Thursday, March 17, 2016

IRVAN MUHAMMAD IDRIS
1414231054/PS 2/ SMSTR 4
TAFSIR AYAT EKONOMI
Tafsir surat Al-Hasyr Ayat 7
Tentang Harta Rampasan
A.    Ayat
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٧)
B.     Terjemah
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan alla kepada rassul Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar diantara orang-orang kaya saja dia antara kamu. Apa yang di berikan rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertawakalah kepada allah. Sesungguhnya allah amat keras hukuman Nya.

C.    Tafsir
Harta kekayaan dalam bentuk apapun yang Allah berikan kepada Rasul-Nya dari ahli qura (penduduk Khaibar, Fadak dan ‘Arinah), itu untuk Allah, untuk Rasulullah, untuk Dzawil Qurba (kerabat dekat), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil. Menurut ayat ini, al-fai (diluar kasus bani Nadhir), itu dibagi ke dalam lima bagian dengan ketentuan: 1/5 daripadanya didistribusikan untuk lima kelompok, yaitu untuk Allah dan Rasulullah yang digunakan untuk kebutuhan hidup beliau selama hayatnya, dan kemudian didayagunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin sepeninggalnya; untuk keluarga dekat Nabi Muhammad, dalam hal ini Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib; untuk kepentingan anak-anak yatim; untuk orang-orang miskin; dan untuk ibnu sabil (anak-anak jalanan yang terlantar). Sementara yang 4/5 bagian selebihnya, adalah khusus untuk Nabi, yang 4/5 bagian ini telah beliau bagi-bagikan selama hidupnya kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar, kecuali dua orang saja yang nyata-nyata fakir.
Imam Ahmad meriwayatkan, Sufyan bin ‘Amr dan Ma’mar memberitahu kami dari az-Zuhri, dari Malik bin Aus bin al-Hadatsan, dari ‘Umar, ia berkata: “Harta Bani an-Nadhir termasuk yang telah Allah berikan kepada Rasul-Nya, dengan tidak ada usaha terlebih dahulu dari kaum muslimin untuk mengerahkan kuda dan untanya. Oleh karena itu, harta rampasan itu hanya khusus untuk Rasulullah, beliau nafkahkan untuk keluarganya sebagai nafkah untuk satu tahun. Dan sisanya beliau manfaatkan untuk kuda-kuda perang dan persenjataan di jalan-Nya”.
Di dalam al-quran surah al-hasyr ayat 7 bahwasanya terdapat kata yang menjelaskan tentang hokum fai’ dalam hal ini kata dulatan bainal agniya’ yang artinya “beredar diantara orang-orang kaya”. Sehingga disini dijelaskan agar harta tidak beredar diantara orang-orang kaya saja, diperlukan adanya pemerataan harta dalam kegiatan distribusi jadi harta itu bukan milik pribadi akan tetapi juga sebagian harta kitu itu ada hak milik orang muslim lainya yang tidak mampu. Islam menekankan perlunya membagi kekayaan kepada masyarakat melalui kewajiban membayar zakat, mengeluarkan infaq, serta adanya hokum waris, dan wasiat serta hibah. Aturan ini di berlakukan agar tidak terjadi konsentrasi harta pada sebagian kecil golongan saja. Hal ini berarti pula agar tidak terjadi monopoli dan mendukung distribusi kekayaan serta memberikan latihan moral tentang pembelanjaan harta secara benar. Oleh karena itu dengan adanya kegiatan distribusi ini maka harta tidak akan beredar digolongan orang-orang kaya saja melainkan harta itu juga dapat di nikmati oleh orang-orang miskin.

D.    Mufradat
Al-Fa’i dalam istilah para ulama Islam ialah sesuatu (khusus harta) yang diambil/ditarik dari orang-orang kafir (non muslim) tanpa melalui kekerasan (peperangan) dan/atau tanpa menggerakkan pasukan kuda (mesin perang di zaman modern sekarang). Lain halnya dengan ghanimah yang diperoleh dengan jalan kekerasan (peperangan).namun demikian, ada juga ahli tafsir yang memaknakan al-fai dengan harta yang diperoleh orang-orang mukmin dari orang-orang kafir, tanpa mempersoalkan apakah itu diperoleh secara damai (al-shulh) maupun peperangan. Sementara sebagian yang lain, ada yang mendefinisikan al-fai dengan harta yang diperoleh melalui jalan kekerasan (peperangan) dengan merujuk kepada surat Al-Anfaal ayat 41.
Al-daulah atau Al-duulah, makna asalnya adalah sesuatu yang dipergilirkan sebagaimana terdapat dalam surat Ali ‘Imran ayat 140. Kata daulah juga bisa diartikan dengan negara dan/atau pemerintah.

E.     Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukan bahwa surat al-Anfaal turun di waktu terjadi peperangan Badar (Ramadhan 2H/624M), sementara surat al-Hasyr diturunkan pada waktu peperangan bani Nadhir (4H/625M). Kaum yahudi bani Nadhir adalah penduduk yang dahulu di zaman Nabi Muhammad bertempat tinggal dan berkebun kurma di luar kota Madinah. Karena pengkhianatan mereka kepada Rasulullah, maka Rasul pun mengepung mereka dan mengusirnya seraya Rasul membolehkan mereka membawa harta kekayaannya sejauh yang mereka mampu mengangkutnya dengan binatang-binatang mereka, dengan catatan mereka tidak diperbolehkan membawa senjata. Mereka pun kemudian pergi sampai ke Syam (Syria). Allah menurunkan ayat 1 sampai 5 surat al-Hasyr yang pada intinya adalah membenarkan tindakan Rasulullah itu termasuk tindakannya untuk mengambil alih sisa-sisa harta yang ditinggalkan mereka (kaum bani Nadhir).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Rasulullah sampai di tempat kaum bani Nadhir, mereka bersembunyi di dalam benteng. Lalu Rasulullah memerintahkan para sahabat supaya menebang pohon-pohon kurma untuk kemudian membakarnya (sampai berasap tebal) yang menyebabkan bani Nadhir tidak mampu lagi bertahan di dalam benteng. Mereka lalu berteriak-teriak memanggil Nabi Muhammad sambil mengatakan: “Hai Muhammad! Kamu telah melarang orang merusak bumi, dan mencela orang yang berbuat kerusakan (di muka bumi), namun mengapa kamu sendiri justru menebangi pohon-pohon kurma dan lalu membakarnya?” Terkait teriakan mereka itu, maka turunlah ayat 9 dari surat al-Hasyr.
Ketika Rasulullah SAW bermukim di madinah, beliau berkata kepada kaum ansor bahwa kaum dari golongan muhajirin yang ada di mekkah akan berhijrah ke madinah maka beliau meminta kepada kaum dari golongan ansor untuk memberikan sebagian hartanya denga menyiapkan kamar-kamar dan makanan kepada kaum muhajirin, jika kaum dari golongan ansor tidak memberikan sedikit hartanya , maka harta rampasan bagi kaum ansor tidak ada jatah baginya dan akan diberikan kepada kaum muhajirin. Dari golongan kaum ansor lantas berkata bahwa kami akan menyiapkan papan untuk kaum muhajirin dan tidak akan mengambil bagian dari harta rampasan. Kemudian turunlah ayat ini, QS. Al-hasyr ayat 7.

F.     Penjelasan penulis
Dalam ayat ini, allah mengingatkan kita betapa pentingnya masalah distribusi harta dalam menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil untuk memecahkan permasalahan-permasalaham ekonomi. Serta menjelaskan tentang hukum fai’ dimana Dalam hal ini kata dulatan bainal agniya’ yang artinya” beredar diantara orang – orang kaya”. Sehingga disini dijelaskan agar harta tidak beredar diantara orang – orang kaya saja, diperlukan adanya pemerataan harta dalam kegiatan distribusi jadi harta itu bukan milik pribadi akan tetapi sebagian harta kita itu ada hak milik orang muslim lainnya yg tidak mampu. Islam menekankan perlunya membagi kekayaan kepada masyarakat melalui kewajiban membayar zakat, mengeluarkan infaq, serta adanya hukum waris, dan wasiat serta hibah. Aturan ini diberlakukan agar tidak terjadi konsentrasi harta pada sebagian kecil golongan saja. Hal ini berarti pula agar tidak terjadi monopoli dan mendukung distribusi kekayaan serta memberikan latihan moral tentang pembelanjaan harta secara benar. Oleh karena itu dengan adanya kegiatan distribusi ini maka harta tidak akan beredar digolongan orang – orang kaya saja melainkan harta itu juga dapat dinikmati oleh orang – orang miskin.
Allah Swt. berfirman: Mâ afâ’a Allâh ‘alâ Rasûlih min ahl al-qurâ(apa saja harta rampasan [fay’] yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota). Secara bahasa, kata afâ’aberarti radda(mengembalikan). Dengan kata tersebut seolah ingin dikatakan, sesungguhnya harta dan perhiasan itu diciptakan Allah Swt. sebagai sarana bagi hamba untuk ber-taqarrub kepada-Nya. Ketika harta itu digunakan tidak pada fungsinya atau dikuasai oleh orang kafir yang menggunakannya tidak pada fungsinya, maka harta itu telah keluar dari tujuan awal diciptakan. Sebaliknya, ketika harta itu beralih kepada Muslim yang membelanjakannya untuk kebaikan, berarti telah kembali pada tujuan semula.
Menurut kebanyakan mufassir, ayat ini merupakan bayân (penjelasan) terhadap ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya dijelaskan tentang hakikat harta al-fay’(QS al-Hasyr ayat 6). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa al-fay’ adalah semua harta yang diambil dari kaum kafir tanpa melalui jalan peperangan tanpa mengerahkan pasukan unta dan kuda. Seperti halnya harta Bani Nadhir. Semua harta yang mereka tinggalkan itu disebut al-fay’.Ketentuan itu tidak hanya berlaku pada harta Bani Nadhir, namun juga semua yang negeri yang ditaklukkan dengan cara yang sama, yakni tanpa mengerahkan kuda maupun unta. Jika dalam ayat 6 disebutkan minhum (dari mereka), yakni dari kaum Yahudi itu, maka dalam ayat 7 digunakan kata yang lebih bersifat umum: min ahl al-qurâ (dari penduduk kota-kota). Artinya, semua negeri yang ditaklukkan tanpa melalui peperangan.
Tiadanya benturan fisik dalam peperangan itulah yang membedakan fay’ dengan ghanîmah. Berbeda dengan harta fay’,harta ghanîmah diperoleh dari kaum kafir melalui jalan peperangan. Pembagian dan distribusinya pun dibedakan. Jika pembagian ghanîmahdijelaskan dalam QS al-Anfal ayat 1 dan 41, maka pembagian fay’ dijelaskan dalam QS al-Hasyr ayat 6 dan 7.
Berdasarkan QS al-Hasyr ayat 6, harta fay’tersebut diberikan secara khusus kepada Rasulullah saw. distribusinya pun menjadi otoritas Beliau. Dalam kaitannya dengan harta Bani Nadhir, Beliau hanya membagi-bagikannya kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar, kecuali dua orang, yakni Abu Dujanah dan Sahal bin Hunaif, lantaran kondisinya yang miskin sebagaimana dialami kaum Muhajirin.

G.    Tafsir jalalayn
Apa saja harta rampasan atau fai yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota seperti tanah Shafra, lembah Al-Qura dan tanah Yanbu' maka adalah untuk Allah. Dia memerintahkannya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya untuk Rasul, orang-orang yang mempunyai atau memiliki hubungan kekerabatan yaitu kaum kerabat Nabi dari kalangan Bani Hasyim dan Bani Mutthalib (anak-anak yatim), yaitu anak-anak kaum muslimin yang bapak-bapak mereka telah meninggal dunia. Sedangkan mereka dalam keadaan fakir (orang-orang miskin), yaitu orang-orang muslim yang serba kekurangan. Dan orang-orang yang dalam perjalanan yakni orang-orang muslim yang mengadakan perjalanan lalu terhenti di tengah jalan karena kehabisan bekal. Yakni harta fai itu adalah hak Nabi saw. beserta empat golongan orang-orang tadi, sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah swt. dalam pembagiannya, yaitu bagi masing-masing golongan yang empat tadi seperlimanya dan sisanya untuk Nabi saw. (supaya janganlah) lafal kay di sini bermakna lam, dan sesudah kay diperkirakan adanya lafal an (harta fai itu) yakni harta rampasan itu, dengan adanya pembagian ini (hanya beredar) atau berpindah-pindah (di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. Apa yang telah diberikan kepada kalian) yakni bagian yang telah diberikan kepada kalian (oleh Rasul) berupa bagian harta fa-i dan harta-harta lainnya (maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya).

H.    Tafsir Quraish Shihab
Harta penduduk kampung yang Allah serahkan kepada Rasul-Nya tanpa mencepatkan kuda atau unta adalah milik Allah, Rasul-Nya, kerabat Nabi, anak yatim, orang miskin, dan ibn sabîl (musafir di jalan Allah). Hal itu dimaksudkan agar harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya di antara kalian saja. Hukum- hukum yang dibawa oleh Rasulullah itu harus kalian pegang, dan larangan yang ia sampaikan harus kalian tinggalkan. Hindarkanlah diri kalian dari murka Allah. Sesungguhnya Allah benar-benar kejam siksa-Nya.

I.       Totalitas Islam
Kandungan ayat ini menjadi bukti kongkret totalitas Islam dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. Pengaturan mengenai harta fay’ dan ghanîmah jelas menunjukkan bahwa Islam juga tidak hanya berkutat dalam urusan privat dan abai terhadap urusan publik, sebagaimana yang dituduhkan kaum Liberal.
Kandungan ayat ini juga membantah klaim sebagian orang yang menolak disyariatkannya Daulah Islam. Sebab, keberadaan harta fay’ dan ghanîmah terkait erat dengan jihad dan institusi negara. Sulit dibayangkan umat Islam bisa mendapatkan harta fay’ jika umat Islam tidak memiliki negara yang kuat sehingga membuat kaum kafir menjadi gentar dan menyerahkan harta kekayaannya. Jika umat Islam tidak memiliki negara, yang terjadi adalah sebaliknya. Alih-alih membuat kaum kafir merasa gentar dan menyerahkan hartanya kepada Muslim, justru mereka menjarah harta umat Islam tanpa ada perlawanan yang memadai, sebagaimana yang terjadi saat ini.
Keberadaan harta ghanîmah juga tidak bisa dilepaskan dari aktivitas jihad fi sabililah. Dalam pelaksanaan jihad, tentu dibutuhkan seorang pemimpin yang memberikan komando kepada seluruh kaum Muslim, memobilisasi tentara dan rakyat, mengatur strategi perang, dan aneka kebijakan dalam peperangan. Itu semua menunjukkan keniscayaan adanya kepemimpinan dalam suatu negara.
Demikian juga distribusi harta tersebut. Setelah wafatnya Rasulullah saw, wewenang dan otoritas distribusi harta fay’ dan ghanîmah ada di tangan Imam atau Khalifah. Dialah yang diserahi tugas oleh syariah untuk mengelola dan mendistribuskan harta itu demi kemaslahatan kaum Muslim. Ketentuan itu juga menunjukkan wajibnya keberadaan Khalifah. Realitas itu jelas menggugurkan klaim sebagian orang yang mengingkari wajibnya Khilafah.
Ayat ini juga memberikan prinsip dasar dalam distribusi kekayaan. Kekayaan yang diciptakan Allah Swt. dan dianugerahkan manusia itu tidak boleh hanya dinikmati segelintir orang saja. Lagi-lagi, mekanisme ini bisa diwujudkan jika ada institusi negara yang berwenang atasnya.
Ayat ini juga menolak penerapan Islam yang hanya nilai-nilainya saja, sementara ketentuan hukumnya bisa mengadopsi dari mana pun. Ayat ini menegaskan: Wamâ âtâkum al-Rasûl fakhudzûhu wamâ nahâkum ‘anhu fa [i]ntahû (Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah; apa saja yang dia larang, tinggalkanlah). Itu artinya, seluruh ketentuan syariah harus diterima dan diterapkan dalam kehidupan. Tidak boleh dibedakan hukum ibadah dengan mu’âmalât atau uqûbât (sanksi-sanksi hukum). Pasalnya, ayat ini bersifat umum; meliputi semua perkara yang ditetapkan syariah. Ketentuan ini wajib. Siapa pun yang menolaknya diancam dengan azab yang pedih, sebagaimana firman-Nya: Wa[i]ttaqû Allâh. Inna Allâh syadîd al-‘iqâb (Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya).

J.      Makna Global
Meskipun ayat di atas berbicara tentang fai (semacam pajak kepala dalam kehidupan sekarang), namun di antara isinya yang ditekankan adalah justru perilah pemerataan distribusi harta kekayaan itu sendiri supaya tidak selalu dan semuanya beredar pada segelintir orang-orang kaya. Asas pemerataan ekonomi dan keuangan ini sangat dijunjung tinggi oleh Nabi yang dalam Al-Quran dianjurkan supaya diikuti pula oleh manusia-manusia yang mengimani Al-Quran. Pada saat yang bersamaan, ayat ini juga sekaligus mengingatkan umat dan masyarakat supaya menjauhi aktivitas ekonomi dan keuangan yang dilarang oleh Rasulullah.

K.    Istinbat Ayat
Dari ayat di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Harta fa’i itu pada dasarnya dan dalam kenyataannya diproyeksikan untuk kemaslahatan umum seperti yang dipraktikkan melalui kebijakan dan kebajikan Rasulullah, kemudian untuk masyarakat miskin tertentu dalam hal ini keluarga Nabi sendiri (khusus Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.
Tujuan utama dari pembagian harta fai (ke dalam lima bagian) yang dilakukan secara profesional, proporsional, dan prosedural itu, semata-mata untuk mencegah kemungkinan peredaran harta kekayaan yang selalu dan selamanya berada di dalam genggaman segelintir orang-orang kaya.
Semua dan setiap hukum yang dilakukan Rasulullah, wajib diikuti oleh umatnya. Sebaliknya, setiap hukum yang dilarang oleh Rasulullah, wajib dijauhi oleh umatnya.
Mengikuti hukum Rasulullah itu merupakan bagian dari perintah ketakwaan kepada Allah, melanggarnya tergolong ke dalam perbuatan dosa yang akan disiksa oleh Allah.

L. Kaitan Ayat Dengan Hukum Fai
Di dalam Al – Qur’an surah Al – Hasyr Ayat 7 bahwasannya terdapat kata yang bias diarahkan pada tema yaitu kata menjelaskan tentang hokum fai’ dimana Dalam hal ini kata dulatan bainal agniya’ yang artinya” beredar diantara orang – orang kaya”. Sehingga disini dijelaskan agar harta tidak beredar diantara orang – orang kaya saja, diperlukan adanya pemerataan harta dalam kegiatan distribusi jadi harta itu bukan milik pribadi akan tetapi sebagian harta kita itu ada hak milik orang muslim lainnya yg tidak mampu. Islam menekankan perlunya membagi kekayaan kepada masyarakat melalui kewajiban membayar zakat, mengeluarkan infaq, serta adanya hokum waris, dan wasiat serta hibah. Aturan ini diberlakukan agar tidak terjadi konsentrasi harta pada sebagian kecil golongan saja. Hal ini berarti pula agar tidak terjadi monopoli dan mendukung distribusi kekayaan serta memberikan latihan moral tentang pembelanjaan harta secara benar.[3] Oleh karena itu dengan adanya kegiatan distribusi ini maka harta tidak akan beredar digolongan orang – orang kaya saja melainkan harta itu juga dapat dinikmati oleh orang – orang miskin.
 b. SURAT AZ-ZARIYAT AYAT 19
وَفِي اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوْم
M. Tafsir Al-Azhar
 “Barang apa yang dirampaskan Allah untuk Rasullnya dari penduduk negri-negri, adalah itu untuk Allah dan untuk Rasul dan untuk kerabat anak-anak yatim dan orang0orang miskin dan orang dalam perjalanan.”
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan negri-negeri ialah yang terdapat pada empat negeri, yang pertama Harta bani Nadiir, yang kedua harta bani quraizhah yang ketiga tanah difadak yang jauhnya tiga mil dari madinah dan yang keempat ialah khaibar. Adalagi perkampungan di: Uraina dan Yanbu, keduanya ditentukan untuk Rasul SAW. ,
Ma’mar membagi harta penghasilan negara  kepada tiga  bagian yang pertama al-fai’ , yaitu di dapat dalam jalan perdamaian atau peyerahan tidak bersyarat sebagai bani nadhirir itu atau al-fai yang lain harta semacam ini di serahkan kebijaksanaanya kepada nabi sendiri pada harta yang dibani nadiir. Adapun Al-Fai’ yang selebihnya dibagikan menurut ayat ke tujuh surat al-hasr ini. Yaitu Nabi yang utama lebih dahulu, lalu dibagiakan kepada kerabat beliau, anak yatim, fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan (Musafir).  Jizyah dan Al-Kharaj, jizyah ialah tanda ketundukan yang harus dibayar oleh tiap-tiap ahlul kitab (yahudi dan nasrani) dan majusi yang berlindung dibawah naungan Islam dan diberi kebebasan melakukan agama masing-masing. Al-kharaadj ialah uang sewa tanah yang dibayarkan kepada khalifa pada negeri yang ditaklukan dan penduduknya diberi kebebasan mengerjakan tanahnya atau menggarapnya atau mengambil menfaatnya.
Ghanimah, yaitu harta rampasan yang didapat dalam perjuangan peperangan, yang pembagiannya ditentukan dalam surat al-Anfal, yaitu seperlima untuk rasul dan empat perlima dibagikan kepada mujahidin, dan seperlima untuk rasul itu dibawah kepada beliau dan dibagikan kepada orang-orang yang patut untuk menerimanya.
Imam syafi’i berpendapat menyatakan dua pendapat tentang pembagian harta ini dan pertalian diantara ayat enam dan ayat tujuh surat al-Hasr ini. Menurut beliau kedua surat ini satu maksudnya yaitu bahwa harta kaum kafir yang didapat tidak dengan beroerang dibagi kepada lima bagian empat seperlima diserahkan kepada nabi SAW. Sperlima yang tinggal dibagi lima pula yaitu seperlima kembali kepada rasulullah SAW. Seperlima unutk kuam kerabat beliau yaitu bani hasyim dan bani muthalib, sebab mereka tidak boleh menerima zakat. Seperlima untuk anak yatim, seperlima untuk kaum miskin, dan seperlima lagi untuk ibnu sabil. Yang diartikan orang yang terlantar dalam perjalanan.
Kata Imam syafi’i selanjtnya, adapun setelah rasulullah SAW wafat, maka bagian yang tadinya ditentukan untuk Rasulullah SAW. Itu dibagikan untuk mujahidin yang diserahi menjaga batas-batas wilayah atau negara Islam. Karena mereka itu talah melakukan perbuatan yang diwaktu hidupnya dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dan dalam kata beliau yang lain (pendapat beliau) dipergunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin, atau untuk memperkuat sepadan dan batas-batas kekuasaan islam atau untuk memperdalam sungai-sungai untuk dilayari atau untuk membangun jembatan, dengan ctatan mendahulukan mana yang lebih penting.
















Daftar Pustaka
Tafsir Al-Azhar Juz 28
http://ekonomiislamindonesia.blogspot.co.id/2012/11/surat-al-hasyr-7-tafsir-ayat-ekonomi.html


No comments:

Post a Comment