TUGAS MANDIRI TAFSIR AYAT EKONOMI
NAMA : KEN MALFIN MUBAROK
NIM :1414231062
FAK/JUR : SYARIAH DAN
EKONOMI ISLAM/ PS2
MATA KULIAH : TAFSIR AYAT
EKONOMI
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا
مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا
فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ
أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا
سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya:
“para ibu menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan menjadi
kewajiban atas bayi itu yang dilahirkan
untuknya (ayah sang bayi) memberi rezeki (makan) dan pakaian kepada ibu dengan
cara yang ma’ruf. Seeorang tidak dibebani melainkan menurut kadar keanggupanya.
Tidaklah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang
ayah karena ayahnya, dan waripun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih berdasarkan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada doa
atas keduanya, dan jika kamu ingin anak kamu disusukan oleh orang lain, maka
tidak ada dosa bagi kamu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa azab Allah maha melihat apa yang
kamu kerjakan.” [QS. Al-baqarah ayat 233]
Penafsiran menurut M. QURAISH SHIHAB dari tafsir
AL-MISBAH :
Ayat ini merupakan rangkaian pembicaraan
tentang keluarga. Setelah berbicara tentang suami istri, kini berbicara mengenai
anak yang lahir dan hubungan suami istri itu. Di sisi lain, ia maih berbicara
tentang wanita-wanita yang ditalak, yakni mereka yang memiliki bayi.
Dengan menggunakan redaksi berita, ayat ini memerintahkan
dengan sangat kukuh kepda para ibu agar menyusukan anak-anaknya.
Kata al-walidat dalam pemggunaan al-quran
berbeda dengan kata ummahat yang merupakan bentuk jamak dari kata ummun. Kata
ummahat digunakan untuk menunjuk kepada ibu kandung, sedang kata al-walidat
maknanya adalah para ibu, baik ibu kandung maupun bukan. Ini berarti bahwa
al-quran sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu kandung
maupun bukan, adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Namun
demikian, air susu ibu lebih baik dari selainnya. Dengan menyusu pada kandung,
anak meraa lebih tentram; sebab menurut penelitian ilmuan, ketika itu bayi
mendapat suara detang jantung ibu yang dikenalnya secara khusus sejak dalam
perut. Detang jantung itu berbeda antara seorang wanita dengan wanita yang
lain.
Sejak kelahiran hingga dua tahun penuh, para
ibu diperintahkan untuk menyusukan anak-anaknya. Dua tahun atau batas maksimal
dari kesempurnaan penyusuan. Di sisi lain, bilangan itu mengisyaratkan bahwa
menyusu setelah usia tersebut bukanlah penyusuan yang mempunyai dmpak hukum
yang mengakibatkan anak yang disusui bersetatus sama dalam sejumlah hal dengan
anak kandungnya yang menyusuinya.
Penyusuan yang selama dua tahun itu, walaupun
diperintahkan, tetap bukanlah kewajiban. Ini dipahami dari penggalan ayat yang
menyatakan, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Namun demikian, ia adalah
anjuran yang sangat ditekankan, seakan akan ia adalah perintah wajib. Jika ibu
bapak sepakat mengurangi masa tersebut, maka tidak mengapa. Tetapi hendaknya
jangan lebih dari dua tahun, karena dua tahun telah dinilai sempurna oleh
Allah. Di sisi lain, penetapan waktu dua tahun itu, adalah untuk menjadi tolak
ukur bila terjadi perbedaan pendapat mislnya ibu atau bapak ingin memperpanjang
masa penyusuan.
Masa penyusuan tidak harus 24 bulan, karena
QS. Al-ahqif [46]:15 menyatakan, bahwa masa kehamian dan penyusuan adalah tiga
puluh bulan. Ini berarti, jika janin dikandung selama sembilan bulan maka
penyusuannya selama dua uluh satu bulan, sedangkan jika dikandung hanya enam
bulan, maka ketika itu masa penusuannya selama 24 bulan.
Tentu saja ibu yang menyusukan memerukan biaya
agar kesehatannya tidak terganggu, dan air susunya selalu tersedia. Dengan
dasar itu lanjutan ayat menyatakan, merupakan kewajiban atas yang dilahirkan
untuknya, yakni ayah, memberi makan dan pakaian kepada para ibu, kalau ibu
ank-anak yang diceraikan secara ba’in, buksn raj’iy. Adapun jika anak ibu itu
masih menjadi istri walau telah ditalak secara raj’iy, maka kewajiban memberi
makan dan pakaian adalah kewajiban atas daar hubungan suami istri, sehingga
mereka menuntut imbalan penyusuan anaknya, maka suami wajib memenuhinya selama
tuntutan imbalan itu dinilai wajar.
Mengapa telan menjadi kewajiban ayah? Karena
nama anak itu membawa nama ayah, seakan akan anak lahir untuknya, karena nama
ayah akan disandang oleh sang anak, yakni dinisbahkan kepada ayahnya. Kewajiban
memberi makan dan pakaian itu hendaknnya dilandaskan dengan cara yang ma’ruf,
yakni yang dijelaskan maknanya menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, yakni jangan sampai ayah mengurangi
hak yang wajar bagi seorang ibu dalam memberikan nafkah dan penyediaan pakaian,
karena mengandalkan kasih sayang ibu kepada anaknya. Dan juga seorang ayah
menderita karena ibu menuntut sesuatu diatas kemampuan sang ayah, dengan dalih
anak yang disusukannya.
perkembangan jiwa dengan baik. Bahkan jaminan
terebut harus tetap diperolehnya walau ayahnya telah meninggal dunia, karena
para waris pun berkewjiban demikian, yakni berkewajiban memenuhi kebutuhan ibu
sang anak agar ia dapat melaksanakan penyusuan dan peeliharaan anak itu, dengan
baik. Adapun yang dimaksud dengan para waris adalah yang mewarisi sang ayah,
yakni anak yang disusukan. Dalam arti, hak yang diwariskan kepada anaknya dari
ayahnya yang meninggal digunakan antara lain untuk biaya penyusuan bahkan makan
dan minum ibu yang menyusuinya. Ada juga yang berpendapat, bahwa yang dimaksud
dengan para waris adalah para ibu yang menyusui itu. Betapapun ayat ini
memberikan jaminan hukum untuk kelangsungan hidup dan pemelihara sang anak.
Apabila keduanya, yakni ayah dan ibu anak itu,
ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya, bukan akibat paksaan
dari siapapun, dan dengan permusyawaratan, yakni dengan mendiskusikan serta
mengambil keputusan yang terbaik, maka tidak ada dosa atas keduanya untuk mengurangi
masa penyusuan dua tahun itu.
Dari sini bisa dipahami ada tingkat penyusuan;
pertma tingkat sempurna, yaitu dua tahun atau atau tiga puluh bulan kurang masa
kandungan; kedua, masa cukup, yaitu yang kurang dari tingkat masa yang
sempurna; dan tingkat yang ketiga, masa yang tidak cukup kalau engga berkata
kurang, dan ini dapat mengakibatkan dosa, yaitu enggan menyusui anaknya. Karena
itu, bagi yang tidak mencapai tingkat cukup, baik dengan alasan yang dapat
dibenarkan, misalnya karena sakit, maupun alasan yang dapat menimbulkan
kecaman, misalnya karena ibu meminta bayaran yang tidak wajar, maka ayah harus
mencari seseorang yang dapat menyusui seorang anaknya.
Inilah yang dipesankan oleh lanjutan ayat yang
diatas, dengan pesannya, jika kamu, wahai para ayah, ingin anak kamu disusukan
oleh wanita lain, dan ibunya tidak bersedia menyusuinya, maka tidak ada dosa
bagi kamu apabila kamu memberikan pembayaran kepada wanita lain itu berupa upah
atau hadiah menerut yang patut.
Penafsiran dari ibnu katsir mengenai ayat
al-baqarah ayat 233
Ini adalah
bimbingan dari Allah Ta’ala bagi para ibu supaya mereka menyusui anak-anaknya
dengan sempuma, yaitu dua tahun penuh. Dan setelah itu tidak ada lagi
penyusuan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: liman araada ay yutimmar
radlaa-‘ata (“Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”) Kebanyakan para imam berpendapat bahwa tidak diharamkan
penyusuan yang kurang dari dua tahun. Jadi, apabila ada bayi yang berusia lebih
dari dua tahun masih menyusui, maka yang demikian itu tidak diharamkan.
Hal itu
diperkuat dengan apa yang diriwayatkan ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas,
Rasulullah saw. bersabda: “Tidak menjadikan mahram karena penyusuan, kecuali
yang dilakukan kurang dari dua tahun.”
Kemudian ad-Daruquthni
mengatakan: “Hadits tersebut tidak disandarkan pada Ibnu Uyainah kecuali oleh
al-Haitsam bin Jamil, dan ia adalah seorang yang dapat dipercaya dan seorang
hafizh.”
Berkenaan
dengan hal ini, penulis (Ibnu Katsir) katakan: “Hadits ini terdapat dalam kitab
al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid, dari Ibnu Abbas,
secara marfu’. Juga diriwayatkan oleh ad-Darawardi dari Tsaur, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas, dan ia menambahkan: “Dan penyusuan setelah dua tahun itu tidak
mempunyai pengaruh apa pun.”
Makna yang terkandung dalam
hadits ini menjadi lebih sempurna dengan adanya firman Allah yang artinya: “Dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku. “(QS. Luqman: 14). Dia
juga berfirman yang artinya: “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga
puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaaf: 15).
Pendapat
yang menyatakan bahwa penyusuan setelah dua tahun tidak menjadikan mahram
diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Jabir, Abu
Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa’id Musayyab, Atha’ dan jumhur ulama. Ini juga merupakan pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq,
ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan,
“Yaitu dua tahun enarn bulan.”
Imam Malik
berpendapat, jika seorang bayi disapih kurang dari dua tahun, lalu ada wanita
lain menyusuinya, maka yang demikian itu tidak menjadikan mahram, karena
penyusuan itu berkedudukan sama dengan makanan. Hal ini diriwayatkan dari
al-Auza’i. Dan diriwayatkan pula dari Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi
Thalib, keduanya mengatakan: “Tidak ada penyusuan setelah penyapihan.”
Kemungkinan yang dimaksudkan oleh keduanya adalah setelah dua tahun. Hal itu
sama seperti pendapat jumhur ulama, baik bagi anak yang disapih ataupun tidak. Dan mungkin yang dimaksud oleh Umar bin Khaththab dan Ali bin
Abi Thalib radiallahu anhuma adalah pe-buatannya, seperti yang menjadi pendapat
Imam Malik. Wallahu aalam
Dalam kitab Shahihain (al-Bukhari
dan Muslim) juga telah diriwayatkan sebuah hadits, dari Aisyah radiallahu’anha,
ia berpendapat bahwasanya penyusuan anak yang sudah besar berpengaruh dalam
kemahraman. Yang demikian itu juga merupakan pendapat Atha’ bin Abi Ribah,
al-Laits Dan Aisyah radiallahu’anha memerintahkan beberapa wanita untuk
menyusui laki-laki. Dalam hal itu Aisyah berlandaskan pada hadits Salim, budak
Abu Hudzaifah, di mana Rasulullah memerintahkan isteri Abu Hudzaifah untuk
menyusui Salim, padahal ia sudah besar. Salim masuk rumah istri Abu Hudzaifah
untuk menetek. Namun para istri Nabi menolak hal itu, dan mereka berpendapat
bahwa hal itu termasuk pengecualian. Yang demikian itu merupakan pendapat
jumhur ulama. Dan yang menjadi landasan jumhur ulama, yaitu empat imam madzhab,
tujuh orang ahli fiqih, para sahabat utama dan seluruh istri Rasulullah kecuali
Aisyah radiallahu anHaa, adalah hadits yang telah ditegaskan dalam kitab
Shahihain, dari Aisyah radiallahu’anha, bahwa Rasulullah bersabda:
“Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita) saudara-saudara kalian itu!
Sesungguhnya penyusuan itu karena kelaparan (pada masa bayi).” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim).
Mengenai
masalah penyusuan dan hal-hal yang berkenaan dengan penyusuan orang besar akan
diuraikan lebih lanjut pada pembahasan surat an-Nisaa’ yang berbunyi: wa
ummaHaatukumul latii ardla’nakum (“Dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian.”) (QS.
An-Nisaa: 23)
Dan firman
Allah: wa ‘alal mauluudi laHuu rizquHunna wa kiswatuHunna bilma’ruufi (“Dan
ke-wajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara yang
ma’ruf.”) Maksudnya, seorang bapak berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian
kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang ma’ruf, yaitu yang sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negeri mereka masing-masing dengan tidak
berlebih-lebihan atau juga terlampau kurang, sesuai dengan kemampuan dan
kemudahan yang dimiliki oleh bapak si bayi.
Sebagai-mana firman Allah swt.
yang artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekedar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaaq: 7).
Adh-Dhahhak
mengatakan: “Jika seseorang menceraikan isterinya, dan ia memperoleh anak dari
isterinya tersebut, lalu mantan isterinya itu menyusui anaknya, maka sebagai
bapak ia berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada mantan isterinya
tersebut dengan cara yang ma’ruf.”
Dan firman-Nya lebih lanjut: laa
tudlaarra waalidatum biwaladiHaa (“Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya.”) Yaitu si ibu memberikan anaknya kepada bapaknya dengan maksud
untuk menyusahkan bapaknya dalam mengasuhnya. Tetapi si ibu tadi tidak boleh
menyerahkan bayinya itu ketika baru melahirkannya hingga ia menyusuinya karena
seringkali bayi yang tidak dapat bertahan hidup bila tidak menyusunya. Kemudian
setelah masa penyusuan itu, ia boleh menyerahkan bayi tersebut, jika ia
menghendaki. Tetapi jika hal itu menyusahkan bapaknya, maka ia tidak boleh
menyerahkan bayi itu kepadanya, sebagaimana si bapak tidak boleh merebut bayi
tersebut dari ibunya dengan tujuan untuk membuatnya sengsara. Oleh karena itu,
Allah berfirman: wa laa mauluudul laHuu biwaladiHi (“Dan jangan pula seorang
ayah [menderita ke-sengsaraan] karena anaknya.”) Yakni si bapak berkeinginan
untuk merebut anaknya dari istrinya dengan tujuan untuk menyakitinya.
Demikianlah
yang dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, adh-Dahhak, az-Zuhri, as-Suddi,
ats-Tsauri, serta Ibnu Zaid, dan yang lainnya.
Firman Allah Ta’ala berikutnya:
wa ‘alal waaritsi mitslu dzaalika (“Dan waris pun berkewajiban demikian.”) Ada
yang mengatakan, tidak boleh menimpakan mudlarat kepada kerabatnya. Demikian
dikatakan oleh Mujahid, asy-Sya’bi dan adh-Dhahhak. Ada juga yang mengatakan,
kepada ahli waris diwajibkan pula seperti yang diwajibkan kepada bapak anak
itu. Yaitu memberi nafkah kepada ibu si bayi serta memenuhi semua hak-haknya
serta tidak mencelakakannya. Demikan pendapat jumhur ulama. Yang demikian itu
telah dibahas panjang lebar oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Ayat itu juga
dijadikan dalil oleh para pengikut madzhab Hanafi dan Hambali yang mewajibkan
pemberian nafkah kepada kaum kerabat, sebagian atas sebagian yang lain. Dan
pendapat ini juga diriwayatkan, dari Umar bin Khaththab dan jumhur ulama salaf.
Dan disebutkan pula bahwa
penyusuan setelah dua tahun mungkinkan membahayakan si anak, baik terhadap
badan maupun otaknya.
Dan
firman-Nya selanjutnya: fa in araadaaa fishaalan ‘an taraadlim minHumaa wa
tasyaawurin falaa junaaha ‘alaiHimaa (“Apabila keduanya ingin meyapih [sebelum
dua tahun] dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa
bagi keduanya.”) Maksudnya, jika kedua orang tua itu, baik bapak maupun ibu
telah sepakat untuk menyapihnya sebelum masa dua tahun dan keduanya melihat adanya
kebaikan dalam hal itu bagi si bayi lalu keduanya bermusyawarah dan mengambil
kesepakatan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Tetapi keputusan itu tidak
cukup jika hanya berasal salah satu pihak saja (bapak ataupun ibu), dan salah
satu pihak tidak boleh memaksakan hal itu tanpa adanya musyawarah dengan pihak
lainnya. Demikian dikatakan oleh
ats-Tsauri dan ulama lainnya.
Dan
firman-Nya: wa in aradtum an tastardli-‘uu aulaadakum falaa junaaha ‘alaikum
idzaa sallamtum maa aataitum bil ma’ruuf (“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan
oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran
menurut apa yang patut.”) Maksudnya bapak dan ibu si bayi itu telah sepakat
untuk menyusukan anaknya kepada orang lain karena suatu alasan, baik dari pihak
si bapak maupun si ibu, maka tidak ada dosa bagi keduanya atas penyerahan bayi
mereka. Dan bukan suatu kewajiban bagi pihak bapak untuk memenuhi permintan
penyerahan itu (untuk disusui wanita lain) apabila ia telah menyerahkan upahnya
yang terdahulu dengan cara yang paling baik, lalu si bayi disusukan wanita
dengan upah tersebut dengan cara yang ma’ruf. Demikian yang dikatakan oleh banyak ulama.
Dan firman Allah: wattaqullaaHa
(“Bertakwalah kepada Allah,”) dalam segala hal dan keadaan kalian. Wa’lamuu annallaaHa
bimaa ta’maluuna bashiir (“Dan ketahuilah bahwa Allah Mahamelihat apa yang kamu
kerjakan.”) Artinya, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya, baik yang
berupa keadaan maupun ucapan kalian.
Refleksi surat al-baqarah ayat 233 :
Berikut
ini adalah beberapa tambahan pelajaran yang dapat diambil dari surat Al-Baqarah
ayat: 233, tentang hak menyusu bagi seorang anak, yang belum disebutkan dalam
edisi yang lalu.
Diantara pelajaran-pelajaran yang
dapat diambil adalah :
·
Wajib atas ahli waris memberikan
nafkah kepada anak yang ditinggalkannya (jika ayah dari anak tersebut telah
meninggal dunia, pen.), sebagaimana ayat, { وَعَلَى
الْوَارِثِ مِثْلُ ذلِكَ } “Dan
warispun (ahli waris) berkewajiban demikian” ; demikian pula
bahwa kewajiban memberi nafkah kepada yang menyusui agar anaknya dapat menyusu
merupakan dalil atas wajibnya memberikan nafkah terhadap anak yang menyusu itu
sendiri.
·
Bahwa dibolehkan bagi seorang ibu
untuk menyapeh anaknya sebelum sempurna dua tahun masa susuan, akan tetapi
dengan syarat saling ridha dan musyawarah antara kedua orangtua anak tersebut
demi kemashlahatan anak dan mereka berdua. Sebagaimana ayat, { فَإِنْ أَرَادَا } “Apabila
keduanya ingin”, yaitu, kedua orang tua, { فِصَالاً } “menyapih”,
maksudnya, berhenti menyusui bayi tersebut sebelum dua tahun, { عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا } “dengan
kerelaan keduanya”, di mana keduanya ridha, { وَتَشَاوُرٍ } “dan
permusyawaratan”, antara mereka berdua apakah hal itu merupakan
kemaslahatan bayi ataukah tidak? Apabila ada maslahat (untuk si bayi) dan
mereka berdua rela, { فَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا } “maka
tidak ada dosa atas keduanya”, untuk penyapihannya kurang dari dua
tahun.
·
Inayah Allah Ta’ala kepada
bayi-bayi yang masih dalam masa menyusu; karena tidaklah dibolehkan menyapih
mereka sebelum dua tahun penuh kecuali setelah adanya saling ridha antara kedua
orangtuanya (antara ibu yang melahirkan dan ayah yang menanamkan benih), dan
saling bermusyawarah.
·
Bahwa hal itu tidaklah cukup
hanya dengan saling ridha antara kedua pasangan yang menyebabkan kelahirannya
saja, bahkan haruslah hal itu setelah terjadi musyawarah, dan mengulang,
melihat dan memperhatikan serta menimbang kembali dalam masalah itu sehingga
apabila benar-benar didalam penyapihan tersebut terdapat mashlahat bagi sang
bayi tersebut, maka hal itu baru dibolehkan.
·
Bolehnya seseorang untuk meminta
orang lain (para ibu yang biasa menyusui, atau seorang wanita yang bukan ibu
dari anaknya, pen) untuk menyusui anaknya, sebagaimana ayat, “jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu …“. Dan apabila ibu kandungnya meminta untuk menyusuinya
sendiri, lalu suaminya atau ayah dari anak tersebut berkata, ‘Susukanlah anak
itu kepada selain ibunya’, maka ayahnya tersebut dipaksa untuk menyepakati
keinginan ibu anaknya untuk menyusui. Berdasarkan firman Allah, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya…”; Allah
ta’ala memulai ayat tersebut dengan ‘Para Ibu…’; karena seorang ibu
lebih sayang (kepada anaknya) , dan air susunya lebih baik dan
lezat bagi anaknya, demikian pula bahwa hal itu lebih menumbuhkan kasih sayang
antara seorang ibu dan anaknya.
·
Apabila dikatakan, bagaimana
apabila ibu tersebut meminta upah dari menyusui kepada ayah anak yang disusui
(bekas suaminya) lebih dari yang lainnya, apakah wajib untuk memenuhinya?, maka
dijawab, ‘Jika lebihnya atau tambahannya hanya sedikit, maka wajib untuk
memenuhinya, dan jika banyak maka tidak wajib untuk memenuhinya’.
·
Apabila ditanyakan, apakah boleh
bagi seorang ibu meminta upah (persusuanya) sedangkan ia masih dalam ikatan
penikahan dan tinggal bersama suaminya (ayah dari anak yang disusuinya)?, maka
dijawab, ‘bahwa dalam masalah ini ada dua pendapat dikalangan para ulama; dan
yang rajih (kuat) adalah bahwa tidak dibolehkan baginya meminta upah (persusuannya),
karena telah tercukupi dengan nafkah suami kepadanya dengan sebab (ikatan
pernikahan).
·
Wajib atas seorang ayah (yang
menyusukan anaknya kepada orang lain) memyerahkan upah (persusuan) dengan
ma’ruf atau yang sepatutnya, yaitu tanpa menunda-nunda, dan mengurangi.
Sebagaimana ayat, “apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut”.
·
Bahwa tidaklah wajib bagi seorang
yang mempekerjakan (seperti orang yang meminta agar anaknya disusui, pen.)
kecuali apa yang telah menjadi kesepakatan dalam aqad pekerjaannya, sesuai ayat
tersebut diatas. Maka apabila orang yang dipekerjakan meminta kepadanya untuk
menambah dari upah yang telah disepakati maka tidak wajib baginya untuk
memenuhinya; walaupun kebutuhan bertambah.
·
Kewajiban bertaqwa kepada Allah
Ta’ala sebagaiman perintah dalam ayat diatas.
·
Wajib beriman dengan nama-nama
Allah dan apa-apa yag terkandung didalam nama-nama tersebut berupa sifat-sifat
yang mulia. Sebagaimana ayat, “dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
No comments:
Post a Comment