Thursday, March 17, 2016

HARUM SAKIINAH
1414231042/ PS 2/ Smt 4
Tafsir Ayat Ekonomi

AYAT EKONOMI TENTANG RIZEKI
            (Qur’an Surat Hud 11 : 6)

* $tBur `ÏB 7p­/!#yŠ Îû ÇÚöF{$# žwÎ) n?tã «!$# $ygè%øÍ ÞOn=÷ètƒur $yd§s)tFó¡ãB $ygtãyŠöqtFó¡ãBur 4 @@ä. Îû 5=»tGÅ2 &ûüÎ7B ÇÏÈ  
Artinya :
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh al-mahfuzh).” (Surat Hud 11:6)
Dalam Tafsir Al-Mishbah Karangan M.Quraish Shihab Surat Hud dimulai dengan Kalimat “Alif-Lam-Raa”. Surat Hud terdiri dari 123 ayat. Pada ayat ke-6 sebagaimana di atas, Allah  mengabarkan kepada setiap orang beriman bahwa tidak satupun makluk yang Ia ciptakan kecuali Allah  telah menetapkan rezeki atasnya.
 Dalam ayat ke-6 itu Allah menggunakan kalimat “binatang melata” sebagai perbandingan makhluk yang Ia limpahi rezeki padahal mungkin menurut akal manusia yang sangat sederhana, akan lebih mudah memahami apabila pada ayat tersebut digunakan kalimat “binatang ternak” atau “setiap binatang” atau “binatang terkecil sekalipun” yang akan membuat redaksi ayat tersebut menjadi:
“Dan tidak ada suatu binatang ternak pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,” atau
“Dan setiap binatang di bumi Allah-lah yang memberi rezekinya,” atau
“Dan tidak ada suatu binatang terkecil sekalipun pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,”
Namun dalam ayat tersebut allah justru menggunakan kalimat “hewan melata” yang akan menuntun akal kita kepada jenis hewan yang melata di muka bumi ini yaitu golongan ular dan yang serupa dengannya. Ular dalam konteks AlQur’an (sebagaimana kalimat Allah dalam surat AlBaqarah) adalah binatang yang haram baik darah maupun dagingnya. Ular dalam kalimat (ketentuan) Allah juga merupakan binatang yang hina karena ular adalah binatang yang hidup dari memangsa yang lain. Sehingga dalam ayat ini menjadi jelas maksud penggunaan “binatang melata” sebagaimana ditafsirkan para ulama ahli tafsir bahwa meski binatang yang hina sekalipun Allah akan memeberikan rezeki kepadanya dan Allah Maha Mengetahui keberadannya. Maha besar Allah dengan kemurahan rezekinya.
Dalam hal ada pendapat yang mengatakan bahwa di dalam tubuh ular mengandung obat yang biasa digunakan dalam pengobatan tradisional atau pada kemajuan teknologi yang mengungkapkan bahwa ular mengandung toksin yang dapat menjadi bahan pembuatan obat, kita dapat merujuk kembali pada surat AlBaqarah yang menyatakan dengan terang dan jelas akan diharamkannya binatang melata, bangkai dan darah, serta babi untuk dimakan, kecuali tidak ada satupun lagi yang dapat dimakan dan hanya baik bagi kita.
Namun pendapat ini hanya berlaku pada hal yang sifatnya sangat darurat. Sebagai perbandingan apabila kita terdampar di suatu pulau yang tidak ada apapun di dalamnya kecuali ular atau babi, maka ia diperbolehkan untuk dimakan meskipun di setiap jengkal bumi yang allah ciptakan tidak akan ada pulau atau daerah sedemikian, Maha luas allah dengan segala ciptaannya.
Pendapat lain juga mengungkapkan logika analitik yang sangat beralasan untuk mengharamkan ular baik daging maupun darahnya. Ular merupakan makhluk ciptaan allah yang diperlengkapi dengan bisa atau racun yang apabila masuk ke dalam tubuh makhluk lain dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian. Ular diciptakan allah dengan keadaan sedemikian karena kelemahannya baik dari struktur tubuhnya yang tidak berangka maupun kemampuannya untuk menghidupi dirinya yang hanya bisa dengan melilit mangsanya dan menularkan racunnya. Sehingga racun yang mengalir dalam darahnya, air liurnya dan tentunya juga sekian persen terdapat dalam bagian tubuhnya (dagingnya) tidak akan mungkin bisa menjadi obat bagi manusia, kecuali dalam tinjuan medis digunakan sebagai bahan penelitian antigen-antibodi untuk menciptakan penangkal/obat terhadap bisa dan racun ular sendiri.
Perihal keluasan rezeki yang allah berikan pada setiap makhluknya juga banyak dijelaskan dalam surat lain dalam AlQur’an. Maknanya kita sebagai makhluk ciptaan allah diberi waktu dan kesempatan yang sangat banyak, mulai dari terbit matahari hingga terbenamnya, mulai dari terbenam matahari hingga terbitnya, untuk mencari rezeki yang halal dan baik di bumi allah Wallaahu ‘alam bish shawab.
Pengetahuan allah swt. yang menyeluruh sampai pada sesuatu yang terkecil itu, menunjukan bahwa kekuasaan dan nikmatnya mencakup semua makhluk, sebab pengetahuannya bergandengan dengan kekuasaannya. Ayat ini menegaskan bahwa dan bukan hanya meraka yang kafir dan munafik yang diketahui keadaannya dan dianugerahi rezekinya itu, tetapi semua makhluk. Karena tidak ada suatu binatang melata pun dipermukaan dan di dalam perut bumi melainkan atas allahlah melalui karunianya menjamin rezekinya yang layak dan sesuai dengan habitat dan lingkungannya dengan menghamparkan rezeki itu. Mereka hanya dituntut bergerak mencarinya dan dia mengetahui tempat berdiamnya binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata yakni tertampung dalam pengetahuan allah ‘Azza wa Jalla yang meliputi segala sesuatu atau termaktub dalam Lauh al-Mahfuzh.
Kata (دابة) dàbbah terambil dari kata (  يد ب- د بdabba-yadibbu yang yang berarti bergerak dan merangkak. Ia bisa digunakan untuk binatang selain manusia , tetapi makna dasarnya dapat juga mencakup manusia. Memahaminya untuk ayat ini dalam arti umum lebih tepat. Pemilihan kata ini mengesankan bahwa rezeki yang dijamin allah swt. Itu menuntut setiap dàbbah untuk memfungsikan dirinya sebagaimana namanya ,yakni bergerak dan merangkak yakni tidak tinggal diam menanti rezeki tetapi mereka harus bergerak guna memperoleh rezeki yang disediakan Allah swt itu.
Kata (ر ز ق) rizq pada mulanya, sebagaimana ditulis oleh pakar bahasa arab al-fàriz, berarti pemberian untuk waktu tertentu. Namun demikian, arti asal ini berkembang sehingga rezeki antara lain diartikan sebagai pangan, pemenuhan kebutuhan, gaji, hujan dan lain-lain bahkan sedemikian luas dan berkembang pengertiannya sehingga anugerah kenabian pun dYang berkata kepada kaumnya, dinamai rezeki sebagaimana yang dinyatakan oleh nabi syu’aib as. Yang berkata kepada kaumnya,
tA$s% ÉQöqs)»tƒ óOçF÷ƒuäur& bÎ) àMZä. 4n?tã 7poYÉit/ `ÏiB În1§ ÓÍ_s%yuur çm÷ZÏB $»%øÍ $YZ|¡ym 4
“ Syu'aib berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dia menugerahi aku dainya rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? “ (Qs Hud 11:88)
Sementara para pakar membatasi pengertian rezeki pada pemerian yang bersifat halal, sehingga yang haram tidak dinamai rezeki. Tetapi pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama, dan karena itulah al-qur’an dalam beberapa ayat menggunakan istilah (   رزقا حسنا) Rizqan hasanan/ rezeki yang baik untuk mengisyaratkan bahwa rezeki yang tidak baik yakni yang haram . berdasarkan keterangan diatas dapat dirumuskan bahwa rezeki adalah segala pemberian yang dapat dimanfaatkan baik material maupun spiritual.
Setiap makhluk telah dijamn allah swt. Rezeki mereka yang memperoleh sesuatu secata tidak sah haram dan memanfaatkannya pun telah disediakan oleh allah rezekinya yang halal , tetapi ia enggan mengusahakannya atau tidak puas dengan perolehannya.
Jaminan rezeki yang dijanjikan allah kepada makhluknya bukan berarti memberinya tanpa usaha kita harus sadar bahwa menjamin itu adalah allah awt yang menciptakan makhluk serta hukum-hukum yang mengatur makhluk dan kehidupannya. Ketetapan hukum-hukumnya yang telah mengikat manusiajuga berlaku untuk seluruh makhluk. Kemampuan tumbuh-tumbuhan untuk memperoleh rezekinya serta organ-organ yang menghiasi tubuh manusia dan binatang , insting yang mendorongnya untuk hidup dan makan semuanya adalah bagian dari jaminan rezeki allah swt. Kehendak manusia dan instingnya, perasaan dan kecenderungannya, selera dan keinginannya, rasa lapar dan hausnya, sampai kepada naluri mempertahankan hidupnya adalah bagian dari jaminan rezeki allah swt kepada makhluknya, tanpa itu semua maka tidak akan ada dalam diri manusia dorongan untuk mencari makan. Tidak pula akan terdapat pada manusia dan binatang pencernaan, kelezatan, kemampuan membedakan rasa dan sebagainya.
Allah swt sebagai ar-Razzàq menjamin rezeki dengan menghamparkan bumi dan langit dengan segala isinya. Dia menciptakan seluruh wujud dan melengkapinya dengan apa yang mereka butuhkan, sehingga mereka dapat memperoleh rezeki yang dijanjikan allah swt iru rezeki dalam pengertiannya yang lebih umum tidak lain kecuali upaya makhluk untuk meraih kecukupan hidupnya dari dan melalui makhluk lain. Semua makhluk membutuhkan rezeki diciptakan allah swt. Membutuhkan makhluk lain untuk dimakannya agar dapat melanjutkan hidupnya. Demikian sehingga rezeki dan yang diberi selalu tidak dapat dipisahkan. setiap yang mendapat rezeki dapat menjadi rezekki untuk yang lain dapat makan dan menjadi makanan bagi yang lain.
Jarak antara rezeki dan manusia lebih jauh dari jarak rezeki dengan binatang apalagi tumbuhan / bukan saja karena adanya peraturan-peraturan hukum dalam cara perolehan dan jenis yang dibenarkan bagi manusia tetapi juga karena seleranya yang lebih tinggi, oleh sebab itu manusia dianugerahi allah swt sarana yang lebih sempurna  yaitu akal, ilmu pikiran dan sebagainya. Sebagai bagian dan jaminan rezeki allah swt tetapi sekali lagi jaminan rezeki yang dijanjikan alah swt bukan berarti memberinya tanpa usaha.
Jarak antara rezeki bayi dengan rezeki orang dewasa pun berbeda. Jaminan rezeki allah swt berbeda dengan jaminan rezeki orang tua kepada bayi-bayi mereka. Bayi menunggu makanan yang siap dan menanti untuk disuapi. Manusia dewasaa tidak demikian. Allah swt menyiapkan sarana dan manusia diperintahkan mengelolanya:
uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# Zwqä9sŒ (#qà±øB$$sù Îû $pkÈ:Ï.$uZtB (#qè=ä.ur `ÏB ¾ÏmÏ%øÍh  
“ Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. (QS.al-mulk 67:15). Karena itu, ketika allah swt as-razzaq itu menguraikan pemberian rezekinya, dikemukakannya dengan menyatakan bahwa :
ß`ós¯R öNà6è%ãötR öNèd$­ƒÎ)ur (
Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka (anak-anak kamu)” (QS. Al-an’am 6:151)
Penggunaan kata (نحن) nahnu / kami sebagaimana telah diuraikan sebelum ini adalah untuk menunjukan keterlibatan selain allah dalam pemberian / perolehann rezeki itu. Dalam hal ini adalah keterlibatan makhluk-makhluk yang bergerak untuk mencarinya.
Itu sebabnya ketika menyampaikan jaminannya , ayat di atas mengisyaratkan bahwa jaminan itu untuk semua dàbbah yakni yang bergerak.
Lima kali allah dalam al-qur’an menyifati dirinya dengan khairur rà ziqin ( sebaik-baik pemberi rezeki) dari enam kali kata Ràziqin. Hanya sekali al-qur’an menyifati allah dengan ar-Ràzziqin yaitu dalam QS. Adz-Dzariyat 51:57-58
!$tB ߃Íé& Nåk÷]ÏB `ÏiB 5-øÍh !$tBur ߃Íé& br& ÈbqßJÏèôÜムÇÎÐÈ   ¨bÎ) ©!$# uqèd ä-#¨§9$# rèŒ Ío§qà)ø9$# ßûüÏGyJø9$# ÇÎÑÈ  
“Tiada aku menghendaki pemberian (rezeki) dari mereka, tidak pula tidak menghendaki diberi makan oleh mereka. Sesungguhnya Allah adalah ar-Razzaq (Maha pemberi rezki) yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”
Agaknya itu untuk mengisyaratkan bahwa dalam perolehan rezeki harus ada keterlibatan makhluk bersama allah. Allah swt adalah sebaik-baik pemberi rezeki antara lain karena dia yang menciptakan rezeki beserta sarana dan prasarana perolehannya. Sedang manusia hanya mencari dan mengelolah apa yang telah diciptakannya itu. Bukankah yang dimanfaatkan manusia adala bahan mentah yang disiapkan allah atau hasil olahan bahan mentah yang telah tersedia itu ? sementara orang berkata bahwa rasul saw pernah memuji burung-burung dengan maksud agar diteladani dalam perolehan rezeki mereka . “Burung-burung keluar, lapar di waktu pagi dan kembali kenyang di sore hari.“ apa yang disabdakan rasul saw. Ini benar adanya , tetapi harus diingat dan diteladani bahwa burung-burung itu tidak tinggal diam di sarang mereka, burung tersebut itu terbang keluar untuk meraih rezekinya.
Demikian pula seharusnya manusia. Firmannya (ويعلم مستقر ها ومستودعها) wa ya’lamu mustaqarraha wamustauda’aha dipahami oleh sementara ulama dalam arti tempat penyimpanannya sejak berupa benih di dalam rahim atau di mana pun sampai penguburannya. Ada juga yang memahaminya dalam arti alla swt. Mengetahui dan memberi rezeki semua dabbah , baik yang berada di tempatnya menetap (mustaqarraha) seperti ikan dan mutiara di laut dan sungai di mana mereka tidak dapat meninggalkannya serta mengetahui dan memberi pula rezeki apa dan siapa yang meninggalkan tempat kediamannya (mustawda’aha) seperti burung yang terbang dari suatu ke tempat yang lain atau manusia yang meninggalkan tempat tinggalnya menuju tempat yang lainnya, termasuk janin yang berpindah dari rahim ibu ke pentas bumi ini. Apa pun makna yang dipilih yang jelas ayat ini ketika menegaskan bahwa alla swt menganugerahkan kepada semua dabbah rezeki yang bersumber darinya, baik mereka menetap di suatu tempat maupun berpindah-pindah bermaksud menggarisbawahi bahwa allah maha mengetahui segala ssuatu mengetahui keadaan dan kebutuhan semua makhluk. Karena tanpa pengetahuannya allah tidak akan menghamparkan rezeki tidak juga menyediakan sarana bagi mereka sehingga bila demikian mereka tidak mungkin memperoleh rezeki sedikit pun.
Allah Swt menceritakan bahwa Dialah yang menjamin rezeki makhluk­Nya, termasuk semua hewan yang melata di bumi, baik yang kecil, yang besarnya, yang ada di daratan, maupun yang ada di lautan. Dia pun mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Dengan kata lain, Allah mengetahui sampai di mana perjalanannya di bumi dan ke manakah tempat kembalinya, yakni sarangnya inilah yang dimaksud dengan tempat penyimpanannya.
Ali ibnu Abu Talhah dan lain-lainnya telah menceritakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
                                                                                                            (  6 : هود ) $yd§s)tFó¡ãBOn=÷ètƒur
dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu. (Hud:6)
Yakni tempat berdiamnya binatang itu (sarangnya)
                                                                                                       (  6 : هود) Þ$ygtãyŠöqtFó¡ãBur
dan tempat penyimpanannya. (Hud:6)
maksudnya bila telah mati.
Diriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya:
                                                                                                 (  6 : هود ) $yd§s)tFó¡ãBOn=÷ètƒur
dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu. (Hud:6)
Maksudnya, di dalam rahim.
                                                                                                       (  6 : هود) Þ$ygtãyŠöqtFó¡ãBur
dan tempat penyimpanannya. (Hud:6)
Di dalam tulang sulbi, seperti yang terdapat pada surat Al-An'am.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ad-Dahhak, dan sejumlah ulama. Ibnu Abu Hatim telah menyebutkan pendapat-pendapat ulama tafsir dalam ayat ini, juga menyebutkan pendapat mereka tentang ayat dalam surat Al-An'am tersebut.
Makna yang dimaksud ialah bahwa semuanya itu telah tercatat di dalam suatu Kitab yang ada di sisi Allah yang menerangkan kesemuanya itu. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
$tBur `ÏB 7p­/!#yŠ Îû ÇÚöF{$# Ÿwur 9ŽÈµ¯»sÛ çŽÏÜtƒ Ïmøym$oYpg¿2 HwÎ) íNtBé& Nä3ä9$sVøBr& 4 $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4n<Î) öNÍkÍh5u šcrçŽ|³øtä ÇÌÑÈ
“ Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (Al-An'am 6 : 38)

* ¼çnyYÏãur ßxÏ?$xÿtB É=øtóø9$# Ÿw !$ygßJn=÷ètƒ žwÎ) uqèd 4 ÞOn=÷ètƒur $tB Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur 4 $tBur äÝà)ó¡n@ `ÏB >ps%uur žwÎ) $ygßJn=÷ètƒ Ÿwur 7p¬6ym Îû ÏM»yJè=àß ÇÚöF{$# Ÿwur 5=ôÛu Ÿwur C§Î/$tƒ žwÎ) Îû 5=»tGÏ. &ûüÎ7B ÇÎÒÈ  
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (Al-an’am 6:59)
Allah Swt bukan hanya Pencipta seluruh makhluk yang ada di jagad ini, akan tetapi Allah Swt juga Pemberi rizki semua mereka itu. Artinya bahwa Allah Swt menyediakan berbagai fasilitas hidup mereka hal ini tidak terbatas hanya pada manusia tapi setiap binatang baik kecil atau besar tercakup dalam undang-undang ilahi ini.
Sementara dari satu sisi Allah Swt menciptakan segala apa yang diperlukan semua makhluk hidup ciptaan-Nya termasuk air, makanan, oksigen, cahaya, panas dan selainnya dari sisi lain Allah juga mengajarkan kepada makhluk-makhluk tersebut tata cara pemanfaatannya. Seorang bayi yang baru lahir ke dunia akan mendapatkan makanan yang diperlukannya, berupa air susu yang telah Allah ciptakan pada ibu bayi tersebut dan Allah pun telah memberikan kemampuan kepada si bayi untuk menghisap air susu tersebut sehingga dengan demikian bayi yang lemah dan tidak berdaya itu dapat memperoleh makanannya.
Pemberian rizki secara umum dan meluas seperti ini sudah barang tentu memerlukan pengetahuan yang luas tentang semua makhluk hidup dan keperluan-keperluan mereka. Di antara tuntutan mahkluk hidup yang bergerak ialah berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat lain Sifat berpindah-pindah tempat ini juga diberikan oleh Allah Swt kepada sebagian makhluknya sebagai salah satu cara pemberian rizki. Dan semua keberadaan makhluk rizki dan cara-cara mereka memperoleh riski tersebut baik dengan bergerak ke sana ke mari atau dengan diam di tempat tertentu semua itu telah tercantum dengan jelas dan terang dalam kitab-Nya.
Binatang-binatang yang melata yang hidup di atas bumi yang meliputi binatang yang merayap, merangkak atau pun yang berjalan dengan kedua kakinya, semuanya dijamin rezekinya oleh Allah swt. Binatang-binatang itu diberi naluri dan kemampuan untuk mencari rezekinya sesuai dengan kejadiannya, semuanya itu diatur oleh Allah Taala dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya sehingga selalu ada keserasian. Jika tidak diatur demikian, mungkin pada suatu saat ada semacam binatang yang berkembang biak terlalu cepat sehingga mengancam kelangsungan hidup binatang-binatang yang lain, atau ada yang mati terlalu banyak sehingga mengganggu kesehatan umum. Maka pantaslah jika sebagian binatang memakan sebagian yang lain lagi, sehingga kehidupan yang harmonis selalu dapat dipertahankan.
Allah mengetahui tempat berdiam binatang-binatang itu dan tempat penyimpanannya ketika masih berada dalam perut induknya. Pada kedua tempat itu Allah senantiasa menjamin rezekinya dan semua itu telah tercatat dan diatur serapi-rapinya dalam sebuah kitab yang nyata yaitu Lohmahfuz yang berisi semua perencanaan dan pelaksanaan dari seluruh ciptaan Allah secara menyeluruh dan sempurna.
Dan hendaklah mereka tahu bahwa kekuasaan, nikmat-nikmat dan ilmu Allah itu mencakup segala sesuatu. Tak satu binatang pun yang melata di bumi ini kecuali Allah dengan karunianya telah menjamin rezeki yang layak dan sesuai dengan habitat atau miliunya. Allah juga mengetahui di mana binatang itu menetap dan ke mana ia akan ditempatkan setelah kematiannya. Semua itu tercatat di sisi Allah dalam sebuah kitab yang menjelaskan hal ihwal makhluk-makhluk-Nya
Menurut tafsir Ahmad Musthofa Al-Maraghi, kata (ر ز ق) rizq memiliki makna bahwasannya tidak ada makhluk dari jenis manapun diatas Bumi kecuali rezekinya ditanggung oleh Allah, tidak ada bedanya tentang hal itu, baik biatang-binatang kecil yang tidak bisa dilihat mata kepala, sedang, atau bertubuh besar. Demikian pula, Allah telah memberikan kepada masing-masing penciptaan_Nya yang sesuai dengan penghidupannya.
            Kata (ر ز ق) rizq  menurut tafsir Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddieqy dalam bukunya Tafsir An-Nuur memiliki arti bahwa Allah yang menanggung rezekinya. Maksudnya, Allah memudahkan semua makhluknya itu mencari rezeki dan menunjukinya usaha-usaha yang mendatangkan rezeki serta menjanjikan bahwa semua makhluk ciptaan-Nya akan mendapatkan rezeki yang sepadan dengan dirinya.
Abu Ja’far berkata : Allah SWT menyebutkan dalam firmanNya: (Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya), dan tidaklah suatu binatang pun di muka bumi, (melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya), dikatakan : tiada suatu pun dari rizkinya yang sampai kepadanya kecuali dari Allah.
Dari beberapa pendapat diatas kita dapat memahami hakekat rezeki yang benar. Kita harus tahu bahwa rezeki yang tersebar didunia ini bukan hanya untuk manusia, tetapi untuk makhluk Allah yang lain, termasuk binatang. Kemudian untuk rezeki yang halal dan yang haram dapat kita artikan bahwa rezeki yang haram itu tetap saja disebut rezeki. Hanya saja rezeki yang haram itu adalah rezeki yang tidak berkah, sedangkan yang halal itu rezeki yang berkah. Allah menegaskan bahwa tiadalah sesuatupun makhluk hidup yang mendapatkan rizki, kecuali dari Allah, Allah-lah yang memberikannya, dan semua rizeki yang sampai kepada manusia, tiada lain tiada bukan dari Allah, pemahaman seperti ini menjadi keyakinan yang penting bagi setiap muslim, bahwa rizeki tersebut datangnya dari Allah, bukan dari manusia, bahkan ketetapan itu semua, sudah terdapat dalam sebuah kitab.




DAFTAR PUSTAKA

Shihab,M.Quraish,TafsirmAl Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AL-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Http://pemudapersis32.blogspot.co.id/2015/05/hud-ayat-6.html


No comments:

Post a Comment