah dengan iman, turutilah dengan rasa cinta kepada sesama manusia, dan iringilah lagi iman kepada Allah dengan shalat yang khusyu`, lalu berzakatlah bila telah datang waktunya dan teguhlah memegang janji, karena binatang diikat dengan tali, sedang manusia diikat dengan katanya sendiri. Dan sabarlah memikul tugas hidup itu semuanya. Kalau ini semuanya sudah diisi, barulah pengakuan iman dapat diterima oleh Allah, dan barulah kita terhitung dan termasuk dalam daftar Tuhan sebagai seorang yang benar, yang cocok isi hatinya dengan amalannya. Lalu di ujung ayat menjelaskan lagi:
"Dan mereka. itulah orang-orang yang bertakwa." (ujung ayat 177).
Kita sudah tahu arti asli dari takwa , yaitu pemeliharaan. Itulah orang yang selalu memelihara hubungannya dengan AIlah. Mereka selalu berusaha, se­hingga martabat imannya bukan menurun; melainkan selalu mendaki kepada yang Iebih tinggi .
Dengan penutup ayat menyebut bahwa itulah orang-orarg yang bertakwa, menjadi lebih jelaslah bahwasanya setiap saat kita wajib memelihara hubungan kita dengan Allah. Tingkat iman kita harus diusahakan bertambah tinggi, jangan bertambah menurun. Pokok hidup adalah keteguhan jiwa, kekuatan peribadi. Jangan sampai kita mengerjakan agama hanya pada kulit saja. Shalat tunggak­ tunggik , tetapi jiwa gelap: Sebab hanya karena keturunan belaka. Banyak orang yang taat shalat , padahal tidak tahan kena cobaan. Ada orang yang taat shalat, padahal dia bakhil; saku-sakunya dijahitnya, tidak mau menolong orang lain. Banyak orang yang shalat, padahal pemungkir janji. Sebab ini kehidupan yang sejati tidak diisinya, yaitu takwa. Ada juga orang yang kelihatan taat selain shalat dan puasa, diapun berzikir, dia tekun i'tikaf dalam mesjid. Tetapi setelah ditanyakan mengapa dia setaat itu, dia menjawab karena dia mengharapkan pahala sekian dan sekian , untuk dirnya. Sebab itu cara berfikirnya ialah untuk kapentingan dirinya sendiri, baik di dunia ataupun di akhirat.
Setelah direnungkan ayat 177 ini dengan, seksama, teringatlah kita akan sebuah tatsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas , menurut riwayat yang dirawikan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abbas berkata:
"Ayat ini diturunkan di Madinah. Tafsirnya ialah bahwa : Tuhan telah bersabda kebajikan itu bukanlah semata-mata telah mengerjakan shalat. Tetapi kebajikan ialah apa yang telah teguh (berurat berakar) di dalam hatimu, dari rasa taat kepada Allah.
Shalat lima waktu sudah nyata wajib. Dia adalah tiang agama. Kitapun dianjurkan menambah nya dengan shalat-shalat sunnat yang berasal dari ajaran Rasulu!lah. Tetapi ayat ini telah memberi ketegasan , bahwa kewajiban mengerjakan tiang agama itu, yang kamu kerjakan dengan susah-payah, akan tetapi tidak ada artinya untuk membangunkan kebajikan , kalau rasa takwa tidak selalu dipupuk. Karena takwa itulah yang meninggikan akhlak, menimbulkan budi pekerti, dermawan , peneguh janji dan sabar menderita.
Dapat disimpulkan dalam ayat ini bahwa orang yang bertakwa itu bukan dilihat dari menghadap mana ia shalat, tetapi dilihat dari perbuatan mereka. Orang yang bertakwa akan selalu mengerjakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya, akan selalu mengimplementasikan keimanannya dengan baik. Jika dilihat dari aspek ekonomi, orang yang bertakwa akan memilih jalan ekonomi yang sesuai dengan koridor Islam dan berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari kegiatan ekonomi yang dilarang oleh Allah, dan juga tidak lupa infak dan membayar zakat serta memanfaatkan hartanya sesuai ketentuan Allah. Dan juga dalam ayat ini menganjurkan bagi umat muslim untuk beramal shaleh yang mana sangat erat kaitannya dengan iman.


No comments:

Post a Comment