Thursday, March 17, 2016

Teori                               : Konsumsi
Tafsir Indonesia            : Al Maraghi, Al-Misbah dan Al Azha
Oleh                            : Syaikh Ahmad Musthafa Al Maraghi, M. Quraish Shihab    dan Prof. Dr. Hamka

PERILAKU KONSUMEN

Q.S. Al-Furqan ayat 67
وَالَّذِيْنَ اِذَااَنْفَقُوْ الَمْ يُسْرِ فُوْ اوَلَمْ يَقْتُرُوْاوَكاَنَ بَيْنَ ذَ لِكَ قَوَامًا
“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, diantara keduanya secara wajar.”

Mufrodat (Kosa kata)

وَالَّذِيْن      : Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang
اِذَااَنْفَقُو     : Apabila menginfakkan (harta)
الَمْ يُسْرِ فُوْ        : Tidak melampaui batas dalam mengeluarkan nafkah karena melihat saingannya    yang mempunyai harta
اوَلَمْ يَقْتُرُو          : Tidak pula kikir    
قَوَامًا          : Keduanya secara wajar (Pertengahan, sederhana)





Tafsir Indonesia
a.      Tafsir Al-Maraghi
Al-Maraghi menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak berlaku mubadzir di dalam mengeluarkan nafkah, maka tidak mengeluarkannya lebih dari kebutuhan, tidak pula kikir terhadap diri mereka dan keluarga mereka, sehingga mengabaikan kewajiban terhadap mereka, tetapi mereka mengeluarkannya secara adil dan pertengahan, dan sebaik-baik perkara adalah yang paling pertengahan. Dikatakan : “Janganlah berlebihan dalam suatu urusan, tetapi hendaklah bersikap sederhana. Sebab, dua tepi dari kesederhanaan urusan itu adalah tercela.” Dikatakan pula “Jika seseorang memberikan kepada dirinya segala apa yang diingininya dan tidak mencegahnya, maka ia akan rindu kepada segala kebathilan; dan ia akan menuntunnya kepada dosa serta celaan dengan kemanisan yang sementara ia serukan kepadanya.”
Yazid bin Abu Habib mengatakan, mereka adalah para sahabat Muhamad saw. yang tidak memakan makanan untuk bersenang-senang dan berenak-enakan, tidak pula mengenakan pakaian untuk keindahan, tetapi mereka makan untuk menutupi kelaparan dan menguatkan mereka dalam beribadah kepada Tuhan, serta mengenakan pakaian untuk menutupi aurat dan melindungi mereka dari panas serta dingin.
Abdu ‘I-Malik bin Marwan bertanya kepada Umar bin Abdu ‘I Aziz ketika mengawinkan putrinya, Fatimah, kepadanya Apa nafkahmu?” Umar menjawab, “Kebaikan di antara dua keburukan.” Kemudian membaca ayat ini. Umar berkata pula kepada putranya Ashim, “Wahai anakku, makanlah setengah perutmu dan jangalah kamu mebuang pakaianmu sebelum ia buruk, jangan pula kamu termasuk suatu kaum yang menjadikan rezeki Allah di dalam peru mereka sendiri dan di punggung  mereka.
b.      Tafsir Al-Misbah
Al-Misbah menjelaskan bahwa setelah menyebutkan hubungan hamba-hamba Allah itu dengan makhluk dan Khaliq, kini dilukiskan sifat mereka menyangkut harta benda. Ayat di atas menyatakan bahwa: Dan mereka juga adalah orang-orang yang apabila bernafkah yakni membelanjakan harta mereka, baik untuk dirinya, maupun keluarga ataupun orang lain, mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah ia yakni pembelanjaan mereka pertengahan antara keduanya.
Kata yusrifu terambil dari kata sarf yaitu melampaui batas kewajaran sesuai dengan kondisi yang bernafkah dan yang diberi nafkah. Walaupun Anda kaya raya. Anda tercela jika member anak kecil melebihi kebutuhannya, namun Anda tercela jika member seorang dewasa yang butuh lagi dapat bekerja, sebanyak pemberian Anda kepada sang anak itu.
Kat Yaqturu adalah lawan dari kata yusrifu. Ia adalah member kurang dari apa yang dapat diberikan sesuai dengan keadaan pemberi dan penerima.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa hamba-hamba Allah itu memiliki harta benda sehingga mereka bernafkah, dan bahwa harta itu mencukupi kebutuhan mereka sehingga mereka dapat menyisihkan sedikit atau banyak dari harta tersebut. Ini juga mengandung isyarat bahwa mereka sukses dalam usaha mereka meraih kebutuhan hidup, bukannya orang-orang yang mengandalkan bantuan orang lain. Ini akan semakin jelas, jika kita sependapat dengan ulama yang menegaskan bahwa nafkah yang dimaksud disini adalah nafkh sunnah, bukan nafkah wajib. Dengan alasan,  bahwa berlebihan dalam nafkah wajib tidaklah terlarang atau tercela, sebagaimana sebaliknya, yakni walau sedikit sekali dari pengeluaran harta yang bersifat haram adalah tercela.
Kata qawaman berarti adil, moderat dan pertengahan. Melalui anjuran ini Allah SWT dan Rasul SAW mengantar manusia untuk dapat memelihara hartanya, tidak memboroskan sehingga habis, tetapi dalam saat yang sama tidak menahannya sama sekali sehingga mengorbankan kepentingan pribadi, keluarga atau siapa yang butuh. Memelihara sesuatu yang baik termasuk harta sehingga selalu tersedia dan berkelanjutan merupakan perintah agama. Moderasi dan sikap pertengahan yang dimaksud ini adalah dalam kondisi normal dan umum. Tetapi bila situasi menghendaki penafkahan seluruh harta, maka moderasi dimaksud tidak berlaku. Sayyidina Abu Bakr ra. Menafkahkan seluruh hartanya dan Sayyidina ‘Utsman Abu Bakr ra. Menafkahkan setengah dari miliknya, pada saat mobilisasi umum dalam rangka persiapan perang. Ini karena berjihad menuntut pengerahan semua kemampuan, sehingga tujuan tercapai. Dengan kata lain, moderasi itu hendaknya dilihat dari kondisi masing-masing ornag dan keluarga serta situasi yang dihadapi.

c.       Tafsir Al-Azhar
Dalam tafsir ini disebutkan bahwa sikap hidup sehari-hari seorang ‘Ibadur Rahman itu, yaitu apabila dia menafkahkan harta bendanya tidaklah dia ceroboh, royal dan berlebih daripada ukuran yang mesti, tetapi tidak pula sebaliknya yaitu bakhil (kikir), melainkan dia berlaku sama tengah. Tidak dia ceroboh royal sehingga harta bendanya habis tidak menentu, karena pertimbangan pikiran yang kurang matang, tidak memikirkan hari depan. Dan tidak pula dia bakhil pun adalah suatu penyakit. Dia berusaha mencari harta benda ialah pemagar maruah, penjaga kehormatan diri. Harta benda dicari ialah dipergunakan untuk sebagaimana mestinya, bukan mencari harta yang harus diperbudak oleh harta itu sendiri. Maka dua sikap itu, royal dan bakhil terhadap harta benda adalah alamat jiwa yang stabil. Keroyalan dan berbelanja lebih daripada keperluan, menjadi alamat bahwa jika orang ini ditimpa bahaya karena kehabisan harta harta itu kelak, dia akan dapat menjaga keseimbangan dirinya lagi. Dan orang yang bakhil menjadi putus hubungannya dengan masyarakat, karena dia salah pilih di dalam meletakkan cinta. Kalau di waktu yang penting harta benda ditahan keluarnya, karena bakhil, maka suatu waktu kelak harta benda itu akan terpaksa dikeluarkan juga mau ataupun tidak mau. Seorang yang bakhil ditimpa sakit keras. Dokter menasihatkan supaya dia berobat, supaya dia istirahat ke tempat yang berhawa sejuk berobat meminta belanja banyak. Kalau dia tidak berobat, dia akan mati. Karena takut akan mati, harta benda itu dikeluarkan pengobat diri, padahal di waktu sedang sehat dia tidak merasai nikmat harta itu.
Timbulah hidup yang Qawaaman yang sama tengah di antara royal dan bakhil, tidak lain sebabnya ialah karena kecerdasan pikiran yang telah terlatih. Memandang bahwa harta benda semata-mata pemberian Tuhan yang harus dirasai nikmat pemakaiannya, dan dijaga pula jangan samapi dipergunakan untuk yang tidak berfaedah.
Harta benda amat perlu. Kita hendakah kaya supaya dapat membayar zakat dan naik haji. Sedang zakat dan haji adalah dua di antara 5 tiang (rukun) dari Islam.
Perjuangan agama, jihad, meminta pengorbanan harta dan jiwa. Dan bila membaca urutan ayat bangun bergadang tengah malam (ayat 64), dan takut akan siksa neraka  jahannam (ayat 65 dan 66) disambungkan lagi dengan ayat melarang royal dan melarang bakhil, nampaklah bahwa Hamba Allah Yang Pemurah itu mempertalikan keteguhan batinnya dengan sembahyang tengah malam, dengan usaha mencari harta benda untuk dinafkahkan. Satu dengan lainnya tidak terpisah.

d.      Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa sifat ‘ibadurrahman adalah mereka tidak mubadzir (boros) kala membelanjakan harta mereka, yaitu membelanjakannya di luar hajat (kebutuhan). Mereka tidak bersifat lalai sampai mengurangi dari kewajiban sehingga tidak mencukupi. Intinya mereka membelanjakan harta mereka dengan sifat adil dan penuh kebaikan. Sikap yang paling baik adalah sifat pertengahan, tidak terlalu boros dan tidak bersifat kikir. Hal ini senada dengan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. ” (QS. Al Isra’: 29).
Maksud ayat ini adalah jangan terlalu pelit dan jangan terlalu pemurah (berlebihan). Dalam hadits dho’if (namun maknanya benar) disebutkan,
مِنْ فِقْهِ الرَّجُلِ رِفْقُهُ فِى مَعِيشَتِهِ
Di antara tanda cerdasnya seseorang adalah bersikap pertengahan dalam penghidupan (membelanjakan harta).” (HR. Ahmad 5/194. Syaikh Syu’aib Al Arnauth katakan bahwa sanad hadits ini dho’if)
Para salaf mengatakan perkataan semisal di atas. Iyas bin Mu’awiyah berkata,
ما جاوزت به أمر الله فهو سرف
“Melampaui dari yang Allah perintahkan sudah disebut berlebihan.”
Ulama selain beliau mengatakan,
السرف النفقة في معصية الله
“Sikap berlebihan (dalam membelanjakan harta) adalah menafkahkan harta dalam maksiat kepada Allah.”

Al Hasan Al Bashri mengatakan,
ليس النفقة في سبيل الله سرفا
“Nafkah yang dibelanjakan di jalan Allah tidak disebut boros (berlebihan)”. Semua perkataan salaf di atas dinukil dari Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnul Katsir.
Pembelanjaan harta di atas mencakup zakat, penunaian kafarot dan nafkah yang wajib maupun yang sunnah, kata Syaikh As Sa’di.
Semoga Allah menganugerahkan pada kita sifat pertengahan dalam membelanjakan harta dan menjauhkan kita dari sifat berlebihan (boros) serta sifat kikir (pelit).

Sifat yang dimiliki iIbâd al-Rahmân, para hamba Dzat Yang Maha Penyayang memang benar-benar terpuji. Dalam ayat ini, sifat yang dijelaskan adalah dalam membelanjakan dan menafkahkan harta yang dikaruniakan Allah SWT kepada mereka.
Tidak  Isrâf
Allah Swt berfirman:  wa al-ladzîna idzâ anfaqû lam yusrifû (dan orang-orang yang apabila membelanjakan [harta], mereka tidak berlebih-lebihan). Kata al-infâq yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah membelanjakan harta. Diceritakan ayat ini, para hamba Dzat Yang Maha Penyayang itu dalam membelanjakan hartanya tidak isrâf (melampaui batas). Dalam ayat ini disebutkan: lamyusrifû.
Secara bahasa, kata al-isrâf berasal dari kata al-saraf. Dijelaskan al-Asfahani, kata al-isrâf berarti tajâwaz al-hadd fî kulli fi’l yaf’aluhu al-insân (tindakan melampaui batas pada semua perbuatan yang dikerjakan manusia), meskipun yang lebih populer digunakan dalam hal infak (membelanjakan harta).
Karena pengertiannya adalah tajâwaz al-hadd (melampaui batasan), maka amat penting diketahui tentanghadd (batasan) yang menjadi miqyâs (tolok ukur, standar). Dengan batasan tersebut maka dapat diketahui, apakah suatu pembelanjaan harta sudah terkategorikan sebagai al-isrâf atau belum. Oleh karena kata tersebut dalam Alquran, maka batasan yang dimaksud adalah syara'. Bukan akal, adat, kebiasaan, begitu juga bukan kesederhanaan yang menjadi standar hidup. Dengan demikian, apabila seseorang membelanjakan harta untuk sesuatu yang diharamkan Allah disebut sebagai al-isrâf, melampaui batas..
Inilah pendapat para ulama, seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, dan al-Dhahhak. Al-Hasan al-Basri –dalam kitab tafsir Ibnu Katsir— berkata. “Dalam infak fi sabilillah tidak tidak ada sarâf (melampaui batas). Iyas bin Muawiyah juga berkata, “Semua yang kalian langgar pada perintah Allah SWT, itu adalah sarâf.
Untuk makna yang serupa, dalam ayat lain digunakan kata al-tabdzîr (lihat QS al-Isra’ [17]: 26-27). Alquran dengan tegas mengharamkan tindakan isrâf dan tabdzîr. Berkenaan dengan isrâf, Allah SWT berfirman:Janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (TQS al-A’raf [7]: 31, al-An'am [6]: 141). Sedangkan tentang al-tabdzîr, disebutkan dalam firman-Nya: Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan (QS al-Isra’ [17]: 26-27).
Bahwa Allah SWT tidak menyukai al-musrifîn (orang-orang melakukan al-isrâf) merupakan qarînah (indikasi) yang jelas tentang haramnya perbuatan tersebut. Dan sebagaimana ditegaskan ayat ini, para hamba al-Rahman itu tidak mengerjakan perbuatan terlarang tersebut.
Tidak Kikir
Di samping tidak membelanjakan harta dalam kemaksiatan, mereka juga tidak bersifat kikir. Allah SWT berfirman:  wa lam yaqtarû (dan tidak [pula] kikir). Secara bahasa, al-qatr berarti taqlîl al-nafqah (meminimkan nafkah). Kata ini semakna dengan al-bukhl, lawan  dari al-isrâf.
Sedangkan secara syar’i, al-qatr berarti menahan diri dari membelanjakan harta dalam ketaatan kepada Allah SWT. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Barangsiapa yang tidak mau membelanjakan pada perkara yang wajib atasnya, sungguh dia telah berbuat kikir.” Dikatakan juga oleh Mujahid, “Seandainya ada seseorang membelanjakan hartanya sebesar gunung emas dalam ketaatan kepada Allah, tidak dikategorikan sebagai al-saraf. Sebaliknya, membelanjakan hartanya hanya satu sha’ urusan maksiat, maka terkategorikan sebagai al-saraf.” Pendapat yang sama juga diikuti oleh Ibnu Juraij dan Ibnu Zaid.
Jika para hamba Allah SWT tidak bersifat kikir, karena perbuatan tersebut memang terlarang. Larangan ini disebutkan dalam nash lain, seperti firman Allah SWT: Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat (TQS. Ali Imran [3]: 180).
Secara spesifik, orang-orang yang tidak membayar zakat diancam dengan siksaan yang keras. Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada seorang pun yang memiliki emas dan perak, lalu tidak mengeluarkan zakatnya, kecuali akan dipakaikan kepadanya pakaian dari api neraka; yang dengan pakaian itu di neraka, pinggang, punggung, dan keningnya meleleh. Setiap bagian tubuh tadi hancur dikembalikan lagi seperti semula (HR al-Khamsah kecuali al-Tirmidzi).
Hanya Membelanjakan Harta dalam Ketaatan
Kemudian ayat ini diakhiri dengan firman-Nya:  Wa kâna bayna dzâlika qawâm[an] (dan adalah [pembelanjaan itu] di tengah-tengah antara yang demikian). Kata qawâm[an] berarti ‘ad-l[an] (adil). Dalam konteks ayat ini, kata tersebut berarti dalam koridor ketaatan. Al-Nahas sebagaimana dikutip al-Syaukani dalam tafsirnya, berkata,“Termasuk paling bagus dalam penafsiran ayat ini adalah: Sesungguhnya orang yang membelanjakan hartanya selain dalam ketaatan kepada Allah adalah al-isrâf (melampaui batas); barangsiapa yang menahan diri tidak mau menafkahkan hartanya dalam ketaatan Allah adalah al-iqtâr (kikir); Dan barangsiapa yang menafkahkan hartaya dalam ketaatan kepada Allah SWT adalah al-qawâm.
Sebagaimana sifat-sifat lainnya yang telah dijelaskan dalam ayat sebelumnya, sifat ‘ibâd al-Rah dalam ini juga dalam kerangka pujian. Sehingga ini menjadi dorongan bagi siapa pun untuk memiliki sifat ini, yakni membelanjakan harta dalam ketaatan, baik dalam perkara wajib, mandub, atau mubah.
Mengenai keutamaan infak dalam perkara wajib dan mandub telah banyak dijelaskan dalam nash lainnya. Dalam beberapa ayat, tindakan tersebut disebut sebagai qardh hasan (utang yang baik). Sebagai layaknya utang, Allah SWT berjanji akan membayar kepada pelakunya dengan balasan berlipat ganda (lihat QS al-Baqarah [2]: 245), dihapus dosanya (lihat QS al-Maidah [5]: 12, al-Taghabun [64]: 17), diberikan pahala yang banyak (lihat QS al-Hadid [57]: 11). Ditegaskan pula bahwa perumpamaan menafkahkan harta di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir melahirkan seratus biji (lihat QS al-Baqarah [2]: 261).
Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang bersedekah dengan sebiji kurma yang berasal dari  usahanya yang halal lagi baik (Allah tidak menerima kecuali dari yang halal lagi baik), maka sesungguhnya Allah menerima sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya kemudian Allah menjaga dan memeliharanya untuk pemiliknya seperti seseorang  di antara kalian yang menjaga dan memelihara anak kudanya. Hingga sedekah tersebut menjadi sebesar gunung (Muttafaq ’alaih).
Demikianlah sifat para hamba Allah Yang Maha Penyayang dalam soal harta. Mereka tidak membelanjakan harta mereka dalam kemaksiatan. Mereka juga tidak kikir dalam berinfak pada perkara yang diperintahkan. Sebaliknya, mereka hanya membelanjakan hartanya dalam ketaatan kepada-Nya. Semoga kita termasuk di dalamnya, yakni terhindar dari sifat isrâf dan iqtâr, dan giat menafkahkan harta di jalan-Nya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Yakni mereka tidak menghambur-hamburkan hartanya dalam berinfak lebih dari apa yang diperlukan, tidak pula kikir terhadap keluarganya yang berakibat mengurangi hak keluarga dan kebutuhan keluarga tidak tercukupi. Tetapi mereka membelanjakan hartanya dengan pembelanjaan yang seimbang dan selektif serta pertengahan. Sebaik-baik perkara ialah yang dilakukan secara pertengahan, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa membelanjakan harta dijalan Allah tidak ada batas berlebih-lebihan. Iyas ibnu Mu'awiyah mengatakan bahwa hal yang melampaui perintah Allah adalah perbuatan berlebih-lebihan. Selain dia mengatakan bahwa berlebih-lebihan dalam membelanja­kan harta itu bila digunakan untuk berbuat durhaka kepada Allah Swt.

e.         Tafsir Al Jalalain
Dalam tafsir Al Jalalain menyebutkan bahwa sifat ‘ibadurrahman adalah ketika mereka berinfak pada keluarga mereka tidak berlebihan dan tidak pelit. Mereka membelanjakan harta mereka di tengah-tengah keadaan berlebihan dan meremahkan. Intinya infak mereka bersifat pertengahan.

REFLEKTIF
Berdasarkan surat Al-Furqan ayat 67 dan tafsir yang saya cermati dengan beberapa sumber lain yang saya baca, saya dapat mengaitkan dan menyimpulkan mengenai konsumsi dalam islam dengan mengutip beberapa kata dari referensi referensi yang saya baca dengan beberapa patah kata yang saya tambahkan dari pemikiran saya pribadi.
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Q.S. Al-Furqan: 67). Pada ayat di atas dengan jelas menyebutkan, apabila manusia atau orang yang beriman yang ingin membelanjakan sesuatu, maka ketika membelanjakan tersebut dia tidak boleh terlalu boros, dan juga tidak boleh terlalu kikir.
Di dalam ayat lain Allah menyebutkan: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (Q.S. Al-Israa’: 26). Jadi, tidak boleh ada sikap boros, dan tidak boleh juga kikir, melainkan berada di tengah-tengah (moderat). Kalau kita berbelanja, maka belanjalah sesuai dengan keperluan. Kalau bersedekah, jangan sampai memberikan sedekah terlalu banyak. Hanya karena bangga dengan pahala bersedekah sehingga kita bersedekah terlalu banyak, sedangkan kita lupa akan kebutuhan kita sendiri.
Allah juga mengingatkan, bahwa orang-orang yang bersifat boros itu adalah saudara-saudaranya syaitan, seperti yang termaktub pada Surah Al-Israa’ ayat 27 berikut ini: Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Q.S. Al-Israa’: 27)
Tetapi jangan juga karena mengingat akan kebutuhan kita, lalu kita tidak mau mengeluarkan apa yang kita miliki, hingga zakat sekalipun tidak mau dikeluarkan. Itulah orang yang kikir sebenarnya.
Dalam hal ini, kita harus bersikap moderat, tidak kikir dan tidak juga boros, namun berada di antara keduanya (moderat). Pada Surah Al-Israa’ ayat 29 juga disebutkan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (Q.S. Al-Israa’: 29). Jadi, jangan juga kita membelanjakan sesuatu sampai habis, dan jangan pula kita enggan membelanjakan apa yang ada pada diri kita. Hal ini tak mudah dilaksanakan, karena pada umumnya manusia itu bersifat konsumtif. Sifat konsumtif yang tak bisa ditahan yang kemudian menjadi-jadi, itulah yang disebut pemborosan. Tapi kalau menahannya juga menjadi-jadi, itulah yang dinamakan kikir. Di dalam hadits Nabi juga disebutkan, bahwa: “Urusan yang terbaik adalah urusan yang di tengah-tengah.”
Dan menurut Yusuf Qardhawi, ada beberaa norma dasar yang menjadi landasan dalam berprilaku konsumsi seorang muslim antara lain :
a)    Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
b)   Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan , ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi digunakan bagi kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan memanfaatkannya adalah diwajibkan.
c)    Tidak melakukan kemubadziran.
d)   Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf). Sebagaimana seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus diperhatikan adalah :
e)    Menjauhi berutang.
f)    Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluarannya. Jadi berutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk keadaan yang sangat terpaksa.







No comments:

Post a Comment