Thursday, March 17, 2016

TUGAS MANDIRI TAFSIR AYAT EKONOMI

NAMA : KEN MALFIN MUBAROK
NIM  :1414231062
FAK/JUR : SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM/ PS2
MATA KULIAH : TAFSIR AYAT EKONOMI

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya:
“para ibu menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan menjadi kewajiban atas bayi itu yang  dilahirkan untuknya (ayah sang bayi) memberi rezeki (makan) dan pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seeorang tidak dibebani melainkan menurut kadar keanggupanya. Tidaklah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena ayahnya, dan waripun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih berdasarkan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada doa atas keduanya, dan jika kamu ingin anak kamu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagi kamu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa azab Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan.” [QS. Al-baqarah ayat 233]


Penafsiran menurut M. QURAISH SHIHAB dari tafsir AL-MISBAH :
Ayat ini merupakan rangkaian pembicaraan tentang keluarga. Setelah berbicara tentang suami istri, kini berbicara mengenai anak yang lahir dan hubungan suami istri itu. Di sisi lain, ia maih berbicara tentang wanita-wanita yang ditalak, yakni mereka yang memiliki bayi.
Dengan menggunakan redaksi berita, ayat ini memerintahkan dengan sangat kukuh kepda para ibu agar menyusukan anak-anaknya.
Kata al-walidat dalam pemggunaan al-quran berbeda dengan kata ummahat yang merupakan bentuk jamak dari kata ummun. Kata ummahat digunakan untuk menunjuk kepada ibu kandung, sedang kata al-walidat maknanya adalah para ibu, baik ibu kandung maupun bukan. Ini berarti bahwa al-quran sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu kandung maupun bukan, adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Namun demikian, air susu ibu lebih baik dari selainnya. Dengan menyusu pada kandung, anak meraa lebih tentram; sebab menurut penelitian ilmuan, ketika itu bayi mendapat suara detang jantung ibu yang dikenalnya secara khusus sejak dalam perut. Detang jantung itu berbeda antara seorang wanita dengan wanita yang lain.
Sejak kelahiran hingga dua tahun penuh, para ibu diperintahkan untuk menyusukan anak-anaknya. Dua tahun atau batas maksimal dari kesempurnaan penyusuan. Di sisi lain, bilangan itu mengisyaratkan bahwa menyusu setelah usia tersebut bukanlah penyusuan yang mempunyai dmpak hukum yang mengakibatkan anak yang disusui bersetatus sama dalam sejumlah hal dengan anak kandungnya yang menyusuinya.
Penyusuan yang selama dua tahun itu, walaupun diperintahkan, tetap bukanlah kewajiban. Ini dipahami dari penggalan ayat yang menyatakan, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Namun demikian, ia adalah anjuran yang sangat ditekankan, seakan akan ia adalah perintah wajib. Jika ibu bapak sepakat mengurangi masa tersebut, maka tidak mengapa. Tetapi hendaknya jangan lebih dari dua tahun, karena dua tahun telah dinilai sempurna oleh Allah. Di sisi lain, penetapan waktu dua tahun itu, adalah untuk menjadi tolak ukur bila terjadi perbedaan pendapat mislnya ibu atau bapak ingin memperpanjang masa penyusuan.
Masa penyusuan tidak harus 24 bulan, karena QS. Al-ahqif [46]:15 menyatakan, bahwa masa kehamian dan penyusuan adalah tiga puluh bulan. Ini berarti, jika janin dikandung selama sembilan bulan maka penyusuannya selama dua uluh satu bulan, sedangkan jika dikandung hanya enam bulan, maka ketika itu masa penusuannya selama 24 bulan.
Tentu saja ibu yang menyusukan memerukan biaya agar kesehatannya tidak terganggu, dan air susunya selalu tersedia. Dengan dasar itu lanjutan ayat menyatakan, merupakan kewajiban atas yang dilahirkan untuknya, yakni ayah, memberi makan dan pakaian kepada para ibu, kalau ibu ank-anak yang diceraikan secara ba’in, buksn raj’iy. Adapun jika anak ibu itu masih menjadi istri walau telah ditalak secara raj’iy, maka kewajiban memberi makan dan pakaian adalah kewajiban atas daar hubungan suami istri, sehingga mereka menuntut imbalan penyusuan anaknya, maka suami wajib memenuhinya selama tuntutan imbalan itu dinilai wajar.
Mengapa telan menjadi kewajiban ayah? Karena nama anak itu membawa nama ayah, seakan akan anak lahir untuknya, karena nama ayah akan disandang oleh sang anak, yakni dinisbahkan kepada ayahnya. Kewajiban memberi makan dan pakaian itu hendaknnya dilandaskan dengan cara yang ma’ruf, yakni yang dijelaskan maknanya menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, yakni jangan sampai ayah mengurangi hak yang wajar bagi seorang ibu dalam memberikan nafkah dan penyediaan pakaian, karena mengandalkan kasih sayang ibu kepada anaknya. Dan juga seorang ayah menderita karena ibu menuntut sesuatu diatas kemampuan sang ayah, dengan dalih anak yang disusukannya.
perkembangan jiwa dengan baik. Bahkan jaminan terebut harus tetap diperolehnya walau ayahnya telah meninggal dunia, karena para waris pun berkewjiban demikian, yakni berkewajiban memenuhi kebutuhan ibu sang anak agar ia dapat melaksanakan penyusuan dan peeliharaan anak itu, dengan baik. Adapun yang dimaksud dengan para waris adalah yang mewarisi sang ayah, yakni anak yang disusukan. Dalam arti, hak yang diwariskan kepada anaknya dari ayahnya yang meninggal digunakan antara lain untuk biaya penyusuan bahkan makan dan minum ibu yang menyusuinya. Ada juga yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan para waris adalah para ibu yang menyusui itu. Betapapun ayat ini memberikan jaminan hukum untuk kelangsungan hidup dan pemelihara sang anak.
Apabila keduanya, yakni ayah dan ibu anak itu, ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya, bukan akibat paksaan dari siapapun, dan dengan permusyawaratan, yakni dengan mendiskusikan serta mengambil keputusan yang terbaik, maka tidak ada dosa atas keduanya untuk mengurangi masa penyusuan dua tahun itu.
Dari sini bisa dipahami ada tingkat penyusuan; pertma tingkat sempurna, yaitu dua tahun atau atau tiga puluh bulan kurang masa kandungan; kedua, masa cukup, yaitu yang kurang dari tingkat masa yang sempurna; dan tingkat yang ketiga, masa yang tidak cukup kalau engga berkata kurang, dan ini dapat mengakibatkan dosa, yaitu enggan menyusui anaknya. Karena itu, bagi yang tidak mencapai tingkat cukup, baik dengan alasan yang dapat dibenarkan, misalnya karena sakit, maupun alasan yang dapat menimbulkan kecaman, misalnya karena ibu meminta bayaran yang tidak wajar, maka ayah harus mencari seseorang yang dapat menyusui seorang anaknya.
Inilah yang dipesankan oleh lanjutan ayat yang diatas, dengan pesannya, jika kamu, wahai para ayah, ingin anak kamu disusukan oleh wanita lain, dan ibunya tidak bersedia menyusuinya, maka tidak ada dosa bagi kamu apabila kamu memberikan pembayaran kepada wanita lain itu berupa upah atau hadiah menerut yang patut.

Penafsiran dari ibnu katsir mengenai ayat al-baqarah ayat 233
Ini adalah bimbingan dari Allah Ta’ala bagi para ibu supaya mereka menyusui anak-anaknya dengan sempuma, yaitu dua tahun penuh. Dan setelah itu tidak ada lagi penyusuan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: liman araada ay yutimmar radlaa-‘ata (“Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”) Kebanyakan para imam berpendapat bahwa tidak diharamkan penyusuan yang kurang dari dua tahun. Jadi, apabila ada bayi yang berusia lebih dari dua tahun masih menyusui, maka yang demikian itu tidak diharamkan.
Hal itu diperkuat dengan apa yang diriwayatkan ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak menjadikan mahram karena penyusuan, kecuali yang dilakukan kurang dari dua tahun.”
Kemudian ad-Daruquthni mengatakan: “Hadits tersebut tidak disandarkan pada Ibnu Uyainah kecuali oleh al-Haitsam bin Jamil, dan ia adalah seorang yang dapat dipercaya dan seorang hafizh.”
Berkenaan dengan hal ini, penulis (Ibnu Katsir) katakan: “Hadits ini terdapat dalam kitab al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid, dari Ibnu Abbas, secara marfu’. Juga diriwayatkan oleh ad-Darawardi dari Tsaur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dan ia menambahkan: “Dan penyusuan setelah dua tahun itu tidak mempunyai pengaruh apa pun.”
Makna yang terkandung dalam hadits ini menjadi lebih sempurna dengan adanya firman Allah yang artinya: “Dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku. “(QS. Luqman: 14). Dia juga berfirman yang artinya: “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaaf: 15).
Pendapat yang menyatakan bahwa penyusuan setelah dua tahun tidak menjadikan mahram diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa’id Musayyab, Atha’ dan jumhur ulama. Ini juga merupakan pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan, “Yaitu dua tahun enarn bulan.”
Imam Malik berpendapat, jika seorang bayi disapih kurang dari dua tahun, lalu ada wanita lain menyusuinya, maka yang demikian itu tidak menjadikan mahram, karena penyusuan itu berkedudukan sama dengan makanan. Hal ini diriwayatkan dari al-Auza’i. Dan diriwayatkan pula dari Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, keduanya mengatakan: “Tidak ada penyusuan setelah penyapihan.” Kemungkinan yang dimaksudkan oleh keduanya adalah setelah dua tahun. Hal itu sama seperti pendapat jumhur ulama, baik bagi anak yang disapih ataupun tidak. Dan mungkin yang dimaksud oleh Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib radiallahu anhuma adalah pe-buatannya, seperti yang menjadi pendapat Imam Malik. Wallahu aalam
Dalam kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) juga telah diriwayatkan sebuah hadits, dari Aisyah radiallahu’anha, ia berpendapat bahwasanya penyusuan anak yang sudah besar berpengaruh dalam kemahraman. Yang demikian itu juga merupakan pendapat Atha’ bin Abi Ribah, al-Laits Dan Aisyah radiallahu’anha memerintahkan beberapa wanita untuk menyusui laki-laki. Dalam hal itu Aisyah berlandaskan pada hadits Salim, budak Abu Hudzaifah, di mana Rasulullah memerintahkan isteri Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim, padahal ia sudah besar. Salim masuk rumah istri Abu Hudzaifah untuk menetek. Namun para istri Nabi menolak hal itu, dan mereka berpendapat bahwa hal itu termasuk pengecualian. Yang demikian itu merupakan pendapat jumhur ulama. Dan yang menjadi landasan jumhur ulama, yaitu empat imam madzhab, tujuh orang ahli fiqih, para sahabat utama dan seluruh istri Rasulullah kecuali Aisyah radiallahu anHaa, adalah hadits yang telah ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Aisyah radiallahu’anha, bahwa Rasulullah bersabda: “Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita) saudara-saudara kalian itu! Sesungguhnya penyusuan itu karena kelaparan (pada masa bayi).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Mengenai masalah penyusuan dan hal-hal yang berkenaan dengan penyusuan orang besar akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan surat an-Nisaa’ yang berbunyi: wa ummaHaatukumul latii ardla’nakum (“Dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian.”) (QS. An-Nisaa: 23)
Dan firman Allah: wa ‘alal mauluudi laHuu rizquHunna wa kiswatuHunna bilma’ruufi (“Dan ke-wajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara yang ma’ruf.”) Maksudnya, seorang bapak berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang ma’ruf, yaitu yang sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negeri mereka masing-masing dengan tidak berlebih-lebihan atau juga terlampau kurang, sesuai dengan kemampuan dan kemudahan yang dimiliki oleh bapak si bayi.
Sebagai-mana firman Allah swt. yang artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaaq: 7).
Adh-Dhahhak mengatakan: “Jika seseorang menceraikan isterinya, dan ia memperoleh anak dari isterinya tersebut, lalu mantan isterinya itu menyusui anaknya, maka sebagai bapak ia berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada mantan isterinya tersebut dengan cara yang ma’ruf.”
Dan firman-Nya lebih lanjut: laa tudlaarra waalidatum biwaladiHaa (“Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya.”) Yaitu si ibu memberikan anaknya kepada bapaknya dengan maksud untuk menyusahkan bapaknya dalam mengasuhnya. Tetapi si ibu tadi tidak boleh menyerahkan bayinya itu ketika baru melahirkannya hingga ia menyusuinya karena seringkali bayi yang tidak dapat bertahan hidup bila tidak menyusunya. Kemudian setelah masa penyusuan itu, ia boleh menyerahkan bayi tersebut, jika ia menghendaki. Tetapi jika hal itu menyusahkan bapaknya, maka ia tidak boleh menyerahkan bayi itu kepadanya, sebagaimana si bapak tidak boleh merebut bayi tersebut dari ibunya dengan tujuan untuk membuatnya sengsara. Oleh karena itu, Allah berfirman: wa laa mauluudul laHuu biwaladiHi (“Dan jangan pula seorang ayah [menderita ke-sengsaraan] karena anaknya.”) Yakni si bapak berkeinginan untuk merebut anaknya dari istrinya dengan tujuan untuk menyakitinya.
Demikianlah yang dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, adh-Dahhak, az-Zuhri, as-Suddi, ats-Tsauri, serta Ibnu Zaid, dan yang lainnya.
Firman Allah Ta’ala berikutnya: wa ‘alal waaritsi mitslu dzaalika (“Dan waris pun berkewajiban demikian.”) Ada yang mengatakan, tidak boleh menimpakan mudlarat kepada kerabatnya. Demikian dikatakan oleh Mujahid, asy-Sya’bi dan adh-Dhahhak. Ada juga yang mengatakan, kepada ahli waris diwajibkan pula seperti yang diwajibkan kepada bapak anak itu. Yaitu memberi nafkah kepada ibu si bayi serta memenuhi semua hak-haknya serta tidak mencelakakannya. Demikan pendapat jumhur ulama. Yang demikian itu telah dibahas panjang lebar oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Ayat itu juga dijadikan dalil oleh para pengikut madzhab Hanafi dan Hambali yang mewajibkan pemberian nafkah kepada kaum kerabat, sebagian atas sebagian yang lain. Dan pendapat ini juga diriwayatkan, dari Umar bin Khaththab dan jumhur ulama salaf.
Dan disebutkan pula bahwa penyusuan setelah dua tahun mungkinkan membahayakan si anak, baik terhadap badan maupun otaknya.
Dan firman-Nya selanjutnya: fa in araadaaa fishaalan ‘an taraadlim minHumaa wa tasyaawurin falaa junaaha ‘alaiHimaa (“Apabila keduanya ingin meyapih [sebelum dua tahun] dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa bagi keduanya.”) Maksudnya, jika kedua orang tua itu, baik bapak maupun ibu telah sepakat untuk menyapihnya sebelum masa dua tahun dan keduanya melihat adanya kebaikan dalam hal itu bagi si bayi lalu keduanya bermusyawarah dan mengambil kesepakatan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Tetapi keputusan itu tidak cukup jika hanya berasal salah satu pihak saja (bapak ataupun ibu), dan salah satu pihak tidak boleh memaksakan hal itu tanpa adanya musyawarah dengan pihak lainnya. Demikian dikatakan oleh ats-Tsauri dan ulama lainnya.
Dan firman-Nya: wa in aradtum an tastardli-‘uu aulaadakum falaa junaaha ‘alaikum idzaa sallamtum maa aataitum bil ma’ruuf (“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran menurut apa yang patut.”) Maksudnya bapak dan ibu si bayi itu telah sepakat untuk menyusukan anaknya kepada orang lain karena suatu alasan, baik dari pihak si bapak maupun si ibu, maka tidak ada dosa bagi keduanya atas penyerahan bayi mereka. Dan bukan suatu kewajiban bagi pihak bapak untuk memenuhi permintan penyerahan itu (untuk disusui wanita lain) apabila ia telah menyerahkan upahnya yang terdahulu dengan cara yang paling baik, lalu si bayi disusukan wanita dengan upah tersebut dengan cara yang ma’ruf. Demikian yang dikatakan oleh banyak ulama.
Dan firman Allah: wattaqullaaHa (“Bertakwalah kepada Allah,”) dalam segala hal dan keadaan kalian. Wa’lamuu annallaaHa bimaa ta’maluuna bashiir (“Dan ketahuilah bahwa Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.”) Artinya, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya, baik yang berupa keadaan maupun ucapan kalian.

Refleksi surat al-baqarah ayat 233 :
Berikut ini adalah beberapa tambahan pelajaran yang dapat diambil dari surat Al-Baqarah ayat: 233, tentang hak menyusu bagi seorang anak, yang belum disebutkan dalam edisi yang lalu.
Diantara pelajaran-pelajaran yang dapat diambil adalah :
·         Wajib atas ahli waris memberikan nafkah kepada anak yang ditinggalkannya (jika ayah dari anak tersebut telah meninggal dunia, pen.), sebagaimana ayat, { وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذلِكَ } “Dan warispun (ahli waris) berkewajiban demikian” ; demikian pula bahwa kewajiban memberi nafkah kepada yang menyusui agar anaknya dapat menyusu merupakan dalil atas wajibnya memberikan nafkah terhadap anak yang menyusu itu sendiri.
·         Bahwa dibolehkan bagi seorang ibu untuk menyapeh anaknya sebelum sempurna dua tahun masa susuan, akan tetapi dengan syarat saling ridha dan musyawarah antara kedua orangtua anak tersebut demi kemashlahatan anak dan mereka berdua. Sebagaimana ayat, { فَإِنْ أَرَادَا } “Apabila keduanya ingin”, yaitu, kedua orang tua, { فِصَالاً } “menyapih”, maksudnya, berhenti menyusui bayi tersebut sebelum dua tahun, { عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا } “dengan kerelaan keduanya”, di mana keduanya ridha, { وَتَشَاوُرٍ } “dan permusyawaratan”, antara mereka berdua apakah hal itu merupakan kemaslahatan bayi ataukah tidak? Apabila ada maslahat (untuk si bayi) dan mereka berdua rela, { فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا } “maka tidak ada dosa atas keduanya”, untuk penyapihannya kurang dari dua tahun.
·         Inayah Allah Ta’ala kepada bayi-bayi yang masih dalam masa menyusu; karena tidaklah dibolehkan menyapih mereka sebelum dua tahun penuh kecuali setelah adanya saling ridha antara kedua orangtuanya (antara ibu yang melahirkan dan ayah yang menanamkan benih), dan saling bermusyawarah.
·         Bahwa hal itu tidaklah cukup hanya dengan saling ridha antara kedua pasangan yang menyebabkan kelahirannya saja, bahkan haruslah hal itu setelah terjadi musyawarah, dan mengulang, melihat dan memperhatikan serta menimbang kembali dalam masalah itu sehingga apabila benar-benar didalam penyapihan tersebut terdapat mashlahat bagi sang bayi tersebut, maka hal itu baru dibolehkan.
·         Bolehnya seseorang untuk meminta orang lain (para ibu yang biasa menyusui, atau seorang wanita yang bukan ibu dari anaknya, pen) untuk menyusui anaknya, sebagaimana ayat, “jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu …“. Dan apabila ibu kandungnya meminta untuk menyusuinya sendiri, lalu suaminya atau ayah dari anak tersebut berkata, ‘Susukanlah anak itu kepada selain ibunya’, maka ayahnya tersebut dipaksa untuk menyepakati keinginan ibu anaknya untuk menyusui. Berdasarkan firman Allah, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya…”; Allah ta’ala memulai ayat tersebut dengan ‘Para Ibu…’; karena seorang ibu lebih sayang (kepada anaknya) , dan air susunya lebih baik dan lezat bagi anaknya, demikian pula bahwa hal itu lebih menumbuhkan kasih sayang antara seorang ibu dan anaknya.
·         Apabila dikatakan, bagaimana apabila ibu tersebut meminta upah dari menyusui kepada ayah anak yang disusui (bekas suaminya) lebih dari yang lainnya, apakah wajib untuk memenuhinya?, maka dijawab, ‘Jika lebihnya atau tambahannya hanya sedikit, maka wajib untuk memenuhinya, dan jika banyak maka tidak wajib untuk memenuhinya’.
·         Apabila ditanyakan, apakah boleh bagi seorang ibu meminta upah (persusuanya) sedangkan ia masih dalam ikatan penikahan dan tinggal bersama suaminya (ayah dari anak yang disusuinya)?, maka dijawab, ‘bahwa dalam masalah ini ada dua pendapat dikalangan para ulama; dan yang rajih (kuat) adalah bahwa tidak dibolehkan baginya meminta upah (persusuannya), karena telah tercukupi dengan nafkah suami kepadanya dengan sebab (ikatan pernikahan).
·         Wajib atas seorang ayah (yang menyusukan anaknya kepada orang lain) memyerahkan upah (persusuan) dengan ma’ruf atau yang sepatutnya, yaitu tanpa menunda-nunda, dan mengurangi. Sebagaimana ayat, “apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut”.
·         Bahwa tidaklah wajib bagi seorang yang mempekerjakan (seperti orang yang meminta agar anaknya disusui, pen.) kecuali apa yang telah menjadi kesepakatan dalam aqad pekerjaannya, sesuai ayat tersebut diatas. Maka apabila orang yang dipekerjakan meminta kepadanya untuk menambah dari upah yang telah disepakati maka tidak wajib baginya untuk memenuhinya; walaupun kebutuhan bertambah.
·         Kewajiban bertaqwa kepada Allah Ta’ala sebagaiman perintah dalam ayat diatas.
·         Wajib beriman dengan nama-nama Allah dan apa-apa yag terkandung didalam nama-nama tersebut berupa sifat-sifat yang mulia. Sebagaimana ayat, “dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”


No comments:

Post a Comment