Nama : Moh. Abdul Azis
Faizin
NIM : 1414231077
Jurusan/semester : Perbankan Syari’ah/IV
Hutang Piutang
Al-Qur’an Surat Al-Baqara ayat 282
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷/ 7=Ï?$2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 wur z>ù't ë=Ï?%x. br& |=çFõ3t $yJ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u wur ó§yö7t çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& w ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJã uqèd ö@Î=ôJãù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3t Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk¶9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 wur z>ù't âä!#ypk¶9$# #sÎ) $tB (#qããß 4 wur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·Éó|¹ ÷rr& #·Î72 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºs äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤¶=Ï9 #oT÷r&ur wr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouÅÑ%tn $ygtRrãÏè? öNà6oY÷t/ }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ wr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sÎ) óOçF÷èt$t6s? 4 wur §!$Òã Ò=Ï?%x. wur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tæ ÇËÑËÈ
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
Menurut tafsir
al-Misbah karya M. Quraisy Syihab, Inilah ayat yang terpanjang dalam al-Qur’an,
dan yang dikenal oleh para ulama dengan nama Ayat al-Mudayanah (ayat
utang-piutang). Ayat ini anatar lain berbicara tentang anjuran atau menurut
sebagian ulama kewajiban menulis utang piutang dan mempersaksikannya dihadapan
pihak ketiga yang dipercaya (notaris), smbil menekan perlunya menulis utang
walau sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya.
Ayat ini ditempatkan
setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfaq (ayat 271-274), kemudian
yang disusul dengan larangan melakukan transaksi riba (ayat 275-279), serta
anjuran memberi tangguh kepada yang tidak mampu membayar hutangnya sampai
mereka mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu (ayat
280). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis hutang-piutang
setelah anjuran dan larangan diatas, mengandung makna tersendiri. Anjuran
bersedekah dan melakukan infaq dijalan Allah, merupakan pengejawantahan rasa
kasih sayang yang murni; selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan kekejaman
dan kekerasan hati, maka dengan perintah menulis hutang-piutang yang
mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan
al-Qur’an, sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh
sedekah dengan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba.
larangan mengambil
keuntungan melalui riba dan perintah bersedekah, dapat menimbulkan kesan bahwa
al-Qur’an tidak bersimpati terhadap orang yang memiliki harta atau
mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini, yang intinya
memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang-piutang walau sedikit,
serta mempersaksikannya. Seandainya kesan itu benar,
Ayat 282 dimulai dengan
seruan Allah SWT kepada kaum yang menyatakan beriman, Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.
Perintah beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka
yang melakukan transaksi hutang-piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang
berhutang. Ini agar yang memberi piutang merasa lebih tenang dengan penulisan
itu. Karena menulisnya itu adalah perintang atau tuntunan yang sangat
dianjurkan, walau kreditor tidak memintanya.
Kata (تداينتم) tadâyantum,
yang diatas diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari
kata (دين) dain. Kata ini
memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh huruf-huruf
kata dain itu (yakni dâl, ya’ dan nun) selalu menggambarkan
hubungan dua belah pihak, salh satunya berkedudukan lebih tinggi dari pihak
yang lain. Kata ini antara lain bermakna hutang, pembalasan, ketaatan dan
agama. Kesemuanya menggambarkan hubungan
timbal balik itu, atau dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang
dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni hutang-piutang.
Penggalan ayat ini
menasihati setiap orang yang melakukan transaksi hutang-pitang dengan dua
nasihat pokok. Pertama, dikandung oleh pernyataan untuk waktu yang ditentukan.
Ini bukan saja mengisyaratkan bahwa ketika berhutang, masa pelunasannya harus
ditentukan; bukan dengan berkata: “kalau saya ada uang,” atau “kalau si A
datang,” karena ucapan semacam ini tidak pasti, rencana kedatangan si A pun
dapat ditunda atau tertunda. Bahkan anak kalimat ayat ini bukan hanya
mengandung isyarat tersebut, tetapi juga mengesankan bahwa ketika berhutang
seharusnya sudah harus tergambar dalam benak pengutang, bagaimana serta dari
sumber mana pembayaran diandalkan. Ini secara tidak langsung mengantar sang
muslin untuk berhati-hati dalam berhutang. Sedemikian keras tuntunan kehati-hatian
sampai-sampai Nabi saw enggan menshalati mayat yang berhutang tanpa ada yang
menjamin hutangnya (HR. Abu Daud dan an-Nasa’i) bahkan beliau bersabda,
“Diampuni bagi syahid semua dosanya, kecuali hutang” (HR. Muslim dari ‘Amr Ibn
al-‘Ash)
Tuntunan agama melahirkan
ketenangan bagi pemeluknya, sekaligus harga diri. Karena itu agama tidak
menganjurkan seseorang berhutang terkecuali jika sangat terpaksa. “Hutang
adalah kehinaan di siang dan keresahan di malam hari.” Demikian sabda
Rasulullah SAW seorang yang tidak resah karena memiliki hutang atau tidak
merasa risih karenanya atau tidak merasa risih karenanya, maka dia bukan
seorang yang menghayati tuntunan agama. Salah satu doa Rasul SAW yang populer
adalah: (اللهُمَّ انّي اَعُوْذُ بِكَ مِن شَلَائِل
الدِّيْنَ وَغَلَبَة الرِّجَال). Di sisilain beliau bersabda,
“Penangguhan pembayaran hutang oleh yang mampu adalah penganiayaan” (HR.
Bukhori dan Muslim).
Perintah menulis utang
piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban. Demikian
praktik para sahabat nabi ketika itu, demikian juga yang terbaca pada ayat
berikutnya. Memang sungguh sulit perintah itu diterapkan oleh kaum muslimin
ketika turunnya ayat ini jika perinah menulis hutang-piutang bersifat wajib, karena kepandaian tulis menulis ketika
itu sangat langka. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar
tulis menulis, karena dalam hidup ini setiap orang dapat mengalami kebutuhan
pinjam dan meminjamkan. Itu diisyaratkan oleh penggunaan kata (اذا)idzâ/
apabila pada penggalan ayat ini, yang lazim digunakan untuk menunjukkan
kepastian akan terjadinya sesuatu.
Perintah menulis dapat
mencakup perintah kepada dua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang
menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya jika mitra pandai
tulis baca, dan bila tidak pandai, atau keduanya tidak pandai, maka mereka
hendaknya mencari orang ketiga sebagaimanan bunyi lanjutan ayat.
Selanjutnya Allah SWT menegaskan: Dan hendaklah seorang penulis
diantara kamu menulisnya dengan adil, yakni dengan benar, tidak menyalahi
ketenutuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga
merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami sebagai kata
adil dan diantara kamu. Dengan demikian, dibutuhkan tiga criteria bagi penulis,
yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tatacara menulis
perjanjian, dan kejujuran.
Ayat ini mendahulukan penyebutan adil dari pada penyebutan pengetahuan
yang diajarkan Allah. Ini karena keadilan, disamping menuntut adanya
pengetahuan bagi ynag akan berlaku adil, juga karena seseorang yang teatapi
tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan
yang mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu pengetahuannya akan digunakan
untuk menutupi ketidakadilannya. Ia akan mencari celah hukum untukmembenarakan
penyelewengan dan menghindari sanksi.
Selanjutnya kepada para penulis diingatkan, agar janganlah enggan
menulisnya sebagai tanda syukur, sebab Allah telah mengajarnya, maka hendaklah
ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab diatas pundak
penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk
melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Walaupun pesan ayat ini
dinilai banyak ulama sebagai anjuran, tetapi ia mnjadi wajib jika tidak ada
selain yang mampu, dan pada saat yang sama, jika hak dikhawatirkan terabaikan.
Setelah membahas hukum penulisan hutang piutang, penulis, criteria, dan
tanggung jawab, maka dikemukakan tentang siapa yang mengimlakan kandungan
perjanjian, yakni dengan firman-Nya: “ Dan hendaklah orang yang berhutangitu
mengimlakkan apa ynag telah disepakati untuk ditulis. Mengapa yang
berhutang, bukan ynag member hutang? Karena dia dalam posisi yang lemah, jika
yang member hutang yang mengimlakkan bisa jadi suatu ketika yang berhutang
mengingkarainya. Dengan mengimlakkan sendiri hutangnya, dan didepan penulis,
serta yang memberinya juga, maka tidak ada alasan bagi yang berhutang untuk
mengingkari isi perjanjian. Sambil mengimlakkan segala sesuatu yang diperlukan
untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang berutang agar dia bertaqwa
kepada Allah Tuhannya. Demikian ia diingatkan untuk bertaqwa dengan menyebut
dua kata yang menunjuk kepada Tuhan, sekali Allah yang menampung seluruh
sifat-sifat-Nya yang Maha Indah,termasuk sifat
Maha Perkasa, Maha Pembalas, Maha Keras siksa-Nya dan dikali kedua
rabbahu, yakni Tuhan Pemeliharannya. Ini untuk yang mengingatkan yang berhutang
bahwa hutang yang diterimanya serta kesediaan pemilik uang untuk mengutanginya
tidak terlepas dari tarbiyah, yakni pemeliharaan dan pendidikan Allah
terhadapnya, karena itu lanjutan nasihat tersebut menyatakan, Janganlah ia
mengurangi sedikit pun dari hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar
hutang, waktu, cara pembayaran dan lain-lain, yang dicakup oleh kesepakatan
bersama.
Bagaimana kalau yang berhutang, karena suatu dan lain hal tidak mampu
mengimlakkan? Lanjutan ayat menjelaskannya, Jika yang berhutang itu orang
yang lemah akalnya, tidak pandai mengurus harta, karena suatu dan lain
sebab, atau lemah keadaannya, seperti sakit, atau sangat tua atau dia sendiri
tidak mampu mengimlakkan, karena bisu atau tidak mengetahui bahasa yang
digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur.
Setelah menjelaskan tentang penulisan, turun uraian berikut ini, adalah
menyangkut persaksian, baik dalam tulisan maupun selainnya.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki diantara kamu. Kata saksi yang digunakan ayat ini adalah (شَهِيْدَين) bukan (شَاهِدَيْن). Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah yang benar-benar
yang wajar serta yang dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah
berulang-ulang melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, tidak ada keraguan
menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki
yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada- demikian
tim Departemen Agama RI dan banyak ulama menerjemahkan dan memahami lanjutan
ayat – atau kalau bukan – menurut hemat penulis – yakni kalau bukan
dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhoi, yakni yang disepakati oleh yang melakukan
transaksi.
Dalam pandangan mazhab Malik, kesaksian wanita dibenarkan dalam hal-hal
yang berkaitang dengan harta benda, tidak dalam kriminal, pernikahan, cerai dan
rujuk. Mazhab Hanafi lebih luas dan lebi sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan kodrat wanita. Mereka membenarkan kesaksian wanita dalam hal-hal yang
berkaitan dengan harta benda, persoalan rumah tangga, seperti pernikahan, talak
dan rujuk, bahkan segala sesuatu kecuali dalm soal kriminal. Memang persoalan
criminal yang dapat mengantar kedalah jatuhnyahukuman mati, dan dera, disamping
tidak sejalan dengan kelemahlembutan wanita, kesaksian dalam hal tersebut juga
tidak lumrah bagi mereka yang diharapkan lebih banyak member perhatian pada
anak-anak dan rumah tangganya.
Betapapun, ayat diatas tidak menutup kemungkinan kesaksian wanita- baik
secara luas, terbatas maupun sempit.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kesaksian dua orang lelaki,
disimbangkan dengan seorang lelaki atau dua perempuan. Yakni seorang laki-laki
diseimbangkan dengan perempuan? Ayat ini menjelaskan bahwa hal tersebut adalah
supaya jika salah seorang dari perempuan itu lupa maka seorang lagi, yakni yang
menjadi saksi bersamanya mengingatkannya. Mengapa kemungkinan ini disebutkan
dalam konteks kesaksian wanita. Apakah karena kemampuan intelektualnya kurang,
seperti sementara ulama? Atau karena emosinya sering tidak terkendali? Menurut
Quraish Syihab bahwasannya tidak keduanya.
Al-Qur’an dan as-Sunnah mengatur pembagian kerja antara wanita dan pria,
suami dan istri. Suami bertugas mencari nafkah dan dituntut untuk memberikan
perhatian utama dalam hal ini untuk menyediakan kecukupan nafkah untuk anak
intrinya. Ssedang tugas utama wanita atau istri adalah membina rumah tangga dan
member perhaatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa
anak-anaknya. Namun perlu dicatat, pembagian kerja ittu tudakketat. Tidak jarang
istri para sahabat Nabbi Muhammad SAW ikut bekerja mencari nafkah, karena
suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan tidak sedikitpula
sumai yang melakukan aktivitas dirumah serta mendidik anak-anaknya. Pembagian
kerja yang disebut diatas, dan perhatian yan berbeda yang dituntut terhadap
masing-masing jenis kelamin, menjadikan
kemampuan dan ingatan mereka menyangkut objek perhatiannya berbeda. Ingatan
wanita dalam soal rumah tangga, pastilah lebih kuat dibandingkan pria yang
perhatiannya lebih banyak atau seharusnyalebih banyak tertuju pada keja,
perniagaan, termasuk hutabg piutang. Ingatannya pasti ga lebih kuat dari wanita
yang perhatian utamanya tidak tertuju atau tidak di harapkan tertuju kesana.
Atas dasar besar kecilnya perhatian itulah tuntunan diatas diterapkan. Dan,
karena al-Qur’an menghendaki wanita
member perhatian lebih banyak keapada
rumah tangga, aatau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini,
wanita-wanita tidak member perhataian yang cukup terhadap hutang piutanag, baik
karena suami tidak mengizinkan keterlibatan mereaka atau oleh sebab lain, maka
kemungkinan mereka lupalebih besar dari kemungkinan oleh pria, karena itu- demi
menguatkan persaksian-dua orang wanita diseimbangkan dengan seorang pria,
supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Sekali lagi-menurut
Qurais Syihab ayat ini tidak berbicara tentang kemampuan intelektual wanita,
tidak juga berarti bahwa kemampuannya menghafal lebih rendah dari kemampuan
pria. Kenyataannya dalam masyarakat ikut membuktikan kekeliruan persepsi
sementara orang, bahkan sementar aulama dan intelektual.
Sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis, kepada para saksi pun
Allah berpesan, “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil,” karaena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak
atau suatu terjadi korban.
Yang dinamai saksi adalah orang ynang berpotensi menjadi saksi, walaupun
ketika aitu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara aktual
telah menjadi saksi. Setelah mengingatkan para saksi, ayat ini kembali berbicara
tentang penulisan hutang-piutang, tetapi dengan memberi penekanan kepada
hutang-piutang yang jumlahnya kecil, karena biasanya perhatian tidak diberikan
secara penuh menyangkut hutang hutang yang kecil, padahal yang kecilpun dapat
mengakibatkan permusuhan, bahkan pembunuhan. Apalagi yang kecil bagi seseorang
boleh jadi dinilai besar oleh yang lain. Memang menulis yang kecil-kecil sering
dapt membosankan. Karena itu ayat ini mengingatkan, janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai yakni termasuk batas waktu
membayarnya.
Petunjuk-petunjuk diatas adalah ika muamalah dilakukan dalam bentuk
hutang-piutang. Tetapi jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu
jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; perintah disini
oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum, bahkan perintah wajib.
Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan untuk menulis dan
menyaksikan, tentu saja mempunyai aneka kepentingn pribadi atau keluarga;
kehadiranyya sebagai sakssi, dan atau tugasnya menulis, dapat mengganggu
kepentingannya. Disisi lain mereka yang melakukan transaksi jual beli atau
hutang-piutang itu dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan saksi
jika mereka menyelewengkan kesaksian kesaksian atau menyalahi ketentuan
penulisan. Karena itu Allah berpesan berpesan dengan menggunakan satu redaksi
yang dapat dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli, serta yang
berhutang dan pemberi hutang. Penggalan ayat berikut yang menyatakan (وَلَا يَضَارُّ كَاتِبٌ
ولَاشَهِيْدٌ), dapat
berarti janganlah penulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan
dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan
penulis.
Salah satu bentuk mudharat yang dialami oleh saksi dan penulis adalah
hilangnya kesempatan memperoleh rezeki, karena itu tidak ada salahnya memberikan
mereka ganti biaya transport dan biaya administrasinya, sebagai imbalan jerih
payah dan penggunaan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan saksi
hendaknya tidak juga merugikan yang nermuamalah dengan memperlambat kesaksian,
apalagi menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan
kesepakatan mereka. Jika kamu, wahai para saksi dan penulis sertaa yang melakukan
mualmalah, melakukan yang dmeikian, maka sesunguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu.
Kefasikan terambil dari akar kata yang bermakna terkelupasnya kulit
sesuatu. Kefasikan adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Allah SWT atau dengan kata lain,
kedurhakaan. Ini berarti, siapapun yang melakukan aktivitas yang mengakibatkan
kesulitan bagi orang lain, maka dia dinilai durhaka kepada Allah serta keluar
dari ketaatan kepada-Nya.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: “ Dan bertaqwalah kamu kepada Allah; Allah mengajar kamu,; dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”. Menutup ayat ini dengan perintah bertaqwa yang disusul
dengan mengingatkan pengajaran Ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena
seringkali yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan yang
dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk menarik keuntungan sebanyak
mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya taqwa serta mengingat pengajaran
Ilahi menjadi sangat tepat.
Refleksitas dari
penafsiran ayat tersebut adalah ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk
mencatat atau menuliskan apabila melakukan suatu transaksi hutang piutang. Hal
tersebut agar tidak terjadi suatu perselisihan dikemudian hari apabila tersjadi
suatu permasalahan yang timbul selama berjalannya transaksi hutang sampai
kepada suatu waktu pelunasan. Apabila
terjadi suatu masalah, maka tinggal membuka catatan perjanjian yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak. Analisis Ekonomi hampir tiap-tiap transaksi
yang ada di dunia ini mengenal yang namanya hutang piutang, baik itu pada
transaksi kelembagaan maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Misalkan dalam suatu
kelembagaan terdapat macam-macam transaksi yang mana semuanya mengenal istilah
hutang piutang didalamnya; perbankan, koperasi, perusahaan, pemerintahan, dan
lain-lain. Begitu pula aktivitas hutang piutang terjadi di dalam kehidupan
sehari-hari; antar saudara, antar tetangga, belanja di took, dan lain-lain.
Seseorang mengenal hutang dikarenakan kebutuhan yang lebih banyak daripada
suatu pendapatan yang didapatnya, sedangkan setiap orang dituntut memenuhi
kehidupannya mau tidak mau harus terpenuhi. Dengan hadirnya transaksi hutang
piutang, terjadi banyak orang yang memanfaatkan hal tersebut untuk memeras
pihak-pihak yang lagi membutuhkan keuangan. Padahal pada hakikatnya suatu
transaksi hutang piutang adalah taawun (tolong menolong). Akan tetapi akad
tolong menolong tersebut dipelintir menjadi suatu tambahan didalam pelunasan
hutang, sampai akhirnya terjadi suatu tambahan tersebut yang mana dinamakan
riba. Hal tersebut dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, baik kelembagaan
maupun perorangan.
DAFTAR
PUSTAKA
M. Quraish Shihab,“Tafsir
Al-Misbah”,Volumue 1 (Ciputat Tangerang: Lentera Hati, 2005), 601-609.
Muhammad
Ar-Rifa’i,“Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir”,Jilid 1, Penerjemah:
Syihabuddin (Jakarta:Gema Insani, 1999), 462-463.
http//ekonomiislamindonesia.blogspot.in/2012/08/tafsir-ekonomi-al-quran-surat-al-html
No comments:
Post a Comment