Thursday, March 17, 2016

Nama                          : Moh. Abdul Azis Faizin
NIM                            : 1414231077
Jurusan/semester       : Perbankan Syari’ah/IV


Hutang Piutang
Al-Qur’an Surat Al-Baqara ayat 282

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u Ÿwur ó§yö7tƒ çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 Ÿwur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·ŽÉó|¹ ÷rr& #·ŽÎ7Ÿ2 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºsŒ äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤=Ï9 #oT÷Šr&ur žwr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouŽÅÑ%tn $ygtRr㍃Ïè? öNà6oY÷t/ }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ žwr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇËÑËÈ  
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Menurut tafsir al-Misbah karya M. Quraisy Syihab, Inilah ayat yang terpanjang dalam al-Qur’an, dan yang dikenal oleh para ulama dengan nama Ayat al-Mudayanah (ayat utang-piutang). Ayat ini anatar lain berbicara tentang anjuran atau menurut sebagian ulama kewajiban menulis utang piutang dan mempersaksikannya dihadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris), smbil menekan perlunya menulis utang walau sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya.
Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfaq (ayat 271-274), kemudian yang disusul dengan larangan melakukan transaksi riba (ayat 275-279), serta anjuran memberi tangguh kepada yang tidak mampu membayar hutangnya sampai mereka mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu (ayat 280). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis hutang-piutang setelah anjuran dan larangan diatas, mengandung makna tersendiri. Anjuran bersedekah dan melakukan infaq dijalan Allah, merupakan pengejawantahan rasa kasih sayang yang murni; selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati, maka dengan perintah menulis hutang-piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan al-Qur’an, sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dengan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba.
larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah bersedekah, dapat menimbulkan kesan bahwa al-Qur’an tidak bersimpati terhadap orang yang memiliki harta atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini, yang intinya memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang-piutang walau sedikit, serta mempersaksikannya. Seandainya kesan itu benar,
Ayat 282 dimulai dengan seruan Allah SWT kepada kaum yang menyatakan beriman, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.
Perintah  beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi hutang-piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang berhutang. Ini agar yang memberi piutang merasa lebih tenang dengan penulisan itu. Karena menulisnya itu adalah perintang atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak memintanya.
Kata (تداينتم) tadâyantum, yang diatas diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari kata (دين) dain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh huruf-huruf kata dain itu (yakni dâl, ya’ dan nun) selalu menggambarkan hubungan dua belah pihak, salh satunya berkedudukan lebih tinggi dari pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna hutang, pembalasan, ketaatan dan agama. Kesemuanya menggambarkan hubungan  timbal balik itu, atau dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni hutang-piutang.
Penggalan ayat ini menasihati setiap orang yang melakukan transaksi hutang-pitang dengan dua nasihat pokok. Pertama, dikandung oleh pernyataan untuk waktu yang ditentukan. Ini bukan saja mengisyaratkan bahwa ketika berhutang, masa pelunasannya harus ditentukan; bukan dengan berkata: “kalau saya ada uang,” atau “kalau si A datang,” karena ucapan semacam ini tidak pasti, rencana kedatangan si A pun dapat ditunda atau tertunda. Bahkan anak kalimat ayat ini bukan hanya mengandung isyarat tersebut, tetapi juga mengesankan bahwa ketika berhutang seharusnya sudah harus tergambar dalam benak pengutang, bagaimana serta dari sumber mana pembayaran diandalkan. Ini secara tidak langsung mengantar sang muslin untuk berhati-hati dalam berhutang. Sedemikian keras tuntunan kehati-hatian sampai-sampai Nabi saw enggan menshalati mayat yang berhutang tanpa ada yang menjamin hutangnya (HR. Abu Daud dan an-Nasa’i) bahkan beliau bersabda, “Diampuni bagi syahid semua dosanya, kecuali hutang” (HR. Muslim dari ‘Amr Ibn al-‘Ash)
Tuntunan agama melahirkan ketenangan bagi pemeluknya, sekaligus harga diri. Karena itu agama tidak menganjurkan seseorang berhutang terkecuali jika sangat terpaksa. “Hutang adalah kehinaan di siang dan keresahan di malam hari.” Demikian sabda Rasulullah SAW seorang yang tidak resah karena memiliki hutang atau tidak merasa risih karenanya atau tidak merasa risih karenanya, maka dia bukan seorang yang menghayati tuntunan agama. Salah satu doa Rasul SAW yang populer adalah: (اللهُمَّ انّي اَعُوْذُ بِكَ مِن شَلَائِل الدِّيْنَ وَغَلَبَة الرِّجَال). Di sisilain beliau bersabda, “Penangguhan pembayaran hutang oleh yang mampu adalah penganiayaan” (HR. Bukhori dan Muslim).
Perintah menulis utang piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban. Demikian praktik para sahabat nabi ketika itu, demikian juga yang terbaca pada ayat berikutnya. Memang sungguh sulit perintah itu diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perinah menulis hutang-piutang bersifat  wajib, karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis, karena dalam hidup ini setiap orang dapat mengalami kebutuhan pinjam dan meminjamkan. Itu diisyaratkan oleh penggunaan kata  (اذا)idzâ/ apabila pada penggalan ayat ini, yang lazim digunakan untuk menunjukkan kepastian akan terjadinya sesuatu.
Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada dua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya jika mitra pandai tulis baca, dan bila tidak pandai, atau keduanya tidak pandai, maka mereka hendaknya mencari orang ketiga sebagaimanan bunyi lanjutan ayat.
Selanjutnya Allah SWT menegaskan: Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adil, yakni dengan benar, tidak menyalahi ketenutuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami sebagai kata adil dan diantara kamu. Dengan demikian, dibutuhkan tiga criteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tatacara menulis perjanjian, dan kejujuran.
Ayat ini mendahulukan penyebutan adil dari pada penyebutan pengetahuan yang diajarkan Allah. Ini karena keadilan, disamping menuntut adanya pengetahuan bagi ynag akan berlaku adil, juga karena seseorang yang teatapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu pengetahuannya akan digunakan untuk menutupi ketidakadilannya. Ia akan mencari celah hukum untukmembenarakan penyelewengan dan menghindari sanksi.
Selanjutnya kepada para penulis diingatkan, agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur, sebab Allah telah mengajarnya, maka hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab diatas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Walaupun pesan ayat ini dinilai banyak ulama sebagai anjuran, tetapi ia mnjadi wajib jika tidak ada selain yang mampu, dan pada saat yang sama, jika hak dikhawatirkan terabaikan.
Setelah membahas hukum penulisan hutang piutang, penulis, criteria, dan tanggung jawab, maka dikemukakan tentang siapa yang mengimlakan kandungan perjanjian, yakni dengan firman-Nya: “ Dan hendaklah orang yang berhutangitu mengimlakkan apa ynag telah disepakati untuk ditulis. Mengapa yang berhutang, bukan ynag member hutang? Karena dia dalam posisi yang lemah, jika yang member hutang yang mengimlakkan bisa jadi suatu ketika yang berhutang mengingkarainya. Dengan mengimlakkan sendiri hutangnya, dan didepan penulis, serta yang memberinya juga, maka tidak ada alasan bagi yang berhutang untuk mengingkari isi perjanjian. Sambil mengimlakkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang berutang agar dia bertaqwa kepada Allah Tuhannya. Demikian ia diingatkan untuk bertaqwa dengan menyebut dua kata yang menunjuk kepada Tuhan, sekali Allah yang menampung seluruh sifat-sifat-Nya yang Maha Indah,termasuk sifat  Maha Perkasa, Maha Pembalas, Maha Keras siksa-Nya dan dikali kedua rabbahu, yakni Tuhan Pemeliharannya. Ini untuk yang mengingatkan yang berhutang bahwa hutang yang diterimanya serta kesediaan pemilik uang untuk mengutanginya tidak terlepas dari tarbiyah, yakni pemeliharaan dan pendidikan Allah terhadapnya, karena itu lanjutan nasihat tersebut menyatakan, Janganlah ia mengurangi sedikit pun dari hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara pembayaran dan lain-lain, yang dicakup oleh kesepakatan bersama.
Bagaimana kalau yang berhutang, karena suatu dan lain hal tidak mampu mengimlakkan? Lanjutan ayat menjelaskannya, Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya, tidak pandai mengurus harta, karena suatu dan lain sebab, atau lemah keadaannya, seperti sakit, atau sangat tua atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, karena bisu atau tidak mengetahui bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.
Setelah menjelaskan tentang penulisan, turun uraian berikut ini, adalah menyangkut persaksian, baik dalam tulisan maupun selainnya.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara kamu. Kata saksi yang digunakan ayat ini adalah (شَهِيْدَين) bukan (شَاهِدَيْن). Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah yang benar-benar yang wajar serta yang dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada- demikian tim Departemen Agama RI dan banyak ulama menerjemahkan dan memahami lanjutan ayat – atau kalau bukan – menurut hemat penulis – yakni kalau bukan dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.
Dalam pandangan mazhab Malik, kesaksian wanita dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitang dengan harta benda, tidak dalam kriminal, pernikahan, cerai dan rujuk. Mazhab Hanafi lebih luas dan lebi sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kodrat wanita. Mereka membenarkan kesaksian wanita dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta benda, persoalan rumah tangga, seperti pernikahan, talak dan rujuk, bahkan segala sesuatu kecuali dalm soal kriminal. Memang persoalan criminal yang dapat mengantar kedalah jatuhnyahukuman mati, dan dera, disamping tidak sejalan dengan kelemahlembutan wanita, kesaksian dalam hal tersebut juga tidak lumrah bagi mereka yang diharapkan lebih banyak member perhatian pada anak-anak dan rumah tangganya.
Betapapun, ayat diatas tidak menutup kemungkinan kesaksian wanita- baik secara luas, terbatas maupun sempit.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kesaksian dua orang lelaki, disimbangkan dengan seorang lelaki atau dua perempuan. Yakni seorang laki-laki diseimbangkan dengan perempuan? Ayat ini menjelaskan bahwa hal tersebut adalah supaya jika salah seorang dari perempuan itu lupa maka seorang lagi, yakni yang menjadi saksi bersamanya mengingatkannya. Mengapa kemungkinan ini disebutkan dalam konteks kesaksian wanita. Apakah karena kemampuan intelektualnya kurang, seperti sementara ulama? Atau karena emosinya sering tidak terkendali? Menurut Quraish Syihab bahwasannya tidak keduanya.
Al-Qur’an dan as-Sunnah mengatur pembagian kerja antara wanita dan pria, suami dan istri. Suami bertugas mencari nafkah dan dituntut untuk memberikan perhatian utama dalam hal ini untuk menyediakan kecukupan nafkah untuk anak intrinya. Ssedang tugas utama wanita atau istri adalah membina rumah tangga dan member perhaatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. Namun perlu dicatat, pembagian kerja ittu tudakketat. Tidak jarang istri para sahabat Nabbi Muhammad SAW ikut bekerja mencari nafkah, karena suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan tidak sedikitpula sumai yang melakukan aktivitas dirumah serta mendidik anak-anaknya. Pembagian kerja yang disebut diatas, dan perhatian yan berbeda yang dituntut terhadap masing-masing jenis  kelamin, menjadikan kemampuan dan ingatan mereka menyangkut objek perhatiannya berbeda. Ingatan wanita dalam soal rumah tangga, pastilah lebih kuat dibandingkan pria yang perhatiannya lebih banyak atau seharusnyalebih banyak tertuju pada keja, perniagaan, termasuk hutabg piutang. Ingatannya pasti ga lebih kuat dari wanita yang perhatian utamanya tidak tertuju atau tidak di harapkan tertuju kesana. Atas dasar besar kecilnya perhatian itulah tuntunan diatas diterapkan. Dan, karena al-Qur’an  menghendaki wanita member perhatian lebih banyak keapada   rumah tangga, aatau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini, wanita-wanita tidak member perhataian yang cukup terhadap hutang piutanag, baik karena suami tidak mengizinkan keterlibatan mereaka atau oleh sebab lain, maka kemungkinan mereka lupalebih besar dari kemungkinan oleh pria, karena itu- demi menguatkan persaksian-dua orang wanita diseimbangkan dengan seorang pria, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Sekali lagi-menurut Qurais Syihab ayat ini tidak berbicara tentang kemampuan intelektual wanita, tidak juga berarti bahwa kemampuannya menghafal lebih rendah dari kemampuan pria. Kenyataannya dalam masyarakat ikut membuktikan kekeliruan persepsi sementara orang, bahkan sementar aulama dan intelektual.
Sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis, kepada para saksi pun Allah berpesan, “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil,” karaena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau suatu terjadi korban.
Yang dinamai saksi adalah orang ynang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika aitu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara aktual telah menjadi saksi. Setelah mengingatkan para saksi, ayat ini kembali berbicara tentang penulisan hutang-piutang, tetapi dengan memberi penekanan kepada hutang-piutang yang jumlahnya kecil, karena biasanya perhatian tidak diberikan secara penuh menyangkut hutang hutang yang kecil, padahal yang kecilpun dapat mengakibatkan permusuhan, bahkan pembunuhan. Apalagi yang kecil bagi seseorang boleh jadi dinilai besar oleh yang lain. Memang menulis yang kecil-kecil sering dapt membosankan. Karena itu ayat ini mengingatkan, janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai yakni termasuk batas waktu membayarnya.
Petunjuk-petunjuk diatas adalah ika muamalah dilakukan dalam bentuk hutang-piutang. Tetapi jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; perintah disini oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum, bahkan perintah wajib.
Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja mempunyai aneka kepentingn pribadi atau keluarga; kehadiranyya sebagai sakssi, dan atau tugasnya menulis, dapat mengganggu kepentingannya. Disisi lain mereka yang melakukan transaksi jual beli atau hutang-piutang itu dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan saksi jika mereka menyelewengkan kesaksian kesaksian atau menyalahi ketentuan penulisan. Karena itu Allah berpesan berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi,  kepada penjual dan pembeli, serta yang berhutang dan pemberi hutang. Penggalan ayat berikut yang menyatakan (وَلَا يَضَارُّ كَاتِبٌ ولَاشَهِيْدٌ), dapat berarti janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis.
Salah satu bentuk mudharat yang dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan memperoleh rezeki, karena itu tidak ada salahnya memberikan mereka ganti biaya transport dan biaya administrasinya, sebagai imbalan jerih payah dan penggunaan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang nermuamalah dengan memperlambat kesaksian, apalagi menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu, wahai para saksi dan penulis sertaa yang melakukan mualmalah, melakukan yang dmeikian, maka sesunguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Kefasikan terambil dari akar kata yang bermakna terkelupasnya kulit sesuatu. Kefasikan adalah keluarnya seseorang dari ketaatan  kepada Allah SWT atau dengan kata lain, kedurhakaan. Ini berarti, siapapun yang melakukan aktivitas yang mengakibatkan kesulitan bagi orang lain, maka dia dinilai durhaka kepada Allah serta keluar dari ketaatan kepada-Nya.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: “ Dan bertaqwalah kamu  kepada Allah; Allah mengajar kamu,; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. Menutup ayat  ini dengan perintah bertaqwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran Ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya taqwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat.
Refleksitas dari penafsiran ayat tersebut adalah ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk mencatat atau menuliskan apabila melakukan suatu transaksi hutang piutang. Hal tersebut agar tidak terjadi suatu perselisihan dikemudian hari apabila tersjadi suatu permasalahan yang timbul selama berjalannya transaksi hutang sampai kepada suatu waktu pelunasan.  Apabila terjadi suatu masalah, maka tinggal membuka catatan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Analisis Ekonomi hampir tiap-tiap transaksi yang ada di dunia ini mengenal yang namanya hutang piutang, baik itu pada transaksi kelembagaan maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Misalkan dalam suatu kelembagaan terdapat macam-macam transaksi yang mana semuanya mengenal istilah hutang piutang didalamnya; perbankan, koperasi, perusahaan, pemerintahan, dan lain-lain. Begitu pula aktivitas hutang piutang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari; antar saudara, antar tetangga, belanja di took, dan lain-lain. Seseorang mengenal hutang dikarenakan kebutuhan yang lebih banyak daripada suatu pendapatan yang didapatnya, sedangkan setiap orang dituntut memenuhi kehidupannya mau tidak mau harus terpenuhi. Dengan hadirnya transaksi hutang piutang, terjadi banyak orang yang memanfaatkan hal tersebut untuk memeras pihak-pihak yang lagi membutuhkan keuangan. Padahal pada hakikatnya suatu transaksi hutang piutang adalah taawun (tolong menolong). Akan tetapi akad tolong menolong tersebut dipelintir menjadi suatu tambahan didalam pelunasan hutang, sampai akhirnya terjadi suatu tambahan tersebut yang mana dinamakan riba. Hal tersebut dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, baik kelembagaan maupun perorangan.















DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish Shihab,“Tafsir Al-Misbah”,Volumue 1 (Ciputat Tangerang: Lentera Hati, 2005), 601-609.
Muhammad  Ar-Rifa’i,“Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir”,Jilid 1, Penerjemah: Syihabuddin (Jakarta:Gema Insani, 1999), 462-463.
http//ekonomiislamindonesia.blogspot.in/2012/08/tafsir-ekonomi-al-quran-surat-al-html


No comments:

Post a Comment