Nama : Intan
Zahra Septiana
Nim :
1414231050
Smstr/prodi : IV/Perbankan
Syariah2
Tafsir ayat Ekonomi QS. An-Nahl ayat 97
A.
Surat An Nahl
ayat 97
ô`tB @ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @2s ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhsÛ ( óOßg¨YtÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$2 tbqè=yJ÷èt ÇÒÐÈ
Artinya :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Isi kandungan ayat ini menunjukan bahwa ayat tersebut memiliki
status kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam mengerjakan amal shalih
yang disertai dengan iman “orang-orang yang mengerjakan amal shaleh baik
laki-laki atau perempuan dan beriman akan di beri kehidupan yang baik serta pahala
yang lebih baik dari apa yang telah iya kerjakan”
Ayat ini meski pendek namun memiliki peran penting dalam
menggambarkan kehidupan orang-orang mukmin baik di dunia maupun di akhirat.
Pertama-tama, ayat ini menyatakan bahwa iman merupakan tolak ukur keutamaan di
sisi Allah swt. Tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Mereka sama dalam
pandangan Allah yang membedakan di antara mereka adalah tingkat keimanan yang
mereka miliki. Dalam pandangan Allah , jenis kelamin tidak berpengaruh dalam
meraihderajat keimanan, meski utusan Allah atau para Nabi adalah laki-laki ,
namun keNabian ilahi adalah tanggung jawab dan tugas suci yang harus
disampaikan ke seluruh umat manusia.
Tugas ini tidak mungkin dibebankan kepada kaum wanita mengingat
keterbatasan kapasitas yang mereka miliki. Oleh karna itu, Allah swt menunjuk
utusanNya dari golongan kaum laki-laki, namun untuk meraih derajat keimanan dan
religius yang tinggi kaum wanita tidak mendapat batasan . artinya, mereka juga
mampu meraih derajat keimanan yang sempurna, seperti Sayidah Maryam yang
berhasil mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah swt, sehingga mendapat
pelayanan istimewa berupa hidangan dari langit. Atau sayidah Fatimah Az-Zahra
as yang berhasil mencapai derajat keimanan yang tinggi, hingga kedudukannya
disamakan dengan Ali bin Abi Thalib as.
Keimanan saja tidak cukup untuk menentukan kesempurnaan dan derajat
yang tinggi, namun diperlukan juga amal saleh. Iman dan amal saleh adalah tolak
ukur kesempurnaan seseorang. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Amal saleh tidak
terbatas pada tindakan tertentu, namun setiap perbuatan yang pada dasarnya
memiliki kebaikan saat mengerjakannya juga dapat disebut amal saleh, meski
perbuatan tersebut sangat remeh dan kecil.
Dalam lanjutannya ayat ini mengatakan, mereka yang berimana dan
beramal saleh akan mendapat kehidupan yang bersih di dunia. Mereka bebas dari
segala kejelekan dan perbuatan nista. Selain itu Allah swt menjaga mereka dari
segala perbuatan yang menyeleweng dan maksiat. dapun di akhirat mereka akan
menadapat pahala lebih dari apa yang mereka perbuat didunia. Karena sunnatullah
dalam pembalasan perbuatan maksiat berdasarkan keadilan, namun dalam hal pahala
Allah mendahulukan kemurahan dan kasih sayang. Dan hal ini tlah disinggung
dalam ayat ini.
Kemudian dalam ayat ini menyinggung Yakni dengan
kebahagiaan di dunia, ketenteraman hatinya, ketenangan jiwanya, sikap qana’ah
(menerima apa adanya) atau mendapatkan rezeki yang halal dari arah yang tidak
diduga-duga, dsb. Inilah yang diharapkan oleh orang-orang yang
sekarang putus asa di dunia. Ketika mereka tidak memperoleh ketenangan atau
kebahagiaan batin meskipun mereka memperoleh dunia, namun akhirnya mereka nekat
bunuh diri seperti yang kita saksikan. Berdasarkan ayat ini, cara untuk
memperoleh kebahagiaan atau ketenangan batin adalah dengan beriman (tentunya dengan
memeluk Islam) dan beramal saleh atau mengerjakan ajaran-ajaran Islam. Bahkan,
tidak hanya memperoleh kebahagiaan di dunia, di akhirat pun, Allah Subhaanahu
wa Ta'aala akan memberikan balasan yang lebih baik dari apa yang mereka
kerjakan, dengan memberikan surga yang penuh kenikmatan, yang belum pernah
dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan belum pernah terlintas di hati
manusia. Allahumma aatinaa fid dunyaa hasanah wa fil aakhirati hasanah wa
qinaa ‘adzaaban naar.
Ayat ini menunjukkan, bahwa
laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal
saleh harus disertai iman.
Dari
ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:1. Usia, jenis kelamin, etnis dan kedudukan sosial tidak mendapat perhatian di sisi Allah. Tolok ukur utama di sisi Allah adalah iman dan amal saleh.
2. Orang-orang Kafir tidak memiliki kehidupan yang bersih dan suci di dunia. Sepertinya mereka adalah orang-orang yang mati. Karena kehidupan sejati hanya milik orang-orang beriman.
B.
Makna ` global
dan penjelasanya
Dalam
surat An Nahl ayat 97 ini, Allah berfirman memberi janji kepada orang yang
beramal soleh, amal yang bermanfaat dan sejalan dengan kitab Allah dan sunnah
Nabi-Nya, orang lakikah ia atau perempuan, asalkan ia dalam keadaan beriman,
akan diberinya kehidupan yang baik didunia dan di akhirat akan diberinya pahala
yang jauh lebih baik dari apa yang diamalkan itu.
Kehidupan
yang baik ialah kehidupan yang berbahagia, santai dan puas dengan tunjangan
rezek yang halal. Kata “حيوة طيبة “ dalam ayat ini diartikan sebagai kepuasan dan
tidak tamak terhadap kelezatan dunia, karena dalam ketamakan itu terdapat
kepayahan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abdullah bin Umar,
bahwa Rasullah SAW bersabda :
قد افلح من أسلم ورزق كفاف وقنعه الله بما اتاه.
“ Berbahagialah orang yang memeluk
Islam dan diberi rezeki yang cukup serta Allah memuaskannya dengan apa yang
telah diberikan kepadanya.”
Utamanya Orang mu’min memperoleh
kehidupan yang baik yang disertai dengan rasa puas.
Selanjutnya Allah mendorong mereka
untuk tabah dalam melaksanakan segala ketaatan dan kewajiban agama :
من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون
Sungguh kami benar-benar akan memberikan kehidupan yang baik kepada
orang yang melakukan amal sholeh dan melaksanakan segala kewajiban Allah,
sedang dia percaya kepada pahala yang dijanjikan-Nya kepada orang-orang yang
taat, dan kepada siksaan yang di ancamkan-Nya kepada orang-orang yang durhaka.
Kehidupan yang baik itu disertai dengan rasa puas dengan apa yang telah
dibagikan Allah kepadanya, dan ridho dengan apa yang telah ditetapkan baginya.
Sebab dia mengetahui, bahwa rizkinya diperoleh karena Allah telah mengaturnya.
Allah adalah pemberi karunia Yang Maha Pemurah ; tidak melakukan, kecuali apa
yang mengandung kemaslahatan. Dia juga mengetahui segala kesenangan dunia itu
cepat hilang. Karena itu, dia tidak memberikan tempat di dalam hatinya; dia
tidak terlalu bergembira dengan memperolehnya, tidak pula bersedih hati dengan
hilangnya.
Kemudian diakhirat kelak dia akan diberi balasan dengan pahala yang
terbaik, sebagai balasan atas amal saleh yang telah dikerjakannya dan atas
keimanan yang benar yang dipegangnya secara teguh.
Adapun orang yang berpaling dari mengingat Allah, sehingga dia
tidak beriman dan tidak mengerjakan amal saleh, maka dia senantiasa berada
dalam kesusahabn dan kepayahan, karena sangat tamak untuk memperoleh berbagai
kesenangan dunia. Apabila ditimpa suatu bencana atau cobaan, maka dia akan sangat
bersedih hati, gundah, dan gelisah. Kemudian apabila suatu kesenangan dunia
terlewat olehnya, maka dia akan bermuka masam dan hatinya diliputi oleh
perasaan sedih, karena dia mengira bahwa puncak kebahagiaan adalah tercapainya
kesenangan hidup ini dan menikmati kelezatannya. Apabila tidak memperoleh apa
yang dia kehendaki, maka dia akan mengharamkan segala apa yang dia impikan. Dia
memandang apa yang dikehendakinya iu sebagai puncak kebahagiaan dan kebaikan.
C.
Tafsir surat
An- Nahl ayat 97
Menurut imaduddin abul fida ismail bin al-khatib abu hafis umar bin
katsir asy-syafi’i al Quraisyi ad-Dimasyqi, tetapi lebih dikenal dengan nama
ibnu katsir dalam karyanya kitab ibnu katsir , beliau menafsirkan surat an-nahl
ayat 97 sebagai berikut :
Merupakan janji Allah bagi orang-orang yang beramal shaleh, yaitu
amal yang mengikuti ajaran kitab Allah dan sunnah nabinya baik dari laki-laki
maupun perempuan disertai iman kepada Allah dan utusannya, sesungguhnya amal
yang diperintahkan Allah , Allah akan menghidupkan dengan kehidupan yang baik
di dunia dan akan membalasnya dengan amal yang lebih baik di akherat,
diriwayatkan dari ibnu abbas dan segolongan ulamamereka menafsirkan kehidupan
yang baik adalah rizki yang halal.
Menurut imam nashiruddin abu Al-khair Abdullah bin umar bin
Muhammad bin Ali al-Baidhawi Al-syairazi menerangkan lebih terperinci dalam
kitabnya Al-baidhawi.
Dengan kehidupan yang baik di dunia walaupun dalam kesusahan mereka
akan menerimanya dengan qona’ah dan mengharap pahala di akherat nanti, berbeda
dengan orang kafir.
Dan menurut jalaluddin al-Suyuti dan jalaluddin Al-Mahalli dalam kitabnya tafsir jalalain. Maksud
kehidupan disini ada yang mengatakan kehidupan surga ada juga yang mengatakan
kehidupan dunia dan qana’ah atau rizqi yang halal.
Pengertian
kehidupan yang baik ialah kehidupan yang mengandung semua segi kebahagiaan dari
berbagai aspeknya. Telah diriwayatkan dari ibnu abbas dan sejumlah ulama, bahwa
mereka menafsirkannya dengan pengertian rezeqi yang halal lagi baik.
Dari Ali ibnu Abu
Talib, disebutkan bahwa dia menafsirkannya dengan pengertian al-qnaah (puas
dengan apa yang diberikan kepadanya). Hal yang sama telah dikatakan oleh ibnu
abbas, Ikrimah, dan Wahb ibnu Munabbih.
Abi ibnu Abu Talha
telah meriwayatkan dari ibnu Abbas,bahwa makna yang dimaksud ialah kebahagiaan.
Al-Hasan, Mujahid, dan Qatadah mengatakan. “tiada suatu kehidupan pun yang
dapat menyenangkan seseorang kecuali kehidupan di dalam surga.”
Ad-Dahhak
mengatakan, makna yang dimaksud ialah rezeki yang halal dan kemampuan beribadah
dalam kehidupan di dunia. Ad-Dahhak mengatakan pula bahwa yang dimaksud ialah
mengamalkan ketaatan , dan hati merasa lega dalam mengerjakannya.
Di dalam hadis
yang diriwayatkan oleh imam ahmad disebutkan bahwa : “telah menceritakan kepada
kamiAbdullah ibnu Yazid, telah menceritakankepada kami Sa’id ibnu Abu Ayyub,
telah menceritakan kepadaku Syurahbil ibnu syarik, dari aAbu Abdur Rahman
Al-habli, dari Abdullah ibnu Umar. Bahwa Rasulullah saw . pernah bersabda: sesungguhnya
beruntunglah orang yang telah masukislam dan diberi rezeqi secukupnya serta
Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah terhadap apa yang diberikan
kepadanya.” Imam muslim meriwayatkan melalui hadis Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri
dengan sanad yang sama.
Imam Turmuzi dan
Imam Nasai telah meriwayatkanmelalui hadis Ummu Hani’, dari abu Ali Al-Juhani,
dari Fudalah ibnu Ubaid yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah
Saw. Bersabda : sesungguhnya beruntunglah orang yang diberi petunjuk kepada
islam, sedangkan rezeqinya secukupnya dan ia menerimanya dengan penuh rasa
syukur. Imam Turmuzi mengatakan, hadis ini pberpredikat sahih.
Imam Ahmad
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammam, dari yahya, dari Qatadah,
dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. Pernah bersabda:
sesungguhnya Allah tidak akan menganiaya orang mukmin dalam suatu kebaikanpun
yang Dia berikan kepadanya di dunia dan Dia berikan pahalanya di akhirat.
Adapun orang kafir , maka ia diberi balasan di dunia karena
kebaikan-kebaikannya, hingga manakala ia sampai di akhirat , tiada suatu
kebaikan pun yang tersisa baginya yang dapat diberikan kepadanya sebagai
balasan kebaikan. Hadis ini diketengahkan secara munfarid oleh Imam Muslim
Pendapat Ulama’ lain mengatakan dengan kalimat yang singkat namun
padat Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa setiap manusia baik laki-laki maupun
perempuan berhak mendapatkan bagiannya dalam menikmati fasilitas duniawi yang
diperuntukkan baginya sebagai balasan atas kerja kerasnya atau sebagian usaha
yang telah dia lakukan.
Catatan yang diberikan oleh Muhammad Al Gazali, seperti yang
dikutip oleh Quraish Shihab sehubungan dengan tiadanya larangan bagi perempuan
dalam hal kemasyarakatan layak untuk di renungkan:
a)
Perempuan
tersebut memiliki kemampuan luar biasa yang jarang dimiliki oleh laki-laki,
memperkenankannya bekerja akan membuahkan kemaslahatan untuk masyarakat,
sedangkan menghalanginya dapat merugikan masyarakat karena tidak dapat
memanfaatkan kelebihannya.
b)
Pekerjaan yang
dilakukannya hendaklah yang layak bagi perempuan, apalagi kalau itu memang
spesialisasinya perempuan, seperti menjadi bidan,dll.
c)
Perempuan
bekerja untuk membantu tugas pokok suaminya.
d)
Bahwa perempuan
perlu bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan hidup keluarganya
jika tidak ada yang menjamin kebutuhannya atau kalaupun ada itu tidak
mencukupi.
Dalam menafsirkan surat An-Nahl ayat 97 ini, Quraish Shihab
menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sebagai berikut :“Barang siapa yang
mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun
perempuan, sedang dia adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas
dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan kami berikan
kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan sesungguhnya akan
kami berikan balasan kepada mereka semua di dunia dan di akherat dengan pahala yang lebih baik dan
berlipat ganda dari apa
yang telah mereka kerjakan“.
Ayat ini menegaskan bahwa balasan atau imbalan bagi mereka yang
beramal saleh adalah imbalan dunia dan imbalan akherat. Amal Saleh sendiri oleh Syeikh Muhammad Abduh
didefenisikan sebagai segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga,
kelompok dan manusia secara keseluruhan. Sementara menurut Syeikh
Az-Zamakhsari, amal saleh adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil
akal, al-Qur’an dan atau Sunnah Nabi Muhammad Saw. Menurut Defenisi Muhammad
Abduh dan Zamakhsari diatas, maka seorang yang bekerja pada suatu badan usaha
dapat dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak
memproduksi/menjual atau mengusahakan barang-barang yang haram. Dengan demikian, maka seorang karyawan yang
bekerja dengan benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan
imbalan di akherat.
D.
Asbabun Nuzul
An-Nahl (16) ayat 97]
Ibnu Jarir ath-Thobari Rahimahulloh berkata ;
“ada yang berpendapat bahwa ayat ini turun ketika tiap-tiap pemeluk
agama merasa bangga dengan agamanya, mereka berkata: “kamilah yang lebih
utama’, lalu Alloh Azza Wajalla menurunkan ayat ini.
Abu Sholih Rahimahulloh berkata:
“manusia berkumpul, ada penyembah berhala, ahli taurat, dan ahli
injil, masing-masing mereka berkata : kami-lah yang lebih mulia, maka Alloh
menurunkan ayat ini.
[lihat : tafsir ath-Thobari 7/641]
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahulloh berkata tentang ayat ini
“ini adalah sebuah kabar dari yang Maha Benar, Dia menyampaikan
kepada hamba-Nya yang memiliki ainul yaqin bahkan haqqul yaqin bahwa sungguh
siapa yang beramal sholeh akan dihidupkan oleh-Nya dengan kehidupan yang baik sesuai
kadar amalan dan keimanannya. [lihat : Baday’ut-Tafsir, Ibnu Qoyyim
al-Jauziyah, 3/51]
Dengan firman-Nya (Qs. An-Nahl [16] tersebut) Alloh Subhanahu wa
Ta’ala memberi petunjuk sekaligus jaminan kepada hamba-Nya bahwasanya
kebahagiaan hidup dan jalan yang haq untuk mencapainya adalah berada diatas
jalan iman dan amal sholeh, bukan melalui jalan-jalan lain yang dikarang-karang
oleh manusia. Akan tetapi kebanyakan manusia jahil terhadap perkara ini.
kebanyakan mereka memperturutkan selera nafsunya yang rendah dalam menafsirkan
kebahagiaan dan jalan mencapainya. Sebagian mereka salah kaprah tentang perkara
ini dengan berpendapat bahwa “kebahagiaan itu adalah seperti ini dan begini
cara mencapainya”, akan tetapi ternyata maksud mereka itu keliru dan jauh dari
kesejatian. Ada pula para pemikir yang hampir benar dalam menafsirkan
kebahagiaan akan tetapi mereka sama sekali tidak peduli dengan jalan apapun
untuk mencapainya dengan berpendapat “yang penting tujuannya sama”. Dan bahkan
ada yang paling parah yakni tidak hanya salah dalam menafsirkan kebahagiaan
tapi juga mengajak manusia dalam kesalahan tersebut dan meng-klaim “ini adalah
agama” sehingga jadilah mereka orang yang sesat lagi menyesatkan. Naudzubillahi
mindzalik, Padahal tidaklah pokok-pokok agama dan kehidupan ini tegak kecuali
dibangun diatas 2 perkara, yakni; Benarnya tujuan, dan ke-2; Benarnya jalan
untuk mencapai tujuan tersebut.
E.
Penjelasan
hukum ekonomi surat An-Nahl ayat 97
Tafsir
dari keterangan diatas adalah balasan di dunia dan akhirat. Ayat ini menegaskan
bahwa balasan atau imbalan bagi mereka yang beramal saleh adalah imbalan dunia
dan imbalan akhirat. Amal saleh sendiri oleh syeikh Muhammad abduh di
definisikan sebagai segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga,
kelompok dan manusia secara keseluruhan. Sementara menurut syeikh
Az-Zamakhsari, amal saleh adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil
akal, al-Qur’an dan atau sunnah Nabi Muhammad Saw. Menurut definisi Muhammad
Abduh dan Zamakhsari diatas, maka seseorang yang bekerja pada suatu badan usaha
(perusahaan) dapat dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat
perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau mengusahakan barang-barang yang
haram. Dengan demikian, maka seseorang karyawan yang bekerja dengan benar, akan
menerima dua imbalan yaitu di dunia dan imbalan di akherat.
“sesungguhnya
mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah kami tidak akan menyia-nyiakan
pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya)dengan baik” (Al-Kahfi: 30)
Lebih
jauh surat An-Nahl: 97 menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam
menerima upah/ balasan dari Allah. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada
diskriminasi upah dalam islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Hal
yang menarik dari ayat ini, adalah balasan Allah langsung di dunia (kehidupan
yang baik/rezeqi yang halal) dan balasan di akherat (dalam bentuk pahala).
Lebih
lanjut kalau kita lihat hadis Rasullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh
abu dzar bahwa Rasullah saw bersabda:
“mereka
(para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka dibawah
asuhanmu sehingga barang siapa mempunyai saudara dibawah asuhannya maka harus
diberinya makan seperti apa yang dimakannya(sendiri) dan memberi pakaian
seperti apa yang dipakainnya (sendiri)dan tidak membedakan pada mereka dengan
tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti
iytu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya). (HR. Muslim)
Dari
hadis ini dapat didefinisikan bahwa uph yang sifatnya materi (upah di dunia)
mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang.
Perkataan : “harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan
memberi pakaian seperti apa yang dipakainnya (sendiri)”, bermakna bahwa upah
yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang menerima upah.
Bahkan
menjadi tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi karyawannya
yang masih lajang(sendiri). Hal ini ditegaskan lagioleh dokter abdul wahab
abdul aziz as-syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa Hurriyyatul Asasiyah
Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa mencarikan istri juga merupakan
kewajiban majikan, karena istri adalah kebutuhan pokok bagi para karyawan.
Sehingga dari ayat-ayat alQur’an diatas, dn dari hadis-hadis di atas, maka
dapat didefinisikan bahwa: upah adalah
imbalan yang diterima seseorang atas pkerjaannya dalam bentuk imbalan materi di
dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala diakherat (imbalan yang
lebih baik).
Sedangkan
para mufasir penulis mengambil kesimpulan menurut imam ibnu katsir Allah tidak
membedakan pahala bagi hambanya baik itu perempuan ataupun laki-laki semuanya
sama, atas dasar perbuatan yang dilakukan disertai dengan iman. Jika konsep ini
diterapkan dalam ekonomi syariah, seorang manager atau bos memberikan gaji atau
upah baik itu laki-laki ataupun perempuan sesuai dengan pekerjaan yang dia
lakukan asalkan dia melakukan pekerjaan yang sesuai dengan prosedur yang
diterapkan dalam usaha tersebut dan melakukan kinerja yang baik.
Menurut
Imam Nashiruddin Abu Al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali
al-Baidhawi Al-Syairazi penulis menyimpulkan orang yang selalu bekerja keras
tidak pernah putus asa, selalu bersabar serta memiliki jiwa qanaah agar usaha
tersebut menghasilkan sesuatu sesuai kerja keras tersebut dan akan merasakan
kepuasan dan ketenangan dalam jiwa.
Menurut
Jalaluddin al-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli dalam kitabnya Tafsir Jalalain.
Penulis menyimpulkan bahwa seseorang bos melihat kinerja karyawan dengan bagus
dan terus meningkat maka bos akan memberikan upah yang lebih dan mengangkat
karyawan tersebut dengan jabatan yang lebih tinggi dari sebelumnya, apabila
karyawan tersebut dalam kinerja tidak sesuai apa yang diinginkan, maka harus
menerima sanksi atas perbuatan yang dia lakukan.
Daftar pustaka
No comments:
Post a Comment