Teori :
Konsumsi
Tafsir
Indonesia : Al Maraghi, Al-Misbah dan Al Azha
Oleh : Syaikh Ahmad
Musthafa Al Maraghi, M. Quraish Shihab
dan Prof. Dr. Hamka
PERILAKU
KONSUMEN
Q.S. Al-Furqan ayat 67
وَالَّذِيْنَ اِذَااَنْفَقُوْ
الَمْ يُسْرِ فُوْ اوَلَمْ يَقْتُرُوْاوَكاَنَ بَيْنَ ذَ لِكَ قَوَامًا
“Dan
(termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila
menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, diantara
keduanya secara wajar.”
Mufrodat
(Kosa kata)
وَالَّذِيْن : Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang
اِذَااَنْفَقُو : Apabila menginfakkan (harta)
الَمْ
يُسْرِ فُوْ : Tidak melampaui batas dalam
mengeluarkan nafkah karena melihat
saingannya yang mempunyai harta
اوَلَمْ
يَقْتُرُو : Tidak pula kikir
قَوَامًا : Keduanya secara wajar (Pertengahan,
sederhana)
Tafsir Indonesia
a.
Tafsir Al-Maraghi
Al-Maraghi
menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak berlaku mubadzir di dalam mengeluarkan
nafkah, maka tidak mengeluarkannya lebih dari kebutuhan, tidak pula kikir
terhadap diri mereka dan keluarga mereka, sehingga mengabaikan kewajiban
terhadap mereka, tetapi mereka mengeluarkannya secara adil dan pertengahan, dan
sebaik-baik perkara adalah yang paling pertengahan. Dikatakan : “Janganlah berlebihan dalam suatu urusan,
tetapi hendaklah bersikap sederhana. Sebab, dua tepi dari kesederhanaan urusan
itu adalah tercela.” Dikatakan pula “Jika
seseorang memberikan kepada dirinya segala apa yang diingininya dan tidak
mencegahnya, maka ia akan rindu kepada segala kebathilan; dan ia akan
menuntunnya kepada dosa serta celaan dengan kemanisan yang sementara ia serukan
kepadanya.”
Yazid
bin Abu Habib mengatakan, mereka adalah para sahabat Muhamad saw. yang tidak
memakan makanan untuk bersenang-senang dan berenak-enakan, tidak pula
mengenakan pakaian untuk keindahan, tetapi mereka makan untuk menutupi
kelaparan dan menguatkan mereka dalam beribadah kepada Tuhan, serta mengenakan
pakaian untuk menutupi aurat dan melindungi mereka dari panas serta dingin.
Abdu
‘I-Malik bin Marwan bertanya kepada Umar bin Abdu ‘I Aziz ketika mengawinkan
putrinya, Fatimah, kepadanya Apa nafkahmu?” Umar menjawab, “Kebaikan di antara
dua keburukan.” Kemudian membaca ayat ini. Umar berkata pula kepada putranya
Ashim, “Wahai anakku, makanlah setengah perutmu dan jangalah kamu mebuang
pakaianmu sebelum ia buruk, jangan pula kamu termasuk suatu kaum yang
menjadikan rezeki Allah di dalam peru mereka sendiri dan di punggung mereka.
b.
Tafsir Al-Misbah
Al-Misbah menjelaskan bahwa setelah
menyebutkan hubungan hamba-hamba Allah itu dengan makhluk dan Khaliq, kini
dilukiskan sifat mereka menyangkut harta benda. Ayat di atas menyatakan bahwa: Dan mereka juga adalah orang-orang yang apabila bernafkah yakni membelanjakan harta mereka, baik untuk
dirinya, maupun keluarga ataupun orang lain, mereka tidak berlebih-lebihan, dan
tidak pula kikir, dan adalah ia yakni
pembelanjaan mereka pertengahan antara
keduanya.
Kata yusrifu terambil dari kata sarf
yaitu melampaui batas kewajaran sesuai dengan kondisi yang bernafkah dan yang
diberi nafkah. Walaupun Anda kaya raya. Anda tercela jika member anak kecil
melebihi kebutuhannya, namun Anda tercela jika member seorang dewasa yang butuh
lagi dapat bekerja, sebanyak pemberian Anda kepada sang anak itu.
Kat Yaqturu adalah lawan dari kata
yusrifu. Ia adalah member kurang dari apa yang dapat diberikan sesuai dengan
keadaan pemberi dan penerima.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa
hamba-hamba Allah itu memiliki harta benda sehingga mereka bernafkah, dan bahwa
harta itu mencukupi kebutuhan mereka sehingga mereka dapat menyisihkan sedikit
atau banyak dari harta tersebut. Ini juga mengandung isyarat bahwa mereka
sukses dalam usaha mereka meraih kebutuhan hidup, bukannya orang-orang yang
mengandalkan bantuan orang lain. Ini akan semakin jelas, jika kita sependapat
dengan ulama yang menegaskan bahwa nafkah yang dimaksud disini adalah nafkh
sunnah, bukan nafkah wajib. Dengan alasan, bahwa berlebihan dalam nafkah wajib tidaklah
terlarang atau tercela, sebagaimana sebaliknya, yakni walau sedikit sekali dari
pengeluaran harta yang bersifat haram adalah tercela.
Kata qawaman berarti adil, moderat
dan pertengahan. Melalui anjuran ini Allah SWT dan Rasul SAW mengantar manusia
untuk dapat memelihara hartanya, tidak memboroskan sehingga habis, tetapi dalam
saat yang sama tidak menahannya sama sekali sehingga mengorbankan kepentingan
pribadi, keluarga atau siapa yang butuh. Memelihara sesuatu yang baik termasuk
harta sehingga selalu tersedia dan berkelanjutan merupakan perintah agama.
Moderasi dan sikap pertengahan yang dimaksud ini adalah dalam kondisi normal
dan umum. Tetapi bila situasi menghendaki penafkahan seluruh harta, maka
moderasi dimaksud tidak berlaku. Sayyidina Abu Bakr ra. Menafkahkan seluruh
hartanya dan Sayyidina ‘Utsman Abu Bakr ra. Menafkahkan setengah dari miliknya,
pada saat mobilisasi umum dalam rangka persiapan perang. Ini karena berjihad
menuntut pengerahan semua kemampuan, sehingga tujuan tercapai. Dengan kata
lain, moderasi itu hendaknya dilihat dari kondisi masing-masing ornag dan keluarga
serta situasi yang dihadapi.
c.
Tafsir Al-Azhar
Dalam tafsir ini disebutkan bahwa
sikap hidup sehari-hari seorang ‘Ibadur Rahman itu, yaitu apabila dia
menafkahkan harta bendanya tidaklah dia ceroboh, royal dan berlebih daripada
ukuran yang mesti, tetapi tidak pula sebaliknya yaitu bakhil (kikir), melainkan
dia berlaku sama tengah. Tidak dia ceroboh royal sehingga harta bendanya habis
tidak menentu, karena pertimbangan pikiran yang kurang matang, tidak memikirkan
hari depan. Dan tidak pula dia bakhil pun adalah suatu penyakit. Dia berusaha
mencari harta benda ialah pemagar maruah, penjaga kehormatan diri. Harta benda
dicari ialah dipergunakan untuk sebagaimana mestinya, bukan mencari harta yang
harus diperbudak oleh harta itu sendiri. Maka dua sikap itu, royal dan bakhil
terhadap harta benda adalah alamat jiwa yang stabil. Keroyalan dan berbelanja
lebih daripada keperluan, menjadi alamat bahwa jika orang ini ditimpa bahaya
karena kehabisan harta harta itu kelak, dia akan dapat menjaga keseimbangan
dirinya lagi. Dan orang yang bakhil menjadi putus hubungannya dengan
masyarakat, karena dia salah pilih di dalam meletakkan cinta. Kalau di waktu
yang penting harta benda ditahan keluarnya, karena bakhil, maka suatu waktu
kelak harta benda itu akan terpaksa dikeluarkan juga mau ataupun tidak mau.
Seorang yang bakhil ditimpa sakit keras. Dokter menasihatkan supaya dia
berobat, supaya dia istirahat ke tempat yang berhawa sejuk berobat meminta
belanja banyak. Kalau dia tidak berobat, dia akan mati. Karena takut akan mati,
harta benda itu dikeluarkan pengobat diri, padahal di waktu sedang sehat dia
tidak merasai nikmat harta itu.
Timbulah hidup yang Qawaaman yang
sama tengah di antara royal dan bakhil, tidak lain sebabnya ialah karena
kecerdasan pikiran yang telah terlatih. Memandang bahwa harta benda semata-mata
pemberian Tuhan yang harus dirasai nikmat pemakaiannya, dan dijaga pula jangan
samapi dipergunakan untuk yang tidak berfaedah.
Harta benda amat perlu. Kita
hendakah kaya supaya dapat membayar zakat dan naik haji. Sedang zakat dan haji
adalah dua di antara 5 tiang (rukun) dari Islam.
Perjuangan agama, jihad, meminta
pengorbanan harta dan jiwa. Dan bila membaca urutan ayat bangun bergadang
tengah malam (ayat 64), dan takut akan siksa neraka jahannam (ayat 65 dan 66) disambungkan lagi
dengan ayat melarang royal dan melarang bakhil, nampaklah bahwa Hamba Allah
Yang Pemurah itu mempertalikan keteguhan batinnya dengan sembahyang tengah
malam, dengan usaha mencari harta benda untuk dinafkahkan. Satu dengan lainnya
tidak terpisah.
d. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa sifat
‘ibadurrahman adalah mereka tidak mubadzir (boros) kala membelanjakan harta
mereka, yaitu membelanjakannya di luar hajat (kebutuhan). Mereka tidak bersifat
lalai sampai mengurangi dari kewajiban sehingga tidak mencukupi. Intinya mereka
membelanjakan harta mereka dengan sifat adil dan penuh kebaikan. Sikap yang
paling baik adalah sifat pertengahan, tidak terlalu boros dan tidak bersifat
kikir. Hal ini senada dengan firman Allah Ta’ala,
وَلَا
تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ
مَلُومًا مَحْسُورًا
“Dan janganlah kamu jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya
karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. ” (QS. Al Isra’: 29).
Maksud ayat ini adalah jangan
terlalu pelit dan jangan terlalu pemurah (berlebihan). Dalam hadits dho’if
(namun maknanya benar) disebutkan,
مِنْ
فِقْهِ الرَّجُلِ رِفْقُهُ فِى مَعِيشَتِهِ
“Di antara tanda cerdasnya
seseorang adalah bersikap pertengahan dalam penghidupan (membelanjakan harta).”
(HR. Ahmad 5/194. Syaikh Syu’aib Al Arnauth katakan bahwa sanad hadits ini
dho’if)
Para salaf mengatakan perkataan
semisal di atas. Iyas bin Mu’awiyah berkata,
ما
جاوزت به أمر الله فهو سرف
“Melampaui dari yang Allah perintahkan sudah disebut
berlebihan.”
Ulama selain beliau mengatakan,
السرف
النفقة في معصية الله
“Sikap berlebihan (dalam membelanjakan harta) adalah
menafkahkan harta dalam maksiat kepada Allah.”
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
ليس
النفقة في سبيل الله سرفا
“Nafkah yang dibelanjakan di jalan Allah tidak disebut boros
(berlebihan)”.
Semua perkataan salaf di atas dinukil dari Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya
Ibnul Katsir.
Pembelanjaan harta di atas mencakup
zakat, penunaian kafarot dan nafkah yang wajib maupun yang sunnah, kata Syaikh
As Sa’di.
Semoga Allah menganugerahkan pada
kita sifat pertengahan dalam membelanjakan harta dan menjauhkan kita dari sifat
berlebihan (boros) serta sifat kikir (pelit).
Sifat
yang dimiliki iIbâd al-Rahmân, para
hamba Dzat Yang Maha Penyayang memang benar-benar terpuji. Dalam ayat ini,
sifat yang dijelaskan adalah dalam membelanjakan dan menafkahkan harta yang
dikaruniakan Allah SWT kepada mereka.
Tidak Isrâf
Allah Swt
berfirman: wa al-ladzîna idzâ anfaqû lam yusrifû (dan orang-orang yang
apabila membelanjakan [harta], mereka tidak berlebih-lebihan). Kata al-infâq yang dimaksudkan dalam ayat
ini adalah membelanjakan harta. Diceritakan ayat ini, para hamba Dzat Yang Maha
Penyayang itu dalam membelanjakan hartanya tidak isrâf (melampaui batas). Dalam
ayat ini disebutkan: lamyusrifû.
Secara
bahasa, kata al-isrâf berasal
dari kata al-saraf. Dijelaskan
al-Asfahani, kata al-isrâf berarti tajâwaz al-hadd fî kulli
fi’l yaf’aluhu al-insân (tindakan
melampaui batas pada semua perbuatan yang dikerjakan manusia), meskipun yang
lebih populer digunakan dalam hal infak (membelanjakan harta).
Karena
pengertiannya adalah tajâwaz al-hadd (melampaui
batasan), maka amat penting diketahui tentanghadd (batasan)
yang menjadi miqyâs (tolok
ukur, standar). Dengan batasan tersebut maka dapat diketahui, apakah suatu
pembelanjaan harta sudah terkategorikan sebagai al-isrâf atau belum. Oleh karena
kata tersebut dalam Alquran, maka batasan yang dimaksud adalah syara'. Bukan
akal, adat, kebiasaan, begitu juga bukan kesederhanaan yang menjadi standar
hidup. Dengan demikian, apabila seseorang membelanjakan harta untuk sesuatu
yang diharamkan Allah disebut sebagai al-isrâf, melampaui
batas..
Inilah
pendapat para ulama, seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, dan al-Dhahhak.
Al-Hasan al-Basri –dalam kitab tafsir Ibnu Katsir— berkata. “Dalam infak fi sabilillah
tidak tidak ada sarâf (melampaui
batas). Iyas bin Muawiyah juga berkata, “Semua yang kalian langgar pada perintah Allah SWT, itu adalah sarâf.
Untuk
makna yang serupa, dalam ayat lain digunakan kata al-tabdzîr (lihat QS al-Isra’ [17]:
26-27). Alquran dengan tegas mengharamkan tindakan isrâf dan tabdzîr. Berkenaan dengan isrâf, Allah SWT berfirman:Janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan (TQS
al-A’raf [7]: 31, al-An'am [6]: 141). Sedangkan tentang al-tabdzîr, disebutkan dalam
firman-Nya: Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan (QS al-Isra’ [17]: 26-27).
Bahwa
Allah SWT tidak menyukai al-musrifîn (orang-orang
melakukan al-isrâf) merupakan qarînah (indikasi)
yang jelas tentang haramnya perbuatan tersebut. Dan sebagaimana ditegaskan ayat
ini, para hamba al-Rahman itu tidak mengerjakan perbuatan terlarang tersebut.
Tidak
Kikir
Di
samping tidak membelanjakan harta dalam kemaksiatan, mereka juga tidak bersifat
kikir. Allah SWT berfirman: wa lam yaqtarû (dan
tidak [pula] kikir). Secara bahasa, al-qatr berarti taqlîl al-nafqah (meminimkan nafkah). Kata
ini semakna dengan al-bukhl, lawan
dari al-isrâf.
Sedangkan
secara syar’i, al-qatr berarti
menahan diri dari membelanjakan harta dalam ketaatan kepada Allah SWT. Ibnu
‘Abbas mengatakan, “Barangsiapa yang tidak mau membelanjakan pada perkara yang wajib
atasnya, sungguh dia telah berbuat kikir.” Dikatakan
juga oleh Mujahid, “Seandainya ada seseorang membelanjakan
hartanya sebesar gunung emas dalam ketaatan kepada Allah, tidak dikategorikan sebagai al-saraf. Sebaliknya, membelanjakan hartanya hanya satu sha’ urusan maksiat, maka terkategorikan
sebagai al-saraf.” Pendapat
yang sama juga diikuti oleh Ibnu Juraij dan Ibnu Zaid.
Jika para
hamba Allah SWT tidak bersifat kikir, karena perbuatan tersebut memang
terlarang. Larangan ini disebutkan dalam nash lain, seperti firman Allah SWT: Sekali-kali janganlah
orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat (TQS. Ali Imran [3]: 180).
Secara
spesifik, orang-orang yang tidak membayar zakat diancam dengan siksaan yang
keras. Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada seorang pun yang memiliki emas dan perak, lalu tidak
mengeluarkan zakatnya, kecuali akan dipakaikan kepadanya pakaian dari api
neraka; yang dengan pakaian itu di neraka, pinggang, punggung, dan keningnya
meleleh. Setiap bagian tubuh tadi hancur dikembalikan lagi seperti semula (HR al-Khamsah kecuali
al-Tirmidzi).
Hanya
Membelanjakan Harta dalam Ketaatan
Kemudian
ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Wa kâna bayna dzâlika qawâm[an] (dan adalah [pembelanjaan
itu] di tengah-tengah antara yang demikian). Kata qawâm[an] berarti ‘ad-l[an] (adil). Dalam konteks ayat
ini, kata tersebut berarti dalam koridor ketaatan. Al-Nahas sebagaimana dikutip
al-Syaukani dalam tafsirnya, berkata,“Termasuk paling bagus dalam
penafsiran ayat ini adalah: Sesungguhnya orang yang membelanjakan hartanya
selain dalam ketaatan kepada Allah adalah
al-isrâf (melampaui batas); barangsiapa yang menahan diri tidak mau menafkahkan hartanya dalam
ketaatan Allah adalah al-iqtâr (kikir); Dan barangsiapa yang menafkahkan hartaya dalam
ketaatan kepada Allah SWT adalah al-qawâm.
Sebagaimana
sifat-sifat lainnya yang telah dijelaskan dalam ayat sebelumnya, sifat ‘ibâd al-Rahmâ dalam ini juga dalam
kerangka pujian. Sehingga ini menjadi dorongan bagi siapa pun untuk memiliki
sifat ini, yakni membelanjakan harta dalam ketaatan, baik dalam perkara wajib,
mandub, atau mubah.
Mengenai
keutamaan infak dalam perkara wajib dan mandub telah banyak dijelaskan dalam
nash lainnya. Dalam beberapa ayat, tindakan tersebut disebut sebagai qardh hasan (utang yang baik). Sebagai
layaknya utang, Allah SWT berjanji akan membayar kepada pelakunya dengan
balasan berlipat ganda (lihat QS al-Baqarah [2]: 245), dihapus dosanya (lihat
QS al-Maidah [5]: 12, al-Taghabun [64]: 17), diberikan pahala yang banyak
(lihat QS al-Hadid [57]: 11). Ditegaskan pula bahwa perumpamaan menafkahkan
harta di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir,
pada tiap-tiap bulir melahirkan seratus biji (lihat QS al-Baqarah [2]: 261).
Dari Abu
Hurairah ra, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang bersedekah dengan
sebiji kurma yang berasal dari usahanya yang halal lagi baik (Allah tidak
menerima kecuali dari yang halal lagi baik), maka sesungguhnya Allah menerima
sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya kemudian Allah menjaga dan memeliharanya
untuk pemiliknya seperti seseorang di antara kalian yang menjaga dan
memelihara anak kudanya. Hingga sedekah tersebut menjadi sebesar gunung (Muttafaq ’alaih).
Demikianlah
sifat para hamba Allah Yang Maha Penyayang dalam soal harta. Mereka tidak
membelanjakan harta mereka dalam kemaksiatan. Mereka juga tidak kikir dalam
berinfak pada perkara yang diperintahkan. Sebaliknya, mereka hanya
membelanjakan hartanya dalam ketaatan kepada-Nya. Semoga kita termasuk di
dalamnya, yakni terhindar dari sifat isrâf dan iqtâr, dan giat menafkahkan harta
di jalan-Nya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Yakni
mereka tidak menghambur-hamburkan hartanya dalam berinfak lebih dari apa yang
diperlukan, tidak pula kikir terhadap keluarganya yang berakibat mengurangi hak
keluarga dan kebutuhan keluarga tidak tercukupi. Tetapi mereka membelanjakan
hartanya dengan pembelanjaan yang seimbang dan selektif serta pertengahan.
Sebaik-baik perkara ialah yang dilakukan secara pertengahan, yakni tidak
berlebih-lebihan dan tidak pula kikir.
Al-Hasan
Al-Basri mengatakan bahwa membelanjakan harta dijalan Allah tidak ada batas
berlebih-lebihan. Iyas ibnu Mu'awiyah mengatakan bahwa hal yang melampaui
perintah Allah adalah perbuatan berlebih-lebihan. Selain dia mengatakan bahwa
berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta itu bila digunakan untuk berbuat
durhaka kepada Allah Swt.
e.
Tafsir Al Jalalain
Dalam
tafsir Al Jalalain menyebutkan bahwa sifat ‘ibadurrahman adalah ketika mereka
berinfak pada keluarga mereka tidak berlebihan dan tidak pelit. Mereka
membelanjakan harta mereka di tengah-tengah keadaan berlebihan dan meremahkan.
Intinya infak mereka bersifat pertengahan.
REFLEKTIF
Berdasarkan surat Al-Furqan ayat 67 dan tafsir yang saya cermati
dengan beberapa sumber lain yang saya baca, saya dapat mengaitkan dan
menyimpulkan mengenai konsumsi dalam islam dengan mengutip beberapa kata dari
referensi referensi yang saya baca dengan beberapa patah kata yang saya
tambahkan dari pemikiran saya pribadi.
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta),
mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan
itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
(Q.S. Al-Furqan: 67). Pada ayat di atas dengan jelas menyebutkan, apabila
manusia atau orang yang beriman yang ingin membelanjakan sesuatu, maka ketika
membelanjakan tersebut dia tidak boleh terlalu boros, dan juga tidak boleh
terlalu kikir.
Di
dalam ayat lain Allah menyebutkan: Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. (Q.S. Al-Israa’: 26). Jadi, tidak boleh ada sikap
boros, dan tidak boleh juga kikir, melainkan berada di tengah-tengah (moderat).
Kalau kita berbelanja, maka belanjalah sesuai dengan keperluan. Kalau
bersedekah, jangan sampai memberikan sedekah terlalu banyak. Hanya karena
bangga dengan pahala bersedekah sehingga kita bersedekah terlalu banyak,
sedangkan kita lupa akan kebutuhan kita sendiri.
Allah
juga mengingatkan, bahwa orang-orang yang bersifat boros itu adalah
saudara-saudaranya syaitan, seperti yang termaktub pada Surah Al-Israa’ ayat 27
berikut ini: Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya. (Q.S. Al-Israa’: 27)
Tetapi jangan juga karena mengingat akan kebutuhan kita, lalu kita tidak mau mengeluarkan apa yang kita miliki, hingga zakat sekalipun tidak mau dikeluarkan. Itulah orang yang kikir sebenarnya.
Tetapi jangan juga karena mengingat akan kebutuhan kita, lalu kita tidak mau mengeluarkan apa yang kita miliki, hingga zakat sekalipun tidak mau dikeluarkan. Itulah orang yang kikir sebenarnya.
Dalam
hal ini, kita harus bersikap moderat, tidak kikir dan tidak juga boros, namun
berada di antara keduanya (moderat). Pada Surah Al-Israa’ ayat 29 juga
disebutkan: Dan janganlah kamu jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya
karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (Q.S. Al-Israa’: 29). Jadi,
jangan juga kita membelanjakan sesuatu sampai habis, dan jangan pula kita
enggan membelanjakan apa yang ada pada diri kita. Hal ini tak mudah
dilaksanakan, karena pada umumnya manusia itu bersifat konsumtif. Sifat
konsumtif yang tak bisa ditahan yang kemudian menjadi-jadi, itulah yang disebut
pemborosan. Tapi kalau menahannya juga menjadi-jadi, itulah yang dinamakan
kikir. Di dalam hadits Nabi juga disebutkan, bahwa: “Urusan yang terbaik adalah urusan yang di tengah-tengah.”
Dan
menurut Yusuf Qardhawi, ada beberaa norma dasar yang menjadi landasan dalam
berprilaku konsumsi seorang muslim antara lain :
a) Membelanjakan harta dalam kebaikan
dan menjauhi sifat kikir.
b)
Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk
disimpan , ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi digunakan bagi
kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada Allah.
Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan memanfaatkannya
adalah diwajibkan.
c)
Tidak melakukan kemubadziran.
d)
Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk
kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf).
Sebagaimana seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak
akan membelanjakannya untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus
diperhatikan adalah :
e)
Menjauhi berutang.
f)
Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan
dengan pengeluarannya. Jadi berutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk
keadaan yang sangat terpaksa.
No comments:
Post a Comment