Nama : Iqbal Dawpad Tiyari
Nim
:1414231051
Smstr/prodi :
IV/PerbankanSyariah 2
Tafsir ayat Ekonomi QS. AL Hasyr ayat 7
- QS.
Al Hasyr ayat 7
!$¨B uä!$sùr&
ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur
È@Î6¡¡9$# ös1 w
tbqä3t P's!rß tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$#
öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur
öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur
©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$#
ÇÐÈ
Artinya :
“apa saja harta
rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang
berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di
antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”
Pada ayat ini menerangakan
bahwa harta fai’ yang berasal dari orang fakir, serta harta – harta Bani
Quraizah, Bani Nadir, penduduk Fadak dan Khaibar, yang diberikan Allah kepada
Rasul – Nya dan digunakan untuk kepentingan umum kaum muslimin.
(الفَيْءُ)
Al-Fa’i dalam istilah para ulama Islam ialah sesuatu (khusus harta) yang
diambil/ditarik dari orang-orang kafir (non muslim) tanpa melalui kekerasan
(peperangan) dan/atau tanpa menggerakkan pasukan kuda (mesin perang di zaman
modern sekarang). Lain halnya dengan ghanimah yang diperoleh dengan jalan
kekerasan (peperangan).namun demikian, ada juga ahli tafsir yang memaknakan
al-fai dengan harta yang diperoleh orang-orang mukmin dari orang-orang kafir,
tanpa mempersoalkan apakah itu diperoleh secara damai (al-shulh) maupun peperangan.
Sementara sebagian yang lain, ada yang
mendefinisikan al-fai dengan harta yang diperoleh melalui jalan kekerasan
(peperangan) dengan merujuk kepada surat Al-Anfaal ayat 41.
Al-daulah atau
Al-duulah, makna asalnya adalah sesuatu yang dipergilirkan sebagaimana terdapat
dalam surat Ali ‘Imran ayat 140. Kata daulah juga bisa diartikan dengan negara
dan/atau pemerintah. ä!$uÏYøîF{Yaitu orang-orang kaya.
Apa saja harta
rampasan atau fai yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota) seperti tanah Shafra, lembah Al-Qura dan tanah Yanbu' (maka
adalah untuk Allah) Dia memerintahkannya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya
(untuk Rasul, orang-orang yang mempunyai) atau memiliki (hubungan kekerabatan)
yaitu kaum kerabat Nabi dari kalangan Bani Hasyim dan Bani Mutthalib (anak-anak
yatim) yaitu anak-anak kaum muslimin yang bapak-bapak mereka telah meninggal
dunia sedangkan mereka dalam keadaan fakir (orang-orang miskin) yaitu
orang-orang muslim yang serba kekurangan (dan orang-orang yang dalam
perjalanan) yakni orang-orang muslim yang mengadakan perjalanan lalu terhenti
di tengah jalan karena kehabisan bekal. Yakni harta fai itu adalah hak Nabi
saw. beserta empat golongan orang-orang tadi, sesuai dengan apa yang telah
ditentukan oleh Allah swt. dalam pembagiannya, yaitu bagi masing-masing
golongan yang empat tadi seperlimanya dan sisanya untuk Nabi saw. (supaya
janganlah) lafal kay di sini bermakna lam, dan sesudah kay diperkirakan adanya
lafal an (harta fai itu) yakni harta rampasan itu, dengan adanya pembagian ini
(hanya beredar) atau berpindah-pindah (di antara orang-orang kaya saja di
antara kalian. Apa yang telah diberikan kepada
kalian) yakni bagian yang telah diberikan kepada kalian (oleh Rasul) berupa
bagian harta fa-i dan harta-harta lainnya (maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya).
- Makna
Global
Meskipun ayat
di atas berbicara tentang fai (semacam pajak kepala dalam kehidupan sekarang),
namun di antara isinya yang ditekankan adalah justru perilah pemerataan
distribusi harta kekayaan itu sendiri supaya tidak selalu dan semuanya beredar
pada segelintir orang-orang kaya. Asas pemerataan
ekonomi dan keuangan ini sangat dijunjung tinggi oleh Nabi yang dalam Al-Quran
dianjurkan supaya diikuti pula oleh manusia-manusia yang mengimani Al-Quran.
Pada saat yang bersamaan, ayat ini juga sekaligus mengingatkan umat dan
masyarakat supaya menjauhi aktivitas ekonomi dan keuangan yang dilarang oleh
Rasulullah.
Menurut kebanyakan
mufassir, ayat ini merupakan bayân (penjelasan) terhadap ayat sebelumnya. Dalam
ayat sebelumnya dijelaskan tentang hakikat harta al-fay’ (QS al-Hasyr [59]: 6).
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa al-fay’adalah semua harta yang diambil dari
kaum kafir tanpa melalui jalan peperangan; tanpa mengerahkan pasukan unta dan
kuda; seperti halnya harta Bani Nadhir.3 Semua harta yang mereka tinggalkan itu
disebut al-fay’. Ketentuan itu tidak hanya berlaku pada harta Bani Nadhir,
namun juga semua yang negeri yang ditaklukkan dengan cara yang sama, yakni tanpa
mengerahkan kuda maupun unta. Jika dalam ayat 6 disebutkan minhum (dari
mereka), yakni dari kaum Yahudi itu, maka dalam ayat 7 digunakan kata yang
lebih bersifat umum: min ahl al-qurâ (dari penduduk kota-kota). Artinya, semua
negeri yang ditaklukkan tanpa melalui peperangan.
Tiadanya benturan fisik
dalam peperangan itulah yang membedakan fay’ dengan ghanîmah. Berbeda dengan
harta fay’, harta ghanîmah diperoleh dari kaum kafir melalui jalan peperangan.
Pembagian dan distribusinya pun dibedakan. Jika pembagian ghanîmah dijelaskan
dalam QS al-Anfal [8]: 1 dan 41, maka pembagian fay’ dijelaskan dalam QS
al-Hasyr [59]: 6 dan 7
Berdasarkan QS al-Hasyr
[59]: 6, harta fay’ tersebut diberikan secara khusus kepada Rasulullah saw distribusinya pun
menjadi otoritas Beliau. Dalam kaitannya dengan harta Bani Nadhir, Beliau hanya
membagi-bagikannya kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar, kecuali
dua orang, yakni Abu Dujanah dan Sahal bin Hunaif, lantaran kondisinya yang
miskin sebagaimana dialami kaum Muhajirin.
Selanjutnya dijelaskan mengenai
alokasi harta fay’ itu. Allah Swt. berfirman: fa li Allâh wa li al-Rasûl wa li
dzî al-qurbâ wa al-yatâmâ wa al-masâkîna wa [i]bn al-sabîl (maka adalah untuk
Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan).
Pertama: li Allâh
(untuk Allah). Dialah yang berhak menetapkan alokasi harta rampasan itu
sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Allah Swt. telah memberikan harta tersebut
kepada Rasulullah saw.; otoritas pembagiannya pun diserahkan kepada Beliau.
Sekalipun ungkapan fa li Allâh wa li al-Rasûl seolah tampak memberikan makna
adanya dua bagian, sesungguhnya itu untuk menunjukkan satu bagian.Tidak ada
perbedaan pendapat bahwa setelah Beliau wafat, bagian tersebut dipergunakan
untuk kemaslahatan kaum Muslim.
Kedua: dzî al-qurbâ
(kaum kerabat Rasul). Kerabat Rasulullah saw. yang dimaksudkan adalah Bani
Hasyim dan Bani Muthallib.11 Dua kerabat Rasulullah saw. itu, baik kaya maupun
miskin, berhak mendapat bagian harta rampasan. Menurut para mufassir, hal itu
karena mereka tidak dibolehkan menerima harta sedekah.
Ketiga: al-yatâmâ
(anak-anak yatim). Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya.
Status yatim itu terus berlangsung hingga mereka balig. Kata ath-Thabari,
mereka adalah anak-anak kaum Muslim yang membutuhkan dan tidak memiliki harta.
Keempat: al-masâkîna
(orang-orang miskin). Yang dimaksud adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa,
tidak memiliki rumah, sedikit pakaian atau makanan. Mereka bahkan ditimpa
kelaparan. Kata miskin dalam ayat ini juga mencakup kaum fakir. Menurut
al-Biqai, dua kelompok tersebut, yakni fakir dan miskin, jika hanya disebutkan
salah satunya, maka itu mencakup kedua-duanya. Kedua kelompok itu baru
dibedakan jika disebutkan bersama-sama.
Kelima: ibn
al-sabîl.Yang dimaksud adalah orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan
menuju ke tempat tinggalnya sehingga dia membutuhkan harta yang dapat mengantarkannya
sampai ke tujuannya. Ath-Thabari memberikan
catatan, perjalanan yang dilakukan itu bukan dalam rangka maksiat kepada Allah
Swt.
Selanjutnya
Allah Swt. menjelaskan ‘illah (sebab disyariahkan) hukum tersebut dengan
firman-Nya: Kay lâ yakûna dûlat[an] bayna al-aghniyâ’i minkum (supaya harta itu
jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu saja).Karena
huruf kay termasuk harf al-‘illah (huruf yang menunjukkan makna penyebab
ditetapkannya suatu hukum), maka kalimat berikutnya merupakan ‘illah atas
ketentuan hukumnya.
Secara bahasa,
kata dûlah berarti sesuatu yang dipergilirkan di antara suatu kaum. Dengan
demikian, ‘illah atau sebab disyariah-kannya hukum tentang alokasi harta
rampasan dari kaum kafir itu adalah agar harta tidak hanya beredar dan berputar
di kalangan orang-orang kaya saja. Dengan ketentuan
pembagian harta fay’ tersebut, kaum miskin pun bisa berkesempatan mendapatkan
giliran memiliki harta.
Allah Swt.
berfirman: Wamâ âtâkum al-Rasûl fakhudzûhu wamâ nahâkum ‘anhu fa [i]ntahû (apa
yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah; apa dia larang atas kalian,
tinggalkanlah). Dalam konteks ayat ini, kalimat itu
bermakna: Semua harta ghanîmah dan fay’ yang diberikan oleh Rasulullah saw.,
ambillah. Sebaliknya, yang Beliau larang, tinggalkanlah. Kendati konteks dan
sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan pembagian ghanîmah dan fay’, hukumnya
berlaku umum dan mencakup semua perkara yang dibawa Rasulullah saw., baik
perintah maupun larangan, ucapan maupun perbuatan, sebagaimana ditetapkan dalam
kaidah: al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzh wa lâ bi khushûsh as-sabab (Pengertian
dalil ditetapkan berdasarkan keumuman ungkapannya, bukan karena kekhususan
sebabnya).
Kata al-îtâ’ (memberi)
dalam kalimat tersebut bermakna al-amr (perintah). Alasannya, kebalikan dari
kata al-îtâ’ adalah an-nahy, yakni kalimat wamâ nahâkum ‘anhu fa [i]ntahû (apa
yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah). Lawan dari kata al-nahy tidak lain
adalah al-amr, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
«إِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَمَا نَهَيْتُكُمْ
عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ»
Jika aku memerintah kalian dengan suatu
perintah, jalankanlah semampu kalian. Jika aku melarang kalian dengan suatu
larangan, jauhilah (HR al-Bukhari).
Para Sahabat pun memahami keumuman ayat
ini.
Allah Swt. berfirman: wa[i]ttaqû Allâh
(Bertakwalah kalian kepada Allah).Kalimat ini menegaskan perintah sebelumnya.Perintah
ini wajib karena adanya sanksi atas orang yang tidak bersedia mengerjakannya.Sanksi
itu berupa azab yang pedih. Allah Swt. berfirman: Inna Allâh syadîd al-‘iqâb
(Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya).
- Sabab
al-Nuzul surat Al Hasyr ayat 7
Dalam suatu riwayat
dikemukan bahwa surat al-Anfaal turun di waktu terjadi peperangan Badar
(Ramadhan 2H/624M), sementara surat al-Hasyr diturunkan pada waktu peperangan
bani Nadhir (4H/625M). Kaum yahudi bani Nadhir adalah penduduk yang dahulu di
zaman Nabi Muhammad bertempat tinggal dan berkebun kurma di luar kota Madinah.Karena
pengkhianatan mereka kepada Rasulullah, maka Rasul pun mengepung mereka dan
mengusirnya seraya Rasul membolehkan mereka membawa harta kekayaannya sejauh
yang mereka mampu mengangkutnya dengan binatang-binatang mereka, dengan catatan
mereka tidak diperbolehkan membawa senjata.Mereka pun kemudian pergi sampai ke
Syam (Syria). Allah menurunkan ayat 1 sampai 5 surat al-Hasyr yang pada intinya
adalah membenarkan tindakan Rasulullah itu termasuk tindakannya untuk mengambil
alih sisa-sisa harta yang ditinggalkan mereka (kaum bani Nadhir).
Dalam riwayat lain
dikemukakan bahwa ketika Rasulullah sampai di tempat kaum bani Nadhir, mereka
bersembunyi di dalam benteng.Lalu Rasulullah memerintahkan para sahabat supaya
menebang pohon-pohon kurma untuk kemudian membakarnya (sampai berasap tebal)
yang menyebabkan bani Nadhir tidak mampu lagi bertahan di dalam benteng. Mereka
lalu berteriak-teriak memanggil Nabi Muhammad sambil mengatakan: “Hai Muhammad!
Kamu telah melarang orang merusak bumi, dan mencela orang yang berbuat
kerusakan (di muka bumi), namun mengapa kamu sendiri justru menebangi
pohon-pohon kurma dan lalu membakarnya?” Terkait teriakan mereka itu, maka
turunlah ayat 9 dari surat al-Hasyr.
- Tafsir
Ayat surat Al Hasyr ayat 7
Firman Allah ini
menjelaskan tentang makna fa’i sifat dan hikmahnya. Fa’i adalah segala harta
benda yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui peperangan dan tanpa
mengerahkan kuda maupun unta. Seperti harta benda bani an-Nadhir ini, dimana
kaum muslimin memperolehnya tanpa menggunakan kuda maupun unta, artinya mereka
dalam hal ini tidak berperang terhadap musuh dengan menyerang atau menyerbu
mereka, tetapi para musuh itu dihinggapi rasa takut yang telah Allah timpakan
ke dalam hati mereka karena wibawa Rasulullah. Kemudian Allah memberikan harta
benda yang telah mereka tinggalkan untuk Rasul-Nya. Oleh karena itu, beliau
mengatur pembagian harta benda yang diperoleh dari Bani an-Nadhir sekehendak
hati beliau, dengan mengembalikannya kepada kaum muslimin untuk dibelanjakan
dalam segala sisi kebaikan dan kemaslahatan yang telah disebutkan oleh Allah
dalam ayat-ayat ini.
Harta kekayaan
dalam bentuk apapun yang Allah berikan kepada Rasul-Nya dari ahli qura
(penduduk Khaibar, Fadak dan ‘Arinah), itu untuk Allah, untuk Rasulullah, untuk
Dzawil Qurba (kerabat dekat), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu
sabil. Menurut ayat ini, al-fai (diluar kasus
bani Nadhir), itu dibagi ke dalam lima bagian dengan ketentuan: 1/5 daripadanya
didistribusikan untuk lima kelompok, yaitu untuk Allah dan Rasulullah yang
digunakan untuk kebutuhan hidup beliau selama hayatnya, dan kemudian
didayagunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin sepeninggalnya; untuk keluarga
dekat Nabi Muhammad, dalam hal ini Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib; untuk
kepentingan anak-anak yatim; untuk orang-orang miskin; dan untuk ibnu sabil
(anak-anak jalanan yang terlantar). Sementara yang 4/5 bagian selebihnya,
adalah khusus untuk Nabi, yang 4/5 bagian ini telah beliau bagi-bagikan selama
hidupnya kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar, kecuali dua orang
saja yang nyata-nyata fakir.
Imam Ahmad
meriwayatkan, Sufyan bin ‘Amr dan Ma’mar memberitahu kami dari az-Zuhri, dari
Malik bin Aus bin al-Hadatsan, dari ‘Umar, ia berkata: “Harta Bani an-Nadhir
termasuk yang telah Allah berikan kepada Rasul-Nya, dengan tidak ada usaha
terlebih dahulu dari kaum muslimin untuk mengerahkan kuda dan untanya. Oleh
karena itu, harta rampasan itu hanya khusus untuk Rasulullah, beliau nafkahkan
untuk keluarganya sebagai nafkah untuk satu tahun. Dan sisanya beliau
manfaatkan untuk kuda-kuda perang dan persenjataan di jalan-Nya.”
Ketentuan
hukum yang membagi-bagikan harta fai ke dalam beberapa kelompok sosial itu, di
antara tujuan utamanya ialah untuk memeratakan peredaran harta kekayaan
(ekonomi dan keuangan) supaya tidak selalu atau selamanya bergulir dan bergilir
pada segelintir tangan orang-orang kaya saja diantara mereka. Disinilah
pula terletak kelebihan esensial teori ekonomi profetik (kenabian) yang sangat
mementingkan asas pemerataan disamping prinsip keadilan dan terutama
keberkahan. Usaha memeratakan peredaran ekonomi sebagaimana yang mudah
disaksikan maupun terutama dirasakan memang yang paling sulit, betapa banyak
ketimpangan sosial ekonomi dan keuangan di tengah-tengah masyarakat ini.
Kebijakan
Allah dan Rasul-Nya yang memberikan harta fai hanya kepada kaum Muhajirin yang
pada umumnya miskin, dan tidak kepada kaum Anshar yang kebanyakan sudah kaya
atau bahkan kaya-raya, kecuali kepada satu atau dua orang yang benar-benar
fakir. Jadi asas pemerataan ekonomi dan
keuangan model Rasulullah itu jelas dan tegas. Lebih didasarkan atas
pertimbangan (keberpihakan) kefakiran dan kemiskinan masyarakat, bukan karena
pertimbangan etnik dalam hal ini keperpihakan Nabi kepada kaum Muhajirin dan
pengabaian kaum Anshar. Namun alasan apa pun yang disampaikan Nabi ketika itu
apalagi di zaman sekarang ini, tampaknya akan tetap terus dan terus tetap
menuai kecemburuan pihak yang tidak mendapatkan dana fai maupun dana sosial
lainnya. Hal yang maklum karena al-mal (harta), sesuai dengan makna dasarnya,
selalu memikat semua dan setiap orang tanpa peduli apakah ia itu fakir miskin
ataukah kaya raya. Kebijakan sapu jagat yang seringkali diambil oleh pemangku
kebijakan, seringkali mengabaikan asas pemerataan dan keadilan ini, meskipun
pada saat yang bersamaan, kebijakan sapu jagat
itu seolah-olah berasas pemerataan. Ambil contoh pembebasan biaya
pendidikan yang tidak lagi memandang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin
atau antara yang mampu dan tidak mampu, semuanya dibebaskan dari biaya sekolah.
Dan dalam kitab ash-Shahihain juga telah
ditegaskan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
“Jika aku perintahkan kepada kalian,
maka kerjakanlah semampu kalian. Dan apa yang aku larang, maka jauhilah.”
Imam an-Nasi’i meriwayatkan dari ‘Umar
dan Ibnu ‘Abbas, bahwa keduanya telah menyaksikan Rasulullah melarang
penggunaan dubba’ (sejenis labu), hantam (guji hijau), naqir (batang kurma yang
dilubangi), dan muzaffat (tempurung yang dilumuri tir). Setelah itu Rasulullah
membaca ayat. “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
Hendaknya kita semua bertakwa kepada
Allah dalam hal menerima ketetepan hukum-hukum-Nya dan dalam menjalankan
seluruh perintah-Nya serta meninggalkan larangan-Nya, karena sesungguhnya Allah
itu sangat dahsyat hukuman-Nya mana kala hukum-hukumnya dilanggar oleh manusia.
Pendapat lain dari tafsir
jalalain disebutkan : (Apa saja harta rampasan atau fai yang diberikan Allah
kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota) seperti tanah Shafra,
lembah Al-Qura dan tanah Yanbu' (maka adalah untuk Allah) Dia memerintahkannya
sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya (untuk Rasul, orang-orang yang
mempunyai) atau memiliki (hubungan kekerabatan) yaitu kaum kerabat Nabi dari
kalangan Bani Hasyim dan Bani Mutthalib (anak-anak yatim) yaitu anak-anak kaum
muslimin yang bapak-bapak mereka telah meninggal dunia sedangkan mereka dalam
keadaan fakir (orang-orang miskin) yaitu orang-orang muslim yang serba
kekurangan (dan orang-orang yang dalam perjalanan) yakni orang-orang muslim
yang mengadakan perjalanan lalu terhenti di tengah jalan karena kehabisan
bekal. Yakni harta fai itu adalah hak Nabi saw. beserta empat golongan
orang-orang tadi, sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah swt. dalam
pembagiannya, yaitu bagi masing-masing golongan yang empat tadi seperlimanya
dan sisanya untuk Nabi saw. (supaya janganlah) lafal kay di sini bermakna lam,
dan sesudah kay diperkirakan adanya lafal an (harta fai itu) yakni harta
rampasan itu, dengan adanya pembagian ini (hanya beredar) atau berpindah-pindah
(di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. Apa
yang telah diberikan kepada kalian) yakni bagian yang telah diberikan kepada
kalian (oleh Rasul) berupa bagian harta fa-i dan harta-harta lainnya (maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya).
- Hukum ekonomi surat Al Hasyr ayat 7 dalam Kegiatan
Distribusi Islam
Dalam perekonomian
modern saat ini, menurut Ali Sakti (2008) tidak dapat dipungkiri lagi bahwa
sektor distribusi merupakan sektor yang terpenting dalam aktivitas
perekonomian. Pelaku distribusi kini telah menjadi pelaku ekonomi dominan di
samping konsumen dan produsen. Karena itu, menjadi penting melihat posisi
sektor ini dalam mekanisme perekonomian menggunakan perspektif Islam, simak
firman Allah dalam surat Huud ayat 35.
“Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku,
cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan
manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka
bumi dengan membuat kerusakan.”
Fungsi distribusi dalam
aktivitas ekonomi pada hakikatnya mempertemukan kepentingan konsumen dan
produsen dengan tujuan kemaslahatan umat. Aktivitas usaha distribusi ini
kemudian dituntut untuk dapat memenuhi hak dan kewajiban yang diinginkan
syariah bagi konsumen dan produsen. Distribusi menempati posisi penting dalam
teori ekonomi mikro, baik dalam sistem ekonomi Islam maupun kapitalis, karena
tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi belaka, tetapi juga aspek sosial dan
politik.
Pada saat ini kenyataan
yang tampak adalah telah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam
pendistribusian pendapatan dan kekayaan, baik di negara maju maupun di
negara-negara berkembang, yang mempergunakan sistem kapitalis sebagai sistem
ekonomi negaranya, sehingga menciptakan kemiskinan dimana-mana.
Sistem ekonomi yang
berbasis Islam menghendaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan
dua sendi: sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan. Kebebesan disini adalah
kebebasan dalam bertindak yang dibingkai nilai-nilai agama dan keadilan tidak
seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakan bebas bertindak tanpa campur
tangan pihak manapun, serta keseimbangan antara unsur materi dan spiritual,
keseimbangan antara individu dan masyarakat, serta antara suatu masyarakat dan
masyarakat lainnya. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari
larangan dalam Al Quran agar harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang
dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, tetapi diharapkan
dapat memberi kontribusi pada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu
keseluruhan, seperti yang diterangkan dalam surat Al Hasyr ayat 7.
Daftar
pustaka
No comments:
Post a Comment