Nama : Mindiya Nosi Ika
Vioni
Nim : 1414231250
Jur/Smt : Perbankan Syariah2 / 4
SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا
مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ [٢:١٦٨]
Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi suci dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Melalui ayat ini Allah swt menyeru kepada kita
semua agar kita memakan makanan yang halal yang sudah disediakan di muka bumi
ini, carilah rezeki dengan cara yang halal yang diridoi Allah , sehingga apa
yang didapat itu akan membawa keberkahan,dan mempermudah mnedapatkan rahmat
Allah.
Segala sesuatu yang diperoleh dengan cara
yang menyimpang dari aturan main Allah dan rasulNya, maka akan mengandung
racun, apabila dibelikan makanan, makanan tersebut mengandung racun. Makanan
tersebut akan menjadi sel sel darah dan mengalir ke seluruh tubuh yang akhirnya
bersarang di hati. Akibatnya hati menjadi kotor, sehingga akan menimbulkan
penyakit di tubuh dan kalau bermohon kepada Allah akan sulit dikabulkan.
Akibat yang ditimbulkan dari makanan yang
berpenyakit ( cara yang tidak halal ), jika terkena pada fisik, maka akan jadi
penyakit yang susah disembuhkan. Apabila ingin sembuh maka cara berobatnya
harus dengan dua cara yaitu berobat ke dokter dan bertobat kepada Allah. Cara
inipun tidak menjamin kesembuhannya. Hal itu tergantung bagaimana kehendak
Allah SWT.
Barangsiapa yang tidak mematuhi seruan
Allah melalui ayat ini maka telah mengikuti lang-langkah syaitan. Sedangkan
syaitan itu merupakan musuh yang nyata , selalu berbuat dusta , selalu mengajak
berbuat keji dan munkar.
Syaitan itu ada yang nampak dan ada yang
tidak nampak. Yang tidak nampak adanya di dalam hati manusia . Kerjaannya
adalah membisikkan ke dalam hati manusia untuk berbuat keji dan munkar, berbuat
zalim terhadap sesamanya . Sedangkan syaitan yang nampak adalah diri manusia
itu sendiri dalam wujud prilakunya itu menyimpang dari aturan main Allah
dan Rasulnya.
A.
Asbabun Nuzul Q.S Al-Baqarah Ayat
168
Penjelasan tentang
makanan-makanan yang diharamkan tersebut dikemukakan dalam konteks mencela
masyarakat jahiliyah, baik di mekah maupun di madinah, yang menakannya. Mereka
misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alas an
bahwa yang disembelih atau dicabut nyawanya oleh manusia halal maka mengapa
haram yang dicabut sendiri nyawanya oleh Allah.
Penjelasan tentang keburukan
ini dilanjutkan dengan uraian ulang tentang merek yang menyembunyikan
kebenaran, baik menyangkut kebaikan Nabi Muhammad, urusan kiblat, haji dan
umroh, mupun menyembunyikan atau akan menyembunyikan tuntunan Allah menyangkut
makanan. Orang-orang yahudi misalnya, menghalalkan hasil suap, orang-orang
Nasrani membenarkan sedikit minuman keras, kendati dalam kehidupan sehari-hari
tidak sedikit dari mereka yang meminumnya dengan banyak.[1]
B.
Tafsir Q.S Al-Baqarah Ayat 168
Dalam menafsirkan ayat
diatas Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna ayat Al Baqarah ayat 168 maksudnya
adalah Allah swt telah membolehkan (menghalalkan) seluruh manusia agar
memakan apa saja yang ada dimuka bumi, yaitu makanan yang halal, baik, dan
bermanfaat bagi dirinya sendiri yang tidak membahayakan bagi tubuh dan akal
pikirannya.
Segala apa saja yang
akan dikonsumsi sudahlah mendapatkan standar kelayakan dari Allah swt. Standar
itu adalah Halal dan Baik, apa saja yang hendak orang beriman konsumsi entah
itu makanan, minuman, pakaian, kendaraan haruslah berstatus halal dn baik.
Sebagaimana firman Allah swt ; (يَا أَيُّهَا
النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً ) “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi
baik dari apa yang terdapat di bumi”. (يَا
أَيُّهَا النَّاسُ
) “Hai sekalian manusia” dalam kaidah ulumul Qur’an jika ada ayat nida’
(orang yang dipanggil) menunjukankeumuman seperti (النَّاسُ
) manusia, maka ayat ini ditunjukan oleh Allah kepada seluruhmanusia tidak
hanya orang islam saja. Meski sedemikian setiap nida’ yang berlafaz
umumlebih berlaku khusus untuk orang beriman (orang islam), jadi ayat ini
secara lafazmenunjukan keumuman dan secara makna
Dan maksud dari (كُلُواْ
) disini secara bahasa artinya memakan, atau lebih spesifiknya segala sesuatu
yangdimasukan keperut melalui mulut dinamakan makan. Jika ada seorang
yang ludahnyatertelan berarti orang itu telah memakan air ludah meski ia tidak
sengaja memakanya. Dan juga jika ada seseorang memasukan roti kemulutnya dan
kemudian ditelandan masuk keperut maka ia telah makan,namun jika ia hanya
mengunyah dan tidakmemasukanya kedalam perut maka orang itu tidak makan. Inilah makna dari (كُلُواْ ) dalam arti sempit .
Namun (كُلُواْ
) disini tidak hanya berarti makan atu memakan sematamelainkan (كُلُواْ
) disini bisa ditafsirkan dengan makna lebih luas yaitu (كُلُواْ
) disini artinya adalah mengkonsumsi, oleh sebab jika dimaknai hanya cukup
memakan saja maka akan menyempitkan makna. Selain itu setelah lafaz (كُلُواْ
) diiringi lafaz makna yang memiliki sifat makna luas yaitu(فِي الأَرْضِ
) “Di muka Bumi”. Jadi (كُلُواْ ) maknanya tidak hanya makan
atau memakanbumi sifatnya tidak hanya barang yang hanya bisa dimakan semata
namun banyakbarang yang bisa dinikmati , dan kesemuanya bersifat kearah makna
konsumsi. halal dan baik oleh sebab semua itu adalah barang yang sifatnya
barang konsumsi manusia. Maka yang disifatkan Allah atas manusia yang halal dan
baik tidak hanya makanan semata melainkansemua barang yang dikonsusmi haruslah
halal dan baik sifatnya, entah itu kendaraan, makanan, pakaian, perhiasan dan
sawah ladang semuanya harus berstatus halal dan baik. kemudian(كُلُواْ
) ini dari segi bahasa juga termasuk fiil Amr atau kalimat perintah,
maka ini artinya Allah memerintahkanatas suatu hal, yaitu perintah untuk
mengkonsumsi apa-apa yang halal dan yang baik.
Kemudian
makna (حَلاَلاً) yaitu segala sesuatu yang cara memperolehnyadibenarkan oleh
syariat dan juga wujud barangnya juga yang dibenarkan oleh syariat. Gula, dari
segi barang adalah barang yang dihalalkan syariat namun bisa jadi haram
jikacara memperolehnya dengan cara mencuri. Dan khamer (miras) adalah
barang yangsifatnya haram meski khamer itu dibeli dengan uang yang halal
maka khamer itu akan tetap haram. Inilah makna dari (حَلاَلاً)
Dan
kemudian makna (طَيِّباً ) Tayyiban adalah lawan dari khabitsan atau
jelek/menjijikan, perkara yang baik adalah perkara yang secara akal dan fitrah
dianggap baik. secara akal (ilmu/pengetahuan) tembakau itu jelek oleh sebab
membahayakan kesehatan, maka ini bukanlah perkara yang bukan tayyib
namun jelek dan juga kecoa secara fitrah adalah hewan menjijikan meski ada
sebagian orang yang tidak jijik, maka kecoa ini adalah hewan yang jelek/khabits
dan bukan perkara tayyib. (يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ) “Hai orang-orang
yang beriman, makanlah di di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan
kepadamu”(QS.Al Baqarah.172). Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah
memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk memakan makanan yang baik atas rizki
yang Allah berikan agar mereka senantiasa-dianggap-bersyukur atas rizqi Allah
yang diberikan tersebut, jika benar mereka itu hamba-hamba Allah yang beriman.
Mengkonsumsi perkara halal adalah sarana terkabulnya doa dan diterimanya ibadah
sebagaimana mengkonsumsi perkara haram mengurangi doa dan tertolaknya ibadah.
1. Menurut Tafsir Al-Maraghi
Setelah
Allah menjelaskan tentang keadaan orang-orang yang menyekutukan Allah dengan
cara mempertuhan sesame manusia dihari kiamat nanti dan siksaan yang amat pedih
yang akan mereka terima. Allah juga menjelaskan bahwa orang-orang yang menjadi
panutan sesaat itu ingin membebasakan diri dari mereka ketika siksaan sudah di
depan mata mereka, tetapi hubungan mereka sudah terputus sama sekali. Yang
dimaksud dengan hubungan disini adalah manfaat-manfaat keduniaan yang dipungut
oleh para pemimpin, atau kait mengait antara dua belah pihak.
Didalam
pembahasan yang telah lalau dapat diketahui bahwa menyekutukan Allah terdiri
dari dua bagian :
-
Percaya
kepada seseorang bahwa ia dapat menolak bahaya atau dapat mendatangkan manfaat
dengan kekuatan gaib bukan karena sebab-sebab yang dibolehkan.
-
Memang
pendapat seseorang sebagai hokum syariat dalam masalah penghalalan dan dan
pengharaman tanpa didasarkan kitabullah dan sunah Rasulnya.
Kemudian
dipembahasan ayat ini, Allah menjelaskan bahwa kedua cara diatas adalah haram.
Allah juga menjelaskan bahwa fanatisme mereka kepada kebatilan disebabkan rasa
percaya mereka terhadap apa yang dilakukan nenek moyang tanpa menggunakan akal
pikiran dan hidayah Allah. [2]
Allah
memerintahkan kita semua memakan apa yang ada dibumi ini yang terdiri berbagai
makanan, termasuk persoalan dengan cara gaib yabg bertassaruf di seluruh alam
semesta maka orang yang seperti ini telah tersesat dan telah menjadi pengabdi
setia setan.
Dalam
tafsir ini dapat disimpulkan bahwa Allah memerintahkan hambanya untuk memakan
makanan yang halal baginya dan menghindarikan segala kebathilan dalam kehidupan
sehari-harinya.
C.
Penjelasan Hukum Ekonomi Q.S
Al-Baqarah Ayat 168
Ekonomi
islam dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pengelolaan harta benda
menurut perspektif islam
Ekonomi
islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya
diatur berdasarkan aturan agama islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana
dirangkum dalam rukun iman dan rukun islam.
Bekerja
merupakan suatu kewajiban karena Allah SWT memerintahkan nya, sebagaiomana
frmannya “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasulnya serta
orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”.
Suka
atau tidak, ilmu ekonomi islam tidak dapat berdiri netral diantara tujuan yang
berbeda-beda. Kegiatan membuat dan menjual minuman al-kohol dapat merupakan
aktifitas yang baik dalam system ekonomi modern. Namun hal ini tidak
dimungkinkan dalam Negara islam. Ada 2 prinsip – prinsip ekonomi dalam
Al-Qur’an
Berdasarkan
ayat-ayat Al-Qur’an tentang prinsip berekonomi yaitu dalam surat Al-Baqarah
ayat 168, yang telah dijelaskan diatas tadi, dapat disimpulkan bahwa menurut
perspektif islam, ada beberapa prinsip dalam system ekonomi islam, yang
dijadikan sebagai kerangka acuan dalam melakukan berbagai aktifitas
perekonomian. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1. Asas salaing menguntungkan. Seperti
telah dijelaskan pada tafsir Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 168, setiap akad
yang dilakukan oleh pihak yang satu dengan pihak yang lainnya harus bersifat
menguntungkan semua pihak yang berakad. Tidak boleh menguntungkan satu pihak dengan
merugikan pihak lain. Tidak merugikan dan mengeksploitasi manusia dalam
berbagai bentuk bidang usaha yang mana itu semua terjadi karena adanya bujuk
rayu syaitan yang mana pada ayat tersebut kita sudah diperintahkan agar tidak
mengikuti jejaknya perinsip ini dimaksudkan supaya para pelaku ekonomi dalam
berusaha bergerak dalam batas-batas yang ditentukan syari’at penipuan (gharar),
manipulasi , dan kecurangan-kecurangan, serta penimbunana barang oleh pedagang
(ihtikar) tidak mewarnai aktifitas ekonomi. Dengan demikian setiap pihak
merasakan ketentraman berusaha menjamin kemaslahatan bersama.
2. Asas Manfaat Atau Kehalalan Barang.
Asa ini dijelaskan pada surat Al-Baqarah ayat 168. Maksudnya ialah bahwa akad
yang dilakukan oleh kedua belah pihak berkenaan dengan hal-hal (objek) yang
bermanfaat bagi kedua belah pihak. Sehingga kedua belah pihak saling sama-sama
menguntungkan itulah sebabnya mengapa islam mengharamkan akad berkenaan dengan
hal-hal yang bersifat mudharat sepertyi jual beli benda-benda yang diharamkan
atau benda-benda yang tidak bermanfaat apalagi yang membahayakan. Baik cara
memperoleh input, pengelolaannya dan outputnya harus terbukti halal. Karena
pada dasarnya seluruh yang baik itu dihalalkan, sedangkan yang akan merusak dan
kotor-kotor diharamkan. Perdagangan minuman keras, babi, obat-obat terlarang
dan yang sejenisnya seyoganya dijauhi dan dihindari.
Konfirmasi
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah karena pada prinsipnya, segala sesuatu yang
tolerir sudah pasti mangandung kemaslahatan. Apabila muatan atau indikator
kemaslahatan (al-maslahah) ada dalam bidang mu’amalah, maka itulah sebenarnya
yang dituju oleh hokum syara’ karena islam disyari’atkan memang untuk
kemaslahatan manusia secra universal untuk kehidupan didunia dan diakhirat.
Jadi
ringkasnya, dalam ilmu ekonomi islam kita tidak hanya mempelajari individu
social melainkan juga manusia dengan bakat religiusnya. Hal itu disebabkan
karena banyaknyakebutuhan dan kekurangan sarana maka timbullah masalah ekonomi.
Masalah ini pada dasarnya sama baik dalam ekonomi modern maupun ekonomi islam.
Namun perbedaan timbul berkenaan dengan pilihan. Ilmu ekonomi islam
dikendalikan oleh nilai-nilai dasar islam dan ilmu ekonomi modern sangat
dikuasai oleh kepentingan diri si individu. Yang membuat ilmu ekonomi islam
benar-benar berbeda ialah system pertukaran dan transfer satu arah yang terpadu
mempengaruhi alokasi keuangan sumber-sumber daya, dengan demikian menjadikan
proses pertukaran langsung relevan dengan kesejahteraan menyeluruh yang berbeda
hanya dari kesejahteraan ekonomi.[3]
D.
Penjelasan Secara Umum
Setelah
Allah menyuguhkan kepada kita dua rangkaian ayat yang membincang soal hubungan
kepengikutan (antara pengikut dan yang diikuti), tiba-tiba Dia meminta kepada
seluruh manusia untuk berhati-hati dalam hal makanan. Ini pasti bukan
kebetulan. Juga pasti bukan tak punya hubungan dengan ayat-ayat sebelumnya.
Kalau kita cermati, Allah punya pesan yang sangat jelas di ayat ini: jikalau
hubungan kepengikutan tidak mengikuti akal sehat dan tuntunan Kitab Suci, maka
pasti mengikuti tuntunan “perut”. Saat kepengikutan tak lagi memiliki
aspek-aspek teologisnya, dengan serta-merta berubah menjadi soal “makanan” dan
“piring”.
Orang
memilih pemimpin atau imam tak lagi berfikir apa konsekuenasi akhiratnya,
tetapi apa yang mereka dapat dengan menjadi pengikutnya. Dan para Khalifah
Duniawi tahu persis ini, sehingga menjadikannya bahan permainan kekuasaan.
Mereka tahu bahwa manusia paling mudah disandra melalui perutnya. Mereka
membagikan setetes keuntungan politiknya kepada ‘ulama’ dan ‘mufti’
(pemilik otoritas untuk berfatwa) dalam berbagai bentuk fasilitas yang
memungkinkan ‘ulama’ dan ‘mufti’ tersebut hidup layak dan menjadi tokoh
‘panutan’. ‘Ulama’ dan ‘mufti’ inilah nantinya yang menjadi tameng
opini bagi Sang Khalifah sehingga serangan publik tak pernah mendarat langsung
di wajahnya.
Caranya;
menyembunyikan ayat-ayat Allah yang berkenaan dengan Khalifah Ilahi yang sesungguhnya
seraya ‘memperhalus’ atau bahkan ‘membelokkan’ makna ayat-ayat yang mengecam
para Khalifah Duniawi. “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa
yang telah diturunkan Allah, yaitu Kitab Suci dan menjualnya dengan harga yang
sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam
perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari
kiamat dan tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.”
(2:174)
Dampak
selanjutnya dari perbuatan ‘ulama’ dan ‘mufti’ bayaran ini ialah
terpecah-belahnya umat ke dalam berbagai kelompok. Penyebabnya; tiap datang
Khalifah Duniawi yang baru selalu punya keinginan dan hasrat politik yang
berbeda sebagaimana berbedanya gaya kepemimpinan mereka. Sehingga ‘ulama’ dan ‘mufti’
pun “dipaksa” menyesuaikan fatwa dan opini keagamaan mereka masing-masing,
kendati subjek bahasannya sama. Setiap jenis fatwa dan opini ini melahirkan
komunitas pengikutnya sendiri-sendiri. Lahirlah mazhab-mazhab.
Terbentuklah
golongan-golongan. Bergemalah suara-suara. Muncullah ketegangan-ketegangan.
Bergandalah masjid-masjid. Akibatnya; kekuatan politik umat tercerai-berai
menjadi sebanyak langgar-langgar. Sehingga tidak ada lagi kedamaian di
surau-surau, yang ada ialah kebisingan pendapat-pendapat. Para Khalifah Duniawi
tinggal menebar jala, menuai keuntungan besar, cukup dengan menerapkan
manajemen konflik dari kursi goyangnya sambil mengisap cerutu impornya. “Hai
rasul-rasul, makanlah dari makanan yang suci-bersih, dan kerjakanlah amal yang
saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Sesungguhnya
(agama tauhid) ini, adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku adalah
Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu)
menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).
Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu.” (23:51-54)
Dari
pembahasan diatas kita bisa memahami makna dari kata حَلاَلاً طَيِّباً (halālan
thayyiban, yang halal lagi suci). Yang halal
sudah jelas; statusnya: boleh. Lawannya, haram; statusnya: terlarang. Lalu yang
thayyibah masuk dimana? Kalau kita artikan thayyibah itu
“yang baik”, bukankah yang halal itu secara otomatis juga “baik”?
Sehingga mengartikan thayyibah itu “yang baik” hanya akan mengacaukan
pengertian halal—muncul kesan bahwa tidak semua yang halal
itu baik. Padahal mana mungkin Allah meng-halal-kan sesuatu kalau
sesuatu itu mengandung unsur-unsur yang “tidak baik”. Firman-Nya: “… menghalalkan
bagi mereka segala yang baik (at-thayyibāt)
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (al-khabāits)...”
(7:157) Juga: “Mereka menanyakan kepadamu: ‘Apakah yang dihalalkan bagi
mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu segala yang baik (at-thayyibāt)…’.”
(5:4) “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik (at-thayyibāt)….”
(5:5)
Dari ayat-ayat itu jelas bahwa yang halal
sudah pasti juga “baik”. Kalau begitu apa itu thayyibah? Ayat berikut
ini bisa membantu kita: “Wanita-wanita yang khabĭtsah (buruk) adalah untuk
laki-laki yang khabĭts (buruk), dan laki-laki yang khabĭts (buruk) adalah buat
wanita-wanita yang khabĭtsah (buruk), dan wanita-wanita yang thayyibah
(baik) adalah untuk laki-laki yang thayyib
(baik) dan laki-laki yang thayyib (baik)
adalah untuk wanita-wanita yang thayyibah
(baik). (Bila) mereka (yang dituduh berzina) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh), (maka) baginya ampunan dan rezki yang mulia
(surga).” (24:26)
Kalau
begitu thayyibah itu bermakna “bersih dari dosa (dalam hal perbuatan)
atau najis (dalam hal makanan)”. “Dan tanah yang baik (at-thayyib),
tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang buruk (khabutsa),
tanaman-tanamannya tidak tumbuh kecuali dalam keadaan merana. Demikianlah Kami
mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.”
(7:58)
Dengan
demikian bekerja di bawah pemimpin yang melakukan (atau mendukung pelaku)
kejahatan terhadap kemanusiaan atau menentang ayat-ayat Allah, maka pendapatan
yang diterima tidak lagi berkategori حَلاَلاً طَيِّباً (halālan
thayyiban, yang halal lagi suci), karena secara tidak
langsung membantu mereka melakukan perbuatan buruk tersebut.
Bekerja
pada mereka sendiri (tanpa berani melakukan teguran sepertimana Musa lakukan
terhadap Fir’aun dan Ibrahim terhadap Namrut) sudah menjastifikasi secara halus
tindakan-tindakan mereka. Mereka seakan menemukan kekuatan moral di balik
keterlibatan ‘ulama’ dan ‘mufti’ di dalam pemerintahan mereka. Itu
sebabnya, bagian akhir ayat ini berbunyi: وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ (wa lā tattabi’ŭ
khuthuwātis-syaythāni innaɦu lakum ‘aduwwun mubĭn, dan janganlah kalian
mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu).
Allah
menyebut mereka sebagai عَدُوٌّ مُّبِينٌ (‘aduwwun mubĭn, musuh yang
nyata) karena orang awam pun dengan mudah mengenali mereka. Kalau syaitan
yang dimaksud di sini ialah yang berkelebat-kelebat dalam kegelapan dan di
rumah-rumah hantu, tentu itu tidak مُّبِينٌ (mubĭn, nyata). “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan.
Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan
itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya
tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorangpun
dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,
tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (24:21)
Seorang mukmin (orang
yang beriman) sudah semestinya memakan dan meminum atas sesuatu yang sudah
mendapat label Halal oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun, tidak hanya cukup makan
dan minum apa-apa yang dihalalkan oleh Syari’at saja melainkan makanan
dan minuman itu hendaknya juga Tayyibah (Baik). Maka, makanan dan
minuman yang halal dan tayib itulah barang konsumsinya orang-orang beriman.
Seorang yang beriman
akan senantiasa mengkonsumsi apa saja yang dipandang oleh syariat sebagai
perkara yang halal dan baik,
ketentuan itu telah ditetapkan oleh Allah SWT. Entah itu
mengkonsumsi untuk dirinya sendiri, dinafkahkan kepada keluarga atau diperjual
belikan kepada kaum muslimin. Sebagai hamba Allah yang senantiasa menjaga iman,
tidak selayaknya mereka mengkonsumsi perkara yang haram dan jelek terlebih
menafkahkannya kepada keluarga atau menjual belikanya dikalangan kaum muslimin.
Sebab Rasulullah saw bersabda : “Tidak boleh berlaku bahaya dan
membahayakan”.
Sesama mukmin haram
hukumnya membahayakan mukmin lainya, entah ia menjual, membeli, memberi atau menafkahi
sesuatu yang haram dan berbahaya. Seperti halnya memberi nafkah keluarga dengan
uang haram atau seorang ibu yang mengijinkan anaknya merokok. Oleh sebab uang
haram adalah haram dan rokok adalah barang yang jelek bukan tayyib.
Kedua perkara ini, yaitu perkara yang haram dan jelek atau bukan yang tayyib
adalah dua perkara yang diingkari oleh Allah SWT.[4]
Daftar Pustaka
Imam
jalaludin al-Mahalli dan Imam Jalaludin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Bara Algesindo
http://uraianayatalquran.blogspot.co.id/2014/08/surat-al-baqarah-ayat-168-169.html
[1] Imam
jalaludin al-Mahalli dan Imam Jalaludin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Bara Algesindo,
[2] http://uraianayatalquran.blogspot.co.id/2014/08/surat-al-baqarah-ayat-168-169.html
[3] http://ngaji-tafsir-al-quran.blogspot.co.id/2012/11/tafsir-qs-al-baqarah-168-tidak-cukup.html
[4] http://uraianayatalquran.blogspot.co.id/2014/08/surat-al-baqarah-ayat-168-169.html