TAFSIR
SURAT AL-KAUTSAR
KENIKMATAN
MUHAMAD SEFI INDRA GUMELAR
Dalam
Tafsir Al-Mishbah Karangan M.Quraish Shihab. Nama surat ini yang dikenal luas
adalah surah al-Kautsar, ada juga yang menamainya surah an-nahr. Kedua
nama tersebut terambil dari kata-kata yang disebut oleh ayat-ayatnya.
Tema
utama surah ini adalah uraian tentang anugerah Allah swt. Kepada beliau yang
hendaknya beliau syukuri, serta kecelakaan yang akan menimpa lawan-lawan
beliau. Al-Biqa’I yang juga menggarisbawahi tema serupa menyatakan bahwa itu
dapat dilihat dengan jelas pada namanya al-kautsar dan an-Nahr yakni
penyembelian unta yang merupakan puncak kemurahan dan anugerah di kalangan
masyarakat Arab (ketika itu).
Surah
ini terdiri dari 3 ayat, dan merupakan surah yang terpendek dalam al-Qur’an.
Surah Wa al-‘Ashr, walaupun terdiri juga dari tiga ayat, namun kosa kata yang
digunakannya lebih banyak dari surah ini. Atas dasar itu, ulama-ulama
menjadikan surah ini sebagai surah yang merupakan tantangan minimal al-Qur’an
terhadap siapa pun yang meragukan kebenarannya untuk menyusun semacam surah
ini.
A.
Tafsir Ayat 1
!$¯RÎ) »oYøsÜôãr& trOöqs3ø9$# ÇÊÈ
“Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.”
Dalam surat Al-Kautsar ini memuji Nabi saw. Yang mencapai
puncak akhlak yang mulia, sambil menjanjikan buat beliau aneka anugerah. Ayat
diatas menyatakan bahwa: Sesungguhnya Kami secara langsung dan melalui
siapa yang kami tugasi telah dan pasti akan menganugerahkanmu wahai
Nabi Muhammad baik dalam kedudukannya sebagai Nabi Muhammad baik dalam
kedudukannya sebagai Nabi maupun pribadi al-kautsar yakni kebajikan yang
banyak.
Kata (اعطيناك) a’thainaka terambil dari kata (اعطى) a’tha/ memberi yang biasa digunakan untuk pemberian
yang menjadi milik pribadi seseorang. Ia digunakan juga untuk menggambarkan pemberian
sedikit seperti dalam Q.S. an-Najm [53]: 34. Penggunaan kata ini yang
bergandengan dengan kata al-kautsar yang berarti banyak, mengesankan
bahwa anugerah Allah kepada beliau walaupun banyak namun ia masih dinilai
sedikit jika dibandingkan dengan apa yang akan beliau terima di masa dating.
Huruf (ك) kaf/ mu pada ayat ini ditunjukan kepada Nabi Muhammad
saw. Secara pribadi.
Kata (الكوثر)
al-kautsar terambil dari kata (كثير)
katsir /banyak. Kata ini digunakan untuk menunjukan sesuatu yang banyak
bilangannya atau tinggi mutunya. Bahkan seorang manusia yang merupakan tokoh
yang banyak berjasa dinamai kautsar.
Berbeda-beda pendapat ulama
tentang maksud kata tersebut. Pendapat yang amat popular adalah sungai di
surga. Makna ini dikemukakan oleh ulama-ulama berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim dari sahabat saw., Anas Ibn Malik.
Pendapat ini ditolak oleh Syekh
Muhammad ‘Abduh, sambil menulis dalam tafsirnya bahwa pendapat yang menyatakan
bahwa al-kautsar yang diartikan sebagai sungai di surge, baru diterima
sebagai keyakinan apabila riwayatnya mutawatir. Memang tulis ‘Abduh
lebih jauh ada ulama-ulama yang menyatakan bahwa hadits itu mutawatir dalam
maknanya, sehingga kalau memang demikian halnya, kita harus percaya tentang
adanya sungai tersebut tanpa terikat dengan ciri-cirinya yang disebut dalam
berbagai riwayat, karena riwayat tentang ciri-ciri sungai itu sangat beragam
dan berbeda-beda.
Namun demikian, ‘Abduh meragukan
ke-mutawatir-an hadits tersebut karena tulisnya lebih jauh:
“Ke-mutawatir-an satu riwayat tidak sah kalau hanya merupakan pendapat
sekelompok orang atau sebagian ulama. Kemutawatiran riwayat adalah seperti apa
yang anda lihat pada keadaan Al-Qur’an. Ia dikenal dan diakui oleh tahbaqat
(kelompok atau generasi demi generasi) dan diriwayatkan oleh sejumlah banyak
orang yang dipercaya bahwa mereka mustahil bersepakat untuk berbohong.
Demikian, seterusnya hingga riwayat itu sampai kepada anda, tidak ditolak oleh
satu kelompok pun dari kelompok-kelompok kaum muslimin.” Inilah yang dinamai
mutawatir, yang dapat menghasilkan keyakinan. Hadits-hadits yang mengartikan
al-kautsar dengan sungai, tidak dapat dinamai mutawatir, karena walaupun
riwayatnya banyak, namun tidak mencapai tingkat meyakinkan itu, apalagi dapat
diduga bahwa perawi-perawinya menerima riwayat tersebut dengan mudah (tidak
kritis) karena kandungannya bersifat ajaib dan indah, sehingga mendorong perawi
untuk cenderung membenarkannya. Ini, meruntuhkan sifat ke-mutawatiran. Demikian
lebih kurang ‘Abduh.
Pendapat kedua tentang al-kautsar
yang banyak juga disebut oleh ulama tafsir adalah keturunan Nabi Muhammad saw.
Pendapat ini dikemukakan antara lain, oleh Abu Hayyan, al-Alusi, sambil
menyatakan bahwa mereka itu “al-Hamdulillah banyak dan telah memenuhi seluruh
penjuru dunia.” Demikian jua Muhammad Abduh, al-Qasimi, yang mengutip pendapat
Ibn Jinni, sambil menyatakan bahwa pendaoat ini indah sejalan dengan Sabab
Nuzul surah ini, bahwa yang dimaksud dengan keturunannya adalah anak cucu
as-Sayyidah Fathimah putrid Rasulullah saw. Thabathaba’I menilai pendapat ini
sebagai pendapat yang cukup kuat.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan
pendukungnya. Pertama adalah konteks sabab nuzul-nya. Kedua adalah kata (ابتر) abtar yang antara lain berarti
iorang yang terputus keturunannya. “Kalimat ini tidak bermakna kalau al-kautsar
tidak dipahami sebagai atau mencakup keturunan yang banyak.” Demikian tulis
Thabathaba’i.
Alasan ketiga adalah kata (انحر) inhar yang dipahami sebagai
perintah menyembelih binatang dalam konteks kelahiran anak penyembelihan
tersebut dinamai ‘Aqiqah.
Sementara ulama menolak pendapat
ini dengan alasan bahwa Nabi Muhammad saw tidak mempunyai keturunan, karena
putra-putra beliau meninggal sejak kecil, sehingga mana mungkin beliau memiliki
keturunan. Keberatan ini ditangkis dengan menyatakan bahwa walau anak-anak
lelaki nabi saw meninggal sebelum mereka dewasa, tetapi yang dimaksud dengan
keturunan disini adalah keturunan dari putrinya Fathimah.al-Qur’an menamai juga
anak cucu dari seorang perempuan sebagai keturunan dari ayahnya. Perhatikan
firman-Nya:
$uZö6ydurur ÿ¼ã&s! t,»ysóÎ) z>qà)÷ètur 4 xà2 $oY÷yyd 4 $·mqçRur $oY÷yyd `ÏB ã@ö6s% ( `ÏBur ¾ÏmÏGÍhè y¼ãr#y z`»yJøn=ßur Uqr&ur y#ßqãur 4ÓyqãBur tbrã»ydur 4 y7Ï9ºxx.ur ÌøgwU tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÑÍÈ $Ìx.yur 4Ózøtsur 4Ó|¤Ïãur }¨$uø9Î)ur ( @@ä. z`ÏiB úüÅsÎ=»¢Á9$# ÇÑÎÈ
“Dan Kami telah
menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. kepada keduanya masing-masing telah
Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk,
dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) Yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub,
Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik. dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. semuanya Termasuk orang-orang
yang shaleh.” (Q.S.Al-An’am:84-85)
Pendapat
ketiga tentang maksud kata al-kautsar yang menurut hemat penulis lebih wajar
untuk diterima dari pada kedua pendapat diatas, tapi tanpa menolak keduanya.
Diriwayatkan bahwa kepada Ibn ‘Abbas ra., disampaikan pendapat yang menyatakan
bahwa al-kautsar adalah sungai di surga, beliau menjawab: “itu sebagian dari
al-kautsar, yang dijanjikan Allah kepada Nabi-nya.”
Atas
dasar ini, sekian banyak ulama berpendapat bahwa semua yang disebutkan diatas,
bahkan termasuk yang diuraikan oleh al-Qurthubi yang jumlahnya tidak kurang
dari lima belas hal semuanya adalah benar, seperti syafaat, umat dan keturunan
yang banyak, sungai atau telaga di surga dan sebagainya. Itu adalah sebagian
yang dicakup oleh kata al-kautsar.
Pendapat
ini sejalan dengan arti harfiah al-kautsar yakni banyak. Kata banyak disini,
sewajarnya dipahami dalam arti jenis dan kuantitasnya. Kalau kita berkata bahwa
keturunan atau satu sungai yang deras airnya, maka pandangan ini membatasi
anugerah Allah pada satu jenis anugerah saja. Pembatasan tersebut tidak sejalan
dengan 2.
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah[1605].
Ilahi.
Nah, atas dasar itu, pendapat ketiga diatas lebih mengena dan sesuai, sekaligus
tidak bertentangan dengan pendaoat-pendaoat lain yang dikemukakan sebelumnya.
B.
Ayat ke-2
Èe@|Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ
“Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”
Karena Allah telah dan pasti akan menganugerahkan
sedemikian banyak anugerah kepada Nabi Muhamad saw., maka wajar sekali jika
ayat-ayat diatas memerintahkan beliau bahwa: jika demikian maka shalatlah
demi Tuhan pemelihara-mu dan sembelih binatang untuk kamu sedekahkan kepada
yang butuh dan jangn menjadi seperti yang Allah kecam pada surah yang lalu,
yang menghardik anak yatim yang meminta sedikit daging sembelihan.
Kata (صل) shalli adalah bentuk perintah dari kata (صلاة) shalah yang dari segi bahasa berarti doa. Sementara ulama
mengemukakan satu riwayat yang disandarkan kepada Ibn ‘Abbas bahwa maksud kata
tersebut adalah perintah melaksanakan shalat lima waktu. Riwayat lain dari
beberapa murid Ibn ‘Abbas memahaminya dalam arti perintah shalat, tetapi shalat
‘Idul Adha. Ayat kedua surah al-Kautsar ini, menurut riwayat tadi, turun untuk
menuntun Nabi agar melakukan shalat ‘Idul Adha terlebih dahulu, baru
menyembelih kurban. Kedua pendapat ini tidak didukung oleh kebiasaan al-Qur’an
dalam perintah atau pujiannya menyangkut shalat dalam pengertian diatas, Karena
al-Qur’an untuk maksud tersebut selalu menggunakan kata aqimu atau yang keakar
dengannya. Rujuklah ke ayat surah al-Ma’un dengan demikian, ini berarti bahwa
perintah shalat disini, bukan dalam arti shalat wajib ataupun sunnah. Shalat
disini menurut hemat penulis adalah dalam arti beribadah. Memang dari segi
bahasa ia adalah doa tetapi sebagaimana sabda Nabi: “Doa adalah inti dari
ibadah.” (HR.at-Tirmidzi). Sehingga wajar jika yang dimaksud dengan doa di sini
adalah ibadah keseluruhan. Al-Qur’an pun menggunakan kata doa untuk makna
ibadah demikian pula sebaliknya. Perhatikan firman-Nya:
tA$s%ur ãNà6/u þÎTqãã÷$# ó=ÉftGór& ö/ä3s9 4 ¨bÎ) úïÏ%©!$# tbrçÉ9õ3tGó¡o ô`tã ÎAy$t6Ïã tbqè=äzôuy tL©èygy_ úïÌÅz#y ÇÏÉÈ
“Dan Tuhanmu berfirman:
"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya
orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka
Jahannam dalam Keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min [40]: 60).
Anda dapat berkata setelah membaca ayat diatas, bahwa
perintah berdoa kepada-Nya sama dengan beribadah, yang disebutkan oleh kalimat
sesudah perintah itu, dan sekaligus anda pun dapat berkata bahwa manifestasi
menyombongkan diri dan keengganan beribadah kepada-Nya adalah keengganan
memenuhi perintah-Nya untuk berdoa, dan bermohon kepada-Nya.
Memang banyak bentuk yang dapat dilakukan dalam
beribadah, salah satu diantaranya adalah mensyukuri nikmat anugerah Allah dan
ebrdoa agar supaya nikmat tersebut dapat dipelihara dan difungsikan sesuai
dengan tujuan penganugerahannya. Salah satu doa yang diajarkan bahwa konteks
ini adalah:
$uZø¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷yÏ9ºuqÎ/ $·Z»|¡ômÎ) ( çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $\döä. çm÷Gyè|Êurur $\döä. ( ¼çmè=÷Hxqur ¼çmè=»|ÁÏùur tbqèW»n=rO #·öky 4 #Ó¨Lym #sÎ) x÷n=t/ ¼çn£ä©r& x÷n=t/ur z`Ïèt/ör& ZpuZy tA$s% Éb>u ûÓÍ_ôãÎ÷rr& ÷br& tä3ô©r& y7tFyJ÷èÏR ûÓÉL©9$# |MôJyè÷Rr& ¥n?tã 4n?tãur £t$Î!ºur ÷br&ur @uHùår& $[sÎ=»|¹ çm9|Êös? ôxÎ=ô¹r&ur Í< Îû ûÓÉLÍhè ( ÎoTÎ) àMö6è? y7øs9Î) ÎoTÎ)ur z`ÏB tûüÏHÍ>ó¡ßJø9$# ÇÊÎÈ
“Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga
apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat
amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi
kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan
Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri.”
Kata (انحر)
inhar terambil dari kata (نحر) nahr yang dari segi
bahasa berarti dada, sekitar tempat meletakkan kalung. Jika anda berkata (نحرته) nahratuhu, maka maknanya adalah saya
mengenai dadanya dalm arti menyembelihnya. Kata (انتحار)
intihar berarti membunuh diri.
Di atas telah disinggung bahwa
ada ulama yang memahami perintah yang dimaksud disini adalah perintah
menyembelih binatang, baik dalam rangka shalat ‘Idul Adha maupun ‘Aqiqah.
Tetapi ada riwayat lain yang disandarkan kepada Sayyidina ‘Ali ra. Yakni bahwa
yang dimaksud oleh kata ini adalah “meletakkan tangan – ketika shalat – pada
an-nahr yakni dada, atau diatasnya
sedikit lebih kurang pada posisi hiasan kalung yang digantung di leher.” Ayat
kedua bila dipahami demikian, diterjemahkan dengan: ” Shalat-lah demi karena
Tuhanmu, dan letakkanlah tanganmu di dada.” Riwayat yang disandarkan kepada
Sayyidina ‘Ali ra. Itu berbunyi: “Letakkanlah tanganmu di atas tangan kirimu
sejajar dengan dada sewaktu melaksanakan shalat.”
Penulis tidak sependapat dengan
menafdirkan dengan yang menafsirkan kata (انحر)
inhar dalam arti meletakkan tangan kanan diatas dada saat shalat, karena Rasul
saw. Melakukan shalat dengan rincian peletakkan tangan yang berbeda-beda,
misalnya sekali meluruskan tangan (tanpa meletakkan yang kanan di atas yang
kiri), di kali lain meletakkannya di bagian tengah badan (di atas perut) sambil
meletakkan telapak tangan kanan diatas telapak tangan kiri, dan msih ada
cara-cara yang lain yang kesemuanya berdasar sunnah Rasul saw. Atas dasar itu
para ulama akhirnya memperkenalkan istilah tanawwu’ al-‘ibadah dalam arti
keragaman cara Nabi saw. Beribadah, yang salah satu bentuknya adalah perbedaan
tentang peletakkan tangan dalam shalat. Ini, mengantar kita menyatakan bahwa
menafsirkan inhar seperti riwayat yang disandarkan kepada Imam ‘Ali Ibn Abi
Thalib diatas, tidaklah tepat, karena seandainya demikian, maka tidak mungkin
Rasul saw. Akan melakukan shalat tidak seperti tersebut. Namun, bukankan
kenyataannya tidak demikian?
Apa lagi pendapat yang menyatakan
bahwa kata inhar terambil dari kata (تناحر)
tanahar dalam arti (تقابل) taqabul yakni
berhadapan dengan sesuatu. Pendapat ini memahami perintah ayat diatas untuk
melaksanakan shalat dengan menghadapkan wajah ke arah kiblat. Pendapat ini
tidak mempunyai dasar yang kuat.
Secara umum kita dapat berkata
bahwa kata an-nahr digunakan secara populer dalam arti menyembelih binatang
sebagai syiar agama. Hari Raya ‘Idul Adha juga dinamai ‘Id an-nahr karena
ketika itu dianjurkan untuk menyembelih binatang sebagai kurban. Atas dasar
itu, penulis cenderung memahami kata tersebut dalam arti menyembelih binatang
baik dalam konteks ‘Idul Adha maupun Aqiqah.
Apabila ayat diatas dipahami
dalam arti menyembelih binatang untuk korban pada hari raya haji, maka itu
bukan berarti bahwa penyembelihan baru sah apabila shalat telah selesai
dikerjakan dengan dalih inhar disebut sesudah perintah shalli. Ini bukan saja
karena perintah shalat disini dalam arti berdoa dan beribadah, tetapi juga
karena kata (و) wa/dan tidak
mengaharuskan apa yang disebut setelah dan itu terjadi setelah yang disebut
sebelumnya.
C. Ayat ke-3
cÎ) t¥ÏR$x© uqèd çtIö/F{$# ÇÌÈ
“Sesungguhnya
pembencimulah yang abtar.”
Nabi Muhammad saw. Diejek oleh kaum musyrikin sebagai
seorang yang terputus kebenarannya. Allah menampik ejekan itu melalui kedua
ayat yang lalu dan menggembirakan Nabi Muhammad saw. Dengan anugerah yang
banyak, antara lain keturunan yang banyak serta memerintahkan beliau mensyukuri
Allah dengan perintah shalat, berdoa, dan menyembelih kurban. Ayat diatas
mengembalikan ejekan kepada pengucapannya dengan menyatakan: Sesungguhnya
pembencimulah yang abtar yakni terputus keturunannya dan luput dari
kebajikan.
Kata (t¥ÏR$x©) syani’aka terambil dari kata (شنان) syana’an yang berarti kebencian. Kata ini digunakan al-Qur’an
untuk menunjukan adanya kebencian yang bukan pada tempatnya dan yang lahir
karena iri hati (baca Q.S. al-Ma’idah [5]: 2 dan 8). Apapun yang diucapkan kaum
musyrikin terhadap Nabi, baik bahwa beliau terputus keturunannya maupun
terputus dari segala macam kebajikan, namun yang jelas bahwa kata syani’aka
menginformasikan bahwa ucapan tersebut lahirlah dari sikap iri hati dan
kebencian kepada nabi Muhammad saw.
Kata (الابتر)
al-abtar terambil dari kata (بتر) batara yang berarti
terputus sebelum sempurna. Kalau kata ini disandarkan kepada hewan, maka ia
berarti putus ekornya, dan bila kepada seorang lelaki, biasanya diartikan
dengan yang terputus keturunannya. Bisa juga diartikan yang terputus dari
kebajikan. Nabi saw. Bersabda: “setiap pekerjaan yang penting dan tidak akan di
mulai dengan bismillah, maka dia menjadi Abtar (terputus dari kebajikan dan
keberkahan).”
Jika kita menerima riwayat yang menyatakan
bahwa Sabab Nuzul nya ayat ini adalah ejekan kaum musyrikin terhadap nabi
sebagai terputus keturunannya, maka kata abtar berarti terputus keturunannya.
Sedang jika riwayat tersebut ditolak, maka kata abtar berarti terputus dari
kebajikan. Redaksi al-abtar yang bersifat umum dapat menampung kedua pendapat
itu.
Siapa yang membenci Nabi Muhammad
saw. Pastikah abtar, walau dia mempunyai anak keturunan yang banyak. Al-Walid
Ibn al-Mughirah, yang membenci Nabi saw. Mempunyai sebelas orang anak, tetapi keturunannya
tidak melanjutkan misi dan pandangan orang tuanya sehingga dengan demikian ia
dapat dinamai terputus dari keturunannya dan terputus pula dari kebajikan.
Khalid Ibn Walid ra. Adalah seorang putra al-Walid Ibn al-Mughirah, yang
merupakan pahlawan pembela Islam.
Kalau kita memahami al-kautsar
dalam arti sungai atau telaga di surge, maka yang membencinya pasti tidak akan
meminum dari sungai atau telaga itu, sebaliknya yang mencintai beliau akan
meneguk dari sungai atau telaga itu, dan selanjutnya ia tidak akan merasa
dahaga selama-lamanya.
Al-Maraghi berpendapat bahwa
kebencian yang dimaksud oleh ayat ini adalah kebencian yang tertuju kepada Nabi
Muhammad SAW., dalam arti kebencian kepada ajaran-ajarannya, bukan kebencian
kepada pribadinya. Pribadi beliau amat mempesona, akhlaknya mengagumkan kawan
dan lawan, yang mereka tentang adalah ajarannya. Nabi Muhammad saw., sebagai
pribadi adalah seorang yang tenang dan tentram jiwanya, gagah berani serta
mulia, sangat sederhana, tidak suka kepada kemewahan atau berlebih-lebihan.
Apa yang dikemukakan oleh ulam
Mesir diatas, tentunya dari satu sisi ada benarnya. Namun demikian, seperti
penulis kemukakan pada uraian ayat pertama, bahwa kata –mu pad inna
a’thainaka/ sesungguhnya Kami telah menganugerahimu tertuju kepada pribadi
Nabi Muhammad saw., bukan dalam kedudukan beliau sebagai Nabi atau Rasul.
Sekian banyak ayat yang ditujukan kepada beliau sebagai pribadi antara lain QS
adh-Dhuha [93]:6-8. Beliau pun dalam sekian banyak hal bertindak sebagai
pribadi, yang tiak ada kaitannya dengan kenabian atau kerasulan.
Disini, kalau kita katakana bahwa
ayat ketiga ini hanya berbicara tentang Sayyidina Muhammad saw. Sebagai Nabi,
maka apakah itu berarti bahwa yang tidak senang kepada beliau sebagai pribadi,
tidak tercakup dalam ancaman ayat ketiga ini?
Penulis tidak memahaminya
demikian sebagai pemahaman Al-Maraghi di atas. Hemat penulis, ayat ini
merupakan ancaman kepada setiap orang yang membenci beliau, baik secara pribadi
maupun dalam kedudukan sebagai Nabi dan Rasul.
Para sahabat Nabi dan ulama-ulama
tedahulu, berusaha sekuat kemampuan untuk memelihara “Perasaan” Sayyidina
Muhammad saw. Secara pribadi. Dalam beberapa literatur antara lain tafsir
al-Manar, dikemukakan bahwa para pakar hadits berbeda pendapat dalam meriwayatkan
hadits Nabi saw. Yang berbunyi: “seandainya Fathimah putrid Muhammad mencuri,
niscaya kupotong tangannya.” Menurut literatur konteks sesuatu neagatif
walaupun hal tersebut dalam sebuah hadits yang mengandung pengandaiannya bahwa
beliau mencuri demi menjaga kehormatan putrid tercinta nabi ini sehingga oleh
ulama tersebut hadits tadi diubah redaksinya menjadi “Seandainya Si Anu
Mencuri”.
Ketika Sahabat Nabi saw. Hassan
Ibn Tsabit ra. Ingin menggubah sebuah syair yang mengecam orang-orang musyrik
dsri suku Quraisy, yang merupakan suku Nabi Muhammad, beliau bertanya: “Di mana
engkau menempatkan aku?” “Akan kukeluarkan engkau dari mereka, bagaikan menarik
rambut dari tumpukan gandum.” Demikian jawaban Hassan. Riwayat ini menunjukan
bahwa beliau sebagai manusia, anggota satu suku yang musyrik pun, merasakan
ikatan darah dengan keluarganya.
‘Umar Ibn Khaththab seperti
diriwayatkan oleh Imam Bukhari pernah berkata kepada al-‘Abbas (paman Nabi)
bahwa: “Demi Allah keislamanmu pada hari engkau memeluk Islam (wahai ‘Abbas)
lebih kusenangi dari keislaman (ayahku) al-Khaththab seandainya dia memeluk
Islam, akrena keislaman lebih disukai oleh Rasul saw. Dari keislaman
al-Khaththab.” Demikian dikutip oleh Abu Turab azh-Zhahiri, salah seorang ulama
kontemporer di Saudi Arabia, yang mengomentari buku karya Ibn Taimiyah yang
berjudul Risalah Fasha’il Ahl al-Bait Wa Huquqihim (Risalah tentang
keutaman keluarga Nabi dan hak-hak mereka).
Dari sini dapat dimengerti
mengapa al-Qur’an menegur orang-orang yang mengganggu pribadi agung itu,
walaupun bukan dalam konteks ajarannya. Perhatikan kecaman al-Qur’an terhadap
mereka yang memanggil-manggil beliau dengan suara keras pada saar beliau sedang
beristirahat di dalam kamarnya.
¨bÎ) úïÏ%©!$# y7tRrß$uZã `ÏB Ïä!#uur ÏNºtàfçtø:$# öNèdçsYò2r& w cqè=É)÷èt ÇÍÈ
“Sesungguhnya
orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak
mengerti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 4), atau teguran Allah terhadap mereka yang
masih duduk mengobrol di rumah beliau setelah beliau selesai makan. (Q.S.
al-Ahzab [33]: 53).
Kalau
pun analisa di atas tidak diterima, maka paling tidak dapat disimpulkan bahwa
amat sukar memisahkan kedudukan pribadi agung itu sebagai Nabi dan sebagai
manusia biasa. Atas dasar itu, kita dapat berkata bahwa apapun motif kebencian
terhadap beliau, kesemuanya termasuk dalam ancaman ayat ini bahkan apapun
gangguan kepada beliau dapat mengakibatkan murka Tuhan (baca QS. Al-Hujurat
[49]: 2).
Atas
dasar pandangan ini pula, sehingga para ulama terdahulu berupaya untuk tidak
menyinggung perasaan beliau, baik yang berkaitan dengan pribadi, keluarga,
lebih-lebih yang berkaitan dengan ajaran beliau.
Ibn
Katsir dalam tafsirnya menulis: “Kita tidak dapat mengingkari pesan terhadap
keluarga Nabi dan perintah untuk berbuat baik terhadap mereka serta menghormati
mereka, karena mereka adalah keturunan (Nabi) suci, yang merupakan keluarga
termulia yang dikenal di permukaan bumi mereka itu mengikuti sunnah Nabi saw,
sebagaimana halnya leluhur mereka semacam al-‘Abbas dan anaknya, serta ‘Ali Ibn
Abi Thalib, keluarga dan keturunannya, semoga Allah melimpahkan rodha-Nya
kepada mereka.” Demikian Wa Allah A’lam.