Thursday, March 17, 2016


Nama               : Iqbal Dawpad Tiyari
Nim                 :1414231051
Smstr/prodi     : IV/PerbankanSyariah 2


Tafsir ayat Ekonomi QS. AL Hasyr ayat 7


  1. QS. Al Hasyr ayat 7
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ  
Artinya :
“apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”
Pada ayat ini menerangakan bahwa harta fai’ yang berasal dari orang fakir, serta harta – harta Bani Quraizah, Bani Nadir, penduduk Fadak dan Khaibar, yang diberikan Allah kepada Rasul – Nya dan digunakan untuk kepentingan umum kaum muslimin.
(الفَيْءُ) Al-Fa’i dalam istilah para ulama Islam ialah sesuatu (khusus harta) yang diambil/ditarik dari orang-orang kafir (non muslim) tanpa melalui kekerasan (peperangan) dan/atau tanpa menggerakkan pasukan kuda (mesin perang di zaman modern sekarang). Lain halnya dengan ghanimah yang diperoleh dengan jalan kekerasan (peperangan).namun demikian, ada juga ahli tafsir yang memaknakan al-fai dengan harta yang diperoleh orang-orang mukmin dari orang-orang kafir, tanpa mempersoalkan apakah itu diperoleh secara damai (al-shulh) maupun peperangan. Sementara sebagian yang lain, ada yang mendefinisikan al-fai dengan harta yang diperoleh melalui jalan kekerasan (peperangan) dengan merujuk kepada surat Al-Anfaal ayat 41.
Al-daulah atau Al-duulah, makna asalnya adalah sesuatu yang dipergilirkan sebagaimana terdapat dalam surat Ali ‘Imran ayat 140. Kata daulah juga bisa diartikan dengan negara dan/atau pemerintah.  ä!$uŠÏYøîF{Yaitu orang-orang kaya.
Apa saja harta rampasan atau fai yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota) seperti tanah Shafra, lembah Al-Qura dan tanah Yanbu' (maka adalah untuk Allah) Dia memerintahkannya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya (untuk Rasul, orang-orang yang mempunyai) atau memiliki (hubungan kekerabatan) yaitu kaum kerabat Nabi dari kalangan Bani Hasyim dan Bani Mutthalib (anak-anak yatim) yaitu anak-anak kaum muslimin yang bapak-bapak mereka telah meninggal dunia sedangkan mereka dalam keadaan fakir (orang-orang miskin) yaitu orang-orang muslim yang serba kekurangan (dan orang-orang yang dalam perjalanan) yakni orang-orang muslim yang mengadakan perjalanan lalu terhenti di tengah jalan karena kehabisan bekal. Yakni harta fai itu adalah hak Nabi saw. beserta empat golongan orang-orang tadi, sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah swt. dalam pembagiannya, yaitu bagi masing-masing golongan yang empat tadi seperlimanya dan sisanya untuk Nabi saw. (supaya janganlah) lafal kay di sini bermakna lam, dan sesudah kay diperkirakan adanya lafal an (harta fai itu) yakni harta rampasan itu, dengan adanya pembagian ini (hanya beredar) atau berpindah-pindah (di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. Apa yang telah diberikan kepada kalian) yakni bagian yang telah diberikan kepada kalian (oleh Rasul) berupa bagian harta fa-i dan harta-harta lainnya (maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya).

  1. Makna Global
Meskipun ayat di atas berbicara tentang fai (semacam pajak kepala dalam kehidupan sekarang), namun di antara isinya yang ditekankan adalah justru perilah pemerataan distribusi harta kekayaan itu sendiri supaya tidak selalu dan semuanya beredar pada segelintir orang-orang kaya. Asas pemerataan ekonomi dan keuangan ini sangat dijunjung tinggi oleh Nabi yang dalam Al-Quran dianjurkan supaya diikuti pula oleh manusia-manusia yang mengimani Al-Quran. Pada saat yang bersamaan, ayat ini juga sekaligus mengingatkan umat dan masyarakat supaya menjauhi aktivitas ekonomi dan keuangan yang dilarang oleh Rasulullah.
Menurut kebanyakan mufassir, ayat ini merupakan bayân (penjelasan) terhadap ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya dijelaskan tentang hakikat harta al-fay’ (QS al-Hasyr [59]: 6). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa al-fay’adalah semua harta yang diambil dari kaum kafir tanpa melalui jalan peperangan; tanpa mengerahkan pasukan unta dan kuda; seperti halnya harta Bani Nadhir.3 Semua harta yang mereka tinggalkan itu disebut al-fay’. Ketentuan itu tidak hanya berlaku pada harta Bani Nadhir, namun juga semua yang negeri yang ditaklukkan dengan cara yang sama, yakni tanpa mengerahkan kuda maupun unta. Jika dalam ayat 6 disebutkan minhum (dari mereka), yakni dari kaum Yahudi itu, maka dalam ayat 7 digunakan kata yang lebih bersifat umum: min ahl al-qurâ (dari penduduk kota-kota). Artinya, semua negeri yang ditaklukkan tanpa melalui peperangan.
Tiadanya benturan fisik dalam peperangan itulah yang membedakan fay’ dengan ghanîmah. Berbeda dengan harta fay’, harta ghanîmah diperoleh dari kaum kafir melalui jalan peperangan. Pembagian dan distribusinya pun dibedakan. Jika pembagian ghanîmah dijelaskan dalam QS al-Anfal [8]: 1 dan 41, maka pembagian fay’ dijelaskan dalam QS al-Hasyr [59]: 6 dan 7
Berdasarkan QS al-Hasyr [59]: 6, harta fay’ tersebut diberikan secara khusus kepada Rasulullah saw distribusinya pun menjadi otoritas Beliau. Dalam kaitannya dengan harta Bani Nadhir, Beliau hanya membagi-bagikannya kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar, kecuali dua orang, yakni Abu Dujanah dan Sahal bin Hunaif, lantaran kondisinya yang miskin sebagaimana dialami kaum Muhajirin.
Selanjutnya dijelaskan mengenai alokasi harta fay’ itu. Allah Swt. berfirman: fa li Allâh wa li al-Rasûl wa li dzî al-qurbâ wa al-yatâmâ wa al-masâkîna wa [i]bn al-sabîl (maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan).
Pertama: li Allâh (untuk Allah). Dialah yang berhak menetapkan alokasi harta rampasan itu sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Allah Swt. telah memberikan harta tersebut kepada Rasulullah saw.; otoritas pembagiannya pun diserahkan kepada Beliau. Sekalipun ungkapan fa li Allâh wa li al-Rasûl seolah tampak memberikan makna adanya dua bagian, sesungguhnya itu untuk menunjukkan satu bagian.Tidak ada perbedaan pendapat bahwa setelah Beliau wafat, bagian tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan kaum Muslim.
Kedua: dzî al-qurbâ (kaum kerabat Rasul). Kerabat Rasulullah saw. yang dimaksudkan adalah Bani Hasyim dan Bani Muthallib.11 Dua kerabat Rasulullah saw. itu, baik kaya maupun miskin, berhak mendapat bagian harta rampasan. Menurut para mufassir, hal itu karena mereka tidak dibolehkan menerima harta sedekah.
Ketiga: al-yatâmâ (anak-anak yatim). Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya. Status yatim itu terus berlangsung hingga mereka balig. Kata ath-Thabari, mereka adalah anak-anak kaum Muslim yang membutuhkan dan tidak memiliki harta.
Keempat: al-masâkîna (orang-orang miskin). Yang dimaksud adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa, tidak memiliki rumah, sedikit pakaian atau makanan. Mereka bahkan ditimpa kelaparan. Kata miskin dalam ayat ini juga mencakup kaum fakir. Menurut al-Biqai, dua kelompok tersebut, yakni fakir dan miskin, jika hanya disebutkan salah satunya, maka itu mencakup kedua-duanya. Kedua kelompok itu baru dibedakan jika disebutkan bersama-sama.
Kelima: ibn al-sabîl.Yang dimaksud adalah orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan menuju ke tempat tinggalnya sehingga dia membutuhkan harta yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuannya. Ath-Thabari memberikan catatan, perjalanan yang dilakukan itu bukan dalam rangka maksiat kepada Allah Swt.
Selanjutnya Allah Swt. menjelaskan ‘illah (sebab disyariahkan) hukum tersebut dengan firman-Nya: Kay lâ yakûna dûlat[an] bayna al-aghniyâ’i minkum (supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu saja).Karena huruf kay termasuk harf al-‘illah (huruf yang menunjukkan makna penyebab ditetapkannya suatu hukum), maka kalimat berikutnya merupakan ‘illah atas ketentuan hukumnya.
Secara bahasa, kata dûlah berarti sesuatu yang dipergilirkan di antara suatu kaum. Dengan demikian, ‘illah atau sebab disyariah-kannya hukum tentang alokasi harta rampasan dari kaum kafir itu adalah agar harta tidak hanya beredar dan berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Dengan ketentuan pembagian harta fay’ tersebut, kaum miskin pun bisa berkesempatan mendapatkan giliran memiliki harta.
Allah Swt. berfirman: Wamâ âtâkum al-Rasûl fakhudzûhu wamâ nahâkum ‘anhu fa [i]ntahû (apa yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah; apa dia larang atas kalian, tinggalkanlah). Dalam konteks ayat ini, kalimat itu bermakna: Semua harta ghanîmah dan fay’ yang diberikan oleh Rasulullah saw., ambillah. Sebaliknya, yang Beliau larang, tinggalkanlah. Kendati konteks dan sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan pembagian ghanîmah dan fay’, hukumnya berlaku umum dan mencakup semua perkara yang dibawa Rasulullah saw., baik perintah maupun larangan, ucapan maupun perbuatan, sebagaimana ditetapkan dalam kaidah: al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzh wa lâ bi khushûsh as-sabab (Pengertian dalil ditetapkan berdasarkan keumuman ungkapannya, bukan karena kekhususan sebabnya).
Kata al-îtâ’ (memberi) dalam kalimat tersebut bermakna al-amr (perintah). Alasannya, kebalikan dari kata al-îtâ’ adalah an-nahy, yakni kalimat wamâ nahâkum ‘anhu fa [i]ntahû (apa yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah). Lawan dari kata al-nahy tidak lain adalah al-amr, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
«إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ»
Jika aku memerintah kalian dengan suatu perintah, jalankanlah semampu kalian. Jika aku melarang kalian dengan suatu larangan, jauhilah (HR al-Bukhari).
Para Sahabat pun memahami keumuman ayat ini.
Allah Swt. berfirman: wa[i]ttaqû Allâh (Bertakwalah kalian kepada Allah).Kalimat ini menegaskan perintah sebelumnya.Perintah ini wajib karena adanya sanksi atas orang yang tidak bersedia mengerjakannya.Sanksi itu berupa azab yang pedih. Allah Swt. berfirman: Inna Allâh syadîd al-‘iqâb (Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya).
  1. Sabab al-Nuzul surat Al Hasyr ayat 7
Dalam suatu riwayat dikemukan bahwa surat al-Anfaal turun di waktu terjadi peperangan Badar (Ramadhan 2H/624M), sementara surat al-Hasyr diturunkan pada waktu peperangan bani Nadhir (4H/625M). Kaum yahudi bani Nadhir adalah penduduk yang dahulu di zaman Nabi Muhammad bertempat tinggal dan berkebun kurma di luar kota Madinah.Karena pengkhianatan mereka kepada Rasulullah, maka Rasul pun mengepung mereka dan mengusirnya seraya Rasul membolehkan mereka membawa harta kekayaannya sejauh yang mereka mampu mengangkutnya dengan binatang-binatang mereka, dengan catatan mereka tidak diperbolehkan membawa senjata.Mereka pun kemudian pergi sampai ke Syam (Syria). Allah menurunkan ayat 1 sampai 5 surat al-Hasyr yang pada intinya adalah membenarkan tindakan Rasulullah itu termasuk tindakannya untuk mengambil alih sisa-sisa harta yang ditinggalkan mereka (kaum bani Nadhir).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Rasulullah sampai di tempat kaum bani Nadhir, mereka bersembunyi di dalam benteng.Lalu Rasulullah memerintahkan para sahabat supaya menebang pohon-pohon kurma untuk kemudian membakarnya (sampai berasap tebal) yang menyebabkan bani Nadhir tidak mampu lagi bertahan di dalam benteng. Mereka lalu berteriak-teriak memanggil Nabi Muhammad sambil mengatakan: “Hai Muhammad! Kamu telah melarang orang merusak bumi, dan mencela orang yang berbuat kerusakan (di muka bumi), namun mengapa kamu sendiri justru menebangi pohon-pohon kurma dan lalu membakarnya?” Terkait teriakan mereka itu, maka turunlah ayat 9 dari surat al-Hasyr.
  1. Tafsir Ayat surat Al Hasyr ayat 7
Firman Allah ini menjelaskan tentang makna fa’i sifat dan hikmahnya. Fa’i adalah segala harta benda yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui peperangan dan tanpa mengerahkan kuda maupun unta. Seperti harta benda bani an-Nadhir ini, dimana kaum muslimin memperolehnya tanpa menggunakan kuda maupun unta, artinya mereka dalam hal ini tidak berperang terhadap musuh dengan menyerang atau menyerbu mereka, tetapi para musuh itu dihinggapi rasa takut yang telah Allah timpakan ke dalam hati mereka karena wibawa Rasulullah. Kemudian Allah memberikan harta benda yang telah mereka tinggalkan untuk Rasul-Nya. Oleh karena itu, beliau mengatur pembagian harta benda yang diperoleh dari Bani an-Nadhir sekehendak hati beliau, dengan mengembalikannya kepada kaum muslimin untuk dibelanjakan dalam segala sisi kebaikan dan kemaslahatan yang telah disebutkan oleh Allah dalam ayat-ayat ini.
Harta kekayaan dalam bentuk apapun yang Allah berikan kepada Rasul-Nya dari ahli qura (penduduk Khaibar, Fadak dan ‘Arinah), itu untuk Allah, untuk Rasulullah, untuk Dzawil Qurba (kerabat dekat), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil. Menurut ayat ini, al-fai (diluar kasus bani Nadhir), itu dibagi ke dalam lima bagian dengan ketentuan: 1/5 daripadanya didistribusikan untuk lima kelompok, yaitu untuk Allah dan Rasulullah yang digunakan untuk kebutuhan hidup beliau selama hayatnya, dan kemudian didayagunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin sepeninggalnya; untuk keluarga dekat Nabi Muhammad, dalam hal ini Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib; untuk kepentingan anak-anak yatim; untuk orang-orang miskin; dan untuk ibnu sabil (anak-anak jalanan yang terlantar). Sementara yang 4/5 bagian selebihnya, adalah khusus untuk Nabi, yang 4/5 bagian ini telah beliau bagi-bagikan selama hidupnya kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar, kecuali dua orang saja yang nyata-nyata fakir.
Imam Ahmad meriwayatkan, Sufyan bin ‘Amr dan Ma’mar memberitahu kami dari az-Zuhri, dari Malik bin Aus bin al-Hadatsan, dari ‘Umar, ia berkata: “Harta Bani an-Nadhir termasuk yang telah Allah berikan kepada Rasul-Nya, dengan tidak ada usaha terlebih dahulu dari kaum muslimin untuk mengerahkan kuda dan untanya. Oleh karena itu, harta rampasan itu hanya khusus untuk Rasulullah, beliau nafkahkan untuk keluarganya sebagai nafkah untuk satu tahun. Dan sisanya beliau manfaatkan untuk kuda-kuda perang dan persenjataan di jalan-Nya.”
Ketentuan hukum yang membagi-bagikan harta fai ke dalam beberapa kelompok sosial itu, di antara tujuan utamanya ialah untuk memeratakan peredaran harta kekayaan (ekonomi dan keuangan) supaya tidak selalu atau selamanya bergulir dan bergilir pada segelintir tangan orang-orang kaya saja diantara mereka. Disinilah pula terletak kelebihan esensial teori ekonomi profetik (kenabian) yang sangat mementingkan asas pemerataan disamping prinsip keadilan dan terutama keberkahan. Usaha memeratakan peredaran ekonomi sebagaimana yang mudah disaksikan maupun terutama dirasakan memang yang paling sulit, betapa banyak ketimpangan sosial ekonomi dan keuangan di tengah-tengah masyarakat ini.
Kebijakan Allah dan Rasul-Nya yang memberikan harta fai hanya kepada kaum Muhajirin yang pada umumnya miskin, dan tidak kepada kaum Anshar yang kebanyakan sudah kaya atau bahkan kaya-raya, kecuali kepada satu atau dua orang yang benar-benar fakir. Jadi asas pemerataan ekonomi dan keuangan model Rasulullah itu jelas dan tegas. Lebih didasarkan atas pertimbangan (keberpihakan) kefakiran dan kemiskinan masyarakat, bukan karena pertimbangan etnik dalam hal ini keperpihakan Nabi kepada kaum Muhajirin dan pengabaian kaum Anshar. Namun alasan apa pun yang disampaikan Nabi ketika itu apalagi di zaman sekarang ini, tampaknya akan tetap terus dan terus tetap menuai kecemburuan pihak yang tidak mendapatkan dana fai maupun dana sosial lainnya. Hal yang maklum karena al-mal (harta), sesuai dengan makna dasarnya, selalu memikat semua dan setiap orang tanpa peduli apakah ia itu fakir miskin ataukah kaya raya. Kebijakan sapu jagat yang seringkali diambil oleh pemangku kebijakan, seringkali mengabaikan asas pemerataan dan keadilan ini, meskipun pada saat yang bersamaan, kebijakan sapu jagat  itu seolah-olah berasas pemerataan. Ambil contoh pembebasan biaya pendidikan yang tidak lagi memandang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin atau antara yang mampu dan tidak mampu, semuanya dibebaskan dari biaya sekolah.
Dan dalam kitab ash-Shahihain juga telah ditegaskan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
“Jika aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Dan apa yang aku larang, maka jauhilah.”
Imam an-Nasi’i meriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, bahwa keduanya telah menyaksikan Rasulullah melarang penggunaan dubba’ (sejenis labu), hantam (guji hijau), naqir (batang kurma yang dilubangi), dan muzaffat (tempurung yang dilumuri tir). Setelah itu Rasulullah membaca ayat. “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
Hendaknya kita semua bertakwa kepada Allah dalam hal menerima ketetepan hukum-hukum-Nya dan dalam menjalankan seluruh perintah-Nya serta meninggalkan larangan-Nya, karena sesungguhnya Allah itu sangat dahsyat hukuman-Nya mana kala hukum-hukumnya dilanggar oleh manusia.
Pendapat lain dari tafsir jalalain disebutkan : (Apa saja harta rampasan atau fai yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota) seperti tanah Shafra, lembah Al-Qura dan tanah Yanbu' (maka adalah untuk Allah) Dia memerintahkannya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya (untuk Rasul, orang-orang yang mempunyai) atau memiliki (hubungan kekerabatan) yaitu kaum kerabat Nabi dari kalangan Bani Hasyim dan Bani Mutthalib (anak-anak yatim) yaitu anak-anak kaum muslimin yang bapak-bapak mereka telah meninggal dunia sedangkan mereka dalam keadaan fakir (orang-orang miskin) yaitu orang-orang muslim yang serba kekurangan (dan orang-orang yang dalam perjalanan) yakni orang-orang muslim yang mengadakan perjalanan lalu terhenti di tengah jalan karena kehabisan bekal. Yakni harta fai itu adalah hak Nabi saw. beserta empat golongan orang-orang tadi, sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah swt. dalam pembagiannya, yaitu bagi masing-masing golongan yang empat tadi seperlimanya dan sisanya untuk Nabi saw. (supaya janganlah) lafal kay di sini bermakna lam, dan sesudah kay diperkirakan adanya lafal an (harta fai itu) yakni harta rampasan itu, dengan adanya pembagian ini (hanya beredar) atau berpindah-pindah (di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. Apa yang telah diberikan kepada kalian) yakni bagian yang telah diberikan kepada kalian (oleh Rasul) berupa bagian harta fa-i dan harta-harta lainnya (maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya).
  1. Hukum ekonomi surat Al Hasyr ayat 7 dalam Kegiatan Distribusi Islam
Dalam perekonomian modern saat ini, menurut Ali Sakti (2008) tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sektor distribusi merupakan sektor yang terpenting dalam aktivitas perekonomian. Pelaku distribusi kini telah menjadi pelaku ekonomi dominan di samping konsumen dan produsen. Karena itu, menjadi penting melihat posisi sektor ini dalam mekanisme perekonomian menggunakan perspektif Islam, simak firman Allah dalam surat Huud ayat 35.
“Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
Fungsi distribusi dalam aktivitas ekonomi pada hakikatnya mempertemukan kepentingan konsumen dan produsen dengan tujuan kemaslahatan umat. Aktivitas usaha distribusi ini kemudian dituntut untuk dapat memenuhi hak dan kewajiban yang diinginkan syariah bagi konsumen dan produsen. Distribusi menempati posisi penting dalam teori ekonomi mikro, baik dalam sistem ekonomi Islam maupun kapitalis, karena tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi belaka, tetapi juga aspek sosial dan politik.
Pada saat ini kenyataan yang tampak adalah telah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan, baik di negara maju maupun di negara-negara berkembang, yang mempergunakan sistem kapitalis sebagai sistem ekonomi negaranya, sehingga menciptakan kemiskinan dimana-mana.
Sistem ekonomi yang berbasis Islam menghendaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan dua sendi: sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan. Kebebesan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang dibingkai nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakan bebas bertindak tanpa campur tangan pihak manapun, serta keseimbangan antara unsur materi dan spiritual, keseimbangan antara individu dan masyarakat, serta antara suatu masyarakat dan masyarakat lainnya. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam Al Quran agar harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi pada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan, seperti yang diterangkan dalam surat Al Hasyr ayat 7.






















Daftar pustaka

No comments:

Post a Comment