Thursday, March 17, 2016



HENTI NURHAYATI
1414231043/ PS 2/ Smt 4
Tafsir Ayat Ekonomi

AYAT EKONOMI TENTANG RIBA
(Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 278)
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ  
A.    Terjemahan
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman..
B.     Ayat Penguat
QS. Al-Baqarah ayat 278 di perkuat dengan QS. Al-Baqarah ayat 279, karena ayat 278 di perjelas oleh ayat 279 dan kedua ayat tersebut adanya keterkaitan.
bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ
öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ  
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.


C.    Asbabun Nuzul
Ibnu Abbas Berkata, “Suatu ketika, Bani Mughirah mengadu kepada Gubernur Mekkah, Arab bin Usaid bahwa mereka mengutangkan harta kepada Bani Amr bin Auf dari penduduk Tsaqif. Kemudian, Bani Amr bin Auf meminta penyelesaian tagihan riba mereka. Atas konflik ini, Atas mengirim surat laporan kepada Rasulullah. Sebagai jawaban, turunlah kedua ayat ini.”(H.R Abu Ya’la dan Ibnu Mandah).
Menurut penjelasan lainnya :
Riba adalah kebiasaan yang telah membudaya di kalangan masyarakat Arab jauh sebelum larangan tentang ini berlaku. Budaya ini jelas tidak akan bisa langsung bisa hilang dikalangan masyarakat arab saat itu. Allah swt dalam pengharaman riba di dalam al-qur’an dilakukan dengan bertahap. Tahap demi tahap dalam pengharaman ini menuju kepada keadaan masyarakat saat itu yang memang telah terbiasa melakukan muamalah ribawiyah atau transaksi dengan dasar riba untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda.
Riwayat dari ibnu abbas mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Bani Amru bin Umair bin Auf bin tsaqif. Adalah Bani Mughirah bin Makhzum mengambil riba dari Bani Amru bin Umair bin auf bin tsaqif, selanjutnya mereka melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah saw dan beliau melarang mereka melalui ayat ini untuk mengambil riba. Berkata ‘Atho dan Ikrimah bahwasanya ayat ini diturunkan kepada Abbas bin Abdul Muthalib dan Utsman bin Affan. Adalah Rasulullah melarang keduanya mengambil riba dari korma yang dipinjamkan dan Allah swt menurunkan ayat ini kepada mereka, setelah mereka mendengar ayat ini mereka mengambil ribanya.
Berkata Sadi : Ayat ini diturunkan kepada Abbas dan Khalid bin Walid. Mereka melakukan kerjasama pada masa Jahiliyah. Mereka meminjamkan uang kepada orang-orang dari Bani Tsaqif. Ketika Islam datang mereka memiliki harta berlimpah yang berasal dari usaha riba, maka Allah menurunkan ayat :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ 
Maka nabi saw bersabda : “ketahuilah setiap riba dari riba jahiliyah telah dihapuskan dan riba pertama yang saya hapus adalah riba Abbas bin Abdul muthalib”. 

D.    Tafsir
1.      Tafsir Fi Zhalali
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (278-279).
Ayat diatas mengaitkan keimanan orang mukmin dengan meninggalkan perbuatan riba. Mereka hanya dianggap beriman bila bertakwa kepada Allah dan menjauhi sisa riba. Tanpa bertakwa kepada  Allah dan menjauhi sisa riba, mereka tidak dianggap beriman, walaupun mereka mengaku beriman. Keimanan tidak ada artinya tanpa tunduk dan patuh kepada perintah Allah. Teks Al-qur’an mengungkapkan dengan tegas masalah ini, dan tidak membiarkan seseorang bersembunyi di balik kelimat iman, sedangkan ia tidak tidak patuh dan tidak taat kepada perintah Allah.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
Islam menyerahkan persoalan mereka yang melakukan transaksi riba di masalalu kepada Allah, tidak menuntut dikembalikannya harta hasil riba, dan tidak pula ingin menyita semua atau sebagian kekayaan mereka , mengingat di dalamnya terdapat harta hasil riba. Sebab, tidak ada larangan tanpa adanya peraturan. Setelah peraturan diterapkan, baru ada dampaknya. Adapun hal-hal yang terjadi dimasa lalu sebelum ada peraturan, maka persoalannya diserahkan kepada peraturan perundang yang ada.
“Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimi.”
Setelah ayat tersebut diturunkan, Rasulullah SAW menyuruh penguasa Mekah untuk memerangi keluarga Al-mughirah, bila mereka tidak mau berhenti melakukan praktik ribawi. Rasulullah SAW dalam pidatonya saat menaklukan Mekah untuk membebaskan mereka yang berhutang di zaman Jahiliyah dengan cara riba, dengan seua bentuknya,  penghutang sampai ke era Islam dalam waktu yang cukup lama.
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Taubat dari kessalahan Jahiliyah yang tidak terkait dengan waktu dan situasi. Suatu keadaan yang substansinya adalah penyimpangan dari syariat adalah, kapan dan dimanapun. Suatu kesalahan umah dapat merusak jiwa, moral dan pandangan seseorang terhadap kehidupan.
2.      Tafsir Ibnu Katsir
Allah berfirman seraya memerintahkan hamba-hamba -Nya yang beriman untuk bertakwa kepada- Nya sekaligus melarang mereka mengerjakan hal-hal yang dapat mendekatkan kepada kemurkaan-Nya dan menjauhkan dari keridhaan –Nya, Dimana Dia berfirman “ ya ayyuHal Ladziina aamanut taqullaaHa (“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah.”) Maksudnya, takutlah kalian kepada- Nya dan berhati-hatilah, karena Dia senantiasa mengawasi segala sesuatu yang kalian perbuat.
 Wa dzaru maa baqiya minar ribaa (“Dan tinggalkan sisa riba [yang dipungut]”) Artinya, tinggalkanlah harta kalian yang merupakan kelebihan dari pokok  yang harus dibayar orang lan, setelah datangnya peringatan ini.
In kuntum mu’minin (“jika kalian orang-orang yang beriman.”) Yaitu, beriman kepada syariat Allah, yang telah ditetapkan kepada kalian, berupa penghalalan jual eli, pengharaman riba, dan lain sebagainya.
Zaid bin Aslam, Ibnu Juraij, Muqatil bin Hayan dan As-Suddi menyebutkan bahwa redaksi ayat ini diturunkan berkenaan dengan Bani ‘Amr bin Umair dan suku Tsaqif, dan Bani Mughirah dari Bani Makhzum. Diantara mereka telah terjadi praktek riba pada masa jahiliyah. Setelah Islam datang dan mereka memeluknya, suku Tsaqif meminta untuk mengambil harta riba itu dari mereka. Kemudian mereka pun bermusyawarah, dan Bani Mughirahpun berkata: “Kami tidak akan melakukan riba dalam Islam dan menggantikannya dengan usaha  yang disyariatkan. Kemudian Utab bin Usaid, Pemimpin Makkah, menulis surat membahas mengenai hal itu dan mengirimkannya kepada Rasulullah SAW. Maka turunlah ayat tersebut. Lalu Rasulullah membalas surat Utab dengan surat yang berisi “yaa ayyuHal ladzina aamanut taqullaaHa Wa dzaruu maa baqiya minar ribaa In kuntum mu’minin fa illam faf’aluu fa’dzanuu biharbim minallaHi wa rasuuliHi (“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba [yang belum dipungut] jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan [meninggalkan sisa riba] maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul -Nya  Akan memerangimu.”)
Maka merekapun mengatakan, “Kami bertaubat kepada Allah Ta’ala dan kami tinggalkan sisa riba yang belum kami pungut.” Dan mereka semua pun akhirnya meninggalkannya.
Ayat ini merupakan peringatan keras dan ancaman yang sangat tegas bagi orang yang masih tetap mempraktekkan riba setelah adanya peringatan tersebut.
Ibnu Juraij menceritakan, Ibnu Abbas mengatakan bahwasanya ayat : fa illam taf’allu fa’dzanuu biharbi, minallaHi wa rasuliHi (“Maka jika kalian tidak mengerjakan [meninggalkan riba], maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul –Nya akan memerangi kalia.”). Maksudnya ialah, yakinlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.
Sedangkan menurut Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah: fa illam taf’aluu fa’adzanuu biharbim minallaaHi rasuuliHi (“Maka jika kalian tidak mengerjakan [meninggalkan riba], maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul -Nya akan memerangi kalian.”) Maksudnya, barangsiapa yang masih tetap melakukan praktek riba dan tidak melepaskan diri darinya, maka wajib atas imam kaum muslimin untuk memintanya bertaubat, jika ia mau melepaskan diri darinya, maka keselamatan baginya, dan jika menolak, maka ia harus dipenggal lehernya.
Setelah itu Allah SWT. Berfirman : wa in tubtum falakum ru-uusu amwaalikum laa tadhlimuuna walaa tudhlimunn (“ Dan jika kalian bertobat [dari pengambilan riba], maka bagi kalian pokok harta kalian. Kalian tidak menganiaya dan tidak [pula] dianiaya.”) Maksudnya, kalian tidak berbuat zhalim dengan mengambil pokok harta itu :  walaa tudhlamuun, (“Dan tidak pula dianiaya.”) Maksudnya, karena pokok harta kalian dikembalikan tanpa tembahan atau pengurangan (yaitu memperoleh kembali pokok harta).
Ibnu Mardawaih meriwayatkan, Imam Asy-Syafi’i memberitahu kami, dari sulaiman bin Amr, dari Ayahnya, ia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya setiap riba dari riba jahliyah itu sudah dihapuskan. Maka bagi kalian pokok harta [modal] kalian. Kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.
Dia berfirman : wa in kaana dzuu ‘usratin fanadhiratun ilaa maisaratin wa an tashaddaquu khairul lakum in kuntum ta’lamun (“Dan jika [orang yang berhutang itu] dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berke;apangan. Dan menyedekahkan  [sebagian atau semua utang] itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”)
Allah memerintahkan agar bersabar jika orang yang meminjam dalam kesulitan membayar hutang, yang tidak memperoleh apa yang untuk membayar. Tidak seperti yang terjadi dikalangan orang-orang Jahiliyah. Di mana salah seorang diantara mereka mengatakan kepada peminjam, jika sudah jatuh tempo :”Dibayar atau ditambahkan pada bunganya.”
Selanjutnya  Allah SWT, menganjurkan untuk menghapuskannya saja. Dan Dia menyediakan kebaikan dan pahala yang melimpah atas hal itu. Maka Dia pun berfirman: wa an tashaddaquu khairul lakum in kuntum ta’laum (“Dan menyedekahkan [sebagian atau semua utang] itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.”) Artinya, hendaklah kalian meninggalkan pokok harta (modal) secara keseluruhan dan membebaskannya dari si peminjam.
Dan mengenai hal tersebut telah banyak hadits yang diriwayatkan melalui beberapa jalan yang berbeda-beda dari Nabi Bahwasanya Abu Qatadah pernah mempunyai piutang kepada seseorang, lalu ia mendatanginya untuk menagihnya, namun orang itu bersembunyi darinya. Pada suatu hari ia datang kembali, kemudian keluarlah seorang anak, lalu ia mendatanginya untuk menagihnya, namun orang itu bersembunyi darinya. Pada suatu hari ia datang kembali, kemudian keluarlah seorang anak, lalu Abu Qatadah bertanya kepada anak tersebut mengenai keberadaan orang itu, dan si anak itu menjawab : “ya, ia berada di rumah.” Maka  Abu Qatadah pun memanggilnya seraya berucap :”hai Fulan, keluarkanlah, aku tahu bahwa engkau berada didalam.” Maka orang itu pun keluar menemuinya. Dan Abu Qatadah bertanya : “Apa yang menyebabkan engkau bersembunyi dariku ? “Orang itu menjawab ; “ssungguhnya aku benar-benar dalam kesulitan, dan aku tidak mempunyai sesuatu apa pun.” “Ya Allah, apakah engkau benar-benar dalam kesulitan?”Tanya Abu Qatadah. “Ya” jawabnyaa. Maka Abu Qatadah pun menangis, lalu menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda : “Barang siapa memberi kelonggaran kepada peminjam atau menghapuskannya, maka ia berada dalam naungan ‘Arsy pada hari kiamat kelak.” (HR.Muslim)
Selanjutnya Allah menasehati dan mengingatkan hamba-hamba-Nya akan kefanaan dunia dan musnahnya semua harta kekayaan dan segala yang ada dimuka bumi. Untuk kemudian datang alam akhirat dan semua makhluk kembali kepada-Nya, dan Allah Ta’ala menghisab semua yang pernah mereka lakukan, serta memberikan pahala sesuai dengan perbuatan mereka, yang baik maupun yang buruk. Dan Allah swt mengingatkan mereka akan siksaan-Nya, dengan berfirman: wattaqu yauman turja’uuna fiiHi ilallaaHi Tsumma tuwaffaa kullu nafsim maa kasabat wa Hum laa Yushlamuun (“Dan peliharalah dirimu dari [adzab yang terjadi pada] hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).”
Ada yang meriwayatkan bahwa ayat ini merupakan ayat al-Qur’an yang terakhir turun. Ibnu Lahi’ah  meriwayatkan dari Atha’ bin Dinar, dari Sa’id bin Jubair, ia mengatakan, ayat al-qur’an yang terakhir turun adalah firman Allah swt : wattaquu yauman turja’uuna fiiHi ilallaaHi tsumma tuwaffaa kullu nafsim maa kasabat  wa Hum’ laa yudhlamuun (“Dan peliharalah dirimu dari [adzab yang terjadi pada] hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).”
Dan Rasulullah masih sempat hidup selama Sembilan hari setelah turunnya ayat ini, kemudian beliau meninggal dunia pada hari senin tanggal 2 bulan Rabiul Awwal. Demikian diriwayatkan Ibnu Abi Hatim.

E.       Pandangan Fiqih Muamalah
1.      Pengertian Riba
Secara bahasa, riba mempunyai arti sebagai ziyadah/tambahan. Sementara itu, menurut istilah hukum Islam riba juga berarti sebagai tambahan baik yang berupa tunai, benda maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh pembayaran pinjaman tersebut.
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengembilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Hukum pengharaman riba oleh Allah swt yang tercantum dalam ayat-ayat al-Qur’an yang ia turunkan. Riba berarti sebagai tambahan baik berupa tunai, benda maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain sejumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh pembayaran pinjaman tersebut.

2.      Pembagian Riba.
Riba dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya adalah:
a.       Riba Nasiah
Menurut Satria Efendi, riba tersebut adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal yang disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam  kepada yang meminjam tanpa resiko sebagai imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada peminjam.
Uraian diatas memberikan kejelasan bahwa riba nasiah mengandung tiga unsur :
1)      Adanya tambahan pembayaran atau modal yang dipinjaman.
2)      Tambahan itu tanpa resiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si peminjam.
3)      Tambahan itu di syaratkan dalam pemberian piutang dan tenggang waktu.
Untuk membedakan mana tambahan yang termasuk riba atau tambahan yang terpuji. Para fuqaha menjelaskan, tambahan pembayaran utang yang termasuk riba jika hal itu disyaratkan pada waktu akad. Adapun tambahan yang terpuji itu tidak dijanjikan pada waktu akad.
b.      Riba Fadhl.
Menurut Ibnu Qayyum, riba fadhl adalah riba yang kedudukannya sebagai penunjang diharamkannya riba nasiah. Dengan Kata lain riba ini diharamkan agar seseorang tidak melakukan riba nasiah yang terlebih dahulu jelas keharamannya.
Maka Rasulullah melarang menjual emas dengan emas, perak dengan pera, gandum dengan gandum, kecuali dengan takaran yang sama banyak dan secara tunai.
“ Barang siapa yang menambahkan atau minta tambah, msuklah ia pada riba. Yang mengambil dan yang memberi sama hukumnya (HR. Bukhari)
Dari pengertian di atas, para fuqaha menyimpulkan bahwa riba fadhal ialah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara benda-benda sejenis, seperti emaas, perak, gandum dan kurma.
3.      Hikmah Keharaman Riba
Menurut Yusuf Qardhawi, para ulama telah menyebutkan panjang lebar hikmah diharamkannya riba secara rasional, antara lain :
a.       Riba berarti mengambil harta orang lain tanpa hak.
b.      Riba dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja, sehingga manusia melalaikan perdagangannya. Hal ini akan memutuskan kreativitas hidup manusia di dunia. Hidupnya tergantung kepada riba yang diperolehnya tanpa usaha. Hal ini merusak tatanan ekonomi.
c.       Riba menghilangkan kebaikan dan keadilan dalam utang piutang. Keharaman  riba membuat jiwa manusia menjadi suci dari lintah darat. Hal ini mengandung pesan moral yang sangat tinggi.
d.      Biasanya orang yang memberi utang adalah orang kaya dan orang yang berutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan utang dari orang miskin sangat bertentangan dengan sifat rahman Allah swt. Hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan social.
Adapun Sayyid Sabiq berpendapat, diharamkannya riba karena di dalamnya terdapat empat unsure yang merusak :
a.       Menimbulkan permusuhan dan menghilangkan semangat tolong-menolong. Semua agama terutama Islam sangat menyeru tolong menolong dan membenci orang yang mengutamakan kepentingan pribadi dan egois serta orang yang mengeksploitasi kerja orang lain.
b.      Riba akan melahirkan mental pemboros yang tidak mau kerja, menimbulkan penimbulan harta tanpa usaha tak ubahnya seperti benaly (pohon parasit) yang menempel dipohon lain. Islam menghargai kerja keras dan menghormati orang yang suka bekerja dan menjadikan kerja sebagai saran mata pencaharian, menuntun orang kepada keahlian dan akan mengangkat semangat seseorang.
c.       Riba merupakan salah satu cara menjajah.
d.      Islam menghimbau agar manusia memberikan pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik untuk mendapat pahala bukan mengeksploitasi orang lemah.   
 Menurut Imam Ar-Razi dalam tafsirnya, Hikmah diharamkannya Riba yaitu :
a.       Riba Adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang  1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan satandard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadits Nabi : “bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya.” (Abu Nua’irn dalam Hilyah). Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
b.      Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Iran satu hal yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan, dan pembangunan. (Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini psti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
c.       Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma’ruf)antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi Kalau Riba itu dihalalkan, maka sudah psti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik).
d.      Pada umumnya pemberi hutang adalah orang yang kaya, sedangkan peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi social).
Ini semua dapat diartikan, bahwa ribba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat 9exploitasion de I’home par I’hom) dengan suatu kesimpulan : yang kaya bertambah kaya, sedangkan yang miskin tetaplah miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki, dan akan berakibat berkobarnya api terpentangan diantara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi. Sejarahpun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba terhadap politik, hukum dan keamanan nasional dan internasional.





Daftar Pustaka :
Ibid. Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Abdul Rahman Ghazaly, Gufron Ihsan, Saipudin Shidiq. Fiqh Muamalah. (Jakarta, Kencana : 2010)
Dr. Yusuf Qardhawi, Al-Halal wa al Haram (Beirut : Maktabah al- islamy. 1994) cetakan 15.
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Beirut :  Dar al-fikr, 2006) juz iii.
An-Nisabury. Asbab An-Nuzul. (Beirut : Dar al-fiqr).




 






No comments:

Post a Comment