IRVAN
MUHAMMAD IDRIS
1414231054/PS
2/ SMSTR 4
TAFSIR
AYAT EKONOMI
Tafsir surat Al-Hasyr Ayat 7
Tentang Harta Rampasan
A.
Ayat
مَا
أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ
وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا
يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ (٧)
B.
Terjemah
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan alla kepada rassul Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk
kota-kota maka adalah untuk allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar diantara orang-orang kaya saja dia antara kamu. Apa yang di
berikan rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertawakalah kepada allah. Sesungguhnya allah amat keras
hukuman Nya.
C.
Tafsir
Harta kekayaan dalam bentuk apapun yang Allah berikan
kepada Rasul-Nya dari ahli qura (penduduk Khaibar, Fadak dan ‘Arinah), itu
untuk Allah, untuk Rasulullah, untuk Dzawil Qurba (kerabat dekat), anak-anak
yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil. Menurut ayat ini, al-fai (diluar
kasus bani Nadhir), itu dibagi ke dalam lima bagian dengan ketentuan: 1/5
daripadanya didistribusikan untuk lima kelompok, yaitu untuk Allah dan
Rasulullah yang digunakan untuk kebutuhan hidup beliau selama hayatnya, dan
kemudian didayagunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin sepeninggalnya; untuk
keluarga dekat Nabi Muhammad, dalam hal ini Bani Hasyim dan Bani Abdul
Muthalib; untuk kepentingan anak-anak yatim; untuk orang-orang miskin; dan
untuk ibnu sabil (anak-anak jalanan yang terlantar). Sementara yang 4/5 bagian
selebihnya, adalah khusus untuk Nabi, yang 4/5 bagian ini telah beliau
bagi-bagikan selama hidupnya kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum
Anshar, kecuali dua orang saja yang nyata-nyata fakir.
Imam Ahmad meriwayatkan, Sufyan bin ‘Amr dan Ma’mar
memberitahu kami dari az-Zuhri, dari Malik bin Aus bin al-Hadatsan, dari ‘Umar,
ia berkata: “Harta Bani an-Nadhir termasuk yang telah Allah berikan kepada
Rasul-Nya, dengan tidak ada usaha terlebih dahulu dari kaum muslimin untuk
mengerahkan kuda dan untanya. Oleh karena itu, harta rampasan itu hanya khusus
untuk Rasulullah, beliau nafkahkan untuk keluarganya sebagai nafkah untuk satu
tahun. Dan sisanya beliau manfaatkan untuk kuda-kuda perang dan persenjataan di
jalan-Nya”.
Di dalam al-quran surah al-hasyr ayat 7
bahwasanya terdapat kata yang menjelaskan tentang hokum fai’ dalam hal ini kata
dulatan bainal agniya’ yang artinya “beredar diantara orang-orang kaya”.
Sehingga disini dijelaskan agar harta tidak beredar diantara orang-orang kaya
saja, diperlukan adanya pemerataan harta dalam kegiatan distribusi jadi harta
itu bukan milik pribadi akan tetapi juga sebagian harta kitu itu ada hak milik
orang muslim lainya yang tidak mampu. Islam menekankan perlunya membagi
kekayaan kepada masyarakat melalui kewajiban membayar zakat, mengeluarkan
infaq, serta adanya hokum waris, dan wasiat serta hibah. Aturan ini di
berlakukan agar tidak terjadi konsentrasi harta pada sebagian kecil golongan
saja. Hal ini berarti pula agar tidak terjadi monopoli dan mendukung distribusi
kekayaan serta memberikan latihan moral tentang pembelanjaan harta secara
benar. Oleh karena itu dengan adanya kegiatan distribusi ini maka harta tidak
akan beredar digolongan orang-orang kaya saja melainkan harta itu juga dapat di
nikmati oleh orang-orang miskin.
D.
Mufradat
Al-Fa’i dalam istilah para ulama Islam ialah sesuatu
(khusus harta) yang diambil/ditarik dari orang-orang kafir (non muslim) tanpa
melalui kekerasan (peperangan) dan/atau tanpa menggerakkan pasukan kuda (mesin
perang di zaman modern sekarang). Lain halnya dengan ghanimah yang diperoleh
dengan jalan kekerasan (peperangan).namun demikian, ada juga ahli tafsir yang
memaknakan al-fai dengan harta yang diperoleh orang-orang mukmin dari
orang-orang kafir, tanpa mempersoalkan apakah itu diperoleh secara damai
(al-shulh) maupun peperangan. Sementara sebagian yang lain, ada yang
mendefinisikan al-fai dengan harta yang diperoleh melalui jalan kekerasan
(peperangan) dengan merujuk kepada surat Al-Anfaal ayat 41.
Al-daulah atau Al-duulah,
makna asalnya adalah sesuatu yang dipergilirkan sebagaimana terdapat dalam
surat Ali ‘Imran ayat 140. Kata daulah juga bisa diartikan dengan negara
dan/atau pemerintah.
E.
Asbabun
Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukan bahwa surat al-Anfaal turun
di waktu terjadi peperangan Badar (Ramadhan 2H/624M), sementara surat al-Hasyr
diturunkan pada waktu peperangan bani Nadhir (4H/625M). Kaum yahudi bani Nadhir
adalah penduduk yang dahulu di zaman Nabi Muhammad bertempat tinggal dan berkebun
kurma di luar kota Madinah. Karena pengkhianatan mereka kepada Rasulullah, maka
Rasul pun mengepung mereka dan mengusirnya seraya Rasul membolehkan mereka
membawa harta kekayaannya sejauh yang mereka mampu mengangkutnya dengan
binatang-binatang mereka, dengan catatan mereka tidak diperbolehkan membawa
senjata. Mereka pun kemudian pergi sampai ke Syam (Syria). Allah menurunkan
ayat 1 sampai 5 surat al-Hasyr yang pada intinya adalah membenarkan tindakan
Rasulullah itu termasuk tindakannya untuk mengambil alih sisa-sisa harta yang
ditinggalkan mereka (kaum bani Nadhir).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Rasulullah
sampai di tempat kaum bani Nadhir, mereka bersembunyi di dalam benteng. Lalu
Rasulullah memerintahkan para sahabat supaya menebang pohon-pohon kurma untuk
kemudian membakarnya (sampai berasap tebal) yang menyebabkan bani Nadhir tidak
mampu lagi bertahan di dalam benteng. Mereka lalu berteriak-teriak memanggil
Nabi Muhammad sambil mengatakan: “Hai Muhammad! Kamu telah melarang orang
merusak bumi, dan mencela orang yang berbuat kerusakan (di muka bumi), namun
mengapa kamu sendiri justru menebangi pohon-pohon kurma dan lalu membakarnya?”
Terkait teriakan mereka itu, maka turunlah ayat 9 dari surat al-Hasyr.
Ketika Rasulullah SAW bermukim
di madinah, beliau berkata kepada kaum ansor bahwa kaum dari golongan muhajirin
yang ada di mekkah akan berhijrah ke madinah maka beliau meminta kepada kaum
dari golongan ansor untuk memberikan sebagian hartanya denga menyiapkan
kamar-kamar dan makanan kepada kaum muhajirin, jika kaum dari golongan ansor
tidak memberikan sedikit hartanya , maka harta rampasan bagi kaum ansor tidak
ada jatah baginya dan akan diberikan kepada kaum muhajirin. Dari
golongan kaum ansor lantas berkata bahwa kami akan menyiapkan papan untuk kaum
muhajirin dan tidak akan mengambil bagian dari harta rampasan. Kemudian
turunlah ayat ini, QS. Al-hasyr ayat 7.
F.
Penjelasan
penulis
Dalam ayat ini, allah mengingatkan kita
betapa pentingnya masalah distribusi harta dalam menciptakan suatu mekanisme
distribusi ekonomi yang adil untuk memecahkan permasalahan-permasalaham
ekonomi. Serta
menjelaskan tentang hukum fai’ dimana Dalam hal ini kata dulatan bainal agniya’
yang artinya” beredar diantara orang – orang kaya”. Sehingga disini dijelaskan
agar harta tidak beredar diantara orang – orang kaya saja, diperlukan adanya
pemerataan harta dalam kegiatan distribusi jadi harta itu bukan milik pribadi
akan tetapi sebagian harta kita itu ada hak milik orang muslim lainnya yg tidak
mampu. Islam menekankan perlunya membagi kekayaan kepada masyarakat melalui
kewajiban membayar zakat, mengeluarkan infaq, serta adanya hukum waris, dan
wasiat serta hibah. Aturan ini diberlakukan agar tidak terjadi konsentrasi
harta pada sebagian kecil golongan saja. Hal ini berarti pula agar tidak
terjadi monopoli dan mendukung distribusi kekayaan serta memberikan latihan
moral tentang pembelanjaan harta secara benar. Oleh karena itu dengan adanya
kegiatan distribusi ini maka harta tidak akan beredar digolongan orang – orang
kaya saja melainkan harta itu juga dapat dinikmati oleh orang – orang miskin.
Allah
Swt. berfirman: Mâ afâ’a Allâh ‘alâ
Rasûlih min ahl al-qurâ(apa saja harta rampasan [fay’] yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota). Secara bahasa, kata afâ’aberarti
radda(mengembalikan). Dengan
kata tersebut seolah ingin dikatakan, sesungguhnya harta dan perhiasan itu
diciptakan Allah Swt. sebagai sarana bagi hamba untuk ber-taqarrub kepada-Nya. Ketika harta itu
digunakan tidak pada fungsinya atau dikuasai oleh orang kafir yang
menggunakannya tidak pada fungsinya, maka harta itu telah keluar dari tujuan
awal diciptakan. Sebaliknya, ketika harta itu beralih kepada Muslim yang
membelanjakannya untuk kebaikan, berarti telah kembali pada tujuan semula.
Menurut
kebanyakan mufassir, ayat ini merupakan bayân (penjelasan) terhadap ayat
sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya dijelaskan tentang hakikat harta al-fay’(QS al-Hasyr ayat 6). Dalam
ayat ini dijelaskan bahwa al-fay’ adalah
semua harta yang diambil dari kaum kafir tanpa melalui jalan peperangan tanpa
mengerahkan pasukan unta dan kuda. Seperti halnya harta Bani Nadhir. Semua
harta yang mereka tinggalkan itu disebut al-fay’.Ketentuan
itu tidak hanya berlaku pada harta Bani Nadhir, namun juga semua yang negeri
yang ditaklukkan dengan cara yang sama, yakni tanpa mengerahkan kuda maupun
unta. Jika dalam ayat 6 disebutkan minhum
(dari mereka), yakni dari kaum Yahudi itu, maka dalam ayat 7 digunakan
kata yang lebih bersifat umum: min ahl
al-qurâ (dari penduduk kota-kota). Artinya, semua negeri yang ditaklukkan
tanpa melalui peperangan.
Tiadanya
benturan fisik dalam peperangan itulah yang membedakan fay’ dengan ghanîmah.
Berbeda dengan harta fay’,harta
ghanîmah diperoleh dari kaum kafir melalui jalan peperangan. Pembagian
dan distribusinya pun dibedakan. Jika pembagian ghanîmahdijelaskan dalam QS al-Anfal ayat 1 dan 41, maka
pembagian fay’ dijelaskan dalam
QS al-Hasyr ayat 6 dan 7.
Berdasarkan
QS al-Hasyr ayat 6, harta fay’tersebut
diberikan secara khusus kepada Rasulullah saw. distribusinya pun menjadi
otoritas Beliau. Dalam kaitannya dengan harta Bani Nadhir, Beliau hanya
membagi-bagikannya kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar, kecuali
dua orang, yakni Abu Dujanah dan Sahal bin Hunaif, lantaran kondisinya yang
miskin sebagaimana dialami kaum Muhajirin.
G.
Tafsir
jalalayn
Apa saja harta rampasan atau fai yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota seperti
tanah Shafra, lembah Al-Qura dan tanah Yanbu' maka adalah untuk Allah. Dia
memerintahkannya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya untuk Rasul,
orang-orang yang mempunyai atau memiliki hubungan kekerabatan yaitu kaum
kerabat Nabi dari kalangan Bani Hasyim dan Bani Mutthalib (anak-anak yatim),
yaitu anak-anak kaum muslimin yang bapak-bapak mereka telah meninggal dunia. Sedangkan
mereka dalam keadaan fakir (orang-orang miskin), yaitu orang-orang muslim yang
serba kekurangan. Dan orang-orang yang dalam perjalanan yakni orang-orang
muslim yang mengadakan perjalanan lalu terhenti di tengah jalan karena
kehabisan bekal. Yakni harta fai itu adalah hak Nabi saw. beserta empat
golongan orang-orang tadi, sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah
swt. dalam pembagiannya, yaitu bagi masing-masing golongan yang empat tadi
seperlimanya dan sisanya untuk Nabi saw. (supaya janganlah) lafal kay di sini bermakna
lam, dan sesudah kay diperkirakan adanya lafal an (harta fai itu) yakni harta
rampasan itu, dengan adanya pembagian ini (hanya beredar) atau berpindah-pindah
(di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. Apa yang telah diberikan
kepada kalian) yakni bagian yang telah diberikan kepada kalian (oleh Rasul)
berupa bagian harta fa-i dan harta-harta lainnya (maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya).
H.
Tafsir
Quraish Shihab
Harta penduduk kampung yang Allah
serahkan kepada Rasul-Nya tanpa mencepatkan kuda atau unta adalah milik Allah,
Rasul-Nya, kerabat Nabi, anak yatim, orang miskin, dan ibn sabîl (musafir di
jalan Allah). Hal itu dimaksudkan agar harta tidak hanya berputar di kalangan
orang kaya di antara kalian saja. Hukum- hukum yang dibawa oleh Rasulullah itu
harus kalian pegang, dan larangan yang ia sampaikan harus kalian tinggalkan.
Hindarkanlah diri kalian dari murka Allah. Sesungguhnya Allah benar-benar kejam
siksa-Nya.
I.
Totalitas Islam
Kandungan ayat
ini menjadi bukti kongkret totalitas Islam dalam mengatur seluruh aspek
kehidupan. Pengaturan mengenai harta fay’ dan ghanîmah jelas
menunjukkan bahwa Islam juga tidak hanya berkutat dalam urusan privat dan abai
terhadap urusan publik, sebagaimana yang dituduhkan kaum Liberal.
Kandungan ayat
ini juga membantah klaim sebagian orang yang menolak disyariatkannya Daulah
Islam. Sebab, keberadaan harta fay’ dan ghanîmah terkait erat
dengan jihad dan institusi negara. Sulit dibayangkan umat Islam bisa
mendapatkan harta fay’ jika umat Islam tidak memiliki negara yang kuat
sehingga membuat kaum kafir menjadi gentar dan menyerahkan harta kekayaannya.
Jika umat Islam tidak memiliki negara, yang terjadi adalah sebaliknya.
Alih-alih membuat kaum kafir merasa gentar dan menyerahkan hartanya kepada
Muslim, justru mereka menjarah harta umat Islam tanpa ada perlawanan yang
memadai, sebagaimana yang terjadi saat ini.
Keberadaan
harta ghanîmah juga tidak bisa dilepaskan dari aktivitas jihad fi
sabililah. Dalam pelaksanaan jihad, tentu dibutuhkan seorang pemimpin
yang memberikan komando kepada seluruh kaum Muslim, memobilisasi tentara dan
rakyat, mengatur strategi perang, dan aneka kebijakan dalam peperangan. Itu
semua menunjukkan keniscayaan adanya kepemimpinan dalam suatu negara.
Demikian juga
distribusi harta tersebut. Setelah wafatnya Rasulullah saw, wewenang dan
otoritas distribusi harta fay’ dan ghanîmah ada di tangan Imam
atau Khalifah. Dialah yang diserahi tugas oleh syariah untuk mengelola dan
mendistribuskan harta itu demi kemaslahatan kaum Muslim. Ketentuan itu juga
menunjukkan wajibnya keberadaan Khalifah. Realitas itu jelas menggugurkan klaim
sebagian orang yang mengingkari wajibnya Khilafah.
Ayat ini juga
memberikan prinsip dasar dalam distribusi kekayaan. Kekayaan yang diciptakan
Allah Swt. dan dianugerahkan manusia itu tidak boleh hanya dinikmati segelintir
orang saja. Lagi-lagi, mekanisme ini bisa diwujudkan jika ada institusi negara
yang berwenang atasnya.
Ayat ini juga menolak penerapan
Islam yang hanya nilai-nilainya saja, sementara ketentuan hukumnya bisa
mengadopsi dari mana pun. Ayat ini menegaskan: Wamâ âtâkum al-Rasûl
fakhudzûhu wamâ nahâkum ‘anhu fa [i]ntahû (Apa saja yang Rasul berikan
kepada kalian, terimalah; apa saja yang dia larang, tinggalkanlah). Itu
artinya, seluruh ketentuan syariah harus diterima dan diterapkan dalam
kehidupan. Tidak boleh dibedakan hukum ibadah dengan mu’âmalât atau uqûbât
(sanksi-sanksi hukum). Pasalnya, ayat ini bersifat umum; meliputi semua perkara
yang ditetapkan syariah. Ketentuan ini wajib. Siapa pun yang menolaknya diancam
dengan azab yang pedih, sebagaimana firman-Nya: Wa[i]ttaqû Allâh. Inna Allâh
syadîd al-‘iqâb (Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya).
J.
Makna Global
Meskipun ayat di atas berbicara tentang fai (semacam pajak kepala dalam
kehidupan sekarang), namun di antara isinya yang ditekankan adalah justru
perilah pemerataan distribusi harta kekayaan itu sendiri supaya tidak selalu
dan semuanya beredar pada segelintir orang-orang kaya. Asas pemerataan ekonomi
dan keuangan ini sangat dijunjung tinggi oleh Nabi yang dalam Al-Quran
dianjurkan supaya diikuti pula oleh manusia-manusia yang mengimani Al-Quran.
Pada saat yang bersamaan, ayat ini juga sekaligus mengingatkan umat dan
masyarakat supaya menjauhi aktivitas ekonomi dan keuangan yang dilarang oleh
Rasulullah.
K. Istinbat Ayat
Dari ayat di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Harta fa’i itu pada dasarnya dan dalam kenyataannya diproyeksikan untuk
kemaslahatan umum seperti yang dipraktikkan melalui kebijakan dan kebajikan
Rasulullah, kemudian untuk masyarakat miskin tertentu dalam hal ini keluarga
Nabi sendiri (khusus Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib), anak-anak yatim,
orang-orang miskin, dan ibnu sabil.
Tujuan utama dari pembagian harta fai (ke dalam lima bagian) yang dilakukan
secara profesional, proporsional, dan prosedural itu, semata-mata untuk
mencegah kemungkinan peredaran harta kekayaan yang selalu dan selamanya berada
di dalam genggaman segelintir orang-orang kaya.
Semua dan setiap hukum yang dilakukan Rasulullah, wajib diikuti oleh
umatnya. Sebaliknya, setiap hukum yang dilarang oleh Rasulullah, wajib dijauhi
oleh umatnya.
Mengikuti hukum Rasulullah itu merupakan bagian dari perintah ketakwaan
kepada Allah, melanggarnya tergolong ke dalam perbuatan dosa yang akan disiksa
oleh Allah.
L. Kaitan Ayat
Dengan Hukum Fai
Di dalam Al – Qur’an surah Al – Hasyr Ayat 7
bahwasannya terdapat kata yang bias diarahkan pada tema yaitu kata menjelaskan
tentang hokum fai’ dimana Dalam hal ini kata dulatan bainal agniya’ yang
artinya” beredar diantara orang – orang kaya”. Sehingga disini dijelaskan agar
harta tidak beredar diantara orang – orang kaya saja, diperlukan adanya
pemerataan harta dalam kegiatan distribusi jadi harta itu bukan milik pribadi
akan tetapi sebagian harta kita itu ada hak milik orang muslim lainnya yg tidak
mampu. Islam menekankan perlunya membagi kekayaan kepada masyarakat
melalui kewajiban membayar zakat, mengeluarkan infaq, serta adanya hokum waris,
dan wasiat serta hibah. Aturan ini diberlakukan agar tidak terjadi konsentrasi
harta pada sebagian kecil golongan saja. Hal ini berarti pula agar tidak
terjadi monopoli dan mendukung distribusi kekayaan serta memberikan latihan
moral tentang pembelanjaan harta secara benar.[3] Oleh karena itu dengan adanya
kegiatan distribusi ini maka harta tidak akan beredar digolongan orang – orang
kaya saja melainkan harta itu juga dapat dinikmati oleh orang – orang miskin.
b. SURAT AZ-ZARIYAT AYAT 19
وَفِي اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوْم
M. Tafsir Al-Azhar
“Barang apa yang dirampaskan Allah untuk
Rasullnya dari penduduk negri-negri, adalah itu untuk Allah dan untuk Rasul dan
untuk kerabat anak-anak yatim dan orang0orang miskin dan orang dalam
perjalanan.”
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan negri-negeri ialah yang terdapat pada empat negeri, yang pertama
Harta bani Nadiir, yang kedua harta bani quraizhah yang ketiga tanah difadak
yang jauhnya tiga mil dari madinah dan yang keempat ialah khaibar. Adalagi
perkampungan di: Uraina dan Yanbu, keduanya ditentukan untuk Rasul SAW. ,
Ma’mar membagi harta penghasilan
negara kepada tiga bagian yang pertama al-fai’ , yaitu di dapat
dalam jalan perdamaian atau peyerahan tidak bersyarat sebagai bani nadhirir itu
atau al-fai yang lain harta semacam ini di serahkan kebijaksanaanya kepada nabi
sendiri pada harta yang dibani nadiir. Adapun Al-Fai’ yang selebihnya dibagikan
menurut ayat ke tujuh surat al-hasr ini. Yaitu Nabi yang utama lebih dahulu,
lalu dibagiakan kepada kerabat beliau, anak yatim, fakir miskin dan orang-orang
yang dalam perjalanan (Musafir). Jizyah
dan Al-Kharaj, jizyah ialah tanda ketundukan yang harus dibayar oleh tiap-tiap
ahlul kitab (yahudi dan nasrani) dan majusi yang berlindung dibawah naungan
Islam dan diberi kebebasan melakukan agama masing-masing. Al-kharaadj ialah
uang sewa tanah yang dibayarkan kepada khalifa pada negeri yang ditaklukan dan
penduduknya diberi kebebasan mengerjakan tanahnya atau menggarapnya atau
mengambil menfaatnya.
Ghanimah, yaitu harta rampasan
yang didapat dalam perjuangan peperangan, yang pembagiannya ditentukan dalam
surat al-Anfal, yaitu seperlima untuk rasul dan empat perlima dibagikan kepada
mujahidin, dan seperlima untuk rasul itu dibawah kepada beliau dan dibagikan
kepada orang-orang yang patut untuk menerimanya.
Imam syafi’i berpendapat
menyatakan dua pendapat tentang pembagian harta ini dan pertalian diantara ayat
enam dan ayat tujuh surat al-Hasr ini. Menurut beliau kedua surat ini satu
maksudnya yaitu bahwa harta kaum kafir yang didapat tidak dengan beroerang
dibagi kepada lima bagian empat seperlima diserahkan kepada nabi SAW. Sperlima
yang tinggal dibagi lima pula yaitu seperlima kembali kepada rasulullah SAW.
Seperlima unutk kuam kerabat beliau yaitu bani hasyim dan bani muthalib, sebab
mereka tidak boleh menerima zakat. Seperlima untuk anak yatim, seperlima untuk
kaum miskin, dan seperlima lagi untuk ibnu sabil. Yang diartikan orang yang
terlantar dalam perjalanan.
Kata Imam syafi’i selanjtnya,
adapun setelah rasulullah SAW wafat, maka bagian yang tadinya ditentukan untuk
Rasulullah SAW. Itu dibagikan untuk mujahidin yang diserahi menjaga batas-batas
wilayah atau negara Islam. Karena mereka itu talah melakukan perbuatan yang
diwaktu hidupnya dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dan dalam kata beliau yang lain
(pendapat beliau) dipergunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin, atau untuk
memperkuat sepadan dan batas-batas kekuasaan islam atau untuk memperdalam
sungai-sungai untuk dilayari atau untuk membangun jembatan, dengan ctatan
mendahulukan mana yang lebih penting.
Daftar Pustaka
Tafsir Al-Azhar
Juz 28
http://ekonomiislamindonesia.blogspot.co.id/2012/11/surat-al-hasyr-7-tafsir-ayat-ekonomi.html
No comments:
Post a Comment