Saturday, February 27, 2016

TAFSIR SURAT AL-KAUTSAR
KENIKMATAN

MUHAMAD SEFI INDRA GUMELAR

Dalam Tafsir Al-Mishbah Karangan M.Quraish Shihab. Nama surat ini yang dikenal luas adalah surah al-Kautsar, ada juga yang menamainya surah an-nahr. Kedua nama tersebut terambil dari kata-kata yang disebut oleh ayat-ayatnya.
Tema utama surah ini adalah uraian tentang anugerah Allah swt. Kepada beliau yang hendaknya beliau syukuri, serta kecelakaan yang akan menimpa lawan-lawan beliau. Al-Biqa’I yang juga menggarisbawahi tema serupa menyatakan bahwa itu dapat dilihat dengan jelas pada namanya al-kautsar dan an-Nahr yakni penyembelian unta yang merupakan puncak kemurahan dan anugerah di kalangan masyarakat Arab (ketika itu).
Surah ini terdiri dari 3 ayat, dan merupakan surah yang terpendek dalam al-Qur’an. Surah Wa al-‘Ashr, walaupun terdiri juga dari tiga ayat, namun kosa kata yang digunakannya lebih banyak dari surah ini. Atas dasar itu, ulama-ulama menjadikan surah ini sebagai surah yang merupakan tantangan minimal al-Qur’an terhadap siapa pun yang meragukan kebenarannya untuk menyusun semacam surah ini.

A.  Tafsir Ayat 1
!$¯RÎ) š»oYøsÜôãr& trOöqs3ø9$# ÇÊÈ  
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.”
Dalam surat Al-Kautsar ini memuji Nabi saw. Yang mencapai puncak akhlak yang mulia, sambil menjanjikan buat beliau aneka anugerah. Ayat diatas menyatakan bahwa: Sesungguhnya Kami secara langsung dan melalui siapa yang kami tugasi telah dan pasti akan menganugerahkanmu wahai Nabi Muhammad baik dalam kedudukannya sebagai Nabi Muhammad baik dalam kedudukannya sebagai Nabi maupun pribadi al-kautsar yakni kebajikan yang banyak.
Kata (اعطيناك) a’thainaka terambil dari kata (اعطى) a’tha/ memberi yang biasa digunakan untuk pemberian yang menjadi milik pribadi seseorang. Ia digunakan juga untuk menggambarkan pemberian sedikit seperti dalam Q.S. an-Najm [53]: 34. Penggunaan kata ini yang bergandengan dengan kata al-kautsar yang berarti banyak, mengesankan bahwa anugerah Allah kepada beliau walaupun banyak namun ia masih dinilai sedikit jika dibandingkan dengan apa yang akan beliau terima di masa dating. Huruf (ك) kaf/ mu  pada ayat ini ditunjukan kepada Nabi Muhammad saw. Secara pribadi.
Kata (الكوثر) al-kautsar terambil dari kata (كثير) katsir /banyak. Kata ini digunakan untuk menunjukan sesuatu yang banyak bilangannya atau tinggi mutunya. Bahkan seorang manusia yang merupakan tokoh yang banyak berjasa dinamai kautsar.
Berbeda-beda pendapat ulama tentang maksud kata tersebut. Pendapat yang amat popular adalah sungai di surga. Makna ini dikemukakan oleh ulama-ulama berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim dari sahabat saw., Anas Ibn Malik.
Pendapat ini ditolak oleh Syekh Muhammad ‘Abduh, sambil menulis dalam tafsirnya bahwa pendapat yang menyatakan bahwa al-kautsar yang diartikan sebagai sungai di surge, baru diterima sebagai keyakinan apabila riwayatnya mutawatir. Memang tulis ‘Abduh lebih jauh ada ulama-ulama yang menyatakan bahwa hadits itu mutawatir dalam maknanya, sehingga kalau memang demikian halnya, kita harus percaya tentang adanya sungai tersebut tanpa terikat dengan ciri-cirinya yang disebut dalam berbagai riwayat, karena riwayat tentang ciri-ciri sungai itu sangat beragam dan berbeda-beda.
Namun demikian, ‘Abduh meragukan ke-mutawatir-an hadits tersebut karena tulisnya lebih jauh: “Ke-mutawatir-an satu riwayat tidak sah kalau hanya merupakan pendapat sekelompok orang atau sebagian ulama. Kemutawatiran riwayat adalah seperti apa yang anda lihat pada keadaan Al-Qur’an. Ia dikenal dan diakui oleh tahbaqat (kelompok atau generasi demi generasi) dan diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang dipercaya bahwa mereka mustahil bersepakat untuk berbohong. Demikian, seterusnya hingga riwayat itu sampai kepada anda, tidak ditolak oleh satu kelompok pun dari kelompok-kelompok kaum muslimin.” Inilah yang dinamai mutawatir, yang dapat menghasilkan keyakinan. Hadits-hadits yang mengartikan al-kautsar dengan sungai, tidak dapat dinamai mutawatir, karena walaupun riwayatnya banyak, namun tidak mencapai tingkat meyakinkan itu, apalagi dapat diduga bahwa perawi-perawinya menerima riwayat tersebut dengan mudah (tidak kritis) karena kandungannya bersifat ajaib dan indah, sehingga mendorong perawi untuk cenderung membenarkannya. Ini, meruntuhkan sifat ke-mutawatiran. Demikian lebih kurang ‘Abduh.
Pendapat kedua tentang al-kautsar yang banyak juga disebut oleh ulama tafsir adalah keturunan Nabi Muhammad saw. Pendapat ini dikemukakan antara lain, oleh Abu Hayyan, al-Alusi, sambil menyatakan bahwa mereka itu “al-Hamdulillah banyak dan telah memenuhi seluruh penjuru dunia.” Demikian jua Muhammad Abduh, al-Qasimi, yang mengutip pendapat Ibn Jinni, sambil menyatakan bahwa pendaoat ini indah sejalan dengan Sabab Nuzul surah ini, bahwa yang dimaksud dengan keturunannya adalah anak cucu as-Sayyidah Fathimah putrid Rasulullah saw. Thabathaba’I menilai pendapat ini sebagai pendapat yang cukup kuat.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan pendukungnya. Pertama adalah konteks sabab nuzul-nya. Kedua adalah kata (ابتر) abtar yang antara lain berarti iorang yang terputus keturunannya. “Kalimat ini tidak bermakna kalau al-kautsar tidak dipahami sebagai atau mencakup keturunan yang banyak.” Demikian tulis Thabathaba’i.
Alasan ketiga adalah kata (انحر) inhar yang dipahami sebagai perintah menyembelih binatang dalam konteks kelahiran anak penyembelihan tersebut dinamai ‘Aqiqah.
Sementara ulama menolak pendapat ini dengan alasan bahwa Nabi Muhammad saw tidak mempunyai keturunan, karena putra-putra beliau meninggal sejak kecil, sehingga mana mungkin beliau memiliki keturunan. Keberatan ini ditangkis dengan menyatakan bahwa walau anak-anak lelaki nabi saw meninggal sebelum mereka dewasa, tetapi yang dimaksud dengan keturunan disini adalah keturunan dari putrinya Fathimah.al-Qur’an menamai juga anak cucu dari seorang perempuan sebagai keturunan dari ayahnya. Perhatikan firman-Nya:
$uZö6ydurur ÿ¼ã&s! t,»ysóÎ) z>qà)÷ètƒur 4 ˆxà2 $oY÷ƒyyd 4 $·mqçRur $oY÷ƒyyd `ÏB ã@ö6s% ( `ÏBur ¾ÏmÏG­ƒÍhèŒ yŠ¼ãr#yŠ z`»yJøn=ßur šUqƒr&ur y#ßqãƒur 4ÓyqãBur tbr㍻ydur 4 y7Ï9ºxx.ur ÌøgwU tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÑÍÈ   $­ƒÌx.yur 4Ózøtsur 4Ó|¤ŠÏãur }¨$uø9Î)ur ( @@ä. z`ÏiB šúüÅsÎ=»¢Á9$# ÇÑÎÈ  
“Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) Yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. semuanya Termasuk orang-orang yang shaleh.” (Q.S.Al-An’am:84-85)
Pendapat ketiga tentang maksud kata al-kautsar yang menurut hemat penulis lebih wajar untuk diterima dari pada kedua pendapat diatas, tapi tanpa menolak keduanya. Diriwayatkan bahwa kepada Ibn ‘Abbas ra., disampaikan pendapat yang menyatakan bahwa al-kautsar adalah sungai di surga, beliau menjawab: “itu sebagian dari al-kautsar, yang dijanjikan Allah kepada Nabi-nya.”
Atas dasar ini, sekian banyak ulama berpendapat bahwa semua yang disebutkan diatas, bahkan termasuk yang diuraikan oleh al-Qurthubi yang jumlahnya tidak kurang dari lima belas hal semuanya adalah benar, seperti syafaat, umat dan keturunan yang banyak, sungai atau telaga di surga dan sebagainya. Itu adalah sebagian yang dicakup oleh kata al-kautsar.
Pendapat ini sejalan dengan arti harfiah al-kautsar yakni banyak. Kata banyak disini, sewajarnya dipahami dalam arti jenis dan kuantitasnya. Kalau kita berkata bahwa keturunan atau satu sungai yang deras airnya, maka pandangan ini membatasi anugerah Allah pada satu jenis anugerah saja. Pembatasan tersebut tidak sejalan dengan 2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah[1605].
Ilahi. Nah, atas dasar itu, pendapat ketiga diatas lebih mengena dan sesuai, sekaligus tidak bertentangan dengan pendaoat-pendaoat lain yang dikemukakan sebelumnya.

B.  Ayat ke-2
Èe@|Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ  
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”
Karena Allah telah dan pasti akan menganugerahkan sedemikian banyak anugerah kepada Nabi Muhamad saw., maka wajar sekali jika ayat-ayat diatas memerintahkan beliau bahwa: jika demikian maka shalatlah demi Tuhan pemelihara-mu dan sembelih binatang untuk kamu sedekahkan kepada yang butuh dan jangn menjadi seperti yang Allah kecam pada surah yang lalu, yang menghardik anak yatim yang meminta sedikit daging sembelihan.
Kata (صل) shalli adalah bentuk perintah dari kata (صلاة) shalah yang dari segi bahasa berarti doa. Sementara ulama mengemukakan satu riwayat yang disandarkan kepada Ibn ‘Abbas bahwa maksud kata tersebut adalah perintah melaksanakan shalat lima waktu. Riwayat lain dari beberapa murid Ibn ‘Abbas memahaminya dalam arti perintah shalat, tetapi shalat ‘Idul Adha. Ayat kedua surah al-Kautsar ini, menurut riwayat tadi, turun untuk menuntun Nabi agar melakukan shalat ‘Idul Adha terlebih dahulu, baru menyembelih kurban. Kedua pendapat ini tidak didukung oleh kebiasaan al-Qur’an dalam perintah atau pujiannya menyangkut shalat dalam pengertian diatas, Karena al-Qur’an untuk maksud tersebut selalu menggunakan kata aqimu atau yang keakar dengannya. Rujuklah ke ayat surah al-Ma’un dengan demikian, ini berarti bahwa perintah shalat disini, bukan dalam arti shalat wajib ataupun sunnah. Shalat disini menurut hemat penulis adalah dalam arti beribadah. Memang dari segi bahasa ia adalah doa tetapi sebagaimana sabda Nabi: “Doa adalah inti dari ibadah.” (HR.at-Tirmidzi). Sehingga wajar jika yang dimaksud dengan doa di sini adalah ibadah keseluruhan. Al-Qur’an pun menggunakan kata doa untuk makna ibadah demikian pula sebaliknya. Perhatikan firman-Nya:
tA$s%ur ãNà6š/u þÎTqãã÷Š$# ó=ÉftGór& ö/ä3s9 4 ¨bÎ) šúïÏ%©!$# tbrçŽÉ9õ3tGó¡o ô`tã ÎAyŠ$t6Ïã tbqè=äzôuy tL©èygy_ šúï̍Åz#yŠ ÇÏÉÈ  
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min [40]: 60).
Anda dapat berkata setelah membaca ayat diatas, bahwa perintah berdoa kepada-Nya sama dengan beribadah, yang disebutkan oleh kalimat sesudah perintah itu, dan sekaligus anda pun dapat berkata bahwa manifestasi menyombongkan diri dan keengganan beribadah kepada-Nya adalah keengganan memenuhi perintah-Nya untuk berdoa, dan bermohon kepada-Nya.
Memang banyak bentuk yang dapat dilakukan dalam beribadah, salah satu diantaranya adalah mensyukuri nikmat anugerah Allah dan ebrdoa agar supaya nikmat tersebut dapat dipelihara dan difungsikan sesuai dengan tujuan penganugerahannya. Salah satu doa yang diajarkan bahwa konteks ini adalah:
$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ $·Z»|¡ômÎ) ( çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $\döä. çm÷Gyè|Êurur $\döä. ( ¼çmè=÷Hxqur ¼çmè=»|ÁÏùur tbqèW»n=rO #·öky­ 4 #Ó¨Lym #sŒÎ) x÷n=t/ ¼çn£ä©r& x÷n=t/ur z`ŠÏèt/ör& ZpuZy tA$s% Éb>u ûÓÍ_ôãÎ÷rr& ÷br& tä3ô©r& y7tFyJ÷èÏR ûÓÉL©9$# |MôJyè÷Rr& ¥n?tã 4n?tãur £t$Î!ºur ÷br&ur Ÿ@uHùår& $[sÎ=»|¹ çm9|Êös? ôxÎ=ô¹r&ur Í< Îû ûÓÉL­ƒÍhèŒ ( ÎoTÎ) àMö6è? y7øs9Î) ÎoTÎ)ur z`ÏB tûüÏHÍ>ó¡ßJø9$# ÇÊÎÈ  
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri.”
Kata (انحر) inhar terambil dari kata (نحر) nahr yang dari segi bahasa berarti dada, sekitar tempat meletakkan kalung. Jika anda berkata (نحرته) nahratuhu, maka maknanya adalah saya mengenai dadanya dalm arti menyembelihnya. Kata (انتحار) intihar berarti membunuh diri.
Di atas telah disinggung bahwa ada ulama yang memahami perintah yang dimaksud disini adalah perintah menyembelih binatang, baik dalam rangka shalat ‘Idul Adha maupun ‘Aqiqah. Tetapi ada riwayat lain yang disandarkan kepada Sayyidina ‘Ali ra. Yakni bahwa yang dimaksud oleh kata ini adalah “meletakkan tangan – ketika shalat – pada an-nahr yakni  dada, atau diatasnya sedikit lebih kurang pada posisi hiasan kalung yang digantung di leher.” Ayat kedua bila dipahami demikian, diterjemahkan dengan: ” Shalat-lah demi karena Tuhanmu, dan letakkanlah tanganmu di dada.” Riwayat yang disandarkan kepada Sayyidina ‘Ali ra. Itu berbunyi: “Letakkanlah tanganmu di atas tangan kirimu sejajar dengan dada sewaktu melaksanakan shalat.”
Penulis tidak sependapat dengan menafdirkan dengan yang menafsirkan kata (انحر) inhar dalam arti meletakkan tangan kanan diatas dada saat shalat, karena Rasul saw. Melakukan shalat dengan rincian peletakkan tangan yang berbeda-beda, misalnya sekali meluruskan tangan (tanpa meletakkan yang kanan di atas yang kiri), di kali lain meletakkannya di bagian tengah badan (di atas perut) sambil meletakkan telapak tangan kanan diatas telapak tangan kiri, dan msih ada cara-cara yang lain yang kesemuanya berdasar sunnah Rasul saw. Atas dasar itu para ulama akhirnya memperkenalkan istilah tanawwu’ al-‘ibadah dalam arti keragaman cara Nabi saw. Beribadah, yang salah satu bentuknya adalah perbedaan tentang peletakkan tangan dalam shalat. Ini, mengantar kita menyatakan bahwa menafsirkan inhar seperti riwayat yang disandarkan kepada Imam ‘Ali Ibn Abi Thalib diatas, tidaklah tepat, karena seandainya demikian, maka tidak mungkin Rasul saw. Akan melakukan shalat tidak seperti tersebut. Namun, bukankan kenyataannya tidak demikian?
Apa lagi pendapat yang menyatakan bahwa kata inhar terambil dari kata (تناحر) tanahar dalam arti (تقابل) taqabul yakni berhadapan dengan sesuatu. Pendapat ini memahami perintah ayat diatas untuk melaksanakan shalat dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat. Pendapat ini tidak mempunyai dasar yang kuat.
Secara umum kita dapat berkata bahwa kata an-nahr digunakan secara populer dalam arti menyembelih binatang sebagai syiar agama. Hari Raya ‘Idul Adha juga dinamai ‘Id an-nahr karena ketika itu dianjurkan untuk menyembelih binatang sebagai kurban. Atas dasar itu, penulis cenderung memahami kata tersebut dalam arti menyembelih binatang baik dalam konteks ‘Idul Adha maupun Aqiqah.
Apabila ayat diatas dipahami dalam arti menyembelih binatang untuk korban pada hari raya haji, maka itu bukan berarti bahwa penyembelihan baru sah apabila shalat telah selesai dikerjakan dengan dalih inhar disebut sesudah perintah shalli. Ini bukan saja karena perintah shalat disini dalam arti berdoa dan beribadah, tetapi juga karena kata (و) wa/dan tidak mengaharuskan apa yang disebut setelah dan itu terjadi setelah yang disebut sebelumnya.

C.  Ayat ke-3
žcÎ) št¥ÏR$x© uqèd çŽtIö/F{$# ÇÌÈ  
“Sesungguhnya pembencimulah yang abtar.”
Nabi Muhammad saw. Diejek oleh kaum musyrikin sebagai seorang yang terputus kebenarannya. Allah menampik ejekan itu melalui kedua ayat yang lalu dan menggembirakan Nabi Muhammad saw. Dengan anugerah yang banyak, antara lain keturunan yang banyak serta memerintahkan beliau mensyukuri Allah dengan perintah shalat, berdoa, dan menyembelih kurban. Ayat diatas mengembalikan ejekan kepada pengucapannya dengan menyatakan: Sesungguhnya pembencimulah yang abtar yakni terputus keturunannya dan luput dari kebajikan.
Kata (t¥ÏR$x©) syani’aka terambil dari kata (شنان) syana’an yang berarti kebencian. Kata ini digunakan al-Qur’an untuk menunjukan adanya kebencian yang bukan pada tempatnya dan yang lahir karena iri hati (baca Q.S. al-Ma’idah [5]: 2 dan 8). Apapun yang diucapkan kaum musyrikin terhadap Nabi, baik bahwa beliau terputus keturunannya maupun terputus dari segala macam kebajikan, namun yang jelas bahwa kata syani’aka menginformasikan bahwa ucapan tersebut lahirlah dari sikap iri hati dan kebencian kepada nabi Muhammad saw.
Kata (الابتر) al-abtar terambil dari kata (بتر) batara yang berarti terputus sebelum sempurna. Kalau kata ini disandarkan kepada hewan, maka ia berarti putus ekornya, dan bila kepada seorang lelaki, biasanya diartikan dengan yang terputus keturunannya. Bisa juga diartikan yang terputus dari kebajikan. Nabi saw. Bersabda: “setiap pekerjaan yang penting dan tidak akan di mulai dengan bismillah, maka dia menjadi Abtar (terputus dari kebajikan dan keberkahan).”
Jika kita menerima riwayat yang menyatakan bahwa Sabab Nuzul nya ayat ini adalah ejekan kaum musyrikin terhadap nabi sebagai terputus keturunannya, maka kata abtar berarti terputus keturunannya. Sedang jika riwayat tersebut ditolak, maka kata abtar berarti terputus dari kebajikan. Redaksi al-abtar yang bersifat umum dapat menampung kedua pendapat itu.
Siapa yang membenci Nabi Muhammad saw. Pastikah abtar, walau dia mempunyai anak keturunan yang banyak. Al-Walid Ibn al-Mughirah, yang membenci Nabi saw. Mempunyai sebelas orang anak, tetapi keturunannya tidak melanjutkan misi dan pandangan orang tuanya sehingga dengan demikian ia dapat dinamai terputus dari keturunannya dan terputus pula dari kebajikan. Khalid Ibn Walid ra. Adalah seorang putra al-Walid Ibn al-Mughirah, yang merupakan pahlawan pembela Islam.
Kalau kita memahami al-kautsar dalam arti sungai atau telaga di surge, maka yang membencinya pasti tidak akan meminum dari sungai atau telaga itu, sebaliknya yang mencintai beliau akan meneguk dari sungai atau telaga itu, dan selanjutnya ia tidak akan merasa dahaga selama-lamanya.
Al-Maraghi berpendapat bahwa kebencian yang dimaksud oleh ayat ini adalah kebencian yang tertuju kepada Nabi Muhammad SAW., dalam arti kebencian kepada ajaran-ajarannya, bukan kebencian kepada pribadinya. Pribadi beliau amat mempesona, akhlaknya mengagumkan kawan dan lawan, yang mereka tentang adalah ajarannya. Nabi Muhammad saw., sebagai pribadi adalah seorang yang tenang dan tentram jiwanya, gagah berani serta mulia, sangat sederhana, tidak suka kepada kemewahan atau berlebih-lebihan.
Apa yang dikemukakan oleh ulam Mesir diatas, tentunya dari satu sisi ada benarnya. Namun demikian, seperti penulis kemukakan pada uraian ayat pertama, bahwa kata –mu pad inna a’thainaka/ sesungguhnya Kami telah menganugerahimu tertuju kepada pribadi Nabi Muhammad saw., bukan dalam kedudukan beliau sebagai Nabi atau Rasul. Sekian banyak ayat yang ditujukan kepada beliau sebagai pribadi antara lain QS adh-Dhuha [93]:6-8. Beliau pun dalam sekian banyak hal bertindak sebagai pribadi, yang tiak ada kaitannya dengan kenabian atau kerasulan.
Disini, kalau kita katakana bahwa ayat ketiga ini hanya berbicara tentang Sayyidina Muhammad saw. Sebagai Nabi, maka apakah itu berarti bahwa yang tidak senang kepada beliau sebagai pribadi, tidak tercakup dalam ancaman ayat ketiga ini?
Penulis tidak memahaminya demikian sebagai pemahaman Al-Maraghi di atas. Hemat penulis, ayat ini merupakan ancaman kepada setiap orang yang membenci beliau, baik secara pribadi maupun dalam kedudukan sebagai Nabi dan Rasul.
Para sahabat Nabi dan ulama-ulama tedahulu, berusaha sekuat kemampuan untuk memelihara “Perasaan” Sayyidina Muhammad saw. Secara pribadi. Dalam beberapa literatur antara lain tafsir al-Manar, dikemukakan bahwa para pakar hadits berbeda pendapat dalam meriwayatkan hadits Nabi saw. Yang berbunyi: “seandainya Fathimah putrid Muhammad mencuri, niscaya kupotong tangannya.” Menurut literatur konteks sesuatu neagatif walaupun hal tersebut dalam sebuah hadits yang mengandung pengandaiannya bahwa beliau mencuri demi menjaga kehormatan putrid tercinta nabi ini sehingga oleh ulama tersebut hadits tadi diubah redaksinya menjadi “Seandainya Si Anu Mencuri”.
Ketika Sahabat Nabi saw. Hassan Ibn Tsabit ra. Ingin menggubah sebuah syair yang mengecam orang-orang musyrik dsri suku Quraisy, yang merupakan suku Nabi Muhammad, beliau bertanya: “Di mana engkau menempatkan aku?” “Akan kukeluarkan engkau dari mereka, bagaikan menarik rambut dari tumpukan gandum.” Demikian jawaban Hassan. Riwayat ini menunjukan bahwa beliau sebagai manusia, anggota satu suku yang musyrik pun, merasakan ikatan darah dengan keluarganya.
‘Umar Ibn Khaththab seperti diriwayatkan oleh Imam Bukhari pernah berkata kepada al-‘Abbas (paman Nabi) bahwa: “Demi Allah keislamanmu pada hari engkau memeluk Islam (wahai ‘Abbas) lebih kusenangi dari keislaman (ayahku) al-Khaththab seandainya dia memeluk Islam, akrena keislaman lebih disukai oleh Rasul saw. Dari keislaman al-Khaththab.” Demikian dikutip oleh Abu Turab azh-Zhahiri, salah seorang ulama kontemporer di Saudi Arabia, yang mengomentari buku karya Ibn Taimiyah yang berjudul Risalah Fasha’il Ahl al-Bait Wa Huquqihim (Risalah tentang keutaman keluarga Nabi dan hak-hak mereka).
Dari sini dapat dimengerti mengapa al-Qur’an menegur orang-orang yang mengganggu pribadi agung itu, walaupun bukan dalam konteks ajarannya. Perhatikan kecaman al-Qur’an terhadap mereka yang memanggil-manggil beliau dengan suara keras pada saar beliau sedang beristirahat di dalam kamarnya.
¨bÎ) šúïÏ%©!$# y7tRrߊ$uZム`ÏB Ïä!#uur ÏNºtàfçtø:$# öNèdçŽsYò2r& Ÿw šcqè=É)÷ètƒ ÇÍÈ  
“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 4), atau teguran Allah terhadap mereka yang masih duduk mengobrol di rumah beliau setelah beliau selesai makan. (Q.S. al-Ahzab [33]: 53).
Kalau pun analisa di atas tidak diterima, maka paling tidak dapat disimpulkan bahwa amat sukar memisahkan kedudukan pribadi agung itu sebagai Nabi dan sebagai manusia biasa. Atas dasar itu, kita dapat berkata bahwa apapun motif kebencian terhadap beliau, kesemuanya termasuk dalam ancaman ayat ini bahkan apapun gangguan kepada beliau dapat mengakibatkan murka Tuhan (baca QS. Al-Hujurat [49]: 2).
Atas dasar pandangan ini pula, sehingga para ulama terdahulu berupaya untuk tidak menyinggung perasaan beliau, baik yang berkaitan dengan pribadi, keluarga, lebih-lebih yang berkaitan dengan ajaran beliau.

Ibn Katsir dalam tafsirnya menulis: “Kita tidak dapat mengingkari pesan terhadap keluarga Nabi dan perintah untuk berbuat baik terhadap mereka serta menghormati mereka, karena mereka adalah keturunan (Nabi) suci, yang merupakan keluarga termulia yang dikenal di permukaan bumi mereka itu mengikuti sunnah Nabi saw, sebagaimana halnya leluhur mereka semacam al-‘Abbas dan anaknya, serta ‘Ali Ibn Abi Thalib, keluarga dan keturunannya, semoga Allah melimpahkan rodha-Nya kepada mereka.” Demikian Wa Allah A’lam.