HENTI NURHAYATI
1414231043/ PS 2/ Smt 4
Tafsir Ayat Ekonomi
AYAT
EKONOMI TENTANG RIBA
(Qur’an
Surat Al-Baqarah ayat 278)
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ
A.
Terjemahan
Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman..
B.
Ayat
Penguat
QS.
Al-Baqarah ayat 278 di perkuat dengan QS. Al-Baqarah ayat 279, karena ayat 278
di perjelas oleh ayat 279 dan kedua ayat tersebut adanya keterkaitan.
bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ
öNà6Ï9ºuqøBr& w cqßJÎ=ôàs? wur cqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ
Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
C.
Asbabun
Nuzul
Ibnu Abbas Berkata, “Suatu ketika, Bani Mughirah mengadu kepada
Gubernur Mekkah, Arab bin Usaid bahwa mereka mengutangkan harta kepada Bani Amr
bin Auf dari penduduk Tsaqif. Kemudian, Bani Amr bin Auf meminta penyelesaian
tagihan riba mereka. Atas konflik ini, Atas mengirim surat laporan kepada
Rasulullah. Sebagai jawaban, turunlah kedua ayat ini.”(H.R Abu Ya’la dan
Ibnu Mandah).
Menurut penjelasan lainnya :
Riba adalah kebiasaan yang telah
membudaya di kalangan masyarakat Arab jauh sebelum larangan tentang ini
berlaku. Budaya ini jelas tidak akan bisa langsung bisa hilang dikalangan
masyarakat arab saat itu. Allah swt dalam pengharaman riba di dalam al-qur’an
dilakukan dengan bertahap. Tahap demi tahap dalam pengharaman ini menuju kepada
keadaan masyarakat saat itu yang memang telah terbiasa melakukan muamalah
ribawiyah atau transaksi dengan dasar riba untuk mendapatkan keuntungan
berlipat ganda.
Riwayat dari ibnu abbas mengatakan bahwa
ayat ini turun kepada Bani Amru bin Umair bin Auf bin tsaqif. Adalah Bani
Mughirah bin Makhzum mengambil riba dari Bani Amru bin Umair bin auf bin
tsaqif, selanjutnya mereka melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah saw dan
beliau melarang mereka melalui ayat ini untuk mengambil riba. Berkata ‘Atho dan
Ikrimah bahwasanya ayat ini diturunkan kepada Abbas bin Abdul Muthalib dan
Utsman bin Affan. Adalah Rasulullah melarang keduanya mengambil riba dari korma
yang dipinjamkan dan Allah swt menurunkan ayat ini kepada mereka, setelah
mereka mendengar ayat ini mereka mengambil ribanya.
Berkata Sadi : Ayat ini diturunkan
kepada Abbas dan Khalid bin Walid. Mereka melakukan kerjasama pada masa
Jahiliyah. Mereka meminjamkan uang kepada orang-orang dari Bani Tsaqif. Ketika
Islam datang mereka memiliki harta berlimpah yang berasal dari usaha riba, maka
Allah menurunkan ayat :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ
Maka nabi saw bersabda : “ketahuilah
setiap riba dari riba jahiliyah telah dihapuskan dan riba pertama yang saya
hapus adalah riba Abbas bin Abdul muthalib”.
D.
Tafsir
1.
Tafsir
Fi Zhalali
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman.. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (278-279).
Ayat
diatas mengaitkan keimanan orang mukmin dengan meninggalkan perbuatan riba.
Mereka hanya dianggap beriman bila bertakwa kepada Allah dan menjauhi sisa
riba. Tanpa bertakwa kepada Allah dan
menjauhi sisa riba, mereka tidak dianggap beriman, walaupun mereka mengaku
beriman. Keimanan tidak ada artinya tanpa tunduk dan patuh kepada perintah
Allah. Teks Al-qur’an mengungkapkan dengan tegas masalah ini, dan tidak
membiarkan seseorang bersembunyi di balik kelimat iman, sedangkan ia tidak
tidak patuh dan tidak taat kepada perintah Allah.
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
Islam menyerahkan persoalan mereka
yang melakukan transaksi riba di masalalu
kepada Allah, tidak menuntut dikembalikannya harta hasil riba, dan tidak
pula ingin menyita semua atau sebagian kekayaan mereka , mengingat di dalamnya
terdapat harta hasil riba. Sebab, tidak ada larangan tanpa adanya peraturan. Setelah
peraturan diterapkan, baru ada dampaknya. Adapun hal-hal yang terjadi dimasa
lalu sebelum ada peraturan, maka persoalannya diserahkan kepada peraturan
perundang yang ada.
“Jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimi.”
Setelah ayat tersebut diturunkan,
Rasulullah SAW menyuruh penguasa Mekah untuk memerangi keluarga Al-mughirah,
bila mereka tidak mau berhenti melakukan praktik ribawi. Rasulullah SAW dalam
pidatonya saat menaklukan Mekah untuk membebaskan mereka yang berhutang di
zaman Jahiliyah dengan cara riba, dengan seua bentuknya, penghutang sampai ke era Islam dalam waktu
yang cukup lama.
“ Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Taubat dari kessalahan Jahiliyah
yang tidak terkait dengan waktu dan situasi. Suatu keadaan yang substansinya
adalah penyimpangan dari syariat adalah, kapan dan dimanapun. Suatu kesalahan
umah dapat merusak jiwa, moral dan pandangan seseorang terhadap kehidupan.
2.
Tafsir
Ibnu Katsir
Allah
berfirman seraya memerintahkan hamba-hamba -Nya yang beriman untuk bertakwa
kepada- Nya sekaligus melarang mereka mengerjakan hal-hal yang dapat
mendekatkan kepada kemurkaan-Nya dan menjauhkan dari keridhaan –Nya, Dimana Dia
berfirman “ ya ayyuHal Ladziina aamanut
taqullaaHa (“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah.”)
Maksudnya, takutlah kalian kepada- Nya dan berhati-hatilah, karena Dia
senantiasa mengawasi segala sesuatu yang kalian perbuat.
Wa dzaru
maa baqiya minar ribaa (“Dan tinggalkan sisa riba [yang dipungut]”)
Artinya, tinggalkanlah harta kalian yang merupakan kelebihan dari pokok yang harus dibayar orang lan, setelah
datangnya peringatan ini.
In kuntum mu’minin
(“jika kalian orang-orang yang beriman.”) Yaitu, beriman kepada syariat Allah, yang
telah ditetapkan kepada kalian, berupa penghalalan jual eli, pengharaman riba,
dan lain sebagainya.
Zaid
bin Aslam, Ibnu Juraij, Muqatil bin Hayan dan As-Suddi menyebutkan bahwa
redaksi ayat ini diturunkan berkenaan dengan Bani ‘Amr bin Umair dan suku
Tsaqif, dan Bani Mughirah dari Bani Makhzum. Diantara mereka telah terjadi
praktek riba pada masa jahiliyah. Setelah Islam datang dan mereka memeluknya,
suku Tsaqif meminta untuk mengambil harta riba itu dari mereka. Kemudian mereka
pun bermusyawarah, dan Bani Mughirahpun berkata: “Kami tidak akan melakukan
riba dalam Islam dan menggantikannya dengan usaha yang disyariatkan. Kemudian Utab bin Usaid,
Pemimpin Makkah, menulis surat membahas mengenai hal itu dan mengirimkannya kepada
Rasulullah SAW. Maka turunlah ayat tersebut. Lalu Rasulullah membalas surat
Utab dengan surat yang berisi “yaa
ayyuHal ladzina aamanut taqullaaHa Wa dzaruu maa baqiya minar ribaa In kuntum
mu’minin fa illam faf’aluu fa’dzanuu biharbim minallaHi wa rasuuliHi (“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
[yang belum dipungut] jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan [meninggalkan sisa riba] maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul
-Nya Akan memerangimu.”)
Maka
merekapun mengatakan, “Kami bertaubat kepada Allah Ta’ala dan kami tinggalkan
sisa riba yang belum kami pungut.” Dan mereka semua pun akhirnya
meninggalkannya.
Ayat
ini merupakan peringatan keras dan ancaman yang sangat tegas bagi orang yang
masih tetap mempraktekkan riba setelah adanya peringatan tersebut.
Ibnu
Juraij menceritakan, Ibnu Abbas mengatakan bahwasanya ayat : fa illam taf’allu fa’dzanuu biharbi,
minallaHi wa rasuliHi (“Maka jika kalian tidak mengerjakan [meninggalkan
riba], maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul –Nya akan memerangi kalia.”).
Maksudnya ialah, yakinlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.
Sedangkan
menurut Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah: fa illam taf’aluu fa’adzanuu biharbim
minallaaHi rasuuliHi (“Maka jika kalian tidak mengerjakan [meninggalkan
riba], maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul -Nya akan memerangi kalian.”)
Maksudnya, barangsiapa yang masih tetap melakukan praktek riba dan tidak
melepaskan diri darinya, maka wajib atas imam kaum muslimin untuk memintanya
bertaubat, jika ia mau melepaskan diri darinya, maka keselamatan baginya, dan
jika menolak, maka ia harus dipenggal lehernya.
Setelah
itu Allah SWT. Berfirman : wa in tubtum
falakum ru-uusu amwaalikum laa tadhlimuuna walaa tudhlimunn (“ Dan jika
kalian bertobat [dari pengambilan riba], maka bagi kalian pokok harta kalian.
Kalian tidak menganiaya dan tidak [pula] dianiaya.”) Maksudnya, kalian tidak
berbuat zhalim dengan mengambil pokok harta itu : walaa tudhlamuun, (“Dan
tidak pula dianiaya.”) Maksudnya, karena pokok harta kalian dikembalikan tanpa
tembahan atau pengurangan (yaitu memperoleh kembali pokok harta).
Ibnu
Mardawaih meriwayatkan, Imam Asy-Syafi’i memberitahu kami, dari sulaiman bin
Amr, dari Ayahnya, ia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda :
“Ketahuilah, sesungguhnya setiap riba dari riba jahliyah itu sudah dihapuskan.
Maka bagi kalian pokok harta [modal] kalian. Kalian tidak menganiaya dan tidak
pula dianiaya.
Dia
berfirman : wa in kaana dzuu ‘usratin
fanadhiratun ilaa maisaratin wa an tashaddaquu khairul lakum in kuntum ta’lamun
(“Dan jika [orang yang berhutang itu] dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai ia berke;apangan. Dan menyedekahkan
[sebagian atau semua utang] itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”)
Allah
memerintahkan agar bersabar jika orang yang meminjam dalam kesulitan membayar
hutang, yang tidak memperoleh apa yang untuk membayar. Tidak seperti yang
terjadi dikalangan orang-orang Jahiliyah. Di mana salah seorang diantara mereka
mengatakan kepada peminjam, jika sudah jatuh tempo :”Dibayar atau ditambahkan
pada bunganya.”
Selanjutnya Allah SWT, menganjurkan untuk menghapuskannya
saja. Dan Dia menyediakan kebaikan dan pahala yang melimpah atas hal itu. Maka
Dia pun berfirman: wa an tashaddaquu
khairul lakum in kuntum ta’laum (“Dan menyedekahkan [sebagian atau semua
utang] itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.”) Artinya, hendaklah
kalian meninggalkan pokok harta (modal) secara keseluruhan dan membebaskannya
dari si peminjam.
Dan
mengenai hal tersebut telah banyak hadits yang diriwayatkan melalui beberapa
jalan yang berbeda-beda dari Nabi Bahwasanya Abu Qatadah pernah mempunyai
piutang kepada seseorang, lalu ia mendatanginya untuk menagihnya, namun orang
itu bersembunyi darinya. Pada suatu hari ia datang kembali, kemudian keluarlah
seorang anak, lalu ia mendatanginya untuk menagihnya, namun orang itu
bersembunyi darinya. Pada suatu hari ia datang kembali, kemudian keluarlah
seorang anak, lalu Abu Qatadah bertanya kepada anak tersebut mengenai
keberadaan orang itu, dan si anak itu menjawab : “ya, ia berada di rumah.” Maka
Abu Qatadah pun memanggilnya seraya
berucap :”hai Fulan, keluarkanlah, aku
tahu bahwa engkau berada didalam.” Maka orang itu pun keluar menemuinya.
Dan Abu Qatadah bertanya : “Apa yang
menyebabkan engkau bersembunyi dariku ? “Orang itu menjawab ; “ssungguhnya aku
benar-benar dalam kesulitan, dan aku tidak mempunyai sesuatu apa pun.” “Ya
Allah, apakah engkau benar-benar dalam kesulitan?”Tanya Abu Qatadah. “Ya”
jawabnyaa. Maka Abu Qatadah pun menangis, lalu menceritakan, aku pernah
mendengar Rasulullah bersabda : “Barang siapa memberi kelonggaran kepada
peminjam atau menghapuskannya, maka ia berada dalam naungan ‘Arsy pada hari
kiamat kelak.” (HR.Muslim)
Selanjutnya
Allah menasehati dan mengingatkan hamba-hamba-Nya akan kefanaan dunia dan
musnahnya semua harta kekayaan dan segala yang ada dimuka bumi. Untuk kemudian
datang alam akhirat dan semua makhluk kembali kepada-Nya, dan Allah Ta’ala
menghisab semua yang pernah mereka lakukan, serta memberikan pahala sesuai
dengan perbuatan mereka, yang baik maupun yang buruk. Dan Allah swt
mengingatkan mereka akan siksaan-Nya, dengan berfirman: wattaqu yauman turja’uuna fiiHi ilallaaHi Tsumma tuwaffaa kullu nafsim maa
kasabat wa Hum laa Yushlamuun (“Dan peliharalah dirimu dari [adzab yang
terjadi pada] hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.
Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang
telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).”
Ada
yang meriwayatkan bahwa ayat ini merupakan ayat al-Qur’an yang terakhir turun.
Ibnu Lahi’ah meriwayatkan dari Atha’ bin
Dinar, dari Sa’id bin Jubair, ia mengatakan, ayat al-qur’an yang terakhir turun
adalah firman Allah swt : wattaquu yauman
turja’uuna fiiHi ilallaaHi tsumma tuwaffaa kullu nafsim maa kasabat wa Hum’ laa yudhlamuun (“Dan peliharalah
dirimu dari [adzab yang terjadi pada] hari yang pada waktu itu kamu semua
dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang
sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak
dianiaya (dirugikan).”
Dan
Rasulullah masih sempat hidup selama Sembilan hari setelah turunnya ayat ini,
kemudian beliau meninggal dunia pada hari senin tanggal 2 bulan Rabiul Awwal.
Demikian diriwayatkan Ibnu Abi Hatim.
E.
Pandangan Fiqih Muamalah
1.
Pengertian
Riba
Secara
bahasa, riba mempunyai arti sebagai ziyadah/tambahan. Sementara itu, menurut
istilah hukum Islam riba juga berarti sebagai tambahan baik yang berupa tunai,
benda maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah
uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh pembayaran
pinjaman tersebut.
Adapun
menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara
umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengembilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil
atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Hukum
pengharaman riba oleh Allah swt yang tercantum dalam ayat-ayat al-Qur’an yang
ia turunkan. Riba berarti sebagai tambahan baik berupa tunai, benda maupun jasa
yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain sejumlah uang yang
dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh pembayaran pinjaman
tersebut.
2.
Pembagian
Riba.
Riba
dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya adalah:
a. Riba
Nasiah
Menurut
Satria Efendi, riba tersebut adalah tambahan pembayaran atas jumlah modal yang
disyaratkan lebih dahulu yang harus dibayar oleh si peminjam kepada yang meminjam tanpa resiko sebagai
imbalan dari jarak waktu pembayaran yang diberikan kepada peminjam.
Uraian
diatas memberikan kejelasan bahwa riba nasiah mengandung tiga unsur :
1) Adanya
tambahan pembayaran atau modal yang dipinjaman.
2) Tambahan
itu tanpa resiko kecuali sebagai imbalan dari tenggang waktu yang diperoleh si
peminjam.
3) Tambahan
itu di syaratkan dalam pemberian piutang dan tenggang waktu.
Untuk membedakan mana tambahan yang
termasuk riba atau tambahan yang terpuji. Para fuqaha menjelaskan, tambahan
pembayaran utang yang termasuk riba jika hal itu disyaratkan pada waktu akad.
Adapun tambahan yang terpuji itu tidak dijanjikan pada waktu akad.
b. Riba
Fadhl.
Menurut
Ibnu Qayyum, riba fadhl adalah riba yang kedudukannya sebagai penunjang
diharamkannya riba nasiah. Dengan Kata lain riba ini diharamkan agar seseorang
tidak melakukan riba nasiah yang terlebih dahulu jelas keharamannya.
Maka
Rasulullah melarang menjual emas dengan emas, perak dengan pera, gandum dengan
gandum, kecuali dengan takaran yang sama banyak dan secara tunai.
“ Barang siapa yang
menambahkan atau minta tambah, msuklah ia pada riba. Yang mengambil dan yang
memberi sama hukumnya (HR. Bukhari)
Dari pengertian di atas, para
fuqaha menyimpulkan bahwa riba fadhal ialah kelebihan yang terdapat dalam tukar
menukar antara benda-benda sejenis, seperti emaas, perak, gandum dan kurma.
3.
Hikmah
Keharaman Riba
Menurut
Yusuf Qardhawi, para ulama telah menyebutkan panjang lebar hikmah diharamkannya
riba secara rasional, antara lain :
a. Riba
berarti mengambil harta orang lain tanpa hak.
b. Riba
dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja, sehingga
manusia melalaikan perdagangannya. Hal ini akan memutuskan kreativitas hidup
manusia di dunia. Hidupnya tergantung kepada riba yang diperolehnya tanpa
usaha. Hal ini merusak tatanan ekonomi.
c. Riba
menghilangkan kebaikan dan keadilan dalam utang piutang. Keharaman riba membuat jiwa manusia menjadi suci dari
lintah darat. Hal ini mengandung pesan moral yang sangat tinggi.
d. Biasanya
orang yang memberi utang adalah orang kaya dan orang yang berutang adalah orang
miskin. Mengambil kelebihan utang dari orang miskin sangat bertentangan dengan
sifat rahman Allah swt. Hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan social.
Adapun Sayyid Sabiq berpendapat, diharamkannya riba
karena di dalamnya terdapat empat unsure yang merusak :
a. Menimbulkan
permusuhan dan menghilangkan semangat tolong-menolong. Semua agama terutama
Islam sangat menyeru tolong menolong dan membenci orang yang mengutamakan
kepentingan pribadi dan egois serta orang yang mengeksploitasi kerja orang
lain.
b. Riba
akan melahirkan mental pemboros yang tidak mau kerja, menimbulkan penimbulan
harta tanpa usaha tak ubahnya seperti benaly (pohon parasit) yang menempel dipohon
lain. Islam menghargai kerja keras dan menghormati orang yang suka bekerja dan
menjadikan kerja sebagai saran mata pencaharian, menuntun orang kepada keahlian
dan akan mengangkat semangat seseorang.
c. Riba
merupakan salah satu cara menjajah.
d. Islam
menghimbau agar manusia memberikan pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik
untuk mendapat pahala bukan mengeksploitasi orang lemah.
Menurut Imam Ar-Razi dalam tafsirnya, Hikmah
diharamkannya Riba yaitu :
a. Riba
Adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang
meminjamkan uang 1 dirham dengan 2
dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti.
Sedang harta orang lain itu merupakan satandard hidup dan mempunyai kehormatan
yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadits Nabi : “bahwa
kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya.” (Abu Nua’irn dalam
Hilyah). Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti
haramnya.
b. Bergantung
kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si
pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang,
baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari
penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha,
dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan
berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Iran satu hal yang tidak
dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh
jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan, dan pembangunan. (Tidak diragukan
lagi, bahwa hikmah ini psti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
c. Riba
akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma’ruf)antara sesama manusia
dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang
akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham
juga. Tetapi Kalau Riba itu dihalalkan, maka sudah psti kebutuhan orang akan
menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya
mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas kasih dan
kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik).
d. Pada
umumnya pemberi hutang adalah orang yang kaya, sedangkan peminjam adalah orang
yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan
kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai
tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh
rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi social).
Ini semua dapat
diartikan, bahwa ribba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi
kepentingan orang kuat 9exploitasion de I’home par I’hom) dengan suatu
kesimpulan : yang kaya bertambah kaya, sedangkan yang miskin tetaplah miskin.
Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan
kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan
pendengki, dan akan berakibat berkobarnya api terpentangan diantara anggota
masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.
Sejarahpun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba terhadap
politik, hukum dan keamanan nasional dan internasional.
Daftar Pustaka :
Ibid.
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Abdul
Rahman Ghazaly, Gufron Ihsan, Saipudin Shidiq. Fiqh Muamalah. (Jakarta, Kencana : 2010)
Dr.
Yusuf Qardhawi, Al-Halal wa al Haram
(Beirut : Maktabah al- islamy. 1994) cetakan 15.
Sayyid
Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Beirut : Dar al-fikr, 2006) juz iii.
An-Nisabury.
Asbab An-Nuzul. (Beirut : Dar
al-fiqr).
No comments:
Post a Comment